Oleh : Asy-Syaikh Mushthafa Al-‘Adawiy hafidhahullah
Permasalahan suci atau najisnya lendir (ruthuubah)
farji wanita terhenti pada pendapat suci atau najisnya air mani
laki-laki. Sebagian ulama berpendapat tentang kesuciannya dengan
berdalil pada hadits ‘Aisyah radliyallaahu ‘anhaa bahwasannya ia pernah mengerik air mani dari pakaian Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
Mereka berkata : “Seandainya air mani itu najis, tentu tidak
cukup disucikan hanya dengan mengerik tanpa menggunakan air. Sedangkan
hadits mengerik (mani) ini shahih, diriwayatkan oleh Muslim dan
lainnya”
Adapun
pihak yang berpendapat najis mengatakan : “Sesungguhnya air itu
bukan syarat untuk menghilangkan najis dalam segala keadaan. Jika tidak
demikian, niscaya Nabishallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak menjadikan suci kotoran yang ada pada sandal. Padahal beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk mengusapnya dengan tanah yang kemudian membolehkan shalat dengannya”.
Aku
(Asy-Syaikh Mushthafa bin Al-‘Adawiy) berkata : “Dan telah
shahih riwayat bahwasannya tanah itu suci (dan menyucikan)”.
Mengenai sucinya air mani yang dikemukakan oleh pendapat pertama, mereka mengatakan : “Sesungguhnya mani Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang dikerik oleh ‘Aisyah adalah bercampur dengan ruthuubah (lendir farji) ‘Aisyah. Oleh karena itu,ruthuubah farjinya adalah suci”.
Pendapat
ini dibantah lagi (oleh pihak yang berpendapat najis) dengan alasan
bahwa mani yang dikerik oleh ‘Aisyah berasal dari ihtilaam, sehingga ruthuubah ‘Aisyah tidak bercampur dengannya.
Namun bantahan ini tidaklah kuat.[1]
Tentang pemasalahan ini, Al-Imam Al-Bukhari rahimahullah telah membuat satu bab dalam Shahih-nya (Fathul-Baariy, 1/396) : Baab : Mencuci Apa saja yang TerkenaSesuatu dari Farji Wanita (باب غسل ما يصيب من فرج المرأة), dengan berdalil hadits ‘Utsman bin ‘Affaan radliyallaahu ‘anhu, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam ketika beliau ditanya mengenai seorang laki-laki yang menjimai istrinya namun tidak sampai mengeluarkan mani, beliau bersabda :
يتوضأ كما يتوضأ للصلاة ويغسل ذكره
“Hendaklah ia berwudlu sebagaimana ia berwudlu untuk shalat, dan mencuci dzakarnya”.
Ibnu Qudamah rahimahullah berkata (Al-Mughniy 2/88) :
في رطوبة فرج المرأة احتمالان :
أحدهما : أنه نجس لأنه في الفرج لا يخلق منه الولد أشبه المذي.
والثاني : طهارته لأن عائشة كانت تفرك المني من ثوب رسول الله صلى الله عليه وسلم وهو من جماع فإنه ما احتلم نبي قط، وهو يلاقى رطوبة الفرج، ولأننا لو حكمنا بنجاسة فرج المرأة لحكمنا بنجاسة منيها، لأنه يخرج من فرجها فيتنجس برطوبته، وقال القاضي : ما أصاب منه في حال الجماع فهو نجس، لأنه لا يسلم من المذي وهو نجس، ولا يصح التعليل فإن الشهوة إذا اشتدت خرج المني دون المذي كحال الاحتلام.
أحدهما : أنه نجس لأنه في الفرج لا يخلق منه الولد أشبه المذي.
