Oleh
Syaikh Abu Usamah Salim bin ‘Ied Al-Hilali
Syaikh Abu Usamah Salim bin ‘Ied Al-Hilali
عَنْ
حُذَيْفَةَ بْنِ الْيَمَان رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّهُ قَالَ : كَانَ
النَّاسُ يَسْأَلُوْنَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
عَنِ الْخَيْرِ وَ كُنْتُ أَسْأَلُهُ عَنِ الشَّرِّ مَخَافَةَ أَنْ
يُدْرِكَنِي فَقُلْتُ يَا رَسُوْلُ اللهِ أِنَّا كُنَّا فِي جَاهِلِيَّةٍ
وَشَرِّ فَجَاءَنَااللَّهُ بِهَذَا الْخَيْرِ فَهَلْ بَعْدَ هَذَا
الْخَيْرِ شَرِّ قَالَ نَعَمْ فَقُلْتُ هَلْ بَعْدَ ذَلِكَ الشَّرِّ مِنْ
خَيْرِ قَالَ نَعَمْ وَفِيْهِ دَخَنٌ قَلْتُ وَمَادَخَنُهُ قَالَ قَوْمٌ
يَسْتَنُّوْنَ بِغَيْرِ سُنَّتِي وَيَهْدُوْنَ بِغَيْرِ هَدْيِي تَعْرِفُ
مِنْهُمْ وَتُنْكِرُ فَقُلْتُ هَلْ بَعْدَ ذَلِكَ الْخَيْرِ مِنْ شَرِّ
قَالَ نَعَمْ دُعَاةٌ عَلَى أَبْوَابِ جَهَنَّمَ مَنْ أَجَابَهُمْ
إِلَيْهَا قَذَفُوْهُ فِيْهَا فَقُلْتُ يَا رَسُوْلُ اللهِ صِفْهُمْ لَنَا
قَالَ نَعَمْ قَوْمٌ مِنْ جِلْدَتِنَا وَيَتَكَلَمُوْنَ بِأَلْسِنَتِنَا
قثلْتُ يَا رَسُوْلُ اللهِ فَمَاتَرَى إِنْ أَدْرَكَنِي ذَلِكَ قَالَ
تَلْزَمُ جَمَاعَةَ الْمُسْلِمِيْنَ وَإِمَامَهُمْ فَقُلْتُ فَإِنْ لَمْ
تَكُنْ لَهُمْ جَمَاعَةٌ وَلاَ إِمَامٌ قَالَ فَاعْتَزِلُ تِلكَ الْفِرَقَ
كُلَّهَا وَلَوْ أَنْ تَعَضَّ عَلَى أَصْلِ شَجَرَةٍ حَتَّى يُدْرِكَكَ
الْمَوْتُ وَأَنْتَ عَلَى ذَلِكَ
Dari Hudzaifah Ibnul Yaman Radhiyallahu anhu berkata : Manusia bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang kebaikan, sedangkan aku bertanya kepada beliau tentang keburukan karena khawatir jangan-jangan menimpaku.
Maka aku bertanya ; Wahai Rasulullah, sebelumnya kita berada di zaman
Jahiliyah dan keburukan, kemudian Allah mendatangkan kebaikan ini.
Apakah setelah ini ada keburukan? Beliau bersabda : ‘Ada’. Aku bertanya : Apakah setelah keburukan itu akan datang kebaikan? Beliau bersabda : Ya, akan tetapi didalamnya ada dakhanun. Aku bertanya : Apakah dakhanun itu? Beliau menjawab :
Suatu kaum yang mensunnahkan selain sunnahku dan memberi petunjuk
dengan selain petunjukku. Jika engkau menemui mereka maka ingkarilah. Aku bertanya : Apakah setelah kebaikan itu ada keburukan? Beliau bersabda : Ya, da’i-da’i yang mengajak ke pintu Jahannam. Barangsiapa yang mengijabahinya, maka akan dilemparkan ke dalamnya. Aku bertanya : Wahai Rasulullah, berikan ciri-ciri mereka kepadaku. Beliau bersabda: Mereka mempunyai kulit seperti kita dan berbahasa dengan bahasa kita. Aku bertanya: Apa yang engkau perintahkan kepadaku jika aku menemuinya? Beliau bersabda: Berpegang teguhlah pada Jama’ah Muslimin dan imamnya. Aku bertanya: Bagaimana jika tidak ada jama’ah maupun imamnya? Beliau bersabda: Hindarilah
semua firqah itu, walaupun dengan menggigit pokok pohon hingga maut
menjemputmu sedangkan engkau dalam keadaan seperti itu”.
