Islam Pedoman Hidup: Surat buat tetangga : Shalawat Nariyyah

Sabtu, 26 Maret 2016

Surat buat tetangga : Shalawat Nariyyah

Surat ini kira-kira saya buat empat tahun yang lalu (2004) ketika saya dan istri masih bermukim di Kampung Ciomas Rahayu. Kampung asal muasal Kecamatan Ciomas Bogor. Di situ masih sangat kental bau tradisinya. Nah,... surat ini saya buat sebagai buah nasihat ketika rumah tetangga (yang kebetulan guru ngaji) sering mengadakan shalawatan nariyyah. Semoga isi surat ini dapat bermanfaat bagi siapa saja yang kebetulan membaca.............................

==================


بسم الله الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
الحمد لله والصلاة والسلام على نبينا محمد وعلى آله وأصحابه أجمعين، وبعد

Ukhti fillah yang dirahmati Allah ta’ala,
Kami panjatkan doa kepada Allah ta’ala agar Dia selalu memberikan kesehatan dan semangat dalam beribadah kepada ukhti. Dan juga tidak lupa kami katakan bahwa kami mencintai ukhti karena Allah ta’ala, saudara seagama dan seiman, insya allah.
Melalui surat ini kami akan menyampaikan hal-hal yang telah lama kami pendam dalam hati. Namun,…baru kali ini kami beranikan diri untuk menyampaikannya, agar……… kami bisa berhujjah kepada Allah ta’ala kelak bahwa kami tidak menyembunyikan apa-apa yang kami ketahui. Kami berharap ini menjadi pahala keikhlasan bagi kami, sekaligus merupakan perwujudan rasa cinta kami kepada ukhti dalam usaha saling menasihati untuk menetapi kebenaran dan kesabaran; yang mana kita akan terhindar cap sebagai golongan orang-orang yang merugi. Allah ta’ala telah berfirman:
وَالْعَصْرِ * إِنَّ الإنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ * إِلا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ
“Demi masa. Sesungguhnya manusia berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shalih dan saling menasihati untuk menetapi kebenaran dan saling menasihati untuk menetapi kesabaran“ (QS. Al-‘Ashr 1-3).
Ukhti fillah,……… ada dua timbangan dalam agama Islam agar amal ibadah kita diterima. Pertamaadalah ikhlash; dan yang Kedua adalah mutaba’ah (mengikuti contoh Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam). Ikhlash merupakan timbangan hati dimana Allah ta'ala berfirman :
وَمَا أُمِرُوا إِلا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus“ (QS. Al-Bayyinah : 5).
Sedangkan mutaba’ah merupakan timbangan dhahir dimana Allah ta'ala berfirman :
وَلَمَّا رَأَى الْمُؤْمِنُونَ الأحْزَابَ قَالُوا هَذَا مَا وَعَدَنَا اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَصَدَقَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَمَا زَادَهُمْ إِلا إِيمَانًا وَتَسْلِيمًا
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang-orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut nama Allah” (QS. Al-Ahzab : 21).
Dan juga sabda Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam :
من عمل عملا ليس عليه أمرنا فهو رد
“Barangsiapa yang mengerjakan suatu amalan yang tidak ada keterangan dari kami maka ia tertolak ” (Muttafaqun 'alaihi).
Kita diperintahkan oleh Allah ta’ala untuk mencintai Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam. Bahkan mencintai Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam merupakan tanda kecintaan kita kepada Allah ta’ala; sebagaimana firman-Nya :
قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ
“Katakanlah : Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku. Niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang “ (QS. Ali-Imran : 31).
Perwujudan rasa cinta kita yang terbesar kepada Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam adalah dengan mengikuti petunjuk/sunnah-sunnah beliau shallallaahu ’alaihi wasallam; dengan tidak menambahi dan tidak mengurangi. Islam telah sempurna yang tidak memerlukan tambahan dan pengurangan dari manusia.
Selain itu, sebagai tanda cinta kita kepada beliau shallallaahu ’alaihi wasallam, kita juga sangat dianjurkan untuk mengucapakan shalawat kepada beliau shallallaahu ’alaihi wasallam sebagaimana Allah ta’ala berfirman :
إِنَّ اللَّهَ وَمَلائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
“Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Wahai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kalian untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya “ (QS. Al-Ahzab : 56).
Ibnu Katsir rahimahullah dalam menjelaskan maksud ayat di atas berkata bahwa Allah ta’ala mengabarkan kepada para hambanya tentang kedudukan hamba dan nabi-Nya di sisi makhluk-Nya yang tinggi. Dimana Allah ta’ala memujinya di hadapan para malaikat yang dekat, dan para malaikat pun bershalawat kepadanya. Kemudian (Allah ta’ala) memerintahkan penduduk jagad raya bagian bawah (penduduk bumi) agar bershalawat dan mengucapkan salam atasnya, sehingga berkumpul segala pujian atasnya dari dua penghuni alam jagad raya yang di atas dan yang di bawah (Tafsir Ibnu Katsir 3/508).
Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam telah mengabarkan tentang anjuran dan keutamaan bershalawat kepadanya, diantaranya melalui hadits :
  1. Dari Abu Hurairah radliyallaahu ’anhu berkata, bersabda Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam :
    لا تجعلوا بيوتكم قبورا ولا تجعلوا قبري عيدا وصلوا على فإن صلاتكم تبلغني حيث كنتم
    “Jangan kalian menjadikan kuburanku sebagai (tempat) hari raya dan jangan kalian jadikan rumah kalian sebagai kuburan. Dan bershalawatlah kepadaku dimanapun kalian berada karena sesungguhnya shalawat kalian (itu) sampai kepadaku“ (HR Abu Dawud no. 2042; shahih).

