Islam Pedoman Hidup: Renungan bagi Para Janda, Menikah atau Menjadi Single Parent?

Jumat, 02 September 2016

Renungan bagi Para Janda, Menikah atau Menjadi Single Parent?

Janda sebutan bagi wanita yang telah ditinggal mati oleh suaminya dan belum menikah lagi
Suami yang selama ini mendampinginya disaat susah dan senang kini telah pergi selamanya.
Suami yang membantunya dan selalu memenuhi kebutuhan sehari-hari kini ia harus menjadi tulang punggung bagi anak-anaknya yang telah yatim.
Suami yang menjadi belahan jiwanya kini harus menghadap kepada Penciptanya.
Begitu banyak tantangan yang akan ia hadapi setelah suaminya pergi. Kesedihan dan ujian adalah takdir ilahi yang harus dijalani dengan mengharap ganjaran dan pahala yang menanti.
Terkadang gundah gulana menyelimuti, rasa khawatir akan diri dan anak-anaknya pun menghantui. Sanggupkah diri ini menghadapi berbagai terpaan badai dan ujian ini?
Hanya kepada Allah mereka para janda mengharap pertolongan, luasnya rahmat dan kasih sayangNya.
Tak sedikit para janda memilih untuk menjalani hidup “sendiri” menghidupi, merawat dan mendidik anak-anaknya.
Banyak alasan sebagai pertimbangan. Diantaranya:
1. Anak-anak keberatan bila ibu mereka menikah lagi dengan laki-laki lain menggantikan posisi bapak mereka.
2. Wanita tersebut lebih memilih fokus mendidik anak-anaknya yang masil kecil. Karena jika ia menikah dikhawatirkan anak-anaknya akan terlantar.
3. Rasa cinta yang sangat kepada suaminya yang dahulu membuat para janda enggan menikah lagi. Iapun tidak ridha bila ada laki-laki lain menggantikan posisi suaminya.
4. Adanya perjanjian antara wanita tersebut dengan suaminya untuk tidak menikah lagi sepeninggalnya nanti.
Mereka yang lebih memilih menjanda
Ummu Hani binti Abu Thalib, meminta udzur kepada Nabi shallallahu’alaihi wasallam tatkala Nabishallallahu’alaihi wasallam melamar beliau. Beliau merasa sudah tua dan memiliki tanggungan anak-anak yatim.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu,
أن النبي خطب أم هانئ بنت أبي طالب, فقالت: يا رسول الله, إني قد كبرت ولي عيال, فقال النبي : “خير نساء ركبن نساء قريش أحناه على ولد في صغره وأرعاه على زوج في ذات يده”
Bahwa Nabi shallallahu’alaihi wasallam datang melamar Ummu Hani’ binti Abu Thalib. Dia menjawab, “Ya Rasulullah aku telah tua dan banyak tanggungan.” Beliau bersabda, “ Sebaik-baik wanita yang menunggang unta adalah wanita Quraisy yang shalih, yang menyayangi anak-anaknya semasa kecil dan menjaga harta suaminya.” (HR. Muslim no. 2527)
Imam Nawawi berkata dalam Syarh Muslim (5/388) menukil dari Al Hawari, “Ummu Hani tak ingin menikah lagi karena dia menyayangi dan ingin merawat anak-anaknya. Karena bila menikah, tidak akan menyayangi mereka (dengan maksimal karena tanggungjawab sebagai istri sangat besar-pen).”
Nailah binti Farafishah, istri Utsman bin Affan radhiyallahu’anhu enggan menikah pasca terbuhuhnya Utsman radhiyallahu’anhu. Saat Mu’awiyah radhiyallahu ‘anhu melamarnya, beliaupun menolaknya.”(Lihat Tarikh Dimasyq, 70/138)
Hujaimah Ummu Darda’ Ash Shughra. Saat Mu’awiyah radhiyallahu’anhu datang melamar, beliau enggan dan berkata, Aku mendengar Abu Darda berkata, Rasulullah shallallahu’alaihi wasallambersabda,
المرأة لآخر أزواجها
“Wanita itu milik suaminya yang terakhir.
Dan aku tidak menginginkan pengganti Abu darda’. (HR. Thabrani dan Abu Ya’la)
Mereka yang memilih menikah lagi
Tak sedikit pula wanita janda menikah lagi demi menjaga kehormatan dan kesucian dirinya. Diantara mereka:
Ummu Salamah. Beliau berkisah,
أرسل إلي رسول الله صلى الله عليه وسلم حاطب بن أبي بلتعة يخطبني، فقلت : ” إن لي بنتا وأنا امرأة غيور”، فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم : أما ابنتها فندعو الله أن يغنيها عنها، وأدعو الله أن يذهب بالغيرة
Rasululah shallallahu’alaihi wasallam mengutus Hathib bin Abi Baltha’ah kepadaku untuk melamarku. Kemudian aku jawab, “Aku memiliki seorang anak perempuan dan aku sangat pencemburu.” Lalu beliau shallallahu’alaihi wasallam bersabda,
“Adapun anak perempuan maka kami berdoa kepada Allah, agar Allah mencukupinya. Adapun rasa cemburunya (yang berlebihan) kami berdoa agar Allah menghilangkan darinya.
” (HR. Muslim no. 632)
Ummu Salampun menyerahkan diri beliau untuk dinikahi manusia paling mulia, Muhammad bin Abdillah shallallahu’alaihi wasallam.
Asma binti Umais. Beliau menikah dengan Abu Bakar Ash Shiddiq setelah suaminya, Ja’far bin Abi Thalib wafat kemudian menikah dengan Ali bin Abi Thalib setelah Abu Bakar wafat.Radhiyallahu’anhum ajma’in.
Lalu mana yang lebih utama, menikah atau menjanda?
Syaikh Mushthafa Al Adawy menjawab:
Setiap orang memiliki masalah yang berbeda-beda. Wanita yang satu tidak sama dengan wanita yang lain dan laki-laki yang satu tidak sama dengan laki-laki yang lain.
Jika usia janda tersebut masih muda dan syahwatnya masih besar kemudian takut terjatuh ke dalam fitnah dan ingin tetap menjaga kesucian dirinya maka lebih utama baginya untuk menikah lagi dengan lelaki yang dapat menjaga kehormatan dan memenuhi kebutuhan diri dan anaknya.
Demikian pula bagi janda yang tidak mampu merwat dan mendidik anaknya sendiri, dianjurkan baginya untuk menikah lagi.
Adapun jika seorang janda yang telah berusia tua, tidak merasa membutuhkan laki-laki, tidak ada kemauan menikah lagi bahkan tidak punya waktu merawat anak jika menikah lagi atau dikhwatirkan tidak mampu memneuhi hak suaminya (yang baru), anak-anaknya dan harta mereka maka dianjurkan kepada janda ini untuk tidak menikah lagi dan menyibukkan diri dengan mengurus anak. Insyaallah, Allah akan memberikan ganjaran kepadanya. (Tarbiytaul Aulad (terj), hal. 86)
Bagaimana dengan janji setia?
Jika ada perjanjian antara seorang istri dengan suaminya untuk tidak menikah lagi sepeninggal sumianya nanti maka boleh bagi wanita tersebut melarang dirinya untuk menikah. Hal ini jika tidak dikhawatirkan timbulnya fitnah atas dirinya, bahkan hukumnya dianjurkan (tetap menjanda) bila disana ada kebaikan lainnya.
Adapun jika dikhawatirkan timbul fitnah maka tidak ada kewajiban si istri memenuhi janji setia tersebut. Dan boleh baginya untuk menikah lagi.
Suatu ketika Nabi shallallahu’alaihi wasallam melamar Ummu Mubasysyir binti Al Barra. Beliau berkata, “Aku telah membuat syarat (berjanji) kepada suamiku untuk tidak menikah lagi sepeninggalnya.”
Kemudian Nabi shallallahu’alaihi wasallam bersabda kepadanya,
إن هذا لا يَصْلُح
“Syarat seperti ini tidak pantas.” (Zadul ma’aad, 4/209, At Targhib, 3/144)
Karena syarat seperti ini tidak terdapat di Kitabullah. Juga menimbulkan dampak negatif, memutus keturunan.
Sungguh Umar bin Abdul Aziz menikahi Ummu Hisyam binti Abdillah bin Umar yang pernah bersumpah dihadapan suaminya, Abdurrahman bin Suhail bin Amr untuk tidak menikah sepeninggalnya. Inilah wasiat Abdurrahman agar istrinya tidak menikah lagi setelah ia wafat dikarenkan besarnya rasa cinta beliau kepada istrinya. (A’lamun Nisa’)
Bagaimanpun kuatnya kesetiaan seorang suami atau istri tidak akan merubah takdir Allah yang pasti dijalani setiap insan. Semoga Allah senantiasa menolong hamba-hambanya yang janda dan anak-anak mereka yang yatim dimanapun berada.Wallahu waliyyu dzalika wal qadiru alaihi.
Semoga shalawat dan salam tercurah kepada baginda Rasul Muhammad shallallahu’alaihi wasallam, keluarga beliau dan seluruh para sahabat.
****
Penyusun: Ummu Fatimah Abdul Mu’ti
Sumber:
Tarbiyatul Aulad (terj), Syaikh Mushthafa Al Adawy, Media Hidayah.
Tarikh Dimasyq, Ibnu Asakir diakses pada tautan berikut:http://islamport.com/d/1/trj/1/111/2713.html
http://fatwa.islamonline.net/2601
Artikel wanitasalihah.com