[Riwayat Bukhari VI615-616, XIII/35. Muslim XII/135-238 Baghawi dalam
Syarh Sunnah XV/14. Ibnu Majah no. 3979, 3981. Hakim IV/432. Abu Dawud
no. 4244-4247.Baghawi XV/8-10. Ahmad V/386-387 dan hal. 403-404, 406
dan hal. 391-399].
MAKNA HADITS
1. Mengenali Sabilul Mujrimin Adalah Kewajiban Syar’i.
Perlu
diketahui bahwa Manhaj Rabbani yang abadi yang tertuang dalam uslub
Qur’ani yang diturunkan ke hati Penutup Para Nabi tersebut tidak hanya
mengajarkan yang haq saja untuk mengikuti jejak orang-orang beriman (sabilul Mu’minin).
Akan tetapi juga membuka kedok kebathilan dan menyingkap kekejiannya
supaya jelas jalannya orang-orang yang suka berbuat dosa (sabilul Mujrimin) Allah Azza wa Jalla berfirman.
وَكَذَٰلِكَ نُفَصِّلُ الْآيَاتِ وَلِتَسْتَبِينَ سَبِيلُ الْمُجْرِمِينَ
“Dan demikianlah, kami jelaskan ayat-ayat, supaya jelas jalannya orang-orang yang suka berbuat dosa”. [al-An’am/6 : 55].
Yang demikian itu karena istibanah
(kejelasan) jalannya orang-orang yang suka berbuat dosa (sabilul
Mujrimin) secara langsung berakibat pada jelasnya pula sabilul
mu’minin. Oleh karena itu istibanah (kejelasan) sabilul Mujrimin
merupakan salah satu sasaran dari beberapa sasaran penjelasan ayat-ayat
Rabbani. Karena ketidakjelasan sabilul Mujrimin akan berakibat langsung
pada keraguan dan ketidakjelasan sabilul Muminin. Oleh karena itu, menyingkap
rahasia kekufuran dan kekejian adalah suatu kebutuhan yang sangat
mendesak untuk menjelaskan keimanan, kebaikan dan kemaslahatan.
Ada sebagian cendikiawan syair menyatakan :
عَرَفْتُ الشَّرِّ لاَ لِلشَّرِّ وَلَكِنْ لِتَوْقِيْهِ
وَمَنْ لَمْ يَعْرِفِ الْخَيْرَ مِنَ الشَّرِّ يَقَعُ فِيْهِ
وَمَنْ لَمْ يَعْرِفِ الْخَيْرَ مِنَ الشَّرِّ يَقَعُ فِيْهِ
Aku kenali keburukan tidak untuk berbuat buruk, akan tetapi untuk menjaga diri.
Barangsiapa yang tidak dapat membedakan antara kebaikan dan keburukan, maka akan terjerumus ke dalamnya.
Barangsiapa yang tidak dapat membedakan antara kebaikan dan keburukan, maka akan terjerumus ke dalamnya.
Hakikat inilah yang dimengerti oleh generasi pertama umat ini -Hudzaifah Ibnul Yaman Radhiyallahu ‘anhu. Maka ia berkata : “Manusia
bertanya kepada Rasulullah tentang kebaikan, sedangkan aku bertanya
tentang keburukan, karena khawatir akan terjebak di dalamnya”.