والثاني : طهارته لأن عائشة كانت تفرك المني من ثوب رسول الله صلى الله عليه وسلم وهو من جماع فإنه ما احتلم نبي قط، وهو يلاقى رطوبة الفرج، ولأننا لو حكمنا بنجاسة فرج المرأة لحكمنا بنجاسة منيها، لأنه يخرج من فرجها فيتنجس برطوبته، وقال القاضي : ما أصاب منه في حال الجماع فهو نجس، لأنه لا يسلم من المذي وهو نجس، ولا يصح التعليل فإن الشهوة إذا اشتدت خرج المني دون المذي كحال الاحتلام.
“Dalam permasalahan ruthubah farji wanita, ada dua kemungkinan :
1. Ia najis karena berasal dari farji yang tidak tercipta melaluinya (ruthuubah tersebut) seorang anak. Statusnya mirip madzi.
2. Ia suci karena ‘Aisyah pernah mengerik mani dari baju Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang berasal dari jima’. Sesungguhnya tidak ada seorang nabi pun yang mengalami ihtilaam.[2] Dan air mani tersebut bercampur dengan ruthuubah farji (‘Aisyah). Jikalau kita menghukumi kenajisan ruthubah farji
wanita, niscaya kita juga akan menghukumi kenajisan air mani, karena
air mani tesebut keluar dari farji wanita yang menjadi najis akibat
(bercampur dengan) ruthuubah.
Al-Qaadliy berkata : ‘Apa saja yang terkena sesuatu dari farji
akibat aktifitas jima’ adalah najis, karena ia tidak selamat dari
tercampurnya madzi yang statusnya najis’. Namun ta’lil ini tidak benar, karena syahwat jika memuncak bisa menyebabkan keluarnya mani tanpa madzi seperti halnya ihtilaam” [selesai].
Telah berkata penulis kitab Al-Muhadzdzab (1/570) :
وأما رطوبة فرج المرأة فالمنصوص أنها رطوبة متولدة في محل النجاسة فكانت نجسة ومن أصحابنا من قال هي طاهرة كسائر رطوبات البدن.
“Adapun ruthuubah dari farji wanita, telah manshuush (dinashkan)
bahwa ia najis karena berasal dari tempat yang najis. Namun ada
diantara shahabat-shahabat kami (ulama semadzhab) yang mengatakan suci
seperti seluruh cairan/lendir yang keluar dari badan[3]”.
An-Nawawiy rahimahullah berkata (Al-Majmuu’ Syarhul-Muhadzdzab, 1/570-571) :
رطوبة
الفرج ماء أبيض متردد بين المذى والعرق فلهذا اختلف فيها ثم ان المصنف
رحمه الله رجح هنا وفى التنبيه النجاسة ورجحه أيضا البندنيجي وقال البغوي
والرافعي وغيرهما الاصح الطهارة وقال صاحب الحاوى في باب ما يوجب الغسل نص
الشافعي رحمه الله في بعض كتبه علي طهارة رطوبة الفرج وحكي التنجيس عن ابن
سريج فحصل في المسألة قولان منصوصان للشافعي أحدهما ما نقله المصنف والآخر
نقله صاحب الحاوى والاصح طهارتها ويستدل للنجاسة أيضا بحديث زيد بن خالد
رضي الله عنه أنه سال عثمان بن عفان رضي الله عنه قال (أرأيت إذا جامع
الرجل امرأته ولم يمن قال عثمان يتوضأ كما يتوضأ للصلاة ويغسل ذكره قال
عثمان سمعته من رسول الله صلى الله عليه وسلم) رواه البخاري ومسلم زاد
البخاري فسأل على بن أبى طالب والزبير ابن العوام وطلحة بن عبيد الله وأبي
بن كعب فأمروه بذلك: وعن أبي بن كعب رضى الله عنه: أنه قال (يا رسول الله
إذا جامع الرجل المرأة فلم ينزل قال يغسل ما مس المرأة منه ثم يتوضأ
ويصلى) رواه البخاري ومسلم وهذان الحديثان في جواز الصلاة بالوضوء بلا غسل
منسوخان كما سبق في باب ما يوجب الغسل وأما الامر بغسل الذكر وما اصابه
منها فثابت غير منسوخ وهو ظاهر في الحكم بنجاسة رطوبة الفرج والقائل الآخر
يحمله علي الاستحباب لكن مطلق الامر للوجوب عند جمهور الفقهاء والله أعلم
“Ruthuubah farji
adalah cairan yang berwarna putih bening yang meragukan antara madzi
dan keringat. Oleh karena itu, statusnya diperselisihkan dimana mushannif(pengarang) rahimahullah telah men-rajih-kan dalam kitab ini dan dalam At-Tanbiihul-Najaasah,
dimana dirajihkan pula oleh Al-Bandaniijiy (akan kenajisannya).
Al-Baghawiy dan Ar-Raafi’iy berkata : ‘Yang shahih adalah
suci’. Telah berkata pengarang kitab Al-Haawiy dalam bab : Maa Yuujibul-Ghusl (Apa-Apa yang Mewajibkan Mandi) : “Asy-Syafi’iy rahimahullah telah menetapkan di sebagian kitabnya tentang kesucianruthuubah farji
(wanita). Dan dihikayatkan perihal kenajisannya dari Ibnu Juraij.
Kesimpulan dalam permasalahan ini bahwasannya ada dua perkataan yang
ternukil dari Asy-Syafi’iy, yaitu :
1. Yang disebutkan oleh mushannif (tentang kenajisannya),
2. Yang dinukil oleh pengarang kitab Al-Haawiy bahwa yang paling shahih (benar) adalah kesuciannya.
Pendalilan tentang kenajisan ruthuubah farji adalah hadits Zaid bin Khaalid radliyallaahu ‘anhu, bahwasannya ia pernah bertanya kepada ‘Utsmaan bin ‘Affaan radliyallaahu ‘anhu:
“Bagaimana pendapatmu jika ada seseorang yang menjimai istrinya
namun tidak sampai mengeluarkan mani ?”. ‘Utsmaan menjawab : “Hendaklah
ia berwudlu sebagaimana ia berwudlu untuk shalat, dan mencuci
dzakarnya”. ‘Utsman kembali berkata : “Aku
mendengarnya dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam”. Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim.
Al-Bukhari
menambahkan : “Maka (Zaid bin Khaalid) pun bertanya kepada
‘Ali bin Abi Thaalib, Az-Zubair bin Al-‘Awwaam, Thalhah bin
‘Ubaidillah, dan Ubay bin Ka’b; yang kesemuanya juga
memerintahkan hal yang sama”.
Dari Ubay bin Ka’b radliyallaahu ‘anhu,
ia berkata : “Wahai Rasulullah, apabila ada seorang laki-laki
yang menjimai istrinya, namun tidak sampai keluar (mani), apa yang
harus ia lakukan ?”. Beliau menjawab : “Cucilah apa-apa yang menyentuh wanita itu, kemudian berwudlulah dan shalatlah”.
Diriwayatkan
oleh Al-Bukhari dan Muslim. Dua hadits yang menyatakan tentang
kebolehan shalat dengan hanya berwudlu tanpa mandi ini telah mansukh (terhapus) sebagaimana disebutkan dalam bab Maa Yuujibul-Ghusl yang telah lalu.[4] Adapun
perintah untuk mencuci kemaluan dan apa-apa yang mengenainya (dari
farji wanita) adalah tetap dan tidak dihapus. Oleh karena itu, ini
dhahir yang menunjukkan kenajisanruthuubah farji. Sedangkan ulama lain membawa perintah mencuci kemaluan tersebut hanya sebatas istihbaab (disunnahkan). Namun kemutlakkan perintah dalam hadits itu menunjukkan kewajiban menurut jumhur fuqahaa’. Wallaahu a’lam [selesai perkataan An-Nawawiy rahimahullah].
