Segala
puji bagi Allah yang telah menciptakan jin dan manusia untuk beribadah
kepada-Nya. Shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Nabi Muhammad
yang telah bersabda:
من كان يؤمن بالله واليوم الآخر فليقل خيرا أو ليصمت
“Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka hendaknya dia berkata yang baik atau diam.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Amma ba’du.
Saudaraku sekalian, ghibah atau menggunjing adalah perbuatan yang pada asalnya dilarang oleh Islam. Ghibah adalah perbuatan dosa besar, yang bahkan Allah menyamakan orang yang melakukan ghibah dengan orang yang memakan bangkai saudaranya, Allah ta’ala berfirman:
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ
بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ وَلا تَجَسَّسُوا وَلا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ
بَعْضًا أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا
فَكَرِهْتُمُوهُ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَحِيمٌ
“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan prasangka (kecurigaan), karena sebagian dari prasangka itu dosa. dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah sebagian kalian menggunjingkan (ghibah)
sebagian yang lain. Adakah seorang di antara kamu yang suka memakan
daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik
kepadanya. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha
Penerima taubat lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Hujuuraat: 12)
Meskipun demikian ada sebagian ghibah yang diperbolehkan atau bahkan disyariatkan.
Karena dengan cara itulah pemahaman agama ini akan selamat dari
penyimpangan dan kesesatan. Dalam kesempatan ini kita akan sedikit
mengkaji persoalan ini, agar kita bisa membedakan mana nasihat dan mana
ghibah yang terlarang.
Pengertian Ghibah
Pengertian ghibah dapat diketahui dengan memperhatikan sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam kitab Shahihnya. Beliau membawakan sebuah riwayat: Yahya bin Ayyub menceritakan kepada kami, demikian pula Qutaibah dan Ibnu Hajar. Mereka mengatakan: Isma’il bin Al-’Allaa’ menceritakan hadits kepada kami dari jalan ayahnya dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala aalihi wa sallam bersabda:
أَتَدْرُونَ
مَا الْغِيبَةُ قَالُوا اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ قَالَ ذِكْرُكَ
أَخَاكَ بِمَا يَكْرَهُ قِيلَ أَفَرَأَيْتَ إِنْ كَانَ فِي أَخِي مَا
أَقُولُ قَالَ إِنْ كَانَ فِيهِ مَا تَقُولُ فَقَدْ اغْتَبْتَهُ وَإِنْ
لَمْ يَكُنْ فِيهِ فَقَدْ بَهَتَّهُ
“Tahukah kalian apa itu ghibah?”, Mereka menjawab, “Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu.” Beliau bersabda, “Yaitu engkau menceritakan tentang saudaramu yang membuatnya tidak suka.” Lalu ditanyakan kepada beliau, “Lalu bagaimana apabila pada diri saudara saya itu kenyataannya sebagaimana yang saya ungkapkan?” Maka beliau bersabda, “Apabila
cerita yang engkau katakan itu sesuai dengan kenyataan maka engkau
telah meng-ghibahinya. Dan apabila ternyata tidak sesuai dengan
kenyataan dirinya maka engkau telah berdusta atas namanya (berbuat
buhtan).” (HR. Muslim. 4/2001. Dinukil dari Nashihatii lin Nisaa’, hal. 26)
Keharaman Ghibah
Ummu Abdillah Al-Wadi’iyah berkata: Ghibah
itu diharamkan, sedikit maupun banyak. Di dalam Sunan Abu Dawud
tercantum sebuah hadits yang diriwayatkan dari jalan ‘Aisyah. Beliau
berkata:
حَسْبُكَ
مِنْ صَفِيَّةَ كَذَا وَكَذَا قَالَ غَيْرُ مُسَدَّدٍ تَعْنِي قَصِيرَةً
فَقَالَ لَقَدْ قُلْتِ كَلِمَةً لَوْ مُزِجَتْ بِمَاءِ الْبَحْرِ
لَمَزَجَتْهُ
“Wahai Rasulullah, cukuplah menjadi bukti bagimu kalau ternyata Shafiyah itu memiliki sifat demikian dan demikian.”
Salah seorang periwayat hadits menjelaskan maksud ucapan ‘Aisyah bahwa
Shafiyah itu orangnya pendek. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda: “Sungguh engkau telah mengucapkan sebuah kalimat yang seandainya dicelupkan ke dalam lautan maka niscaya akan merubahnya.”