2. Kekokohan Kita Dihancurkan Dari Dalam
Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda berkenan dengan keinginan
kaum kafir untuk membinasakan kaum muslimin dan Islam, seperti yang
dinyatakan dalam hadits Tsaubah Radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
عَنْ
ثَوْبَانَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « يُوشِكُ
الأُمَمُ أَنْ تَدَاعَى عَلَيْكُمْ كَمَا تَدَاعَى الأَكَلَةُ إِلَى
قَصْعَتِهَا ». فَقَالَ قَائِلٌ وَمِنْ قِلَّةٍ نَحْنُ يَوْمَئِذٍ قَالَ «
بَلْ أَنْتُمْ يَوْمَئِذٍ كَثِيرٌ وَلَكِنَّكُمْ غُثَاءٌ كَغُثَاءِ
السَّيْلِ وَلَيَنْزِعَنَّ اللَّهُ مِنْ صُدُورِ عَدُوِّكُمُ الْمَهَابَةَ
مِنْكُمْ وَلَيَقْذِفَنَّ اللَّهُ فِى قُلُوبِكُمُ الْوَهَنَ ». فَقَالَ
قَائِلٌ يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَا الْوَهَنُ قَالَ « حُبُّ الدُّنْيَا
وَكَرَاهِيَةُ الْمَوْتِ
“Nyaris orang-orang kafir menyerbu dan membinasakan kalian seperti menyerbu makanan di atas piring. Berkata seseorang : Apakah karena sedikitnya kami waktu itu ? Beliau bersabda : Bahkan
kalian pada waktu itu banyak sekali, akan tetapi kamu seperti buih di
atas air. Dan Allah mencabut rasa takut musuh-musuhmu terhadap kalian
serta menjangkitkan didalam hatimu penyakit wahn. Seseorang bertanya : Wahai Rasulullah, apakah wahn itu ? Beliau bersabda : Mencintai dunia dan takut mati”. [Riwayat Abu Dawud no. 4297. Ahmad V/278. Abu Na’im dalam Al-Hailah].
Dari hadits di atas dapat disimpulkan bahwa :
1. Kaum kafir saling menghasung untuk menjajah Islam, negeri-negerinya serta penduduknya.
2. Negeri-negeri muslimin adalah negeri-negeri sumber kebaikan dan barakah yang mengundang air liur kaum kafir untuk menjajahnya.
3. Kaum kafir mengambil potensi alam negeri muslimin tanpa rintangan dan halangan sedikitpun.
4. Kaum kafir tidak lagi gentar terhadap kaum Muslimin karena rasa takut mereka kepada kaum Muslimin sudah dicabut Allah dari dalam hati mereka.
2. Negeri-negeri muslimin adalah negeri-negeri sumber kebaikan dan barakah yang mengundang air liur kaum kafir untuk menjajahnya.
3. Kaum kafir mengambil potensi alam negeri muslimin tanpa rintangan dan halangan sedikitpun.
4. Kaum kafir tidak lagi gentar terhadap kaum Muslimin karena rasa takut mereka kepada kaum Muslimin sudah dicabut Allah dari dalam hati mereka.
Padahal pada mulanya Allah menjanjikan kepada kaum Muslimin dalam firman-Nya :
سَنُلْقِي فِي قُلُوبِ الَّذِينَ كَفَرُوا الرُّعْبَ بِمَا أَشْرَكُوا بِاللَّهِ مَا لَمْ يُنَزِّلْ بِهِ سُلْطَانًا
“Akan
kami jangkitkan di dalam hati orang-orang kafir rasa takut, disebabkan
mereka mempersekutukan Allah, dimana Allah belum pernah menurunkan satu
alasanpun tentangnya”. [Ali-Imran/3 : 151].
Dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda: ” ..Aku
diberi lima perkara yang belum pernah diberikan kepada seorang nabi pun
sebelumku: Aku ditolong dengan rasa ketakutan dengan jarak satu bulan
perjalanan; dan dijadikan bumi untukmu sebagai tempat sujud; …. dan
seterusnya “. [Riwayat Bukhari, lihat Fathul Bari I/436. Muslim dalam Nawawi V/3-4 dari Jabir bin Abdullah Radhiyallahu ‘anhu].
Akan
tetapi kekhususan tersebut dibatasi oleh sabda beliau Shallallahu
‘alaihi wa sallam dalam hadits Tsauban yang lalu, yang menyatakan : “Allah akan mencabut rasa takut musuh-musuhmu terhadap kalian …”.
Dari
hadits ini mengertilah kita bahwa kekuatan umat Islam bukanlah terletak
pada jumlah dan perbekalannya, atau pada artileri dan logistiknya. Akan tetapi kekuatannya terletak pada aqidahnya.
Seperti yang kita saksikan ketika beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam
menjawab pertanyaan yang berkenan dengan jumlah, maka beliau jawab : “Bahkan ketika itu kalian banyak sekali, akan tetapi kalian seperti buih di atas aliran air”.
Kemudian
apa yang menjadikan “pohon yang akarnya menghujam ke bumi dan cabangnya
menjulang ke langit” itu seperti buih yang mengambang di atas air ?
Sesungguhnya
racun yang meluruhkan kekuatan kaum muslimin dan melemahkan gerakannya
serta merenggut barakahnya bukanlah senjata dan pedang kaum kafir yang
bersatu untuk membuat makar terhadap Islam, para pemeluknya dan
negeri-negerinya. Akan tetapi adalah racun yang sangat keji yang
mengalir dalam jasad kaum muslimin yang disebut oleh Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai “Dakhanun” Ibnu Hajar dalam
Fathul Bari XIII/36 mengartikannya dengan “hiqd
(kedengkian), atau daghal (penghianatan dan makar), atau fasadul qalb
(kerusakan hati). Semua itu mengisyaratkan bahwa kebaikan yang datang
setelah keburukan tersebut tidak murni, akan tetapi keruh. Dan Imam Nawawi dalam syarh Shahih Muslim XII/236-237, mengutip
perkataan Abu ‘Ubaid yang menyatakan bahwa arti dakhanun adalah seperti
yang disebut dalam hadits lain. “Tidak kembalinya hati pada fungsi
aslinya” [Riwayat Abu Dawud no. 4247].
Sedangkan
makna aslinya adalah apabila warna kulit binatang itu keruh/suram. Maka
seakan-akan mengisyaratkan bahwa hati mereka tidak bening dan tidak
mampu membersihkan antara yang satu dengan yang lain. Kemudian berkata
Al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah XV/15 : Bahwa sabda beliau : “Dan didalamnya ada Dakhanun, yakni tidak ada kebaikan murni, akan tetapi didalamnya ada kekeruhan dan kegelapan”. Adapun Al ‘Adzimul Abadi dalam ‘ Aunil Ma’bud XI/316 menukil perkataan Al-Qari yang berkata : “Asal
kata dakhanun adalah kadurah (kekeruhan) dan warna yang mendekati
hitam. Maka hal ini mengisyaratkan bahwa kebaikan tersebut tercemar
oleh kerusakan (fasad)”.
Dan
sesungguhnya penanam racun yang keji dan menjalar di kalangan umat ini
tidak lain adalah oknum-oknum dari dalam sendiri. Seperti yang
dinyatakan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Mereka adalah dari kalangan bangsa kita dan berbahasa dengan bahasa kita”. Berkata Ibnu Hajar Rahimahullah dalam Fathul Bari XIII/36 : “Yakni dari kaum kita, berbahasa seperti kita dan beragama dengan agama kita. Ini mengisyaratkan bahwa mereka adalah bangsa Arab”. Sedangkan Al-Qabisi menyatakan -seperti dinukil oleh Ibnu Hajar- secara lahir maknanya adalah bahwa
mereka adalah pemeluk dien (agama) kita, akan tetapi batinnya
menyelisihi. Dan kulit sesuatu adalah lahirnya, yang pada hakikatnya
berarti penutup badan”. Mereka mempunyai sifat seperti yang dikatakan dalam hadits riwayat Muslim.