  2. Dari Anas bin Malik radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam bersabda :

    من صلى علي صلاة واحدة صلى الله عليه عشر صلوات وحطت عنه عشر خطيئات ورفعت له عشر درجات
    “Barangsiapa yang bershalawat kepadaku satu kali, maka Allah bershalawat kepadanya sepuluh shalawat, dihapuskan darinya sepuluh kesalahan, dan diangkat untuknya sepuluh derajat “ (HR. Nasa’i 3/50; shahih).
Bahkan Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam menggelari “kikir/bakhil” bagi orang yang ketika disebut nama beliau tidak mengucapkan shalawat. Dari hadits Ali bin Husain bahwa Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam bersabda :
البخيل الذي من ذكرت عنده فلم يصل علي
“Orang yang bakhil/kikir adalah orang yang ketika aku disebut di dekatnya, lalu ia tidak bershalawat kepadaku“ (HR. At-Tirmidzi no. 3546, Ahmad no. 1736, dan selainnya; shahih).
Ketika Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam menyebutkan tentang anjuran dan keutamaan bershalawat kepada beliau shallallaahu ’alaihi wasallam, tentu beliau tidak lupa menyebutkan bagaimana cara bershalawat tersebut, sebagaimana diriwayatkan oleh Bukhari dari Ka’ab bin Ujrah radliyallaahu ’anhu. Ia berkata : “Pada suatu hari kami pernah bertanya kepada Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam : ‘Ya Rasulullah, bagaimana Ahlul-Bait bershalawat kepadamu? sebagaimana Allah ta’ala telah mengajari bagaimana bersalam.’ Mendengar pertanyaan itu Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam menjawab : ‘Katakanlah :
اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ، وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ؛ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى [إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى] آلِ إِبْرَاهيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ، اللَّهمَّ بَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ، وَعَلَى آل مُحَمَّدٍ؛ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى [إِبْرَاهِيْمَ، وَعَلَى] آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ
Juga riwayat lain dari Bukhari yang diambil dari hadits Abu Hamid As-Saidi radliyallaahu 'anhu dengan lafadh :
اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ [النَّبِيِّ اْلأُمِّيِّ]، وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ ؛ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى [آلِ] إِبْرَاهيْمَ ، وَ بَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ [النَّبِيِّ اْلأُمِّيِّ] وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ ، كَمَا بَارَكْتَ عَلَى [آلِ] إِبْرَاهيْمَ فِيْ اْلعَالَمِيْنَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ
Dan masih banyak lafadh-lafadh lain sebagaimana terdapat lagi masyhur dalam kitab-kitab hadits.
Namun diantara lafadh-lafadh shalawat yang shahih tersebut, ada beberapa lafadh shalawat yang dla’if (lemah), maudlu’ (palsu), laa ashlaalahu (tidak ada asalnya dari kitab induk hadits); yang banyak beredar di kalangan masyarakat. Bila dilihat dari segi matan (isi), banyak diantaranya yang munkar, ghuluw (berlebih-lebihan) terhadap diri Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam, dan bahkan mengandung muatan syirik. Mungkin diantaranya dapat kami contohkan :
  1. Shalawat Nariyyah