Aku
(Asy-Syaikh Mushthafa bin Al-‘Adawiy) berkata : “Dengan
melihat perkataan-perkataan ulama di atas jelaslah bahwa tidak ada dalil shaarih (jelas) yang menunjukkan kenajisan ruthuubah farji wanita. Adapun hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bukhariy rahimahullah :
يتوضأ كما يتوضأ للصلاة ويغسل ذكره
“Hendaklah ia berwudlu sebagaimana ia berwudlu untuk shalat, dan mencuci dzakarnya” ;
tidaklah shaarih menunjukkan adanya pencucian dzakar itu akibat dari ruthuubah farji wanita. Ada kemungkinan perintah tersebut karena adanya (sisa) madzi (yang najis) yang keluar darinya, sebagaimana Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan Miqdaad – ketika ia bertanya kepada beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam perihal madzi - , maka beliau bersabda :
توضأ واغسل ذكرك
“Berwudlulah, dan cucilah dzakar/kemaluanmu”.
Dengan demikian, tetaplah kesucian ruthuubah farji wanita yang insya Allah akan ada tambahan keterangannya dalam pembahasan hukum ifraazaat (keputihan) yang keluar dari farji wanita.
Pertanyaan :
“Apa hukum ifraazaat yang keluar dari farji wanita . Apakah ia membatalkan wudlu atau tidak ?
Jawab :
Sebelum menjawab pertanyaan ini, ada baiknya kami memberikan beberapa rambu terlebih dahulu.
Pertama, ketika
terjadi perselisihan pendapat, maka wajib untuk mengembalikan urusannya
kepada Allah dan Rasul-Nya dimana hal itu merupakan konsekuensi
keimanan kita terhadap Allah dan hari akhir.
Allah subhaanahu wa ta’ala berfirman :
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ
وَأُولِي الأمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ
إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ
وَالْيَوْمِ الآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلا
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil-amri[5]di
antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu,
maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur'an) dan Rasul (sunnahnya),
jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang
demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya” [QS. An-Nisaa’ : 59].
اتَّبِعُوا مَا أُنْزِلَ إِلَيْكُمْ مِنْ رَبِّكُمْ وَلا تَتَّبِعُوا مِنْ دُونِهِ أَوْلِيَاءَ قَلِيلا مَا تَذَكَّرُونَ
“Ikutilah
apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu dan janganlah kamu mengikuti
pemimpin-pemimpin selain-Nya. Amat sedikitlah kamu mengambil pelajaran
(daripadanya)” [QS. Al-A’raaf : 3].
وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا
“Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah” [Al-Hasyr : 7].
Kedua, yaitu perkataan sebagian orang :
كل ما خرج من السبيلين ينقض الوضوء
“Segala sesuatu yang keluar dari dua jalan (dubur dan qubul) adalah membatalkan wudlu”
bukan termasuk sabda Al-Ma’shum shallallahu ‘alaihi wa sallam,
dan belum menjadi ijma’ (kesepakatan) umat. Perkataan itu
hanyalah diambil dari beberapa dalil yang ada dan menjelaskan bahwa
kebanyakan sesuatu yang keluar dari dua jalan dapat membatalkan
wudlu’. Dan posisi kami dalam permasalahan ini tidak menyepakati
untuk menghukumi berdasarkan kaidah ini, namun kami akan mendiskusikan
dan membahasnya dengan perincian (dalil dan permasalahan)-nya. Pada
permasalahan kencing misalnya, maka telah ada nash dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang
menjelaskan bahwa hal itu membatalkan wudlu. Begitu juga dengan
kotoran, kentut, darah haidl, darah nifas, mani, dan madzi. Tidaklah
termasuk di antara perkara-perkara ini sesuatu pun yang terhitung
sebagai pembatal wudlu kecuali berdasarkan dalil dari Al-Qur’an
dan As-Sunah. Namun jika tidak ada dalil, maka lebih baik tawaquf dan
berhati-hati bagi seseorang dalam hal agamanya. Telah ada dalil dalam
permasalahan ini tentang sejumlah hal yang keluar dari dua jalan
tersebut (dubur dan qubul) tidak membatalkan wudlu, seperti : darah istihadlah. Dalam kitab Ash-Shahih disebutkan bahwa seorang wanita dari istri Nabi shallallaahu ‘alaihi wa salam beri’tikaf bersama beliau dalam keadaan ber-istihadlalh. Sebuah bejana diletakkan di bawahnya dan ia kemudian melakukan shalat.