رِجَالٌ قُلُوبُهُمْ قُلُوبُ الشَّيَاطِينِ فِي جُثْمَانِ إِنْسٍ
“Akan ada dikalangan mereka orang yang berhati iblis dengan jasad manusia” [Riwayat Muslim].
Yakni
mereka memberikan harapan-harapan kepada manusia berupa mashalih
(pembangunan), siyadah (kepemimpinan) dan istiqlal (kemerdekaan dan
kebebasan) dan umat merasa suka dengan propaganda mereka. Untuk itu
mereka mengadakan pertemuan-pertemuan, muktamar-muktamar dan
diskusi-diskusi. Oleh sebab itu mereka diberi predikat sebagai da’i
atau du’at -dengan dlamah pada huruf dal- merupakan bentuk jama’ dari
da’a yang berarti sekumpulan orang yang melazimi suatu perkara dan
mengajak serta menghasung manusia untuk menerimanya. [Lihat ‘Aunil Ma’bud XI/317].
3. Jama’ah Minal Muslimin Dan Bukan Jama’ah Muslimin/’Umm.
Kalau
kita mengamati kenyataan, maka kita akan melihat bahwa faham hizbiyah
(kelompok) telah mengalir di dalam otak sebagian besar kelompok yang
menekuni medan da’wah ilallah, dimana seolah-olah tidak ada kelompok
lain kecuali kelompoknya, dan menafikan kelompok lain di sekitarnya.
Persoalan ini terus berkembang, sehingga ada sebagian yang menda’wahkan
bahwa merekalah Jama’ah Muslimin/Jama’ah ‘Umm (Jama’ah Induk) dan
pendirinya adalah imam bagi seluruh kaum muslimin, serta mewajibkan
berba’iat kepadanya. Selain itu mereka mengkafirkan sawadul a’dzam
(sebagian besar) muslimin, dan mewajibkan kelompok lain untuk bergabung
dengan mereka serta berlindung di bawah naungan bendera mereka.
Kebanyakan
mereka lupa, bahwa mereka bekerja untuk mengembalikan kejayaan
Jama’atul Muslimin. Kalaulah Jama’atul Muslimin dan imam-nya itu masih
ada, maka tidaklah akan terjadi ikhtilaf dan perpecahan ini dimana
Allah tidak menurunkan sedikit pun keterangan tentangnya.
Sebenarnya
para pengamal untuk Islam itu adalah Jama’ah minal muslimin (kumpulan
sebagian dari muslimin) dan bukan Jama’atul Muslimin atau Jama’atul
‘Umm (Jama’ah Induk), karena kaum muslimin sekarang ini tidak mempunyai
Jama’ah ataupun Imam.
Ketahuilah
wahai kaum muslimin, bahwa yang disebut Jama’ah Muslimin adalah yang
tergabung di dalamnya seluruh kaum muslimin yang mempunyai imam yang
melaksanakan hukum-hukum Allah. Adapun jama’ah yang bekerja untuk
mengembalikan daulah khilafah, mereka adalah jama’ah minal muslimin
yang wajib saling tolong menolong dalam urusannya dan menghilangkan
perselisihan yang ada diantara individu supaya ada kesepakatan di bawah
kalimat yang lurus dalam naungan kalimat tauhid.