Di
dalam dua Kitab Shahih (Bukhari dan Muslim) juga terdapat riwayat
hadits dari jalan Abu Bakrah yang menceritakan bahwa Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ دِمَاءَكُمْ وَأَمْوَالَكُمْ حَرَامٌ عَلَيْكُمْ كَحُرْمَةِ يَوْمِكُمْ هَذَا فِي شَهْرِكُمْ هَذَا فِي بَلَدِكُمْ هَذَا
“Sesungguhnya
darah-darah kalian, harta-harta kalian, (dan juga kehormatan kalian)
semua itu adalah haram atas kalian sebagaimana kesucian hari kalian ini
(hari ‘Arafah), pada bulan kalian ini dan di negeri kalian yang suci ini.”
Di
dalam Sunan Tirmidzi terdapat riwayat yang menceritakan hadits dari
jalan Ibnu ‘Umar, beliau berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam naik mimbar dan menyeru dengan suara yang lantang: “Wahai segenap manusia yang masih beriman dengan lisannya namun iman itu belum meresap ke dalam hatinya janganlah kalian menyakiti kaum muslimin. Dan janganlah melecehkan mereka. Dan janganlah mencari-cari kesalahan-kesalahan
mereka. Karena sesungguhnya barang siapa yang sengaja mencari-cari
kejelekan saudaranya sesama muslim maka Allah akan mengorek-ngorek
kesalahan-kesalahannya. Dan barang siapa yang dikorek-korek
kesalahannya oleh Allah maka pasti dihinakan, meskipun dia berada di
dalam bilik rumahnya.” (Hadits ini tercantum dalam Shahihul Musnad, 1/508)
Di
dalam Sunan Abu Dawud juga terdapat riwayat dari Anas bin Malik, dia
berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Ketika
aku dimi’rajkan aku melewati suatu kaum yang memiliki kuku-kuku dari
tembaga. Dengan kuku-kuku itu mereka mencakar-cakar wajah dan dada-dada
mereka sendiri. Maka aku berkata: ‘Siapakah mereka itu wahai Jibril?’ Jibril menjawab, ‘Mereka itu adalah orang-orang yang berani memakan daging-daging manusia serta menjatuhkan kehormatan dan harga diri orang lain’.” (Hadits ini Shahih) (Nashihati lin Nisaa’, hal. 26-27)
Ghibah yang Dibolehkan
Ummu Abdillah Al-Wadi’iyah berkata: Al-Hafizh Ibnu Katsir mengatakan di dalam kitab Tafsir beliau, “Ghibah itu haram berdasarkan kesepakatan (kaum muslimin). Dan tidak dikecualikan darinya satu bentuk ghibah pun kecuali apabila terdapat maslahat yang lebih dominan sebagaimana dalam konteks jarh dan ta’dil (celaan dan pujian yang ditujukan kepada periwayat hadits dan semacamnya -pent) serta demi memberikan nasihat. Hal ini sebagaimana disabdakan oleh beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika ada seorang lelaki bejat yang meminta izin untuk bertemu dengan beliau. Beliau bersabda, “Ijinkan dia masuk. Dia adalah sejelek-jelek kerabat bagi saudara-saudaranya.”
Dan
juga sebagaimana perkataan beliau kepada Fathimah binti Qais
radhiyallahu ‘anha ketika Mu’awiyah dan Abu Jahm melamar dirinya. Rasul
bersabda, “Adapun
Mu’awiyah, maka dia seorang yang tidak mempunyai harta. Sedangkan Abu
Jahm adalah orang yang tidak pernah meletakkan tongkat dari pundaknya.” Dan demikianlah dibolehkan pula (ghibah) untuk kepentingan yang serupa dengan itu. Kemudian selain untuk keperluan semacam itu maka hukumnya adalah sangat diharamkan.” (Nashihati lin Nisaa’, hal. 27-28)
Imam
Nawawi menjelaskan bahwa ghibah dibolehkan karena adanya tujuan yang
dibenarkan oleh syariat yang tidak mungkin tujuan itu tercapai kecuali
dengan menempuh cara ini. Ghibah yang dibolehkan ini ada enam sebab:
1. Mengadukan kezaliman orang kepada hakim, raja atau siapa saja yang mempunyai wewenang dan kemampuan untuk menolongnya. Seperti dengan mengatakan: “Si Fulan menganiaya saya dengan cara demikian.”
2. Meminta bantuan orang demi mengubah kemungkaran dan mengembalikan pelaku maksiat agar kembali kepada kebenaran. Seperti dengan mengatakan: “Si Fulan telah melakukan demikian maka cegahlah dia dari perbuatan itu!”
atau ungkapan semisalnya. Tujuan dibalik pengaduan itu adalah demi
menghilangkan kemungkaran, kalau dia tidak bermaksud demikian maka
hukumnya tetap haram.
3. Meminta fatwa. Seperti dengan mengatakan kepada seorang mufti (ahli fatwa): “Ayahku menganiayaku.” atau “Saudaraku telah menzalimiku.” Atau “Suamiku telah menzalimiku.” Meskipun tindakan yang lebih baik dan berhati-hati ialah dengan mengatakan: “Bagaimana pendapat anda terhadap orang yang melakukan perbuatan demikian dan demikian (tanpa menyebut namanya)?”
