Oleh: Fahmi Salim, MA
Dalam tinjauan teologis dan historis-sosiologis, istilah
Ahlusunnah wal Jama’ah (Aswaja) adalah pengikut sunnah dan lawan dari sifat
bid’ah pemikiran. Dalam sejarahnya, Aswaja sering diasosiasikan pengikut para
imam-imam yang agung dalam kedalaman ilmunya, yang merupakan antitesa dari
paham muktazilah, syiah, khawarij, murjiah, musyabbihah dan jabariyah. Lebih
spesifik lagi, Imam As-Safariniy Al-Hanbali (1114-1188 H) dalam Lawami’
Al-Anwar Al-Bahiyyah Syarh Ad-Durrat Al-Mudhiyyah fi ‘Aqd Al-Firqoh Al-Mardhiyyah
(vol.1/73) menegaskan bahwa Ahlusunnah wal Jama’ah terdiri dari 3 golongan
besar yaitu, Asy’ariyah (pengikut Imam Abul Hasan Asy’ari), Maturidiyah
(pengikut Imam Abu Manshur Maturidi) dan Ahlul Hadis/Atsar (pengikut Imam Ahmad
ibn Hanbal).
Perkembangan kondisi kekinian umat mengharuskan terciptanya
persaudaraan, kesepahaman (tafahum), saling menyayangi dan merangkul (tarahum),
sehingga melahirkan kerjasama dan sinergitas (ta’awun wa takamul). Sikap-sikap
positif itu mutlak harus diwujudkan oleh semua pihak yang mengaku dirinya
Ahlusunnah wal Jama’ah, apalagi di tengah tantangan dakwah Islam yang semakin
berat dewasa ini.
Tantangan Ukhuwah Aswaja
Berikut ini, beberapa tantangan ukhuwah di kalangan
Ahlusunnah wal Jama’ah.
Pertama, Sikap saling menafikan. Di muka, saya telah mengutip
pandangan tokoh terkemuka Sunni Imam As-Safariniy tentang 3 kelompok Aswaja,
yang disepakati oleh seluruh ulama Sunni. Namun dalam sejarah, tak jarang
terjadi polemik dan sikap saling menafikan antar kelompok Ahlusunnah, terutama
antara Asy’ariyah dan Maturidiyah di satu sisi dan Ahlul Hadis di sisi lain.
Tantangan ini tidak bisa dipandang remeh.
Sebagian ulama Asy’ariah misalnya menafikan Ahlul Hadis,
terutama dalam hal tanzih sifat Allah, bahwa mereka (Ahlul Hadis) terkena
sindrom tajsim dan tasybih antara Allah dan makhluk-Nya. Seperti yang sering
dituduhkan kepada Syaikhul Islam Ibnu Taymiah (661-728 H, 1263-1328 M).
Sebaliknya sebagian ulama Ahlul Hadis menafikan Asy’ariah dan Maturidiyah dan
menuduh mereka terkena sindrom jahamiyah dan muktazilah dalam soal takwil
sifat-sifat Allah. Tentu saja sikap saling menafikan di antara school of thoughts
Sunni ini akan berdampak negatif bagi kemaslahatan umat Islam yang mayoritas
berakidah Ahlusunnah wal Jama’ah. Perpecahan ini tidak boleh dibiarkan
berlarut-larut. Harus ada rekonsiliasi hakiki dan tidak lagi saling menafikan.
Yang senang dengan skisma antar madrasah pemikiran Ahlusunnah, tentulah
sekte-sekte sesat dan aliran pemikiran yang anti-sunnah dan melancarkan gerakan
dekonstruksi syariah yang didukung kekuatan asing.
Kedua, Kurangnya sikap penghargaan terhadap tokoh panutan
mazhab masing-masing. Sikap kritis ilmiah terhadap madrasah Sunni lainnya sah
saja, -bukan hal yang tabu- namun harus diiringi sikap yang berimbang dan tetap
saling menghargai. Contoh Ibnu Taymiah. Beliau memang kritis terhadap pandangan
teologi Asy’ariyah, dalam soal-soal tertentu seperti penetapan sifat-sifat
Allah secara akliah dan takwil terhadap sifat-sifat khabariyah. Namun sikap
kritis itu tidak menghalangi beliau untuk respek dan menghargai jasa-jasa besar
para ulama Asya’irah dalam melawan dan membantah pemikiran muktazilah,
bathiniyah ismailiyah, dan syiah imamiyah-rofidhoh.
Beliau juga memuji Menteri Besar Daulah Saljuk, Nizhamul Mulk
(408-485 H, 1018-1092 M) –penyokong teologi asy’ari- yang telah mensponsori
Madrasah Nizhamiyah di Baghdad dan kota-kota Sunni lainnya untuk melawan
pemikiran dan aliran sesat. Dari rahim Nizhamiyah Baghdad telah lahir
karya-karya besar seperti Ghiyats al-Umam oleh Imam Al-Juwaini (419-478 H,
1028-1185 M), Fadha’ih Al-Bathiniyah dan Tahafut Al-Falasifah oleh Abu Hamid
Al-Ghazali (450-505 H, 1058-1111 M), Al-Ghunyah oleh Abdul Qadir Jaylani (470-561
H), dan lain-lain.