    Shalawat ini sangat masyhur di tengah masyarakat dimana mereka berkeyakinan dengan membaca shalawat ini segala hajat dapat dikabulkan dan segala kesusahan dapat dihilangkan. Shalawat dan keyakinan ini bukanlah berasal dari dalil shahih sepengetahuan kami. Bahkan bila kita mencermati arti dari lafadh tersebut, niscaya akan diketahui beberapa ungkapan ghuluw dan syirik di dalamnya. Secara lengkap, lafadh shalawat tersebut adalah :

    اللَّهُمَّ صَلِّي صَلاةً كَامِلَةً وَسَلِّمْ سَلامًا تَامًّا عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمّدٍ الَّذِيْ تَنْحَلُ بِهِ اْلعُقََدُ وَتَنْفَرِجُ بِهِ اْلكُرَبُ وَتُقْضَى بِهِ اْلحَوَائِجُ وَتُنَالُ بِهِ اْلرَّغَائِبُ وَحُسْنُ اْلخَوَاتِيْمِ وَيَسْتَسْقَى اْلغَمَامُ بِوَجْهِهِ اْلكَرِيْمِ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ عَدَدَ كلِّ مُعْلُوْمٍ لَكَ
    “Ya Allah, limpahkanlah keberkahan dengan keberkahan yang sempurna, dan limpahkanlah keselamatan dengan keselamatan yang sempurna untuk penghulu kami Muhammad, yang dengan beliau terurai segala ikatan, hilang segala kesedihan, dipenuhi segala kebutuhan, dicapai segala keinginan dan kesudahan yang baik, serta diminta hujan dengan wajahnya yang mulia, dan semoga pula dilimpahkan untuk segenap keluarga, dan shahabatnya sebanyak hitungan setiap yang Engkau ketahui “.

    ==> Aqidah tauhid yang kepadanya Al-Qur’an menyeru, dan yang dengannya Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam mengajarkan kita, menegaskan kepada setiap muslim agar meyakini bahwa hanya Allah ta'ala semata yang kuasa mengurai segala ikatan. Yang menghilangkan segala kesedihan. Yang memenuhi segala kebutuhan dan memberi apa yang diminta manusia ketika berdoa. Setiap muslim tidak boleh berdoa dan memohon kepada selain Allah ta'ala untuk menghilangkan kesedihan atau menyembuhkan penyakitnya, bahkan meski yang dimintanya adalah seorang malaikat yang diutus atau nabi yang dekat (kepada Allah ta'ala). Al-Qur’an mengingkari berdoa kepada selain Allah ta'ala, baik kepada rasul atau wali. Allah ta'ala berfirman :