4. Memperingatkan kaum muslimin dari kejelekan sebagian orang dan dalam rangka menasihati mereka.
Seperti mencela para periwayat hadits dan saksi, hal ini diperbolehkan
berdasarkan kesepakatan kaum muslimin, bahkan hukumnya wajib karena
kebutuhan umat terhadapnya.
5. Menyebutkan kejelekan pelaku maksiat yang berterang-terangan dalam
melakukan dosa atau bid’ahnya, seperti orang yang meminum khamr di
depan khalayak, merampas harta secara paksa dan sebagainya, dengan
syarat kejelekan yang disebutkan adalah yang terkait dengan
kemaksiatannya tersebut dan bukan yang lainnya.
6. Untuk memperkenalkan jati diri orang. Seperti
contohnya apabila ada orang yang lebih populer dengan julukan Al-A’raj
(yang pincang), Al-Ashamm (yang tuli), Al-A’ma (yang buta) dan lain
sebagainya. Akan tetapi hal ini diharamkan apabila diucapkan dalam konteks penghinaan atau melecehkan. Seandainya ada ungkapan lain yang bisa dipakai untuk memperkenalkannya maka itulah yang lebih utama
(lihat Riyadhush Shalihin, dicetak bersama Syarah Syaikh Utsaimin, 4/98-99. penerbit Darul Bashirah)
Dalil-dalil diperbolehkannya ghibah semacam itu
Imam Nawawi menyebutkan dalil-dalil yang mendasari pengecualian ini, yaitu:
1. Dari
‘Aisyah radhiyallahu’anha, beliau menceritakan bahwa ada seorang lelaki
yang meminta izin bertemu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka
beliau bersabda:
ائْذَنُوا لَهُ بِئْسَ أَخُو الْعَشِيرَةِ أَوْ ابْنُ الْعَشِيرَةِ
“Ijinkanlah dia, sejelek-jelek kerabat bagi saudaranya.” (Muttafaq ‘alaih)
Imam Nawawi berkata: Al-Bukhari berhujjah dengan hadits ini untuk menyatakan bolehnya mengghibahi para penebar kerusakan dan keragu-raguan aqidah.
2. Dari ‘Aisyah pula, beliau berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَا أَظُنُّ فُلَانًا وَفُلَانًا يَعْرِفَانِ مِنْ دِينِنَا شَيْئًا قَالَ اللَّيْثُ كَانَا رَجُلَيْنِ مِنْ الْمُنَافِقِين
“Aku kira si Fulan dan si Fulan tidak mengerti tentang agama kita barang sedikitpun.” (HR. Bukhari)
Laits bin Sa’ad salah seorang perawi hadits ini berkata: “Kedua orang ini termasuk kalangan orang munafiq.”
3. Dari Fathimah binti Qais radhiyallahu ‘anha, beliau berkata: Aku mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian aku katakan:
إَنَّ
أَبَا جَهْمٍ و مُعَاوِيَةَ خَطَبَانِي فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَّا وَأَمَّا مُعَاوِيَةُ فَصُعْلُوكٌ لَا
مَالَ لَهُ أَبُو جَهْمٍ فَلَا يَضَعُ عَصَاهُ عَنْ عَاتِقِهِ (متفق
عليه). وفى رواية لمسلم: “وَأَمَّا أَبُو جَهْمٍ فَرَجُلٌ ضَرَّابٌ
لِلنِّسَاءِ” وهو تفسير لرواية: ” فَلَا يَضَعُ عَصَاهُ عَنْ عَاتِقِهِ”.
وقيل معناه كثير الأسفار
“Sesungguhnya Abul Jahm dan Mu’awiyah telah melamarku maka bagaimana?” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Adapun
Mu’awiyah, dia itu miskin tidak berharta. Sedangkan Abul Jahm adalah
orang yang tidak pernah meletakkan tongkat dari pundaknya.” (Muttafaq ‘alaih).
Dalam riwayat Muslim diriwayatkan, “Adapun Abul Jahm adalah lelaki yang sering memukuli isteri.” Ini merupakan penafsiran dari ungkapan, “tidak pernah meletakkan tongkat dari pundaknya.” Dan ada pula yang mengatakan bahwa maksud ungkapan itu adalah: orang yang banyak bepergian.
