Perlu diketahui bersama bahwa ketika berbuka puasa adalah salah
satu waktu terkabulnya do’a. Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
ثَلاَثَةٌ لاَ تُرَدُّ دَعْوَتُهُمُ الإِمَامُ
الْعَادِلُ وَالصَّائِمُ حِينَ يُفْطِرُ وَدَعْوَةُ الْمَظْلُومِ
“Ada tiga orang yang do’anya
tidak ditolak : (1) Pemimpin yang adil, (2) Orang yang berpuasa ketika dia
berbuka, (3) Do’a orang yang terdzolimi.” (HR. Tirmidzi no. 2526 dan
Ibnu Hibban 16/396. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).
Ketika berbuka adalah waktu terkabulnya do’a karena ketika itu orang yang
berpuasa telah menyelesaikan ibadahnya dalam keadaan tunduk dan merendahkan
diri. (Lihat Tuhfatul Ahwadzi, 7/194)
Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika
berbuka beliau membaca do’a berikut ini,
ذَهَبَ الظَّمَأُ وَابْتَلَّتِ
الْعُرُوقُ وَثَبَتَ الأَجْرُ إِنْ شَاءَ اللَّهُ
“Dzahabadh zhoma’u wabtallatil
‘uruqu wa tsabatal ajru insya Allah (artinya: Rasa haus telah hilang dan
urat-urat telah basah, dan pahala telah ditetapkan insya Allah)”
(HR. Abu Daud no. 2357. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan)
Adapun do’a berbuka yang tersebar di tengah-tengah kaum muslimin
yaitu,
اللَّهُمَّ لَكَ صُمْتُ وَعَلَى رِزْقِكَ
أَفْطَرْتُ
“Allahumma laka shumtu wa ‘ala
rizqika afthortu (Ya Allah, kepada-Mu aku berpuasa dan kepada-Mu aku berbuka)”
Riwayat di atas dikeluarkan oleh Abu Daud dalam sunannya no.
2358, dari Mu’adz bin Zuhroh. Mu’adz adalah seorang tabi’in. Sehingga hadits
ini mursal (di atas tabi’in terputus).
Hadits mursal merupakan hadits dho’if
karena sebab sanad yang terputus. Syaikh Al Albani pun berpendapat bahwasanya
hadits ini dho’if. (Lihat Irwaul Gholil, 4/38)
Hadits semacam ini juga dikeluarkan oleh Ath Thobroni dari Anas
bin Malik. Namun sanadnya terdapat perowi dho’if yaitu Daud bin Az Zibriqon, di
adalah seorang perowi matruk (yang dituduh berdusta). Berarti dari riwayat ini
juga dho’if. Syaikh Al Albani pun mengatakan riwayat ini dho’if. (Lihat Irwaul
Gholil, 4/37-38)
Di antara ulama yang mendho’ifkan hadits semacam ini adalah Ibnu
Qoyyim Al Jauziyah. (Lihat Zaadul Ma’ad, 2/45)
Kesimpulannya, do’a “Allahumma laka shumtu …” berasal dari
hadits hadits dho’if (lemah). Sehingga cukup do’a shahih yang kami sebutkan di
atas yang hendaknya jadi pegangan dalam amalan.
Semoga sajian singkat ini bermanfaat.
Diselesaikan di Panggang-GK, 30 Rajab 1431 H (12/07/2010)
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal