Beberapa Fatwa Taubat Penerima Suap
Beberapa
fatwa ulama berkaitan dengan suap-menyuap: beda suap dengan hadiah, mau
menerima suap tapi memberikan uang suap ke fakir miskin dan mengenai
bertaubat atas dosa suap.
Oleh ustadz Ammi Nur Baits
Uang
tips, “salam tempel”, hadiah dan turunan sogok lain sepertinya telah
menyatu dengan dinamika dunia kerja. Tapi pegawai yang bertakwa tidak
akan menggadaikan iman untuk terlibat dalam suap-menyuap,
sogok-menyogok atau menerima “salam tempel” dan hadiah yang bukan
haknya. Godaan melakukan perbuatan tercela ini sering karena
ketidaktahuan akan hukum syariat dan ancaman dosanya. Bahkan tidak tahu
beda antara sogok atau suap dan hibah atau hadiah. Berikut sebagian
fatwa ulama yang berkaitan dengan suap-menyuap.
Beda Suap, Hadiah atau Hibah
Risywah (suap) adalah sesuatu yang diberikan seseorang untuk mendapatkan apa {yang=dass} bukan menjadi haknya, atau untuk melarikan diri dari kewajiban yang menjadi tanggung jawabnya (Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah, 24/256). Ibnu Abidin menjelaskan, suap adalah sesuatu yang diberikan seseorang kepada hakim atau yang lainnya agar memberi keputusan yang menguntungkan dirinya atau memaksanya melakukan yang dia inginkan. (Hasyiyah Ibn Abidin, 5/362).
Syaikh Ibnu Baz dalam fatwanya menjelaskan keterangan Ibn Abidin tersebut. “Dari
apa yang disampaikan Ibn Abidin, jelaslah suap bentuknya lebih umum,
tidak hanya berupa harta atau jasa tertentu, untuk mempengaruhi hakim
agar memutuskan sesuai keinginannya. Sementara yang menjadi sasaran
suap adalah semua orang yang diharapkan bisa membantu kepentingan
penyuap. Baik kepala pemerintahan maupun para pegawainya. Maksud Ibn
Abidin ‘agar memberi keputusan yang menguntungkan dirinya atau
memaksanya melakukan yang dia inginkan’ adalah mewujudkan tujuan dan
keinginan penyuap. Baik dengan alasan yang benar maupun salah.” (Majmu’ Fatawa Ibn Baz, 23/223 – 224)
Hibah didefinisikan para ulama sebagai “Memberikan harta kepada orang yang memanfaatkannya, dengan pemindahan kepemilikan secara cuma-cuma.” (Fathul Qadir, 9/19 dan Al-Mughni, 5/379). Hibah semakna dengan hadiah. Biasanya, motivasi memberikan hibah adalah rasa cinta kepada yang diberi hibah, ingin memuliakan orang yang diberi hibah, memberikan sedekah kepadanya, atau sebagai tanda terima kasih terhadap perbuatan baiknya. Dalam memberikan hadiah maupun hibah, sama sekali tidak ada maksud untuk mendapatkan sesuatu yang bukan haknya.
Sumber: http://www.islamqa.com/ar/ref/130824
Catatan:
Para
pegawai yang digaji tetap tidak boleh menerima hadiah karena posisinya
sebagai pegawai. Baik menerima dari klien maupun bawahan. Baik sebagai
ungkapan terima kasih atas jasa pelayanan yang telah diberikan maupun
dalam rangka memuliakan.
Kesimpulan ini berdasarkan riwayat bahwa pada suatu hari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menugaskan
seorang lelaki untuk memungut sedekah. Ternyata utusan itu menerima
hadiah dari penyetor zakat. Seusai dari tugasnya lelaki tersebut
berkata, “Wahai Rasulullah, harta ini adalah hasil kerjaku dan aku
serahkan kepadamu. Sedangkan harta ini adalah hadiah yang aku
dapatkan.” Menanggapi sikap utusan tersebut, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Mengapa engkau tidak duduk-duduk saja di rumah ayah dan ibumu, lalu lihatlah, adakah engkau mendapatkan hadiah atau tidak?” Selanjutnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam naik mimbar dan berkhutbah. “Amma ba’du: Mengapa seorang utusan yang aku beri tugas, lalu ketika pulang ia berkata, ‘Ini hasil tugasku sedangkan ini adalah hadiah milikku?’ Tidakkah
ia duduk saja di rumah ayah dan ibunya, lalu dia lihat, adakah ia
mendapatkan hadiah atau tidak. Sungguh demi Allah yang jiwa Muhammad
ada dalam genggaman-Nya, tidaklah ada seorang dari kalian yang
mengambil sesuatu tanpa haknya (korupsi), melainkan kelak pada hari
kiyamat ia akan memikul harta korupsinya. Bila dia mengambil seekor unta maka dia membawa untanya
dalam keadaan bersuara. Bila ia mengambil sapi, maka ia membawa sapinya
itu yang terus melenguh (bersuara). Dan bila yang dia ambil adalah
seekor kambing, maka dia membawa kambingnya itu yang terus mengembik.
Sungguh aku telah menyampaikan peringatan ini.” (Muttafaqun ‘alaih)
Dalam hadis tersebut Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam meletakkan
standar yang jelas dalam hal hadiah yang diterima seorang pegawai.
Hadiah yang diterima pegawai karena peran atau jabatannya, hakekatnya gratifikasi, dan tentu hukumnya haram. Dalam hadis tersebut, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak membedakan antara hadiah yang datang sebelum seseorang menjalankan tugas dan hadiah yang datang setelahnya, sebagaimana Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menegaskan, “Tidakkah engkau duduk-duduk saja di rumah ayah dan ibumu, lalu lihatlah, adakah engkau mendapatkan hadiah atau tidak?”
Dalam hadis lain, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menekankan ketentuan tersebut melalui sabdanya, “Hadiah para pegawai adalah korupsi.” (HR. Ahmad dan lainnya). Karena itu, hati-hati dengan uang tips yang pernah Anda terima, karena semuanya masuk dalam cakupan hadis ini.
Disuap Tanpa Berharap, Diterima, Lalu Diberikan ke Fakir Miskin
Hukum
mengenai disuap tanpa berharap, uangnya diterima tetapi lalu uangnya
itu diberikan ke fakir miskin dapat dirinci sebagai berikut:
Pertama,
ada orang menyuap pegawai untuk melancarkan tujuannya, lalu pegawai
menerima dan memberikan uang suap itu ke orang miskin. Dalam kasus ini,
menerima uang suap termasuk perbuatan haram berdasarkan keumuman dalil
yang melarang suap. Selain itu, perbuatan ini menunjukkan sikap
mendiamkan kemunkaran dan menyetujui terjadinya sogok. Karena orang
yang menyogok merasa tujuannya telah dia dapatkan dengan sogok yang dia
berikan.
Dari Abdullah bin Amr bin Ash Radliallahu ‘anhuma, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yang menyuap dan yang menerima suap. (HR. Ahmad 6791, Abu Daud 3580 dan dishahihkan Al-Albani).
Memberikan uang suap kepada orang miskin bukanlah alasan membolehkan menerima suap. Seorang hamba tidak boleh melakukan hal yang haram dengan tujuan agar bisa bersedekah.
Kedua,
ada pegawai menerima uang tips, kemudian dia memberikan sebagian uang
itu kepada kita, tanpa kita memintanya. Bolehkah kita menerimanya untuk
diberikan ke orang miskin? Perbuatan ini statusnya sama. Hukumnya
haram. Berarti kita mendiamkan praktek suap dan menunjukkan sikap
setuju terhadap praktek suap. Bisa jadi tujuan utama memberikan
sebagian uang suap kepada kita agar kita menyetujui praktek suap.
Ketiga,
ada orang yang pernah menerima uang tips, dan ingin bertaubat, dia lalu
menyerahkan uang itu kepada kita untuk disedekahkan kepada orang
miskin. Bolehkah kita menerimanya? Kita boleh menerimanya, dan
memberikannya ke fakir miskin, karena dalam tindakan ini kita membantu
orang lain melakukan ketaatan.
Keempat,
bolehkah orang miskin menerimanya? Boleh, dan harta itu halal baginya,
karena mereka menerimanya dengan cara yang halal, yaitu sedekah.
An-Nawawi menukil pendapat Al-Ghazali, yang menjelaskan, “Orang
yang pernah mengambil harta haram kemudian dia ingin bertaubat dan
berlepas diri darinya, maka jika harta itu ada pemiliknya, wajib dia
kembalikan kepadanya atau diserahkan ke orang yang mewakilinya. Jika
pemiliknya sudah mati maka wajib dia serahkan ke ahli warisnya. Jika
dia tidak mengetahui pemiliknya dan dia putus asa untuk bisa
menemukannya maka dia boleh menyalurkan harta yang haram itu untuk
kemaslahatan kaum muslimin, seperti fasilitas umum, masjid, atau
semacamnya yang bisa dinikmati oleh kaum muslimin. Jika tidak
memungkinkan, bisa disedekahkan kepada orang miskin.”
Sumber: http://www.islamqa.com/ar/ref/130908
Bertaubat atas Dosa Suap, Harus Kembalikan Uang Suap?