Ia misalnya menulis, “Kebaikan-kebaikan mereka (Asy’ariyah)
dilihat dari dua aspek; pertama,
kesesuaiannya dengan ahlusunnah dan hadis, dan kedua, membantah aliran-aliran yang menyalahi
ahlusunnah dan hadis dengan merontokkan argumentasinya.” Ia secara elegan
menyatakan bahwa, “ulama Asy’ariah memiliki kebaikan, kelebihan dan upaya yang
mesti disyukuri, sehingga ijtihad mereka yang keliru akan diampuni.” (lihat
Majmu’ Fatawa, dan lebih jauh baca Abdurrahman Al-Mahmud dalam Mawqif Ibn
Taymiah Minal Asya’irah, vol.2/705-708 dan 709)
Sikap dan penilaian yang fair dari Ibnu Taymiah terhadap para
ulama Asya’irah ini yang harus digugu dan ditiru oleh kelompok Salafi yang
kagum dan menisbatkan dirinya kepada beliau, dalam menilai kelompok lain yang
masih satu atap koridor Ahlusunnah.
Ketiga, Kecurigaan
terhadap perkembangan gerakan keagamaan baru; label “ideologi transnasional”
disematkan kepada mereka dan dianggap paham yang bertentangan dengan Aswaja.
Gerakan seperti Hizbut Tahrir, Ikhwanul Muslimin dan Jama’ah Tablig sering
diasosiasikan ke dalam kecurigaan itu. Padahal kalau mau jujur, aliran Syiah
lebih tepat dilabeli “transnasional” yang berpotensi memecah belah persatuan
bangsa yang mayoritas muslim Sunni dan sudah mengakar di Indonesia. Hal ini
akibat kurangnya informasi tentang perkembangan ideologi Sunni yang
bertransformasi menjadi gerakan politik disamping ormas keagamaan murni.
Di Timur Tengah, kelompok Sunni yang berupaya menyatukan
gerakan keagamaan dan politik sudah jamak terjadi akibat dipicu oleh keinginan
lepas dari imperialisme Barat. Ada yang sifatnya lokal seperti gerakan
Sanusiyah dan Mahdiyah sebagai penggerak kemerdekaan jajahan asing di Afrika
Utara. Dan ada juga yang jangkauannya internasional seperti gerakan Pan-Islam
besutan Rasyid Ridha –yang diilhami Urwatul Wutsqa dan Al-Manar, dan merembet
pengaruhnya ke seluruh dunia Islam termasuk Indonesia dengan munculnya gerakan
pembaharuan di Minang (Haji Rasul) dan Jawa (Muhammadiyah)-, lalu dilanjutkan
oleh Ikhwanul Muslimin oleh Hasan Al-Banna dan Hizbut Tahrir oleh Taqiudin
Nabhani.
Di sisi lain kelahiran Jam’iyah NU juga terinspirasi dari
gerakan ulama Sunni-Syafi’i-Asy’ari transnasional di Haramain yang menolak
penyeragaman mazhab yang dilakukan oleh Raja Al-Saud di Arab Saudi. Jadi kalau
sekarang muncul kegaduhan labelisasi gerakan transnasional, maka ormas-ormas
Islam yang berdiri di awal abad-20 pun –sedikit banyak- terpengaruh ‘ide
keislaman transnasional’. Hemat saya, kelompok-kelompok Sunni di Indonesia
jangan terjebak dengan istilah yang rancu itu.
Saya optimis, kecurigaan dan prasangka buruk itu bisa
dieliminir jika terjalin silaturahim yang efektif dan berksesinambungan, tanpa
harus terjadi klaim kebenaran sepihak dan rebutan ‘lahan’ dakwah, yang bisa
memicu konflik dan mengundang pihak di luar Ahlusunnah dan musuh Islam untuk
mengail di air keruh.
Apalagi umat Islam Indonesia yang Sunni saat ini
berhadap-hadapan dengan berbagai tantangan berat dalam dakwah Islam. Mulai dari
maraknya gerakan anti-syariat (sekularisme), liberalisasi Islam, dan pluralisme
agama. Hingga tantangan gerakan aliran-aliran menyimpang seperti Ahmadiyah dan
Syiah Imamiyah/Rofidhoh, gerakan pemurtadan, dan budaya permisif-hedonis dan
free sex yang dilancarkan dengan massif untuk menjauhkan umat Islam dari moral
dan norma agama.
Epilog
Peta tantangan internal dan eksternal itu dapat berpotensi
mengancam dan menggerogoti akidah Islam –Ahlusunnah wal Jamaah-. Alangkah
baiknya para tokoh dan pemimpin Sunni duduk bersama dan menyatukan barisan.
Aktualisasi dan dinamisasi gerakan Aswaja di Indonesia amat
diperlukan, khususnya upaya membangun ukhuwah hakiki dan sinergitas, tidak
memperbesar perbedaan penafsiran cabang-cabang akidah dan fiqih, serta
kerjasama yang intens dan memupuk kepercayaan dengan seluruh elemen Aswaja,
tanpa harus kehilangan jatidiri masing-masing. Di sinilah pentingnya memahami
etika perbedaan (Fiqhul Ikhtilaf) dan toleransi (tasamuh), serta perlunya
sinkronisasi dan kordinasi gerakan dakwah (Taswiyatul Manhaj-Tansiqul Harakah)
Ahlusunnah wal Jama’ah. Dengan demikian kita dapat menyatukan langkah untuk
mulai menyusun proyek peradaban Islam-Sunni yang komprehensif untuk pembangunan
Indonesia dan dunia Islam umumnya agar dihormati dalam kancah pergaulan antar
bangsa. Wallahu A’lam.*
Penulis adalah Wasekjen MIUMI dan Peneliti INSISTS