Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas حَفِظَهُ الله تَعَالَى
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas حَفِظَهُ الله تَعَالَى
Tercatat
dalam sejarah, bahwa pemberontakan pertama kali dalam Islam dilakukan
oleh Dzul Khuwaishirah -yaitu cikal bakal Khawarij- yang kemudian
menurunkan generasi yang berpemikiran sesat seperti dia. Demikian juga
tercatat pada perkembangan berikutnya, tidak ada satu pun pemberontakan
kecuali pelakunya adalah Khawarij dan Syi’ah Rafidhah, atau orang-orang
yang teracuni pemikiran dua aliran sesat tersebut. Mereka terus
mengotori barisan ummat Islam ini dengan tampil sebagai teroris di
tubuh ummat. Berikut beberapa contoh aksi teror dan pemberontakan yang
mereka lakukan sepanjang sejarah Islam:
Pemberontakan Pertama
Pemberontakan pertama dalam sejarah Islam dilakukan oleh Dzul Khuwaishirah.[1]
Al-Imam Ibnul Jauzi (wafat th. 597 H) berkata dalam kitabnya Talbiis Ibliis:
أَوَّلُ الْخَوَارِجِ وَأَقْبَحُهُمْ حَالَةً ذُو الْخُوَيْصِرَةِ
“Khawarij yang pertama dan paling jelek adalah Dzul Khuwaishirah.”
Imam
al-Bukhari rahimahullah meriwayatkan dari Abu Sa’id al-Khudri
Radhiyallahu anhu, bahwa ia berkata: “’Ali pernah mengirim sepotong
emas dalam kantong kulit yang telah disamak dari Yaman kepada
Rasulullah Shallallahu ‘alaiahi wa sallam, dan emas itu belum
dibersihkan dari kotorannya. Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
membaginya kepada empat orang: ‘Uyainah bin Badr, Aqra’ bin Habis, Zaid
al-Khail, dan ‘Alqamah atau ‘Amir bin ath-Thufail. Maka, seseorang dari
sahabat mereka mengatakan: “Kami lebih berhak dengan (harta) ini
dibanding mereka.” Ucapan itu sampai kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam, maka beliau bersabda:
أَلاَ تَأْمَنُوْنِي وَأَنَا أَمِيْنُ مَنْ فِي السَّمَاءِ، يَأْتِيْنِي خَبَرُ السَّمَاءِ صَبَاحًا وَمَسَاءً.
“Apakah
kalian tidak percaya kepadaku, padahal aku adalah kepercayaan Dzat yang
ada di langit (yakni Allah), wahyu turun kepadaku dari langit di waktu
pagi dan sore.” [2]
Kemudian
datanglah seorang laki-laki yang cekung kedua matanya, menonjol bagian
atas kedua pipinya, menonjol kedua dahinya, lebat jenggotnya, botak
kepalanya dan tergulung sarungnya. Orang itu berkata: “Bertaqwalah
kepada Allah, wahai Rasulullah!” Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam menjawab:
وَيْلَكَ، أَوَلَسْتُ أَحَقَّ أَهْلِ اْلأَرْضِ أَنْ يَتَّقِيَ اللهَ؟
“Celakalah engkau! Bukankah aku manusia yang paling takwa kepada Allah di muka bumi?!”
Kemudian
orang itu pergi. Maka Khalid bin Walid Radhiyallahu anhu berkata:
“Wahai Rasulullah, apakah harus aku penggal lehernya?” Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda: “Jangan, dia masih shalat (yakni masih Muslim).”
Khalid Radhiyallahu anhu berkata: “Berapa banyak orang yang shalat
berucap dengan lisannya (syahadat) ternyata bertentangan dengan isi
hatinya.” Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Aku tidak diperintahkan untuk mengorek isi hati manusia dan membelah dada-dada mereka.” Kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat kepada orang itu seraya bersabda:
إِنَّهُ
يَخْرُجُ مِنْ ضِئْضِىءِ هذَا قَوْمٌ يَتْلُوْنَ كِتَابَ اللهِ رَبْطًا،
لاَ يُجَاوِزُ حَنَاجِرَهُمْ، يَمْرُقُوْنَ مِنَ الدِّيْنِ كَمَا يَمْرُقُ
السَّهْمُ مِنَ الرَّمِيَّةِ.
