Saat browsing di Google, secara tidak sengaja saya tiba dihttp://secondprince.wordpress.com/2009/03/29/analisis-hadis-tawassul-malik-ad-daar/. Di dalamnya terdapat satu sanggahan atas artikel yang saya dengan judul :Kelemahan Riwayat Maalik Ad-Daar - Benarkah Ibnu Baaz Mengkafirkan Shahabat Bilal ? . Secara umum saya katakan bahwa apa yang tertulis dalam Blog tersebut jauh lebih “mending” daripada apa yang tertulis di Blog Salafytobat sebagaimana telah lalu pembicaraannya. Namun satu hal yang perlu menjadi kritik umum atas tulisan tersebut bahwasannya Penulis menyangka apa yang saya tulis adalah merupakan murni pen-dla’if-an dari Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah. Hal itu terlihat bahwa di awal Penulis memfokuskan pada diri Asy-Syaikh Al-Albani yang dikatakan telah mendapat sanggahan dari ‘Abdullah Shiddiq Al-Ghummariy dan Mahmud Sa’id Mamduh. Ini keliru. Adapun apa yang saya tulis merupakan kumpulan ta’lil beberapa ulama yang sebagiannya saya tulis dalam referensi (walau ada yang tidak tertuliskan).
Penulis telah menyanggah 4 (empat) point ‘illat riwayat yang saya kemukakan. Agar lebih ringkas, akan langsung saya tanggapi apa yang menjadi sanggahan dalam Blog tersebut sebagai berikut :
1. ‘Ana’anah Al-A’masy
Ta’lil ini saya ambil dari kitab Hadzihi Mafaahimunaa tulisan Asy-Syaikh Shaalih Alu-Syaikh hafidhahullah (yang pengetahuan itu saya peroleh melalui perantaraan penjelasan Asy-Syaikh ‘Abdullah Zuqail). Al-A’masy adalah seorang perawi mudallispada thabaqah kedua. Penulis mengatakan :
“Tetapi tidaklah benar mendakwa setiap hadis mudallis adalah dhaif. Hal ini disebabkan mudallis memiliki banyak tingkatan. Ibnu Hajar dalam Thabaqat Al Mudallis telah membagi para perawi mudallis kedalam 5 tingkatan. Ibnu Hajar menggolongkan Al ‘Amasy ke dalam mudallis tingkatan kedua dalam Thabaqat Al Mudallis no 55.
…….
Al ‘Amasy tidak diragukan lagi ketsiqahannya oleh para Ulama hadis. Hanya saja beliau terkadang meriwayatkan dengan ‘an anah. Hadis ‘an anah ‘Amasy telah dijadikan pegangan oleh Imam Bukhari dalam kitab Shahihnya termasuk an’anah ‘Amasy dari Abu Shalih (Shahih Bukhari hadis no 465, no 2013, no 2527, no 4217, no 4651 dan lain-lain). Abu Shalih dikenal sebagai salah satu guru ‘Amasy sehingga dapat ditemukan hadis ‘Amasy yang diriwayatkan dengan hadatstsani Abu Shalih(dalam Shahih Bukhari hadis no 626, no 1410 dan no 1884). Sehingga beberapa Ulama hadis menganggap kalau ‘an anah ‘Amasy dari Abu Shalih adalah muttasil atau bersambung”.
Saya katakan : Perkataan Anda benar. Persoalannya adalah, dalam riwayat ini Al-A’masy memakai shighah : ‘an (dari). Bukan dengan shighah : haddatsanaa atauakhbaranaa. Para ulama berbeda pendapat dalam menyikapi hal ini pada diri Al-A’masy.
Tanpa memperpanjang kalimat – apa yang Anda sebutkan di atas adalah benar. Bahwa ‘an’anah dari Al-A’masy ini perlu perincian. Salah satunya adalah jika ia meriwayatkan dari syaikhnya, seperti : Ibrahim (An-Nakha’iy), Abu Waail, dan Abu Shaalih As-Sammaan. Asy-Syaikh Al-Albani – yang telah Anda jadikan fokus pembicaraan – tidak menjadikan sebab ini sebagai illat hadits/riwayat. Secarainshaf, saya sepakat dengan Anda dalam hal ini. Dan memang, ta’lil ini adalah ta’lilterlemah yang tidak masyhur disebutkan para ahli hadits dalam mengkritik riwayat Maalik Ad-Daar. Saya hanya menyebutkan sebagai penambah faedah saja.
[sebagai penambah : silakan ikhwah membaca buku dari Asy-Syaikh Hammad Al-Anshariy rahimahullah yang berjudul : At-Tadliis wal-Mudallisuun, yang menjelaskan seputar apa yang dibicarakan di sini].
2. Kemungkinan adanya inqitha’ antara Abu Shaalih dengan Maalik Ad-Daar dan ke-majhul-an Maalik Ad-Daar.
Penulis mengutip pernyataan Ibnu Hajar dalam At-Tahdziib (juz 3 no. 417)[1] bahwa Abu Shaalih meriwayatkan dari Abu Hurairah, Abu Dardaa’, Abu Sa’id Al-Khudriy, ‘Aqil bin Abi Thaalib, Jaabir, Ibnu ‘Umar, Ibnu ‘Abbas, Mu’awiyyah, ‘Aisyah, Ummu Habiibah, Ummu Salamah, dan yang lainnya, dan meriwayatkan secara mursal dari Abu Bakar. Kemudian Penulis memberikan satu analisa :
“Keterangan ini menunjukkan kalau Abu Shalih memiliki kesempatan untuk meriwayatkan dari para sahabat besar. Jadi tidak mustahil kalau ia meriwayatkan dari Malik Ad Daar ”.
Perkataan ini layak untuk diberikan komentar. Pernyataan bahwa Abu Shaalihmeriwayatkan dari sebagian shahabat sebagaimana di atas tidaklah selaluberkonsekuensi terhadap pertemuan ataupun simaa’ (mendengar riwayat – yang menunjukkan bersambungnya riwayat). Dalam ilmu hadits jelas beda antara istilahriwayah dengan simaa’. Sebagai contoh, silakan Anda buka biografi ‘Abdullah bin Habiib bin Rubayyi’ah dalam Tahdzibut-Tahdziib. Ibnu Hajar menuliskan :
روى عن : عُمر، وعثمان، وعلي، وسعد، وخالد بن الوالد، وابن مسعود، وحُذيفة، وأبي موسى الأشعري، وأبي الدَّرْداء، وأبي هريرة رضي الله عنه.
“Meriwayatkan dari ‘Umar, ‘Utsmaan, ‘Aliy, Sa’d, Khaalid bin Al-Waalid, Ibnu Mas’uud, Hudzaifah, Abu Muusaa Al-Asy’ariy, Abud-Dardaa’, dan Abu Hurairahradliyallaahu ‘anhu”.
Kemudian Ibnu Hajar membawakan perkataan Ibnu Abi Haatim dari ayahnya : “Tidak benar riwayatnya dari ‘Ali. Dikatakan kepadanya (Abu Haatim) : ‘Apakah ia mendengar (hadits) dari ‘Utsmaan ?’. Abu Haatim berkata : ‘Ia meriwayatkan darinya, namun tidak menyebutkan penyimakannya (simaa’)’.
Begitu pula dengan Ibnu Ma’in yang mengatakan bahwa ‘Abdullah bin Habiib tidak mendengar dari ‘Umar [silakan baca selengkapnya contoh ini dalam Tahdziibut-Tahdziib oleh Ibnu Hajar – biografi ‘Abdullah bin Habiib – juz 2 hal. 319].
Tentu saja riwayat ‘Abdullah bin Habiib tanpa melalui jalur pertemuan dan penyimakan disebut mursal (terdapat inqitha’).
Contoh lain, Al-Haafidh Al-‘Allaiy dalam Jaami’ut-Tahshiil (hal. 181) ketika menjelaskan perawi Sa’d bin Mas’uud, menukil perkataan Ibnul-Madiniy : “Sa’d bin Mas’ud meriwayatkan dari Salmaan, namun ia tidak bertemu dengannya”.
Dengan satu contoh di atas ingin saya sampaikan bahwa simaa’ dan pertemuan itulebih khusus daripada istilah riwayat. Jadi Anda jangan mudah ‘terpesona’ dengan istilah si Fulan telah meriwayatkan hadits dari si Fulan”, karena bukan hal itu bukanlah jaminan sanadnya muttashil (bersambung). Ini ma’ruf.
Ingat, yang menjadi point kritik di sini adalah penyimakan (atau pertemuan) Abu Shaalih As-Sammaan kepada Maalik Ad-Daar, bukan sekedar periwayatan. Jika Anda mengatakan bahwa Abu Shaalih As-Sammaan meriwayatkan dari Maalik, tapi apakah ia pernah bertemu dan menyimak riwayat (simaa’) dari Maalik ?
Penulis mengatakan :
“Adz Dzahabi dalam Siyar ‘Alam An Nubala3/65 mengatakan kalau Abu Shalih lahir pada masa khalifah Umar bin Khattab RA sehingga Abu Shalih dan Malik berada dalam satu masa sehingga sangat mungkin bagi Abu Shalih untuk meriwayatkan hadis dari Malik Ad Daar. Memang benar kalau kapan tepatnya Malik Ad Daar wafat tidaklah diketahui tetapi dalam hal ini sudah seharusnya kita menetapkan kesaksian Abu Shalih sendiri yang mengatakan kalau ia meriwayatkan hadis tersebut dari Malik Ad Daar.”
Saya katakan : Perkataan Adz-Dzahabi di atas sebenarnya telah saya tulis dalam artikel saya terdahulu. Perkataan Penulis : “sehingga Abu Shalih dan Malik berada dalam satu masa” tidaklah berarti apa-apa karena tidak bisa dipastikan kapan wafatnya Maalik Ad-Daar sehingga tidak dapat dipastikan apakah ia benar-benar semasa dan bertemu yang memungkinkan menerima meriwayatkan hadits darinya. Bukankah dengan ini ada kemungkinan Malik Ad-Daar telah wafat sedangkan Abu Shaalih baru saja lahir ? Kalaupun telah lahir, mungkin saja ia belum masuk usiatamyiz ketika bertemu dengan Maalik Ad-Daar. Apalagi tidak ada riwayat yang mengtakan bahwa Malik menemui masa khalifah ‘Ali bin Abi Thaalib. Boleh jadi, Maalik ini wafat pada awal masa kekhalifahan ‘Utsman. Inilah yang perlu peneltian. Sebenarnya sangat jelas bagi seorang pemula sekalipun (seperti saya).
Mengetahui tarikh perawi (dalam ilmu Rijaalul-Hadiits) sangat urgent dalam pembahasan ilmu hadits, terutama tahun lahir dan tahun kematian rawi. Al-Khaathib Al-Baghdadiy rahimahullah telah menegaskan hal ini dalam kitabnya Al-Kifaayah. Silakan perhatikan contoh berikut :
عن عفير بن معدان الكلاعي قال قدم علينا عمر بن موسى حمص فاجتمعنا اليه في المسجد فجعل يقول حدثنا شيخكم الصالح فلما أكثر قلت له من شيخنا هذا الصالح سمه لنا نعرفه قال فقال خالد بن معدان قلت له في اى سنة لقيته قال لقيته سنة ثمان ومائة قلت فأين لقيته قال لقيته في غزاة ارمينية قال فقلت له اتق الله يا شيخ ولا تكذب مات خالد بن معدان سنة أربع ومائة وأنت تزعم انك لقيته بعد موته بأربع سنين وأزيدك أخرى انه لم يغز ارمينية قط كان يغزو الروم
“Dari ‘Ufair bin Mi’daan Al-Kula’iy, ia berkata : Datang kepada kami ‘Umar bin Musa di Himsh, lalu kami bergabung kepadanya di dalam masjid. Kemudian ia berkata : ‘Telah menceritakan kepada kami guru kalian yang shalih’. Ketika ia mulai banyak bicara, aku katakan kepadanya : ‘Siapakah guru kami yang shalih ini, sebutkan namanya supaya kami mengenalnya ?’. Lalu ia menjawab : ‘Khaalid bin Mi’daan’. Aku tanyakan kepadanya : ‘Tahun berapa engkau bertemu dengannya ?’. Ia berkata : ‘Aku bertemu dengannya tahun 108’. Aku kembali bertanya : ‘Dimana engkau menemuinya ?’. Ia menjawab : ‘Dalam peperangan Armenia’. Aku katakan kepadanya : ‘Takutlah kepada Allah wahai Syaikh, janganlah engkau berdusta ! Khaalid bin Mi’daan meninggal pada tahun 104, lalu engkau mengatakan bertemu dengannya 4 tahun setelah kematiannya. Dan aku tambahkan kepadamu, ia (Khaalid bin Mi’daan) tidak pernah ikut dalam peperangan Armenia. Ia hanya ikut memerangi Romawi” [Al-Kifaayah fii ‘Ilmir-Riwaayah oleh Al-Khathiib Al-Baghdadiy, hal. 119].
Lantas bagaimana bisa Anda menganggap remeh permasalahan tidak diketahuinya tahun wafat Maalik Ad-Daar ? Dari mana Anda bisa memastikan pertemuan – sekaligus penyimakan – antara Abu Shaalih dengan Maalik Ad-Daar ? Persyaratan Al-Imam Muslim bahwa riwayat seorang perawi diterima jika ia hidup semasa dengan syaikhnya juga wajib diterapkan dengan mengetahui tahun lahir atau tahun wafatnya. Bukan secara membabi-buta yang menghasilkan banyak kemungkinan seperti Anda.
Anda katakan : “tetapi dalam hal ini sudah seharusnya kita menetapkan kesaksian Abu Shalih sendiri yang mengatakan kalau ia meriwayatkan hadis tersebut dari Malik Ad Daar”.
Saya katakan : Penetapan Anda bahwa Abu Shaalih meriwayatkan dari Maalik Ad-Daar ini masih sangat umum, dan tidak menutup kemungkinan bahwa terjadiinqitha’ antara keduanya – sebagaimana telah lewat satu contohnya. Tidak ada kesaksian apapun – sebagaimana yang Anda sangkakan - dari Abu Shaalih yang mengindikasikan secara jelas bahwa ia bertemu dan menyimak hadits dari Maalik.
Sebagai informasi saja, syarat satu masa pun tidalah diberlakukan secara mutlak. Pernahkah Anda mendengar hadits Mursal Khafiy ? Yaitu sebuah hadits yang diriwayatkan oleh seorang perawi dari seorang syaikh yang semasa dengannya ataubertemu dengannya, tetapi ia tidak pernah menerima satupun hadits daripadanya, dan ia meriwayatkan dengan lafadh yang menunjukkan kemungkinan ia mendengar dari syaikh itu. Contohnya :
حدثنا محمد بن الصباح أنبأنا عبد العزيز بن محمد عن صالح بن محمد بن زائدة عن عمر بن عبد العزيز عن عقبة بن عامر الجهني قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم رحم الله حارس الحرس
“Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ash-Shabbaah, ia berkata : Telah memberitakan kepada kami ‘Abdul-‘Aziz bin Muhammad, dari Shaalih bin Zaaidah,dari ‘Umar bin ‘Abdil-‘Aziiz, dari ‘Uqbah bin ‘Aamir Al-Juhanniy, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Semoga Allah merahmati orang yang menjaga pasukan”.
Hadits ini diriwayatkan oleh Al-Imam Ibnu Majah no. 2769. Perhatikan sanad yang saya garis bawah. ‘Umar bin ‘Abdil-‘Aziz dan ‘Uqbah bin ‘Aamir adalah semasa. Berdasarkan riwayat ini, benar jika dikatakan bahwa ‘Umar bin ‘Abdil-‘Aziz meriwayatkan hadits dari ‘Uqbah. Namun ternyata para ahli hadits melemahkan riwayat ini dikarenakan ‘Umar bin ‘Abdil-‘Aziz tidak pernah mendengar (simaa’) dari ‘Uqbah. Ia (‘Umar) tidak pernah bertemu dengannya. Al-Haafidh Al-‘Uqailiy berkata :
ولم يسمع عمر من عقبة
“Dan ‘Umar tidak pernah mendengar dari ‘Uqbah”.
Begitu pula Al-Haafidh Al-Mizziy yang mengatakan : “Umar tidak pernah bertemu dengan ‘Uqbah”.
Contoh Mursal Khafiy saya mengikuti apa yang tertera dalam buku Taisiru Mushthalahil-Hadiits karya Dr. Mahmud Ath-Thahhaan (hal. 66 – Cet. Thn. 1415).
Kasus menarik lagi yang patut Anda simak dalam hal ini, yaitu antara Al-Hasan Al-Bashriy dan Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu. Benar bahwasannya Al-Hasan ini seorang mudallis. Namun cacat riwayatnya dari Abu Hurairah ini bukan dengan sebab tadlis, tapi adanya irsal/inqitha’. Al-Haafidh Al-‘Allaiy dalam kitabnyaJaamiut-Tahshiil fii Ahkaamil-Maraasiil menjelaskan sebagai berikut : Al-Hasan Al-Bashriy dan Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu hidup sejaman, namun keduanya tidak pernah bertemu dan berkumpul satu sama lain untuk meriwayatkan hadits. Ketika Abu Hurairah datang ke Bashrah, Al-Hasan waktu itu ada di Madiinah. Dan ketika Al-Hasan kembali ke Bashrah, Abu Hurairah juga pulang ke Madiinah. [lihat hal. 125]
Lihat, ternyata syarat sejaman saja tidak cukup bukan ? Oleh karena itu, persyaratan ini harus diterapkan secara benar dengan ilmu. Bukan dengan angan-angan.
Kembali pada permasalahan awal, bagaimana Anda bisa memastikan bahwa Abu Shaalih pernah bertemu dengan Maalik Ad-Daar dan mendengar hadits darinya ? dengan qarinah apa ? Padahal Anda akui bahwa Anda tidak punya data valid tahun wafatnya Maalik Ad-Daar……………….
Penulis mengatakan :
“Abu Shalih dalam At Tahdzib juz 3 no 417 telah dinyatakan tsiqah oleh Ahmad, Ibnu Ma’in, Ibnu Sa’ad, Abu Hatim, Abu Zar’ah, As Saji, Ibnu Hibban dan Al Ajli. Tidak ada satupun dari ulama tersebut yang mengatakan kalau ia seorang mudallis. Kitab-kitab tentang para perawi mudallis seperti Thabaqat Al Mudallis, Asma Al Mudallisin, dan lain-lain tidak sedikitpun memuat nama Dzakwan Abu Shalih. Oleh karena itu riwayat ‘an Abu Shalih adalah tsabit dan benar.”
Saya katakan : Nampaknya Anda tidak memahami ta’lil kami atas riwayat tersebut.Ta’lil kami atas riwayat tersebut karena adanya (kemungkinan/indikasi)inqithaa’/irsal. Bukan karena tadlis. (Silakan lihat kembali tulisan saya terdahulu). Hadits munqathi’ (mursal, mu’allaq, atau mu’dlal) tidak mesti diriwayatkan oleh perawi mudallis. Jelas beda antara keduanya bagi siapa yang mengetahui ilmu hadits – saya harap Anda salah satu diantaranya (walau mungkin keduanya ada sisi ‘kesamaan’). Ada satu buku yang saya rekomendasikan untuk Anda baca dalam hal ini – yaitu untuk membedakan antara mursal dan mudallas(adanya irsal/inqitha’ dan tadlis) – yaitu buku yang berjudul : Jaami’ut-Tahshiil fii Ahkaamil-Maraasiil tulisan Al-Haafidh Shalaahuddin Abu Sa’iid bin Khaliil Al-‘Alaaiy (- yang saya punya : tahqiq : Hamdiy bin ‘Abdil-Majiid As-Salafiy, Penerbit ‘Aalamul-Kutub, Cet. 2/1407).
Banyak contohnya jika kita mau sedikit usaha membuka kitab-kitab hadits. Atau contoh hadits Ibnu Majah di atas masih sesuai dengan pembahasan kita di sini (karena ‘Umar bin ‘Abdil-‘Aziz bukanlah seorang mudallis). Dari kitab Jaami’ut-Tahshiil akan saya sedikit cuplik dua di antaranya (dan kemudian saya telusuri pada kitab Thabaqaat Mudallisiin-nya Ibnu Hajar untuk mengecek apakah ia seorangmudallis atau tidak – dan maaf, saya membatasi diri membuka kitab Thabaqaat ini saja untuk mempersingkat) – dan saya tambah dalam Tahdzibut-Tahdzib :
1. Riwayat Ibraahiim bin Jarir bin ‘Abdillah Al-Bajaliy dari ayahnya (Jariir bin ‘Abdillah Al-Bajaliy) adalah mursal. Yahya bin Ma’in dan Abu Zur’ah berkata : “Ia tidak mendengar apapun dari bapaknya” [hal. 139 no. 3]. Ibraahiim ini bukan seorang mudallis.
2. Riwayat Ziyaad bin Jubair Ats-Tsaqafiy dari Sa’d bin Abi Waqqash adalah mursal. Begitulah yang dikatakan Abu Zur’ah dan Abu Haatim. Namun riwayatnya dari Ibnu ‘Umar adalah muttashil [hal. 177 no. 204]. Ziyaad bukan seorang mudallis, dan ia sejaman dengan Sa’d bin Abi Waqqash radliyallaahu ‘anhu.
3. Riwayat ‘Atha’ bin Abi Rabbah dari Ibnu ‘Umar, Abu Sa’id Al-Khudriy, Zaid bin Khaalid, Ummu Salamah, Ummu Haniy, dan Ummu Kurz’ adalah mursal. Berkata Ibnul-Madiniy : “Abu ‘Abdillah (‘Atha’) melihat Ibnu ‘Umar namun ia tidak mendengar dari haditsnya, dan ia melihat Abu Sa’id Al-Khudriy sedang thawaf di Ka’bah namun ia tidak mendengar darinya; dan ia tidak mendengar dari Zaid bin Khaalid, dan tidak pula dari Ummu Salamah, Ummu Hani’, dan Ummu Kurz” [Tahdziibut-Tahdziib, 3/103 – biografi ‘Atha’ bin Abi Rabbah]. ‘Atha’ bukan seorang mudallis – yang ada dalam Thabaqat Mudallisiin adalah anaknya yang bernama Ya’quub bin ‘Atha’ bin Abi Rabbah rahimahumallah.
4. Contoh lain masih sangat banyak…
Saya pikir contoh-contoh di atas sudah lebih dari cukup dalam pembicaraan ini.
Penulis mengatakan :
“Satu-satunya dalil yang digunakan kaum salafy adalah pernyataan Al Khalili dalam kitab Irshad Fi Ma’rifah Ulama Al Hadits 1/313 setelah meriwayatkan hadis ini ia berkata
يقال أن أبا صالح السمان سمع مالك الدار هذا الحديث والباقون أرسلوه
Dikatakan bahwa Abu Shalih mendengar hadis ini dari Malik Ad Daar dan ada yang mengatakan kalau ia mengirsalkannya.
Salafy dengan mudah mengambil kalimat terakhir sebagai hujjah padahal Al Khalili juga menegaskan bahwa ada yang mengatakan Abu Shalih mendengar hadis dari Malik Ad Daar.”
Saya katakan : Nampaknya Anda kurang cermat dalam memberikan tanggapan. Akan saya ulangi apa yang pernah saya tuliskan :
Perkataan Al-Khaliiliy “dan yang lain mengatakan bahwa ia telah meng-irsal-kannya” mengandung satu faedah bahwa penyimakan Abu Shaalih bin As-Sammaan tidaklah ma’ruf di kalangan muhadditsiin.
Dalil yang mengandung kemungkinan yang masing-masing tidak dapat diambil mana yang rajih (kuat) menyebabkan dalil tersebut tidak bisa dipakai untuk berdalil.“
‘Illat yang ditegaskan di sini bahwasannya penyimakan Abu Shalih dari Malik Ad-Daar tidaklah masyhur. Apabila masyhur, tentu tidak ternukil pendapat bahwa Abu Shaalih meng-irsal-kan hadits dari Maalik Ad-Daar. Apalagi mengingat kenyataan bahwa Abu Shaalih ini telah meng-irsal-kan riwayat dari beberapa orang seperti Abu Bakr, ‘Ali bin Abi Thaalib, dll.
Nah, dua kemungkinan yang tidak dapat ditarjih salah satunya inilah yang menyebabkan jatuhnya kedudukan riwayat. Ia bisa dipakai bila ada penguat. Tapi bukankah Anda sendiri tahu bahwa riwayat ini hanya ada satu jalur dari Al-A’masy, dari Abu Shaalih, dari Maalik ? Jadi, bukan semata-mata seperti yang Anda tuduhkan bahwa Salafy (saya kira tidak bijaksana Anda memutlakkan pada Salafy, karena tulisan Anda lebih tertuju pada kritik tulisan saya) itu hanya mengambil kalimat terakhir dari Al-Khaliliy saja.
Nampaknya Anda harus lebih cermat mempelajari ilmu ‘Ilal. Saya ulangi : Adanya dua atau lebih kemungkinan dalam periwayat yang tidak bisa ditarjih salah satunya merupakan ‘illat hadits yang menurunkan derajat hadits (menjadi dla’if). Kasus seperti ini banyak. Bukan hanya hal masalah penyimakan saja.
Bukankah Anda mengenal hadits mudltharib yang termasuk klasifikasi dla’if ? Mengapa ia dla’if ? Karena ia mempunyai beberapa aspek/faktor/kemungkinan yang sama-sama kuat yang tidak bisa ditarjih salah satunya.
Atau mungkin Anda pernah mendengar tentang mukhtalithiin (orang-orang yang bercampur/berubah hafalannya ? Bukankah termasuk riwayat dla’if jika kita tidak bisa memastikan sebuah riwayat apakah ia disampaikan sebelum atau sesudah rusaknya hafalannya ? Ibnu Shalaah berkata :
والحكم فيهم أنه يقبل حديث من أخذ عنهم قبل الاختلاط ولا يقبل حديث من أخذ عنهم بعد الاختلاط أو أشكل أمره فلم يدر هل أخذ عنه قبل الاختلاط أو بعده
“Hukum tentang mereka (orang-orang yang tercampur hafalannya) adalah bahwa hadits yang diriwayatkan dari mereka sebelum tercampur hafalannya, maka dapat diterima. Tetapi tidak dapat diterima hadits yang diriwayatkan dari mereka setelah tercampur hafalannya. Atau persoalannya menjadi musykil (sulit), lalu tidak diketahui apakah diriwayatkan sebelum ataukah setelah tercampurnya hafalan mereka itu” [‘Uluumul-Hadiits, hal. 352, tahqiq : Nuuruddin ‘Ithr, Al-Maktabah Al-‘Ilmiyyah].
Sama halnya dengan apa yang kita bicarakan bahwasannya kita tidak bisa memastikan pertemuan dan penyimakan Abu Shaalih dari Maalik Ad-Daar. Apalagi hal ini diperkuat tidak diketahuinya tahun wafat Maalik Ad-Daar.
Saya pikir, hal ini mudah untuk dicerna bagi mereka yang masih fresh dalam berpikir. Tidak terbawa asumsi sebelum menganalisa.
Penulis mengatakan :
“Dalam pandangan kami, orang yang mengatakan Abu Shalih mengirsalkan hadis di atas adalah disebabkan menurut orang tersebut Malik adalah orang yang majhul. Padahal sebenarnya tidak begitu. Salafy hanya mengutip pernyataan dari Al Mundziri dalam Targhib Wat Tarhib 2/41 yang berkata “Thabrani meriwayatkan hadis tersebut dalam Al Kabir, para perawinya sampai ke Malik adalah tsiqat tetapi aku tidak mengetahui siapa Malik”. Pernyataan Al Mundziri tidak bisa menjadi hujjah karena orang yang tidak tahu dikalahkan oleh orang yang tahu. Dalam hal ini Ibnu Sa’ad, Ibnu Hajar, Al Khalili dan Ibnu Hibban telah mengetahui siapa Malik.
Ibnu Sa’ad dalam Thabaqat Al Kubra 5/12 mengatakan bahwa Malik Ad Daar adalah Mawla Umar bin Khattab kemudian ia melanjutkan dengan kata-kata
وروى مالك الدار عن أبي بكر الصديق وعمر رحمهما الله روى عنه أبو صالح السمان وكان معروفا
Malik Ad Daar meriwayatkan dari Abu Bakar dan Umar, meriwayatkan darinya Abu Shalih As Saman, dan ia dikenal.
Al Khalili berkata dalam Irshad Fi Ma’rifah Ulama Al Hadits 1/313-314
مالك الدار مولى عمر بن الخطاب الرعاء عنه تابعي قديم متفق عليه
Malik Ad Daar Mawla Umar bin Khattab meriwayatkan hadis darinya, ia seorang tabiin awal Muttafaqualaih
Ibnu Hibban memasukkan Malik Ad Daar dalam kitab Ats Tsiqat 5/384 no 5312 dan menggolongkannya sebagai orang yang meriwayatkan dari Sahabat Nabi. Ibnu Hajar dalam Al Ishabah 6/274 no 8362 mengatakan
مالك بن عياض مولى عمر هو الذي يقال له مالك الدار له إدراك وسمع من أبي بكر الصديق وروى عن الشيخين ومعاذ وأبي عبيدة روى عنه أبو صالح السمان
Malik bin Iyadh Mawla Umar, ia disebut juga dengan Malik Ad Dar, ia melihat Nabi SAW dan mendengar dari Abu Bakar Shiddiq, meriwayatkan hadis dari Syaikhan, Muadz dan Abi Ubaidah. Meriwayatkan darinya Abu Shalih As Saman.
Semua kesaksian di atas sudah cukup untuk membuang status majhul yang dikatakan oleh Al Mundziri”.
Saya katakan : Analisis Anda telah salah dalam memandang ‘illat hadits sehingga menimbulkan persepsi keliru yang cukup fatal sebagaimana pernyataan Anda di atas. Saya kira tidak perlu diulang di sini alasan adanya kemungkinan inqitha’ atauirsal antara Abu Shaalih dengan Maalik Ad-Daar. Karena penjelasan di atas telah menggugurkan kalimat-kalimat panjang Anda tersebut.
Adapun mengenai majhul-nya Maalik Ad-Daar, maka Anda telah melakukan kekurangcermatan – sebagaimana telah berulangkali terjadi sebelum ini – atas pernyataan Asy-Syaikh Al-Albani. Selengkapnya, perkataan beliau rahimahullahadalah sebagai berikut :
الأول: عدم التسليم بصحة هذه القصة، لأن مالك الدار غير معروف العدالة والضبط، وهذان شرطان أساسيان في كل سند صحيح كما تقرر في علم المصطلح، وقد أورده
ابن أبي حاتم في "الجرح والتعديل" (4/213) ولم يذكر راوياً عنه غير أبي صالح هذا، ففيه إشعار بأنه مجهول، ويؤيده أن ابن أبي حاتم نفسه – مع سعة حفظه واطلاعه – لم يحك فيه توثيقاً فبقي على الجهالة، ولا ينافي هذا قول الحافظ: (...بإسناد صحيح من رواية أبي صالح السمان...) لأننا نقول: إنه ليس نصاً في تصحيح جميع السند بل إلى أبي صالح فقط، ولولا ذلك لما ابتدأ هو الإسنادَ من عند أبي صالح، ولقال رأساً: (عن مالك الدار... وإسناده صحيح) ولكنه تعمد ذلك، ليلفت النظر إلى أن ها هنا شيئاً ينبغي النظر فيه، والعلماء إنما يفعلون ذلك لأسباب منها: أنهم قد لا يحضرهم ترجمة بعض الرواة، فلا يستجيزون لأنفسهم حذف السند كله، لما فيه من إيهام صحته لاسيما عند الاستدلال به،
بل يوردون منه ما فيه موضع للنظر فيه، وهذا هو الذي صنعه الحافظ رحمه الله هنا، وكأنه يشير إلى تفرد أبي صالح السمان عن مالك الدار كما سبق نقله عن ابن أبي حاتم، وهو يحيل بذلك إلى وجوب التثبت من حال مالك هذا أو يشير إلى جهالته. والله أعلم.
وهذا علم دقيق لا يعرفه إلا من مارس هذه الصناعة، ويؤيد ما ذهبت اليه أن الحافظ المنذري أورد في "الترغيب" (2/41-42) قصة أخرى من رواية مالك الدار عن عمر ثم قال: (رواه الطبراني في "الكبير"، ورواته إلى مالك الدار ثقات مشهورون، ومالك الدار
لا أعرفه). وكذا قال الهيثمي في "مجمع الزوائد" (3/125).
“Pertama, kebenaran kisah ini tidak dapat diterima, karena Maalik Ad-Daar ini tidak dikenal kejujuran dan kekuatan hafalannya. Sedangkan dua persyaratan ini sangat esensial di dalam setiap sanad yang shahih, sebagaimana ditetapkan di dalam ilmuMushthalah Hadiits.
Ibnu Abi Haatim telah meriwayatkan di dalam Al-Jarh wat-Ta’dil (4/213) dan dia tidak menyebutkan perawi darinya selain Abu Shaalih ini. Hal ini mengisyaratkan bahwa dia majhul. Ibnu Abi Haatim sendiri, sebagai orang yang kuat hapalannya dan luas telaahannya, mendukungnya dengan tidak menceritakan adanya penguatan (tautsiq) padanya. Dengan demikian, maka tetaplah ia atas ke-majhul-annya. Ini tidak bertentangan dengan perkataan Al-Haafidh : “….dengan riwayat shahih dari Abu Shaalih As-Samaan…”, karena kami berpendapat bahwa perkataan ini tidak berarti menshahihkan semua sanadnya, tetapi hanya sampai Abu Shaalih saja.[2]Jika tidak demikian, tentu dia tidak akan memulai isnad itu dari Abu Shaalih, dan tentu dia akan langsung mengatakan : “Dari Maalik Ad-Daar, dan sanadnya shahih”. Tetapi dia sengaja berbuat demikian untuk meminta perhatian bahwa di situ ada sesuatu yang harus diperhatikan. Para ulama melakukan hal ini karena beberapa kemungkinan. Antara lain, boleh jadi mereka tidak mendapatkan biografi sebagian perawi, hingga karenanya mereka tidak berani membuang semua sanadnya, mengingat adanya keraguan tentang keshahihannya, terutama ketika digunakan sebagai dalil; tetapi mereka menyebutkan sebagian perawi yang menjadi tempat keraguan tersebut. Dan itulah yang dilakukan oleh Al-Haafidh di dalam hadits ini. Seolah ia mengisyaratkan kebersendirian Abu Shaalih As-Sammaan dari Maalik Ad-Daar, sebagaimana dikutip dari Ibnu Abi Haatim. Dengan demikian, ia menunjuk kepada wajibnya melakukan pemeriksaan terhadap Maalik Ad-Daar ini, atau mengisyaratkan ke-majhul-annya.
Ilmu yang menyangkut masalah ini sedimikian rumitnya, sehingga hanya diketahui oleh orang yang menekuninya. Pendapat Penulis (Asy-Syaikh Al-Albani) ini dikuatkan oleh Al-Haafidh Al-Mundziriy yang menyebutkan di dalam At-Targhiib(2/41-42) dari riwayat Maalik Ad-Daar dari ‘Umar. Kemudian ia berkata : “Ath-Thabaraniy meriwayatkannya dalam Al-Kabiir. Para perawinya sampai Maalik Ad-Daar adalah terpercaya (tsiqaat). Namun Maalik Ad-Daar, aku tidak mengetahuinya” [At-Tawassul, Ahkaamuhu wa Anwaa’uhu, hal. 118-119].
Silakan perhatikan penjelasan Asy-Syaikh Al-Albani di atas !
Sebelumnya,… nampaknya di sini Anda tidak bisa membedakan istilah majhul, mubham, atau perawi yang tidak diketahuinya biografinya. Majhul yang dimaksudkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani di atas bukanlah majhul dalam terjemahan bahasa Indonesia yang diartikan tidak diketahui identitas atau jati diri (termasuk nama, dll) – sebagaimana terkesan dalam tulisan Anda. Majhul yang dimaksudkan dalam pembahasan ini adalah perawi yang tidak diketahui adanya tautsiq dari para imam yang terpercaya. Dalam hal ini ada dua macam majhul, yaitu :
a. Majhul ‘ain, yaitu status perawi dimana tidak ada yang meriwayatkan darinya kecuali satu orang, dan tidak ada seorangpun yang men-tsiqah-kannya. Riwayat perawi macam ini secara umum adalah dla’if. Kecuali jika dia telah di-tsiqah-kan salah satu imam atau lebih, maka keadaannya tidak majhul lagi. Akan tetapi bila yang men-tsiqah-kannya adalah Ibnu Hibban (saja), maka jumhur ulama tidak dapat menerima tautsiq dari Ibnu Hibban ini dikarenakan ia biasa men-tsiqah-kan perawi-perawi majhul.
b. Majhul haal, yaitu status perawi dimana yang meriwayatkan sebanyak dua orang atau lebih, namun tidak ada seorang pun yang men-tsiqah-kannya. Disebut jugamastur. Hadits atau riwayat dari perawi yang majhul haal atau mastur ini tidak ditolak dan juga tidak diterima secara mutlak. Jelasnya, apabila yang meriwayatkan darinya beberapa perawi tsiqah – meskipun tidak ada yang men-tsiqah-kannya – maka haditsnya/riwayatnya dapat diterima. Immaa derajatnya hasan atau shahih. Diterima riwayatnya karena yang meriwayatkan darinya sejumlah perawi tsiqah, yang mereka tidak meriwayatkan dari seorang perawi kecuali perawi tsiqah atau yang mereka angap tsiqah. Akan tetapi jika yang meriwayatkan darinya hanya perawi-perawi dla’if, maka riwayatnya tertolak dan haditsnya dla’if.
Adapun mubham, maka ia adalah status perawi dimana tidak dikenal atau tidak disebut namanya. Dan perawi yang tidak diketahui biografinya adalah perawi yang hanya diketahui namanya, kunyah, atau sejenisnya tanpa ada keterangan lebih lanjut dalam kitab-kitab biografi perawi yang ditulis para ulama – terutama tentangjarh atau ta’dil-nya.
Ketidakpahaman akan peristilahan inilah yang banyak mengakibatkan Anda terjatuh dalam beberapa kesalahan. Sekarang saya bertanya kepada Anda dari beberapa nukilan Anda yang cukup “banyak” di atas : “Apakah di dalamnya ada penegasantautsiq atas Maalik Ad-Daar dari para ulama?”.
Dari yang Anda sebut terlihat bahwa tautsiq yang ada hanyalah berasal dari Ibnu Hibban. Adapun tautsiq Ibnu Hibban kepada Maalik Ad-Daar dengan memasukkanya dalam kitab Ats-Tsiqaat, maka itu belum cukup sebagaimana telah saya tuliskan penjelasannya. Al-Haafidh Ibnu Hajar berkata :
قلت : وهذا الذي ذهب إليه ابن حبان من أن الرجل إذا انتفت جهالة عينه كان على العدالة حتى يتبين جرحه مذهب عجيب ، والجمهور على خلافه ، وهذا مسلك ابن حبان في " كتاب الثقات " الذي ألفه ، فإنه يذكر خلقا نص عليهم أبو حاتم وغيره على أنهم مجهولون ، وكان عند ابن حبان أن جهالة العين ترتفع برواية واحد مشهور ، وهو مذهب شيخه ابن خزيمة ، ولكن جهالة حاله باقية عند غيره "
“Aku katakan : Pendapat Ibnu Hibban bahwa perawi yang hilang majhul ‘ain-nya berarti ‘adil adalah pendapat yang aneh. Kebanyakan (jumhur) ulama menentangnya. Jalan yang ditempuh Ibnu Hibban dalam kitab karangannya yaituKitaabuts-Tsiqaat menyebutkan sejumlah perawi yang dicatat oleh Abu Haatim dan yang lainnya sebagai majhul, dan seakan-akan Ibnu Hibban berpendapat bahwamajhul ‘ain itu akan terangkat oleh satu perawi terkenal. Ini adalah pendapat syaikhnya, yaitu Ibnu Khuzaimah. Namun para ulama lain (yaitu jumhur) menyatakan bahwa majhul haal itu tetap ada” [Lisaanul-Miizaan].
Al-Haafidh Ibnu ‘Abdil-Haadi berkata :
وقد ذكر ابن حبان في هذا الكتاب خلقا كثيرا من هذا النمط ، وطريقته فيه أنه ذكر من لم يعرفه بجرح وإن كان مجهولا لم يعرف حاله ، وينبغي أن ينتبه لهذا ويعرف أن توثيق ابن حبان للرجل بمجرد ذكره في هذا الكتاب من أدنى درجات التوثيق
“Ibnu Hibban menuturkan dalam kitabnya (yaitu Ats-Tsiqaat) sejumlah contoh yang banyak dari para perawi. Caranya, dia menyebutkan orang yang dia tidak dikenal adanya jarh (cacat) meskipun ia seorang yang majhul, tidak dikenal keadaannya (yaitu : majhul hal). Hendaklah hal ini diwaspadai. Tautsiq Ibnu Hibban terhadap seseorang yang hanya disebutkan pada kitabnya ini[3] berada pada tingkat yang paling rendah” [Ash-Shaarimul-Munkiy, hal 92-93].
Dan bila saya lihat sebatas dari nukilan Anda, maka perawi yang meriwayatkan dari Maalik Ad-Daar ini hanyalah Abu Shaalih As-Sammaan. Jika demikian, maka status Maalik ini adalah majhul ‘ain. Tepat sebagaimana yang dikatakan oleh Asy-Syaikh Al-Albani !! Atau dengan keterangan dalam Al-Ishaabah yang tidak ternukil oleh Anda secara lengkap :
روى عنه أبو صالح السمان وابناه: عون وعبد الله ابنا مالك
“Meriwayatkan darinya Abu Shaalih As-Samaan dan dua orang anaknya : ‘Aun dan ‘Abdullah bin Maalik (Ad-Daar)”.
Dari tiga orang di atas yang sudah jelas ada padanya tautsiq – sepanjang pengetahuan saya – hanyalah Abu Shaalih As-Sammaan. Adapun dua orang anak Maalik Ad-Daar, sampai saat ini dari buku biografi yang saya punya atau penjelasan dari para ulama yang saya ketahui – tidak ternukil biografinya secara jelas besertatautsiq-nya.
Atas dasar ini, maka status ke-majhul-an Maalik Ad-Daar tidaklah bisa terangkat sehingga riwayatnya bisa diterima. Apalagi, Ibnu Abi Haatim dan Al-Mundziri telah menegaskan keghariban riwayat Abu Shaalih dari Maalik Ad-Daar ini. Saya persilakan bagi Anda jika mempunyai keterangan yang lebih dari ini…..
Kesimpulan sampai saat ini dari keterangan di atas adalah bahwa Maalik Ad-Daar tetaplah berstatus majhul (kecuali jika Anda dapat memberikan beberapa hal yang dapat mengangkat status majhul-nya itu di tulisan Anda berikutnya).
Penulis berkata :
“Al-Haafidh Adz-Dzahabi menggolongkan Maalik Ad-Daar atau Maalik bin ‘Iyadh sebagai Sahabat dan memasukkan nama Maalik dalam Kitab karyanya yang memuat nama para Sahabat Nabi yaitu Tajrid Asma’ Ash-Shahabah no. 527”.
Alhamdulillah, saya mempunyai matan kitab tersebut. Namun perlu Anda ketahui bahwa dalam kitab tersebut hanya khusus termuat para Shahabat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam saja. Saya kira ini ma’ruf. Contohnya : Silakan Anda buka nomor 346 yang terpampang nama Uwais Al-Qarniy, dan ia adalah Sayyidut-Tabi’in.
Prof. Dr. Mahmud Ath-Thahhan (seorang guru besar ilmu hadits) dalam kitabnya yang berjudul Ushuulut-Takhriij wa Diraasatul-Asaaniid[4] telah menjelaskan bahwa kitab Al-Ishaabah karya Ibnu Hajar termasuk salah satu kitab terbaik yang memuat biografi para shahabat, dimana dalam kitab tersebut beliau telah membagi orang-orang yang ada dalam kitabnya menjadi 4 (empat) tingkatan. Tingkatan-tingkatan tersebut menjelaskan tingkatan kibaarush-shahaabah, shighaarush-shahaabah, taabi’iin mutaqaddimiin (yang disepakati bukan shahabat), sampai pada orang-orang yang disebutkan sebagai shahabat oleh sebagian ulama dalam kitab-kitab mereka, namun ternyata bukan shahabat. Adapun kitab-kitab yang lain, termasuk kitab yang Anda sebutkan masih bercampur dan belum terpilah-pilah, sehingga kita masih banyak menemukan nama-nama tabi’in masuk dalam kitab tersebut tanpa ada keterangan – sebagaimana telah saya isyaratkan sebelumnya.
Nah, di sini Ibnu Hajar memasukkan Malik Ad-Daar pada thabaqah ketiga dimana thabaqah ini bukan termasuk shahabat dengan kesepakat para ‘ulama. Anda tentu paham makna kesepakatan ulama di sini. Apalagi itu diperkuat oleh Al-Khaliliy sebagaimana telah Anda nukil dan yang lainnya.
Dan jika Anda masih bingung, maka silakan Anda menengok definisi thabaqah ketiga dalam kitab Al-Ishaabah dari Ibnu Hajar (juz 1 hal. 4), termasuk pernyataan terburu-buru Anda yang menyatakan Maalik Ad-Daar hidup sejaman dengan Nabi – maka sudah barang tentu ia merupakan shahabat.[5] (?!) Dalam tulisan saya terdahulu telah saya sebutkan.
3. Orang yang mendatangi kubur Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam itu tidak diketahui identitasnya (mubham).
Penulis berkata :
“Cacat yang ketiga adalah hadits tersebut mubham. Kami katakan hadits tersebut memang mubham dan mubham tersebut terletak pada matannya. Bukan pada sanadnya, jadi tidak ada keraguan mengenai sanad hadits tersebut”.
Saya katakan : Perkataan Anda bahwa tidak ada keraguan mengenai sanad hadits tersebut telah lalu penjelasan akan kekeliruannya. Adapun tentang mubham, maka yang Anda katakan tidaklah mutlak. Perawi mubham tidaklah memberikan pengaruh terhadap riwayat jika ia tidak membawakan riwayat, kisah, dan yang sejenisnya dalam matan. Namun jika ia membawakan satu riwayat, kisah, dan yang sejenisnya; maka ini perlu dilihat.
