Soal:
Disebutkan di dalam hadits: “apabila air
melebihi dua qullah maka ia tidak membawa najis” (HR At Tirmidzi
dan dishahihkan oleh Syaikh Al Albani). Pertanyaannya, bila air tersebut
kurang dari dua qullah dan terkena najis, apakah menjadi najis walaupun tidak
berubah warna, rasa dan baunya ?
Ustadz Abu Yahya
Badrusalam Lc. menjawab:
Masalah ini adalah masalah yang masih yang
diperselisihkan oleh para ulama. Pendapat yang paling kuat –wallahu a’lam–
adalah bahwa air apabila terkena najis dan tidak berubah warna, rasa dan baunya
maka tidak menjadi najis. Ini adalah pendapat Abu Hurairah dan Ibnu Abbas dan
riwayat dari imam malik dan imam ahmad serta madzhab ahlul hadits.
Adapun hadits yang disebutkan tadi, maka kita jawab dari
beberapa sisi:
Pertama:
Bahwa nabi shallallahu alaihi wasallam menggantungkan hukum dalam hadits
tersebut kepada “membawa najis”. Berarti apabila air tersebut selama tidak
membawa najis tetap di atas kesuciannya.
Kedua:
beralasan dengan jumlah dua kullah dalam hadits tersebut masih diperselisihkan
oleh para ulama ushul fiqih, apakah mafhum jumlah itu bisa dijadikan hujjah
atau tidak.
Ketiga:
pendapat yang mengatakan bahwa dibawah dua kullah berarti air akan membawa
najis. Ini namanya mafhum mukholafah (memahami
kebalikannya). Dan mafhum mukholafah tidak
mempunyai makna umum. Terlebih bila mafhum bertabrakan
dengan mantuq maka mantuq lebih
dikedepankan dari mafhum.
Dan mafhum tersebut
bertabrakan dengan mantuq hadits:
“air itu thahur
tidak dinajiskan oleh apapun” (HR Abu Dawud).
Keempat:
hadits tentang dua qullah itu nabi ucapkan karena sebab menjawab pertanyaan.
Ada orang bertanya bagaimana hukum air yang berada di padang pasir dan menjadi
tempat minum binatang buas. Maka beliau bersabda: “apabila air
mencapai dua qullah…dst“. Sehingga ucapan Nabi ini tidak bisa
dijadikan pengkhususan. Karena para ulama bersepakat bahwa apabila pengkhususan
itu bukan karena sebab pengkhususan hukum maka bukan hujjah.
Wallahu
a’lam.
___
Penulis: Ust. Abu Yahya
Badrusalam Lc.
Artikel Muslim.or.id