    قُلِ ادْعُواْ الّذِينَ زَعَمْتُم مّن دُونِهِ فَلاَ يَمْلِكُونَ كَشْفَ الضّرّ عَنْكُمْ وَلاَ تَحْوِيلاً * أُولَـَئِكَ الّذِينَ يَدْعُونَ يَبْتَغُونَ إِلَىَ رَبّهِمُ الْوَسِيلَةَ أَيّهُمْ أَقْرَبُ وَيَرْجُونَ رَحْمَتَهُ وَيَخَافُونَ عَذَابَهُ إِنّ عَذَابَ رَبّكَ كَانَ مَحْذُوراً
    “Katakanlah,’Panggilah mereka yang kamu anggap (tuhan) selain Allah, maka mereka tidak akan mempunyai kekuasaan untuk menghilangkan bahaya daripadamu dan tidak pula memindahkannya. Orang-orang yang mereka seru itu, mereka sendiri mencari jalan kepada Tuhan mereka siapa diantara mereka yang lebih dekat (kepada Allah) dan mengharap rahmat-Nya dan takut akan siksa-Nya; sesungguhnya siksa Tuhanmu adalah sesuatu yang (harus) ditakuti”. (QS. Al-Israa’ : 56-57).

    Para ahli tafsir mengatakan, ayat di atas turun sehubungan dengan sekelompok orang yang berdoa dan meminta kepada Isa Al-Masih, malaikat, dan hamba-hamba Allah yang shalih dari jenis makhluk jin.

    ==> Bagaimana mungkin Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam akan rela, jika dikatakan bahwa beliau dikatakan kuasa menguraikan segala ikatan dan menghilangkan segala kesedihan. Padahal Al-Qur’an turun menyeru kepada beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam untuk memaklumkan :

    قُل لاّ أَمْلِكُ لِنَفْسِي نَفْعاً وَلاَ ضَرّاً إِلاّ مَا شَآءَ اللّهُ وَلَوْ كُنتُ أَعْلَمُ الْغَيْبَ لاَسْتَكْثَرْتُ مِنَ الْخَيْرِ وَمَا مَسّنِيَ السّوَءُ إِنْ أَنَاْ إِلاّ نَذِيرٌ وَبَشِيرٌ لّقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ
    “Katakanlah : ‘Aku tidak kuasa menarik kemanfaatan bagi diriku dan tidak (pula) menolak kemudlaratan kecuali yang dikehendaki Allah. Dan sekiranya aku mengetahui yang ghaib, niscaya aku membuat kebajikan sebanyak-banyaknya dan aku tidak akan ditimpa kemudlaratan. Aku tidak lain hanya pemberi peringatan dan pembawa berita gembira bagi orang-orang yang beriman “ (QS. Al-A’raf : 188).

    أَنَّ رَجُلا أَتَى النَّبيّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَكَلَّمَهُ في بَعْضِ اْلأَمْرِ فَقَالَ مَا شَاءَ اللهُ وَشِئْتَ فَقَالَ النَّبيُّ صَلَّى الله عَلَيهِ وَسَلَّمَ أَجَعَلْتَنِي للهِ عَدْلا قلْ مَا شَاءَ اللهُ وَحْدَه
    Seorang laki-laki datang kepada Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam, lalu ia berkata kepada beliau,”Atas kehendak Allah dan kehendakmu”. Maka Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam bersabda,”Apakah engkau menjadikan aku sebagai sekutu (tandingan) bagi Allah? Katakanlah : Hanya atas kehendak Allah semata“ (HR. Nasa’i no. 1085 dengan sanad hasan).

    ==> Apabila hal ini dimaksudkan sebagai tawassul terhadap diri Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam, dimana beliau telah wafat, maka tawasul seperti ini tidak dapat dibenarkan. Tidak pernah diriwayatkan satu atsar shahih pun dari para shahabat yang melakukan demikian setelah beliau wafat. Juga Imam Syafi’i, Imam Ahmad, dan lain-lain dari kalangan para imam kaum muslimin yang terpercaya. Adapun yang dianggap dalil oleh sebagian orang sebagai dasar perbuatan mereka bertawasul terhadap diri Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam, maka hal ini tidak terlepas dari dua kemungkinan :

    a. hadits tersebut adalah dla’if, maudlu’, atau bahkan tanpa asal;
    b. salah ber-istidlal dan ber-istimbat terhadap suatu dalil shahih.