Sebenarnya dalam tulisan saya yang telah lalu pun cukup jelas kiranya untuk menjawab perkataan di atas. Ada baiknya saya ulang :
“Sisi kecacatan (wajhul-i’laal)-nya adalah bahwasannya kita tidak bisa mengetahui apakah Malik Ad-Daar melihat peristiwa tersebut atau ia hanya mengambilnya dari orang yang tidak diketahui identitasnya itu. Selain itu, sangat naïf lagi sembrono jika ada orang yang mengklaim bahwa orang yang mubham itu termasuk shahabat. Oleh karena itu, ini termasuk ‘illat yang menjatuhkan kedudukan riwayat”.
Salah satu hal yang menunjukkan adanya ‘illat tersebut dalam pembicaraan ini adalah bahwasannya orang yang tidak disebutkan namanya tersebut (mubham) membawakan satu kisah sekaligus menceritakan mimpinya. Dan mimpi, tidaklah sampai kepada perawi kecuali orang yang mempunyai mimpi tersebut menceritakannya. Ini yang harus Anda catat. Ada dua kemungkinan mengenai diterimanya riwayat ini pada Maalik :
a. Maalik melihat peristiwa dan sekaligus percakapan antara orang tersebut dengan ‘Umar.
b. Maalik menerima khabar/riwayat dari orang tersebut tentang kisahnya, mimpinya, sekaligus proses menghadap ‘Umar bin Al-Khaththab.
Saya yakin Anda tidak terlalu kesulitan untuk menerima dua kemungkinan ini.
Andaikata perawi mubham tersebut termasuk jajaran shahabat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, tentu saja pembicaraan kita mudah. Dua kemungkinan yang saya sebutkan di atas tidaklah berpengaruh pada keshahihan riwayat. Tapi di sini masalahnya adalah bahwa orang yang mubham itu bukan shahabat Nabi yang kemudian ia menceritakan mimpinya (dan peristiwa yang dialaminya). Tentu saja dua kemungkinan di atas layak menjadi pertimbangan dalam tashhih. Hanya orang yang membutakan diri saja kiranya yang tidak bisa menerima ini.
Penulis berkata :
“Bagi kami sudah jelas kalau Saif itu sangat dhaif tetapi disini saya akan mengingatkan pembaca tentang ketidakjujuran salafy dalam berhujjah. Ketika berbicara tentang Syiah dimana Salafy menuduh kalau Abdullah bin Saba’ adalah pendiri Syiah, mereka bersikeras berhujjah dengan Saif bin Umar At Tamimi. Ketika dikatakan kepada mereka kalau Saif itu seorang perawi yang sangat dhaif dan pemalsu hadis maka mereka salafy itu berapologia dengan perkataan berikut ……………
………….
Kalau memang seperti yang dikatakan para salafiyun bahwa Saif bin Umar lemah dalam hadis dan rujukan dalam sejarah. Maka tidak ada alasan bagi para salafiyun untuk menolak pernyataan Saif yang dikutip Ibnu Hajar. Saif tidak sedang meriwayatkan hadis, ia hanya mengisahkan kisah yang terjadi di masa Umar dimana ia menyebutkan kalau nama orang tersebut adalah Bilal bin Harits seorang sahabat Nabi. Perkataan Saif disini adalah sejarah bukannya hadis maka berdasarkan hujjah salafy, Saif menjadi rujukan dalam sejarah. Tetapi mengapa mereka besikeras menolak keterangan Saif. Apakah karena mereka tidak mau mengakui kalau sahabat Nabi bertawasul (seperti yang dikatakan salafy bahwa itu adalah syirik)?. Kalau memang riwayat Saif di atas mau ditolak maka sudah sewajarnya riwayat Saif tentang Abdullah bin Saba’ juga ditolak. Jadi sebenarnya salafy sendiri yang sedang menegakkan benang basah Sungguh antagonisme yang nyata
Saya katakan : Di sini lagi-lagi Anda menunjukkan ketidakpahaman akan ilmu ini – sebagaimana penjelasan ulama’. Para ulama telah membedakan antara riwayat hadits dengan sejarah atau peperangan/maghaziy. Sebenarnya perkataan para imam yang telah ternukil tentang diri Saaif telah mencukupi bahwa ia pakar sejarah, namun ditinggalkan dalam bidang hadits. Sama halnya dengan Al-Waqidiy, ia lemah dalam hadits namun ahli dalam bidang sejarah. Hal yang sama menimpa Ibnu Ishaq. Para ulama telah membedakan hal itu, dan ternyata Anda berada di sisi yang berseberangan dengan para ulama. Riwayat-riwayat mereka ini diterima selama tidak ada pertentangan dengan riwayat-riwayat yang tsabit. Dan juga, dengan syarat bahwa riwayat tersebut tidak ada kaitannya dengan ‘aqidah dan syari’at. [lihat selengkapnya keterangan kaidah ini dalam penjelasan Prof. Dr. Akram Dliyaa’ Al-‘Umariy dalam As-Sirah An-Nabawiyyah Ash-Shahiihah 1/32-70, Maktabah Al-‘Ulum wal-Hikaam, 1415].
Atau Anda mau contoh lain ? Saya yakin Anda mengenal Al-Imam Hafsh bin Sulaiman. Ia seorang imam di bidang qira’at (yaitu terkenal dengan qiraat Imam Hafsh – yang merupakan salah satu qira’at masyhur). Qira’at-nya diterima oleh umat Islam. Namun apa komentar ulama tentangnya di bidang hadits ? Al-Bukhari berkata dalam At-Taariikh Al-Kabiir (2/2767) : {تركوه} “Mereka meningalkan haditsnya”. Muslim berkata : {متروك الحديث} “Ditinggalkan haditsnya” [Al-Kunaa, q-71]. An-Nasa’iy berkata : { متروك الحديث } “Ditinggalkan haditsnya” [Adl-Dlu’afaa’ wal-Matrukiin, 134]. Al-Bazzaar berkata : {لين الحديث} “Lunak/lemah haditsnya” [Kasyful-Astaar, 317]. Al-Haafidh dalam At-Taqriib (hal. 257) berkata : {متروك الحديث مع إمامته في القراءة} “Matrukul-Hadiits, tapi imam dalam qira’at”. Silakan Anda buka kitab Al-Jaami fil-Jarh wat-Ta’dil oleh (1/181; Penerbit ‘Aalamul-Kutub, Cet. 1/1412) untuk meneliti apa yang saya tulis di atas.
Tapi kebalikan dari itu adalah Al-A’masy dimana ia tsabat dalam hadits, namun lembek dalam huruf (qira’at). Oleh karena itu, di setiap waktu selalu ada ulama yang menjadi imam dalam suatu ilmu namun kurang dalam ilmu yang lain. Setiap ilmu ada metode dan kriteria sendiri-sendiri untuk mendalaminya.
Jika Anda mengatakan :
“Saaif tidak sedang meriwayatkan hadits, ia hanya meriwayatkan kisah yang terjadi di masa ‘Umar dimana ia menyebutkan kalau nama orang tersebut adalah Bilaal bin Harits seorang shahabat Nabi. Perkataan Saaif di sini adalah sejarah bukannya hadits berdasarkan hujjah salafy, Saaif menjadi rujukan dalam sejarah. Tetapi mengapa mereka tidak mau keterangan Saaif ? Apakah karena mereka tidak mau mengakui kalau shahabat Nabi bertawassul (seperti yang dikatakan salafy bahwa itu adalah syirik) ?. Kalau memang riwayat Saaif tersebut mau ditolak, sudah sewajarnya riwayat Saaif tentang ‘Abdullah bin Saba’ juga ditolak. Jadi sebenarnya salafy sendiri sedang menegakkan benang basah. Sunguh antagonisme yang nyata”.
Saya katakan : Inilah kesimpulan yang sungguh sangat aneh yang menyelisihi kaidah-kaidah ma’ruf. Anda katakan bahwa riwayat Saaif dalam hal ini adalah hanya merupakan sejarah. Hanya begitukah analisa cermat Anda ?
Perhatikan kembali matan riwayat yang sedang kita perbincangkan. Bukankah di situ dinyatakan ada orang yang mimpi bertemu Nabi di kubur Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan kemudian Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengatakan pada orang tersebut agar mendatangi ‘Umar. Dan yang lebih penting dari itu, Anda mempergunakan riwayat ini sebagai dasar diperbolehkannya tawassul ke kubur Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam setelah beliau meninggal dunia. Apakah ini hanya merupakan catatan sejarah saja ? Justru pernyataan-pernyataan yang Anda sampaikan di atas secara eksplisit membatalkan perkataan Anda sendiri – yang bersamaan dengan itu menunjukkan bahwa Anda tidak memahami apa yang sedang Anda tuliskan dan katakan. Tentu saja kita menolak penisbatan orang tersebut kepada shahabat Bilaal bin Al-Haarits tentang masyru’-nya tawassul model quburiytersebut.