Adapun ifraazaat (keputihan)
yang keluar dari farji wanita bukanlah satu perkara yang tersembunyi.
Bahkan hal itu terjadi pada kebanyakan wanita. Hal itu bertambah banyak
saat kehamilan. Di sisi lain, ifraazaat ini
bukan berasal dari tempat keluarnya kencing yang najis. Dikarenakan
keadaannya yang tidak tersembunyi, maka para wanita di jaman Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pun
juga mengalaminya dengan jumlah banyak sebagaimana juga terjadi pada
wanita di jaman kita sekarang. Dan ketika tidak ada dalil yang kita
dapatkan yang menjelaskan bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan
mereka (para wanita) berwudlu’ karena beberapa keadaan tersebut,
maka lebih layak bagi kita dan lebih selamat bagi agama kita untuk
tidak mewajibkan kepada mereka untuk berwudlu – jika memang
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak mewajibkan kepada mereka.
Atas dasar itu, maka ifraazaat tidak terhitung sebagai sesuatu pembatal wudlu ketika tidak ada dalil shahih dan shaarih yang memberikan keterangan. Wal-‘ilmu ‘indallah.
Sedangkan
bagi orang yang mewajibkan wudlu dengan alasan kehati-hatian, maka
silakan berhati-hati untuk dirinya sendiri. Namun tidak boleh ia
mewajibkan bagi umat Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan para wanitanya dengan apa-apa yang ia wajibkan pada dirinya sendiri.
Dan saya telah melihat dalam permaalahan ini sebuah fatwa yang goncang (mudltharibah) tanpa disertai dalil yang disandarkan kepada Asy-Syaikh Al-Faadlil Muhammad bin ‘Utsaimin hafidhahullah dalam kitab yang berjudul : Fataawaa Al-Mar’ah, yang dikumpulkan oleh Muhammad Al-Musnid. Dan inilah teksnya :
سؤال : هل الرطوبة التي تخرج من المرأة طاهرة أم نجسة ؟
Pertanyaan : “Apakah ruthuubah yang keluar dari (farji) wanita itu suci atau najis ?Jazaakumullahi khairan.
Beliau (Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin) hafidhahullah menjawab :
المعروف
عند أهل العلم أن كل ما يخرج من السبيلين فهو نجس إلا شيئا واحدا وهو
المني. فإن المني طاهر وإلا فكل شيء ذي جرم يخرج من السبيلين فإنه نجس
وناقض للوضوء. وبناءً على هذه القاعدة يكون ما يخرج من المرأة من الماء
يكن نجسا وموجبا للوضوء. هذا ما توصلت إليه بعد البحث مع بعض العلماء وبعد
المراجعة. لكني مع ذلك في حرج منه لأن بعض النساء يكون معها هذه الرطوبة
دائما، وإذا كانت دائما فإن التخلص منها أن تعامل معاملة من به سلس البول.
فتوضأ للصلاة بعد دخول وقتها وتصلي. ثم إني بحثت مع بعض الأطباء فتبين أن
هذا السائل إن كان من المثانة فهو كما قلنا. وإن كان من مخرج الولد فهو
كما قلنا في الوضوء منه لكنه طاهر لا يلزم غسل ما أصابه.
“Yang ma’ruf menurut
ahlul-‘ilmi (ulama) bahwa segala sesuatu yang keluar dari dua
jalan (dubur dan qubul) adalah najis, kecuali satu hal, yaitu mani.
Sesungguhnya mani adalah suci. Selain dari itu, segala sesuatu yang
berwujud yang keluar dari dua jalan itu statusnya adalah najis dan
membatalkan wudlu’. Atas dasat kaidah ini, sesuatu yang keluar
dari (farji) wanita berupa cairan, maka ia najis yang mewajibkan
wudlu’. Inilah yang dapat aku simpulkan setelah melalui
pembahasan bersama sebagian ulama dan setelah proses muraja’ah.