Al-Hafidz Ibnu Hajar Rahimaullah dalam Fathul Bari XII/37 menukil perkataan Imam Thabari Rahimahullah yang menyatakan : “Berkata
kaum (yakni para ulama), bahwa Jama’ah adalah Sawadul A’dzam. Kemudian
diceritakan dari Ibnu Sirin dari Abi Mas’ud, bahwa beliau mewasiatkan
kepada orang yang bertanya kepadanya ketika ‘Utsman dibunuh, untuk
berpegang teguh pada Jama’ah, karena Allah tidak akan mengumpulkan umat
Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam kesesatan. Dan dalam
hadits dinyatakan bahwa ketika manusia tidak mempunyai imam, dan
manusia berpecah belah menjadi kelompok-kelompok maka janganlah
mengikuti salah satu firqah. Hindarilah semua firqah itu jika kalian
mampu untuk menghindari terjatuh ke dalam keburukan”.
4. Mejauhi Semua Firqah
Dinyatakan
dalam hadits Hudzaifah tersebut supaya menjauhi semua firqah jika kaum
muslimin tidak mempunyai jama’ah dan tidak pula imam pada hari terjadi
keburukan dan fitnah. Semua firqah tersebut pada dasarnya akan
menjerumuskan ke dalam kesesatan, karena mereka berkumpul di atas
perkataan/teori mungkar (mungkari minal qaul) atau perbuatan mungkar,
atau hawa nafsu. Baik yang mendakwakan mashalih (pembangunan) atau
mathami’ (ketamakan) dan mathamih (utopia). Atau yang berkumpul diatas
asa pemikiran kafir, seperti; sosialisme, komunisme, kapitalisme, dan
demokrasisme. Atau yang berkumpul di atas asas kedaerahan, kesukuan,
keturunan, kemadzhaban, atau yang lainnya. Sebab mereka semua itu akan
menjerumuskan ke dalam neraka Jahannam, dikarenakan membawa misi selain
Islam atau Islam yang sudah dirubah …!
5. Jalan Penyelesaiannya
Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memerintahkan kepada Hudzaifah
untuk menjauhi semua firqah yang menyeru dan menjerumuskan ke neraka
Jahannam, dan supaya memegang erat-erat pokok pohon (ashlu syajarah)
hingga ajal menjemputnya sedangkan ia tetap dalam keadaan seperti itu.
Dari pernyataan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tersebut dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut.
1.
Bahwa pernyataan itu mengandung perintah untuk melazimi Al-Kitab dan
As-Sunnah dengan pemahaman Salafuna Shalih. Hal ini seperti yang
diisyaratkan dalam hadits riwayat ‘Irbadh Ibnu Sariyah.
فَإِنَّهُ
مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ فَسَيَرَى اخْتِلاَفاً كًثِيْراً. فَعَلَيْكُمْ
بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ الْمَهْدِيِّيْنَ
عَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ،
“Barangsiapa
yang masih hidup diantara kalian maka akan melihat perselisihan yang
banyak. Dan waspadalah terhadap perkara-perkara yang diada-adakan
karena hal itu sesat. Dan barangsiapa yang menemui yang demikian itu,
maka berpegang teguhlah pada sunnahku dan sunnah khulafa’ur rasyidin.
Gigitlah ia dengan geraham-geraham kalian”. [Riwayat Abu Dawud no. 4607, Tirmidzi no. 2676, Ibnu Majah no. 440 dan yang lainnya].
Jika
kita menggabungkan kedua hadits tersebut, yakni hadits Hudzaifah Ibnul
Yaman Radhiyallahu ‘anhu yang berisi perintah untuk memegang
pokok-pokok pohon (ashlu syajarah) dengan hadits ‘Irbadh ini, maka
terlihat makna yang sangat dalam. Yaitu perintah untuk ber-iltizam pada
As-Sunnah An-Nabawiyah dengan pemahaman Salafuna As-Shalih Ridlwanalahu
Ta’ala ‘alaihim manakala muncul firqah-firqah sesat dan hilangnya
Jama’ah Muslimin serta Imamnya.
2. Di sini ditunjukkan pula bahwa lafadz (an ta’adhdha bi ashli syajarah) dalam hadits Hudzaifah tersebut tidak dapat diartikan secara dzahir hadits.