Menerima uang suap termasuk perbuatan haram dan diganjar dosa besar. Suap diancam laknat. Karena itu, siapa saja yang pernah melakukan suap-menyuap tidak ada pilihan selain harus bertaubat. Apakah uang suap itu wajib dikembalikan?
Ada beberapa keadaan. Pertama,
jika penyuap memberikan uang suap untuk mendapatkan haknya, yang disuap
wajib mengembalikan harta itu kepada penyuap, karena harta itu
diperolehnya dengan cara batil dan zalim kepada orang lain. Kedua,
jika penyuap memberikan uang suap untuk mendapatkan yang bukan haknya,
dan dia telah berhasil, maka uang itu tidak boleh dikembalikan ke
penyuap sehingga penyuap tidak mendapatkan dua kepentingan sekaligus, yakni memperoleh yang bukan haknya dan mendapatkan kembali hartanya.
Dalam
keadaan tersebut, pegawai yang bertaubat wajib menyerahkan harta suap
dengan menyedekahkannya ke orang miskin atau disalurkan untuk
kepentingan umum. Ibnul Qoyim mengatakan. “Jika
ada orang yang mendapatkan harta dari orang lain dengan cara haram, dan
pemberi harta telah mendapat manfaatnya, seperti wanita pezina yang
mendapat harta dari konsumennya, atau penyanyi, penjual khamr, saksi
palsu, atau semacamnya, kemudian dia bertaubat, sebagian ulama
berpendapat, dia wajib mengembalikannya kepada pemiliknya. Karena harta
itu adalah harta pemberi uang, dan penerima mengambilnya tanpa izin
syariat. Pemberi suap tidak mendapatkan manfaat mubah dari harta yang
dia berikan.”
Ulama lain berpendapat, taubatnya dengan menyedekahkan uang suap tersebut dan tidak mengembalikannya kepada penyuap (pendapat syaikhul Islam, Ibn Taimiyah, dan inilah pendapat yang kuat. (Madarijus Salikin, 1/389)
Ulama lain berpendapat, taubatnya dengan menyedekahkan uang suap tersebut dan tidak mengembalikannya kepada penyuap (pendapat syaikhul Islam, Ibn Taimiyah, dan inilah pendapat yang kuat. (Madarijus Salikin, 1/389)
Sumber: http://www.islamqa.com/ar/ref/104241 (PM)
Pull-Quote:
- “Memberikan hadiah maupun hibah harus sama sekali tidak ada maksud untuk mendapatkan sesuatu yang bukan haknya.”
- “Pegawai yang memiliki gaji tetap tidak boleh menerima hadiah karena posisinya sebagai pegawai.”
- “Memberi uang suap ke orang miskin bukanlah alasan pembenar menerima suap.”
- Al-Ghazali: “Orang yang pernah mengambil harta haram kemudian dia ingin bertaubat dan berlepas diri darinya, maka jika harta itu ada pemiliknya, wajib dia kembalikan kepadanya.”
Hukum Suap-Menyuap
- Suap : sesuatu yang diberikan seseorang untuk mendapatkan apa bukan menjadi haknya, atau untuk melarikan diri dari kewajiban yang menjadi tanggung jawabnya.
- Hibah: sesuatu harta yang diberikan kepada orang yang memanfaatkannya dengan pemindahan kepemilikan, secara cuma-cuma.
- Beda suap dengan hibah/hadiah:
- Hibah atau hadiah umumnya diberikan karena dorongan rasa cinta atau penghormatan.
- Suap dan semacamnya diberikan karena tendensi tertentu dari pemberi.
- Pegawai tidak boleh menerima hadiah maupun hibah karena peran atau jabatannya.
- Hukum menerima uang suap untuk diberikan ke fakir miskin:
- Menerima uang suap dari klien atau dari pegawai lain yang menerima suap: haram, meskipun diniatkan untuk disedekahkan.
- Menyalurkan uang hasil suap dari orang yang bertaubat untuk diberikan kepada orang miskin: boleh
- Seorang pegawai yang menyerahkan uangnya kepada orang miskin karena bertaubat, boleh menerima uang tersebut dan statusnya halal baginya.
- Kepada siapa uang suap harus diserahkan:
- Jika pemberi suap melakukan tindakan menyuap untuk mendapatkan haknya maka uang itu wajib dikemballikan kepadanya.
- Jika pemberi suap melakukan tindakan menyuap untuk mendapatkan yang bukan haknya, dan dia telah berhasil maka tidak perlu dikembalikan, tapi disedekahkan
Read more http://pengusahamuslim.com/5633-fatwa-taubat-penerima-suap.html