Namun bersamaan dengan itu, bagiku, ada keberatan padanya. Hal itu
dikarenakan sebagian wanita selalu ada cairan itu terus-menerus. Dan
jika itu terus-menerus, maka penyelesaiannya sebagaimana penyakit
kencing yang airnya terus-menerus keluar; yaitu berwudlu setiap kali
masuk shalat dan kemudian shalat. Sesungguhnya aku telah membahas
bersama sebagian dokter, dan akhirnya menjadi jelas bahwa cairan ini
jika keluar dari tempat kencing, maka hukumnya sebagaimana kami
katakan. Dan seandainya tempat keluarnya cairan itu dari saluran
peranakan, maka hukumnya sebagaimana kami katakan untuk berwudlu
darinya, namun status cairan itu suci yang tidak mewajibkan mencuci
jika ada sesuatu dikenainya (?!)” [selesai].
Demikianlah yang dikatakan oleh beliau hafidhahullah.
Dengan
melihat fatwa ini kami melihat beliau tidak bersandar dalil dari
Al-Qur’an dan As-Sunnah yang shahih. Segala perkataan dapat
diambil ataupun ditolak, kecuali perkataan Al-Ma’shuum shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
Dengan demikian, pendapat kami sebagaimana yang telah kami sebukan bahwaifraazaat tidak membatalkan wudlu. Wal-‘ilmu ‘indallah.
[selesai perkataan Asy-Syaikh Mushthafa Al-‘Adawiy hafidhahullah].
Kesimpulan : Ruthuubah dan ifraazaat yang keluar dari farji wanita adalah suci, bukan najis.
[Abu Al-Jauzaa’ – diambil dari kitab Jaami’ Ahkaamin-Nisaa’ oleh Asy-Syaikh Mushthafa Al-‘Adawiy, 1/63-69; Daarus-Sunnah, Cet. 1/1413 H].
Artikel terkait : Oral Seks - Haramkah ? dan Najiskah Air Mani ?.
[1] Sisi kelemahan bantahan ini adalah bahwa hadits tidaklah sharih (jelas) berkenaan dengan pencucian baju karena dari ihtilaam. Sebagian ulama berkata : “Ihtilaam bagi para nabi‘alahis-salaam tidak
boleh terjadi karena itu merupakan permainan syaithan, dan syaithan
tidaklah diberikan kekuasaan/kemampuan melakukanya kepada mereka (para
nabi)”. Sayangnya, perkataan ini tidak disokong dalil.
[2] Pernyataan
ini membutuhkan nash dari Al-Qur’an dan As-Sunnah, sedangkan kami
belum pernah mendapatkan nash sebagaimana yang dimaksudkan.
[3] Misalnya : ludah, ingus, dan yang sejenisnya.- Abu Al-Jauzaa.
[4] Maksudnya adalah hadits :
إذا التقى الختانان فقد وجب الغسل.
“Apabila dua khitan bertemu, maka wajib baginya mandi” [Diriwayatkan
oleh At-Tirmidzi no. 108-109, Asy-Syaafi’iy 1/36, Ibnu Majah no.
608, Ahmad 6/161, ‘Abdurrazzaq 1/245-246, dan Ibnu Hibbaan no.
1173-1174].- Abu Al-Jauzaa’.
[5] Telah berkata sebagian mufassiriin mengenai tafsir firman Allah ta’ala : “dan ulil-amri di antara kalian”; bahwasannya yang dimaksud dengannya (ulil-amri) adalah ulama. Sebagian lain mengatakan : “Mereka adalah umaraa’ (pemerintah). Namun secara umum maknanya meliputi ulama dan umaraa’. Wallaahu a’lam.
from=http://abul-jauzaa.blogspot.fr/2009/09/najiskah-lendir-dan-keputihan-yang.html