Tetapi maknanya adalah perintah untuk berpegang teguh, dan bersabar
dalam memegang Al-Haq serta menjauhi firqah-firqah sesat yang menyaingi
Al-Haq. Atau bermakna bahwa pohon Islam yang rimbun tersebut akan
ditiup badai topan hingga mematahkan cabang-cabangnya dan tidak tinggal
kecuali pokok pohonnya saja yang kokoh. Oleh karena itu maka wajib
setiap muslim untuk berada di bawah asuhan pokok pohon ini walaupun
harus ditebus dengan jiwa dan harta. Karena badai topan itu akan datang
lagi lebih dahsyat.
3. Oleh karena itu menjadi kewajiban bagi setiap muslim untuk mengulurkan tangannya
kepada kelompok (firqah) yang berpegang teguh dengan pokok pohon itu
untuk menghadapi kembalinya fitnah dan bahaya bala. Kelompok ini
seperti disabdakan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam akan selalu ada
dan akan selalu muncul untuk menyokong kebenaran hingga yang terakhir
dibunuh dajjal.
Maraji’
• Al Ilzamat wa at Tatabu oleh Ad-Daruquthni
• Tafsir Al-Qur’an Al-Adzim, oleh Ibnu Katsir
• Al Jami’ As Shahih, oleh Bukhari dengan Fathul Bari
• Haliyatul Auliya’ oleh Abu Na’im Al- Ashbahani.
• Silsilah Al-Hadits As-Shahihah, oleh Muhammad Nashiruddien Al-Albani
• As-Sunnan, oleh Ibnu Majah
• As-Sunnan, oleh Abu Dawud
• As-Sunnan, oleh Tirmidzi
• Syiar A’lam An-Nubala, oleh Adz-Dzahabi
• Syarhu Sunnah, oleh Baghawi
• As-Shahih, oleh Muslim bin Al-Hujjaj
• ‘Aunil Ma’bud, oleh Syamsul Al-Abadi
• Al-Kaasyif, oleh Dzahabi
• Al-Mustadrak, oleh Hakim
• Al-Musnad, oleh Ahmad bin Hambal
• Al Ilzamat wa at Tatabu oleh Ad-Daruquthni
• Tafsir Al-Qur’an Al-Adzim, oleh Ibnu Katsir
• Al Jami’ As Shahih, oleh Bukhari dengan Fathul Bari
• Haliyatul Auliya’ oleh Abu Na’im Al- Ashbahani.
• Silsilah Al-Hadits As-Shahihah, oleh Muhammad Nashiruddien Al-Albani
• As-Sunnan, oleh Ibnu Majah
• As-Sunnan, oleh Abu Dawud
• As-Sunnan, oleh Tirmidzi
• Syiar A’lam An-Nubala, oleh Adz-Dzahabi
• Syarhu Sunnah, oleh Baghawi
• As-Shahih, oleh Muslim bin Al-Hujjaj
• ‘Aunil Ma’bud, oleh Syamsul Al-Abadi
• Al-Kaasyif, oleh Dzahabi
• Al-Mustadrak, oleh Hakim
• Al-Musnad, oleh Ahmad bin Hambal
(Disadur
dan diringkas dari kutaib yang berjudul “Qaulul Mubin fi Jama’atil
Muslimin” karangan Salim bin ‘Ied Al-Hilali, Penerbit Maktab Islamy
Riyadh)
[Disalin
dari Majalah As-Sunnah edisi 07/1/1414-1993 hal. 8-13, Dengan Judul
Hadits Hudzaifah Radliyallahu Ta’ala Anhu, Penerbit Istiqomah Grup
Surakarta, Alamat Redaksi Gedung Umat Islam Lt II Kartopuran No 241A
Surakarta 57152]
Sumber: https://almanhaj.or.id/3908-mengenali-sabilul-mujrimin-adalah-kewajiban-syari.html