    Ada beberapa buku bagus yang membahas tentang hal tersebut, dan salah satu yang kami punyai adalah buku “Tawasul & Tabaruk” oleh Syaikh Nashiruddin Al-Albani dan Dr. Al-‘Ulyani. Kalau ukhti ingin membacanya, pintu kami selalu terbuka untuk antunna, insya allah.

  2. Dalam Kitab Dalaailul-Khairaat terdapat shalawat dengan lafadh sebagai berikut :

    اللهم صل على محمد حتى لا يبقي من الصلاة شيء، وارحم محمدا حتى لا يبقي من الرحمة شيء
    “Ya Allah, limpahkanlah keberkahan atas Muhammad, sehingga tidak tersisa lagi sedikitpun dari keberkahan, dan rahmatilah Muhammad sehingga tidak tersisa sedikitpun rahmat” 

    ==> Lafadh shalawat di atas, yaitu menjadikan keberkahan dan rahmat, yang keduanya merupakan bagian dari sifat-sifat Allah, bisa habis dan binasa. Hal ini bertentangan dengan firman Allah ta'ala :

    قُلْ لَوْ كَانَ الْبَحْرُ مِدَادًا لِكَلِمَاتِ رَبِّي لَنَفِدَ الْبَحْرُ قَبْلَ أَنْ تَنْفَدَ كَلِمَاتُ رَبِّي وَلَوْ جِئْنَا بِمِثْلِهِ مَدَدًا
    “Katakanlah : Kalau sekiranya lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat Tuhanku, sungguh habislah lautan itu sebelum habis (ditulis) kalimat-kalimat Tuhanku; meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu (pula)” (QS. Al-Kahfi : 109).

  3. Lafadh shalawat berikut dan yang semacam/semakna :

    الصلاة والسلام عليك يا رسول الله ضاقت حيلتى فأدركنى يا حبيب الله
    “Semoga keberkahan dan keselamatan dilimpahkan untukmu wahai Rasulullah. Telah sempit tipu dayaku, maka perkenankanlah (hajatku) wahai kekasih Allah “.

    ==> Lafadh shalawat di atas sangat jelas dan nyata bertentangan dengan firman Allah ta'ala :

    أَمَّنْ يُجِيبُ الْمُضْطَرَّ إِذَا دَعَاهُ وَيَكْشِفُ السُّوءَ
    “Atau siapakah yang memperkenankan (doa) orang yang dalam kesulitan apabila ia berdoa kepada-Nya? (QS. An-Naml : 62).

    Dan juga sabda Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam :

    إذا سألت فاسأل الله وإذا استعنت فاستعن بالله
    “Jika engkau meminta maka mintalah kepada Allah; dan jika engkau memohon pertolongan, maka mohonlah pertolonganlah kepada Allah“ (HR. At-Tirmidzi no. 2516; shahih).