Adapun riwayat tentang ‘Abdullah bin Saba’, maka janganlah Anda mengesankan bahwa riwayat ‘Abdullah bin Saba’ sebagai tokoh Raafidlah generasi awal hanya dibawakan oleh Saaif saja. Tapi dibawakan oleh banyak perawi dengan sanadshahih menurut kritiria muhadditsiin. Oleh sebab itu, riwayat Saaif – yang ia dinyatakan oleh para imam sebagai pakar sejarah - tentang ‘Abdullah bin Saba’ diterima karena adanya dukungan dari riwayat lain yang menegaskan ketidakfiktifannya. Tentu saja hal ini berbeda dengan riwayat Saaif tentang tawassulnya Bilaal bin Al-Haarits – yang ini mengandung hukum syari’at - . Saya berikan beberapa contoh :
Ibnu ‘Asaakir meriwayatkan dari jalan Ibnu Abi Khaitsamah, dia berkata : Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin ’Abbad, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari ’Ammar Ad-Duhni, ia mengatakan : Aku mendengar Abu Ath-Thufail berkata :
رأيت المسيب بن نجبة أتى به دخل على المنبر فقال ما شأنه فقال يكذب على الله وعلى رسوله
Aku melihat Al-Musayyib bin Najbah datang menyeretnya (yaitu Ibnu Saba’), sementara ’Ali sedang berada di atas mimbar. Lantas beliau (’Ali) berkata,”Ada apa dengannya ?”. Al-Musayyib berkata,”Dia berdusta atas nama Allah dan Rasul-Nya” [HR. Ibnu ‘Asaakir dalam At-Taarikh 29/7 dengan sanad hasan].
Ibnu ‘Asakir membawakan riwayat : Telah menceritakan kepada kami ’Umar bin Marzuq, dia berkata : Telah menceritakan kepada kami Syu’bah, dari Salamah bin Kuhail, dari Zaid bin Wahb, dia berkata : ’Ali bin Abi Thalib radliyallaahu ta’ala ’anhuberkata,
ما لي ولهذا الخبيث الأسود يعني عبد الله بن سبأ كان يقع في أبي بكر وعمر رضى الله تعالى عنهما
”Apa urusanku dengan al-hamil[6] yang hitam ini – yaitu ’Abdullah bin Saba’ - ?. Dia biasa mencela Abu Bakar dan ’Umar radliyalaahu ta’ala ’anhuma” [HR. Ibnu ‘Asakir dalam Taarikh Ad-Dimasyqi 29/7 dengan sanad shahih].
Dari jalan Muhammad bin ’Utsman bin Abi Syaibah, dia berkata : Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Al-’Alla’ dia berkata : Telah menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Ayyas, dari Mujahid, dari Asy-Sya’bi, dia berkata : ”Orang pertama yang berbuat kedustaan adalah ’Abdullah bin Saba’”. Abu Ya’la Al-Mushili berkata dalam Musnad-nya : Telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib, dia berkata : Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Al-Hasan Al-Asadi, dia berkata : Telah menceritakan kepada kami Harun bin Shaalih, dari Al-Haarits bin ’Abdirrahman, dari Abul-Jalas, ia berkata : Aku mendengar ’Ali berkata kepada ’Abdullah bin Saba’ :
والله ما أفضى إلي بشيء كتمه أحدا من الناس ولقد سمعت يقول إن بين يدي الساعة ثلاثين كذابا وإنك لأحدهم
”Demi Allah, beliau tidak pernah menyampaikan kepadaku sesuatupun yang beliau sembunyikan dari manusia. Benar-benar aku mendengar beliau bersabda,’Sesungguhnya sebelum terjadinya kiamat ada tiga puluh pendusta’; dan engkau adalah salah satu dari mereka” [Atsar ini tsabit (kokoh), diriwayatkan oleh ‘Abdullah bin Ahmad dalam As-Sunnah no. 1325, Abu Ya’la dalam Musnad-nya (449), dan Ibnu Abi ‘Ashim dalam As-Sunnah (982). Al-Haitsami berkata dalam Majma’uz-Zawaaid (7/333) : “Para perawinya tsiqah (terpercaya)”].
Abu Ishaq Al-Fazari berkata : Dari Syu’bah, dari Salamah bin Kuhail, dari Abu Az-Za’ra’, dari Zaid bin Wahb : Bahwasannya Suwaid bin Ghafalah masuk menemui ’Ali radliyallaahu ’anhu di masa kepemimpinannya. Lantas dia berkata,”Aku melewati sekelompok orang menyebut-nyebut Abu Bakar dan ’Umar (dengan kejelekan). Mereka berpandangan bahwa engkau juga menyembunyikan perasaan seperti itu kepada mereka berdua. Diantara mereka adalah ’Abdullah bin Saba’ dan dialah orang pertama yang menampakkan hal itu”. Lantas ’Ali berkata,”Aku berlindung kepada Allah untuk menyembunyikan sesuatu terhadap mereka berdua kecuali kebaikan”. Kemudian beliau mengirim utusan kepada ’Abdullah bin Saba’ dan mengusirnya ke Al-Madaain. Beliau juga berkata,”Jangan sampai engkau tinggal satu negeri bersamaku selamanya”. Kemudian beliau bangkit menuju mimbar sehingga manusia berkumpul. Lantas beliau menyebutkan kisah secara panjang lebar yang padanya terdapat pujian terhadap mereka berdua (Abu Bakar dan ’Umar), dan akhirnya berliau berkata,”Ketahuilah, jangan pernah sampai kepadaku dari seorangpun yang mengutamakan aku dari mereka berdua melainkan aku akan mencambuknya sebagai hukuman untuk orang yang berbuat dusta” [Atsar initsabit].
Telah memberikan hadits kepada kami Hammad bin Zaid, dari Ayyub, dari ’Ikrimah bahwasannya ia berkata :
أتى علي رضى الله تعالى عنه بزنادقة فأحرقهم فبلغ ذلك بن عباس فقال لو كنت أنا لم أحرقهم لنهي رسول الله صلى الله عليه وسلم لا تعذبوا بعذاب الله ولقتلتهم لقول رسول الله صلى الله عليه وسلم من بدل دينه فاقتلوه
”Didatangkan kepada ’Ali radliyallaahu ’anhu sekelompok orang zindiq, lantas beliau membakarnya. Kemudian berita itu sampai kepada Ibnu ’Abbas radliyallaahu ’anhuma, maka beliau berkata : ”Seandainya aku yang menghukumnya, maka aku tidak akan membakarnya, sebab ada larangan dari Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam : ’Janganlah kalian menyiksa dengan siksaan Allah (yaitu api)’, akan tetapi aku akan membunuhnya karena sabda Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam : ’Barangsiapa yang mengganti agamanya, maka bunuhlah ia”.
Ibnu Hajar ketika menjelaskan hadits ini berkata :
”Abul-Mudhaffar Al-Isfirayini mengatakan dalam Al-Milal wan-Nihal bahwa yang dibakar oleh ’Ali itu adalah orang-orang Rafidlah yangmengklaim sifat ketuhanan pada diri ’Ali. Dan mereka itu adalah Saba’iyyah. Pemimpin mereka adalah ’Abdullah bin Saba’, seorang Yahudi yang menampakkan keislaman. Dia membuat bid’ah berupa ucapan seperti ini. Dan sangatlah mungkin asal hadits ini adalah apa yang kami riwayatkan dalam juz 3 dari hadits Abu Thahir Al-Mukhlish dari jalan ’Abdullah bin Syuraik Al-’Amiriy, dari ayahnya ia berkata : Dikatakan kepada ’Ali : ’Disana ada sekelompok orang di depan pintu masjid yang mengklaim bahwa engkau adalah Rabb mereka’. Lantas beliau memanggil mereka dan berkata kepada mereka : ’Celaka kalian, apa yang kalian katakan ?’. Mereka menjawab : ’Engkau adalah Rabb kami, pencipta kami, dan pemberi rizki kami’. ’Ali berkata : ’Celaka kalian, aku hanyalah seorang hamba seperti kalian. Aku makan makanan sebagaimana kalian makan, dan aku minum sebagaimana kalian minum. Jika aku mentaati Allah, maka Allah akan memberiku pahala jika Dia berkehendak. Dan jika aku bermaksiat, maka aku khawatir Dia akan mengadzabku. Maka bertaqwalah kalian kepada Allah dan kemballah’. Tetapi mereka tetap enggan.
Ketika datang hari berikutnya, mereka datang lagi kepada ’Ali, kemudian datanglah Qanbar dan berkata,’Demi Allah, mereka kembali mengatakan perkataan seperti itu’. ’Ali pun berkata,’Masukkan mereka kemari’. Tetapi mereka masih mengatakan seperti itu juga. Ketiga hari ketiga, beliau berkata,’Jika kalian masih mengatakannya, aku benar-benar akan membunuh kalian dengan cara yang paling buruk’. Tetapi mereka masih berkeras masih menjalaninya. Maka ’Ali berkata,’Wahai Qanbar, datangkanlah kepadaku para pekerja yang membawa alat-alat galian dan alat-alat kerja lainnya. Lantas, buatkanlah untuk mereka parit-parit yang luasnya antara pintu masjid dengan istana’. Beliau juga berkata,’Galilah dan dalamkanlah galiannya’.
Kemudian beliau memerintahkan mendatangkan kayu bakar lantas menyalakan api di parit-parit tersebut. Beliaupun berkata,’Sungguh aku akan lempar kalian ke dalamnya atau kalian kembali (pada agama Allah)’. Maka ’Ali melempar mereka ke dalamnya, sampai ketika mereka telah terbakar, beliau pun berkata :
اني إذا رأيت أمرا منكرا - أوقدت ناري ودعوت قنبرا
Ketika aku melihat perkara yang munkar
Aku sulut apiku dan aku panggil Qanbar
Ini adalah sanad yang hasan.
[selesai perkataan Ibnu Hajar dalam Fathul-Baari].
Mohon maaf jika saya agak berpanjang lebar dalam pemberian contoh tentang ‘Abdullah bin Saba’ – karena kebetulan saya pernah menulis sedikit tentang itu. Dan perlu diingat, riwayat-riwayat tentang ‘Abdullah bin Saba’ itu banyak. Kapan-kapan kalau ada waktu luang, dapatlah kiranya untuk dituliskan secara lebih luas riwayat mengenai ‘Abdullah bn Saba’ ini.
Sekarang ganti saya tanya kepada Anda : “Adakah riwayat yang menguatkan bahwa shahabat Bilaal bin Al-Haarits melakukan tawassul di kubur Nabi sebagaiamana di atas selain dari riwayat Saaif ?”.
4. Riwayat tersebut menyelisihi syari’at yang ma’ruf dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
Penulis berkata :
“Cacat terakhir bahwa riwayat tersebut menyelisihi syari’at, maka kami katakan itu adalah alasan yang dicari-cari. Riwayat tersebut tidak menyelisihi syari’at karena riwayat tersebut tidak menafikkan kalau selanjutnya umat Islam pada jaman ‘Umar melakukan shalat istisqa’. Intinya, riwayat tersebut tidaklah melarang atau menganjurkan apapun. Riwayat tersebut hanya menceritakan kisah seseorang yang bertawassul dijaman ‘Umar hingga bermmpi bertemu Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Jika memang mau ditarik hukum darinya maka riwayat tersebut hanya menunjukkan kebolehannya, bukan anjuran ataupun perintah”.
Saya katakan : Perkataan Anda di atas sangatlah rancu. Tanaqudl antara sana dan sini.
Coba Anda perhatikan tulisan Anda sendiri (atau di bagian terjemahannya) di awal tulisan. Bukankah Anda telah menuliskan terjemahan bahwa telah terjadi kemarau di jaman ‘Umar bin Al-Khaththab radliyallaahu ‘anhu, dan kemudian ada seorang laki-laki yang mendatangi ke kubur Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam agar beliau memintakan hujan. Dan kemudian dalam mimpi tersebut Nabi memerintahkan agar orang tersebut datang kepada ‘Umar.
Bukankah jika Anda hendak “menshahihkan” riwayat ini (padahal jauh sekali dari kata shahih), Anda hendak berdalil tentang disyari’atkannya bertawassul mendatangi kubur Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam ketika kemarau tiba ?
Apakah Anda pikir syari’at Islam yang diturunkan melalui Muhammad bin ‘Abdillahshallallaahu ‘alaihi wa sallam ini hanya berwujud qaul (perkataan) perintah, anjuran, atau larangan ? (sebagaimana yang Anda sangkakan). Bagaimana mungkin Anda katakan bahwa satu ibadah yang ditunjukkan kebolehannya maka disitu tidak bermakna anjuran ataupun perintah ? Apalagi riwayat yang sedang kita bicarakan termasuk bagian dari ibadah mahdlah (khusus). Apakah taqrir Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam atas perbuatan para shahabat yang melakukan shalat sunnah sebelum Maghrib itu tidak berkonsekuensi anjuran ? Apakah perbuatan Nabishallallaahu ‘alaihi wa sallam ketika berangkat dan pulang memilih jalan yang berbeda ketika hari ‘Ied bukan merupakan sunnah/anjuran ? toh di situ Nabi tidak menggunakan perintah ? Juga persetujuan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallamterhadap perbuatan Bilaal yang selalu mendawamkan shalat dua raka’at setelah wudlu ? Haihata haihata…………… Jika memang benar demikian, sungguh dangkal sekali pemahaman Anda tentang makna Sunnah dan syari’at.
Dengan membaca tulisan Anda dan orang-orang yang semisal dengan Anda, secara implisit dan eksplisit menegaskan masyru’nya tawassul ke kubur Nabi shallallaau ‘alaihi wa sallam. Apakah Anda mengira bahwa orang-orang di belakang Anda yang mendukung model tawassul seperti ini tidak menganjurkan kepada orang lain untuk berbuat seperti riwayat di atas (mendatangi kubur Nabi atau orang-orang yang dianggap shalih) ? Apakah Anda pikir mereka melakukan semua itu tidak mengharap pahala dan memasukkannya pada amal-amal yang disunnahkan ?
Saya katakan bahwa perkataan Anda inilah yang sesungguhnya mengada-ada.
Telah shahih dalam hadits Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bahwa jika terjadi paceklik musim kemarau, yang dianjurkan untuk dilakukan adalah shalat istisqaa’.Bukan mendatangi kubur Nabi dan bertawassul agar diturunkan hujjan melalui perantaraan beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Tidak ada satupun riwayat shahih yang menegaskan bahwa jika musim kemarau para shahabat datang ke kubur Nabi dan bertawassul di sana, kecuali beberapa riwayat bermasalah yang mungkin coba Anda shahihkan. Termasuk riwayat ini. Melakukan sesuatu hal yang berbeda dengan apa yang dicontohkan dan dianjurkan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam termasuk perbuatan menyelisihi sunnah beliau shallallaahu ’alaihi wa sallam.[7]
Penukilan Anda tentang tashhih Ibnu Hajar dan Ibnu Katsir perlu di-tahqiq kembali, kecuali jika Anda hanya berprinsip ‘pokoknya’ dengan meninggalkan pembahasan ilmiah sesuai dengan kaidah-kaidah ilmu hadits yang ma’ruf. Adapun tashhih Ibnu Hajar, telah berlalu komentar Asy-Syaikh Al-Albani mengenainya. Sementara Ibnu Katsir, maka beliau telah keliru dengan menshahihkan riwayat ini. Wallaahu a’lam.
Jika Anda mengatakan bahwa Anda sedang malas menulis sehingga terkesan ‘memaksakan’ diri untuk menulis bahasan ini, saya harapkan itu semata-mata hanya karena faktor diri saya pribadi. Bosan, jengah, atau kesal terhadap saya. Saya tidak mengharap bahwa kemalasan itu disebabkan karena malas untuk belajar yang kemudian melahirkan beberapa kekeliruan (fatal) sebagaimana di atas.
Terakhir, saya perlu katakan bahwa sanggahan Anda dalam hal ini secara keseluruhan sangat lemah, kecuali pada point satu di atas – yang jumhur ulama hadits Salafiymu’tabar (termasuk Asy-Syaikh Al-Albani) tidak mempergunakannya – yang merupakanta’lil lemah di antara yang disebutkan. Dan itu sudah Anda komentari dengan cukup baik. Namun yang lain, maka itu adalah ‘illat yang jaliy (jelas/terang) yang melemahkan riwayat sehingga tidak boleh dipakai untuk hujjah dalam masalah syari’at. Kalaupun seandainya riwayat tersebut selamat dari satu ‘illat, namun ia tidak akan selamat oleh‘illat yang lainnya sehingga mengangkat kedla’ifannya. Wallaahu a’lam.
Mohon maaf jika ada kesalahan.
Akhukum : Abul-Jauzaa’ 1430.
Tanbih : Setelah dibaca ulang, ternyata ada kekeliruan, kekurangan, atau kelebihan. Alhamdulillah telah direvisi - tanggal 12 April 2009 – ba’da ‘isya’. Dan tidak tertutup kemungkinan ada perbaikan kembali. Hanya Allah lah segala kebenaran berpulang. Mohon masukannya.
[1] Kepunyaan saya juz 1 hal. 579 – Muassasah Ar-Risaalah.
[2] Perhatikan kalimat beliau ini,… bahwa beliau menshahihkan riwayat Al-A’masy dari Abu Shaalih.
[3] Yaitu tidak disebutkan dalam kitab-kitab biografi ulama yang lainnya selain Ibnu Hibban.
[4] 1/149-151. Beliau telah memberikan penjelasan terhadap 3 kitab yang ditulis para ulama tentang biografi shahabat, yaitu Al-Isti’aab karya Ibnu ‘Abdil-Barr, Usuudul-Ghaabah karya Ibnul-Atsiir, dan Al-Ishaabah karya Ibnu Hajar rahimahumullah.
[5] Dan janganlah Anda mudah terpana dengan kata idraak yang dinisbatkan pada Maalik Ad-Daar, sehingga dengan itu Anda berkesimpulan bahwa ia adalah shahabat. Idraak di sini adalah sebagaimana penjelasan Ibnu Hajar ketiga menjelaskan definsi thabaqah ketiga (tempat Maalik Ad-Daar berada); yaitu orang-orang yang mendapati/mengalami masa Jahiliyyah dan Islam (الذين أدركوا الجاهلية والإسلام). Jadi maksudnya bukan : “melihat Nabi” sebagaimana terjemahan Anda di atas. Lebih lanjut tentang definisi ini, saya persilakan Anda membuka langsung kitab Al-Ishaabah atau membaca ulang apa yang telah saya tuliskan di artikel saya sebelumnya.
[6] Al-Hamil adalah sebutan untuk segala sesuatu yang busuk, dan dia berarti orang yang botak dan tidak mempunyai rambut. (Al-Qaamus).
[7] Saya “khawatir” jika kemudian nanti Anda akan menghubungkan dengan kasus pengumpulan/penghimpunan Mushhaf, etc. sebagai asas legalisasi terhadap hujjah Anda. Jika demikian, tentu saja semakin tidak nyambung karena tidak sesuai dengan fokus pembicaraan. Juga, membutuhkan ruang tersendiri untuk menuliskan pembahasannya.
from=http://abul-jauzaa.blogspot.fr/2009/04/kelemahan-riwayat-maalik-ad-daar-dialog.html