4. Dari Zaid bin Arqam radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata:
خرجنا
مع رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم في سفر أصاب الناس
فيه شدة فقال عبد اللَّه بن أبي: لا تنفقوا على من عند رَسُول اللَّهِ حتى
ينفضوا، وقال: لئن رجعنا إلى المدينة ليخرجن الأعز منها الأذل، فأتيت
رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم فأخبرته بذلك، فأرسل إلى
عبد اللَّه بن أبي فاجتهد يمينه ما فعل، فقالوا: كذب زيد رَسُول اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم، فوقع في نفسي مما قالوه شدة حتى أنزل
اللَّه تعالى تصديقي (إذا جاءك المنافقون) المنافقين 1 (ثم دعاهم النبي
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم ليستغفر لهم فلووا رؤوسهم (مُتَّفَقٌ
عَلَيْهِ)
Kami
pernah berangkat bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
menempuh suatu perjalanan. Pada saat itu orang-orang mengalami kondisi
yang menyulitkan, maka Abdullah bin Ubay berkata: “Janganlah kalian berinfak membantu orang-orang yang ada di sisi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai mereka mau bubar.” Dia juga mengatakan, “Seandainya kita pulang ke Madinah, maka orang-orang yang kuat akan mengusir yang lemah.”
Maka aku pun menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan
kukabarkan hal itu kepada beliau. Kemudian beliau pun mengutus orang
untuk menanyakan hal itu kepada Abdullah bin Ubay. Maka dia justru
berani bersumpah dengan serius kalau dia tidak pernah mengatakannya,
maka mereka pun mengatakan, “Zaid telah berdusta kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.”
Maka ucapan mereka itu membuatku diriku susah dan tersakiti sampai
akhirnya Allah menurunkan firman-Nya untuk membuktikan kejujuranku, “Apabila orang-orang munafiq datang kepadamu.”
(QS. Al-Munafiquun: 1) Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
memanggil mereka supaya meminta beliau berdoa memintakan ampun bagi
mereka akan tetapi mereka justru memalingkan kepala-kepala mereka. (Muttaafaq ‘alaih)
5. Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau berkata:
قالت
هند امرأة أبي سفيان للنبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم : إن أبا
سفيان رجل شحيح وليس يعطيني ما يكفيني وولدي إلا ما أخذت منه وهو لا يعلم،
قال خذي ما يكفيك وولدك بالمعروف (مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ)
Hindun isteri Abu Sufyan mengadu kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Sesungguhnya
Abu Sufyan adalah lelaki yang pelit, dia tidak memberikanku sesuatu
yang bisa mencukupi kebutuhanku dan anak-anakku kecuali yang sengaja
kuambil sendiri darinya dalam keadaan dia tidak tahu, lantas bagaimana?.” Beliau bersabda, “Ambilah sebanyak yang bisa mencukupimu dan anak-anakmu.”(Muttafaqun ‘alaihi) (lihat Riyadhush Shalihin, dicetak bersama Syarah Syaikh Utsaimin, 4/100 dan 104)
Praktek Ulama Salaf
Imam Ibnu Katsir mengatakan, “Berbicara tentang cela orang-orang (semacam para periwayat hadits) dalam rangka nasihat untuk membela agama Allah, Rasul dan Kitab-Nya serta untuk menasihati kaum mukminin bukanlah termasuk ghibah, bahkan pelakunya akan mendapat pahala apabila dia memiliki maksud yang tulus seperti itu.”(Al-Baa’itsul Hatsiits, hal. 228)
Pada suatu kesempatan ditanyakan kepada Yahya bin Sa’id Al-Qaththaan: “Apakah
engkau tidak merasa khawatir kalau orang yang engkau tinggalkan
haditsnya (dinyatakan sebagai rawi yang matruk) menjadi musuhmu pada
hari kiamat kelak?” Maka beliau menjawab: “Lebih
baik bagiku orang-orang itu menjadi musuhku daripada aku harus
bermusuhan dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada saat
itu sehingga beliau akan berkata kepadaku: “Mengapa kamu tidak melawan orang-orang yang berdusta atas namaku?”(Al-Baa’itsul Hatsiits, hal. 228)
Dikisahkan
oleh Abu Turab An-Nakhasyabi bahwa suatu saat dia mendengar Imam Ahmad
bin Hambal sedang membicarakan kritikan atas sebagian periwayat hadits.
Maka dia berkata kepada beliau: “Apakah anda hendak menggunjing para ulama?!” Maka Imam Ahmad menjawab: “Celaka kamu! Ini adalah nasihat, bukan menggunjing.” (Al-Baa’itsul Hatsiits, hal. 228)
Demikian pembahasan yang bisa kami tuliskan, semoga bermanfaat.
Wa shallallahu ‘alaa nabiyyinaa Muhammad wa ‘alaa aaliihi wa shahbihi ajma’iin.
___________________________
Penulis: Abu Mushlih Ari Wahyudi
Artikel www.muslim.or.idfrom=https://muslim.or.id/309-ghibah-atau-nasihat.html