  4. Dan lain-lain.
Ukhti……, adapun maksud disampaikannya beberapa penjelasan di atas tidak lain adalah karena kami sering mendengar (dari rumah kami) lafadh-lafadh ‘shalawatan’ dari perkumpulan ibu-ibu yang membaca salah satu shalawat di atas; di rumah ukhti. Dan bila tidak salah,…pertemuan itu diadakan setiap Kamis sore (mohon dikoreksi bila ternyata tidak benar).
Ukhti fillah……… kami pernah membaca sebuah hadits yang dinisbatkan secara shahih dari Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallm tentang larangan ghuluw (sikap berlebih-lebihan) kepada beliau shallallaahu ’alaihi wasallam :
لا تطروني كما أطرت النصارى بن مريم فإنما أنا عبده فقولوا عبد الله ورسوله
“Janganlah kalian berlebih-lebihan dalam memujiku sebagaimana orang Nashrani berlebih-lebihan dalam memuji Isa bin Maryam. Aku hanyalah seorang hamba. Maka katakanlah : Abdullah (hamba Allah) dan Rasul-Nya“ (HR. Bukhari no. 3261).
Para shahabat radliyallaahu 'anhum ajma'in adalah contoh terbaik bagi kita tentang bagaimana sikap mereka dalam mencintai Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam tanpa harus berlebih-lebihan (apalagi dengan selain beliau shallallaahu ’alaihi wasallam ?) Anas bin Malik radliyallaahu ’anhu pernah mengabarkan tentang keadaan para shahabat :
لم يكن شخص أحب إليهم من رسول الله صلى الله عليه وسلم قال : وكانوا إذا رأوه لم يقوموا لما يعلمون من كراهيته لذلك
“Tak seorangpun yang lebih dicintai shahabat daripada Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam. Tetapi bila mereka melihat Rasulullah (hadir), mereka tidak berdiri untuk beliau. Sebab mereka mengetahui bahwa beliau membenci hal tersebut” (HR. At-Tirmidzi no.2754 ; shahih).
Marilah kita contoh para shahabat yang merupakan generasi terbaik ummat. Dan marilah kita bersihkan iman kita dari sikap ghuluw dalam agama. Karena…akibat dari sikap ghuluw inilah yang membinasakan umat-umat sebelum kita dan menjerumuskannya dalam lembah bid’ah serta kesyirikan. Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam bersabda :
وإياكم والغلو في الدين فإنما أهلك من كان قبلكم الغلو في الدين
“Janganlah kamu ghuluw (melampaui batas) dalam agama. Sebab sesungguhnya kehancuran orang-orang sebelum kamu adalah karena ghuluw (melampaui batas) dalam agama“ (HR. An-Nasa’i no. 3057, Ahmad no. 1851, dan Ibnu Majah no. 3020; shahih).
Allah ta’ala berfirman :
لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ
“Jika kamu berbuat syirik (mempersekutukan Tuhan), niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi“ (QS. Az-Zumar : 65).
Ukhti yang disayang Allah ta’ala………, dalam hal ini kami tidak berusaha menghalang-halangi ukhti (atau yang lain) berbuat mencintai Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam ataupun malah…… meremehkan beliau. Tidak sama sekali tidak…!! Tidak ada amal apapun dari kita yang akan mampu membalas jasa-jasa Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam atas diri kita. Setelah hidayah dari Allah ta’ala, melalui perantaraan beliaulah kita dapat menikmati indahnya Islam dan iman. Kami hanya ingin mengajak bersikap pertengahan (terutama bagi diri kami sendiri) tanpa berlebihan dan meremehkan. Bila mengucapkan shalawat, hadits-hadits shahih dari beliau shallallaahu ’alaihi wasallam telah mencukupi kita. Dan itu adalah yang paling utama sebagai seorang muslim yang mengaku mencintai beliau shallallaahu ’alaihi wasallam sepenuh hati, yaitu dengan mengamalkan sunnah-sunnah yang beliau shallallaahu ’alaihi wasallam wariskan kepada kita.
Terakhir wahai ukhti fillah,……janganlah surat ini menjadi sebuah awal keretakan hubungan persaudaraan kita. Kami sangat berharap bahwa kita dapat lebih saling “dekat” dan cinta. Saling cinta karena Allah ta’ala, dan membenci karena-Nya pula. Bila terdapat kebenaran itu datangnya dari Allah ta’ala, dan apabila terdapat kesalahan maka itu datangnya dari diri pribadi kami yang bodoh lagi lemah dan dari syetan; Allah ta’ala dan Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam berlepas diri. Tegur sapa dari ukhti senantiasa kami harapkan…………wallaahu a’lam
صلى الله وسلم على نبينا محمد تسليما كثيرا، والحمد لله رب العالمين




أبو وأم عائشة

(...... dan .....)
from= http://abul-jauzaa.blogspot.fr/2008/05/surat-buat-tetangga-shalawat-nariyyah.html