“Sesungguhnya
akan keluar dari keturunan orang ini sekelompok kaum yang membaca
Kitabullah (Al-Qur-an) secara kontinyu namun tidak melampaui
tenggorokan mereka [3]. Mereka melesat (keluar) dari (batas-batas) agama layaknya anak panah yang melesat menuju (sasaran) buruannya.”
Dan saya (perawi) kira beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لَئِنْ أَدْرَكْتُهُمْ َلأَقْتُلَنَّهُمْ قَتْلَ ثَمْوْدَ.
“Jika aku menjumpai mereka (lagi), niscaya aku akan bunuh mereka seperti dibunuhnya kaum Tsamud”[4]
Dalam
riwayat lain disebutkan bahwa ketika kami bersama Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan beliau sedang membagi ghanimah,
tiba-tiba Dzul Khuwaishirah -seseorang dari bani Tamim- mendatangi beliau seraya berkata: “Wahai Rasulullah, berbuat adillah!!”
Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Celakalah
engkau, siapa lagi yang dapat barelaku adil jika aku sudah (dikatakan)
tidak adil. Sungguh celaka dan rugi jika aku tidak dapat berbuat adil.” Lalu ‘Umar berkata: “Wahai Rasulullah, izinkan aku memenggal lehernya!” Rasulullah menjawab: “Biarkan
dia. Sesungguhnya dia mempunyai pengikut, dimana kalian menganggap
remeh shalat kalian jika dibandingkan shalatnya mereka, juga puasa
kalian dibandingkan puasanya mereka. Mereka membaca Al-Qur-an tetapi
tidak melewati tenggorokan mereka. Mereka melesat (keluar) dari
(batas-batas) agama seperti melesatnya anak panah dari (sasaran)
buruannya…”[5]
Dalam riwayat lain beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ
مِنْ ضِئْضِئِ هذَا، أَوْ فِيْ عَقِبِ هذَا قَوْمٌ يَقْرَأُوْنَ
الْقُرْآنَ لاَ يُجَاوِزُ حَنَاجِرَهُمْ، يَمْرُقُوْنَ مِنَ الدِّيْنِ
مُرُوْقَ السَّهْمِ مِنَ الرَّمِيَّةِ، يَقْتُلُوْنَ أَهْلَ اْلإِسْلاَمِ
وَيَدَعُوْنَ أَهْلَ اْلأَوْثَانِ، لَئِنْ أَنَا أَدْرَكْتُهُمْ
َلأَقْتُلَنَّهُمْ قَتَلَ عَادٍ.
“…
Akan keluar dari keturunan orang ini suatu kaum yang mereka itu ahli
membaca Al-Qur-an, namun bacaan tersebut tidak melewati tenggorokan
mereka. Mereka melesat (keluar) dari (batas-batas) agama seperti
melesatnya anak panah dari (sasaran) buruannya. Mereka membunuh ahlul
Islam dan membiarkan hidup ahlul Autsan (orang kafir). Jika aku sempat
mendapati mereka, akan kubunuh mereka dengan cara pembunuhan terhadap
kaum ‘Aad.”[6]
Imam
Ibnul Jauzi rahimahullah kemudian berkata: “Orang itu dikenal dengan
nama Dzul Khuwaishirah at-Tamimi. Dia adalah Khawarij pertama dalam
Islam. Penyebab kebinasaannya disebabkan dia merasa puas dengan pendapatnya sendiri.
Seandainya dia berilmu, tentu dia akan mengetahui bahwa tidak ada
pendapat yang lebih tinggi dari pendapat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam.”
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
اَلْخَوَارِجُ هُمْ كِلاَبُ النَّارِ.
“Khawarij adalah anjing-anjing (penghuni) Neraka.”[7]
Pemberontakan Kedua
Pemberontakan kedua terjadi pada masa Abu Bakar ash-Shiddiq Radhiyallahu anhu. Pada masa beliau muncul gerakan separatis yang dimotori oleh beberapa kalangan kabilah Arab. Mereka menyatakan murtad dari Islam. Mereka berkata: “Masa kenabian berakhir dengan wafatnya Muhammad. Maka kita tidak mentaati siapa pun selama-lamanya setelah wafatnya Muhammad!!” Dan lainnya lagi menyatakan menolak untuk membayar zakat.
Pemberontakan
dan gerakan murtad ini merupakan ancaman langsung terhadap eksistensi
Islam, sehingga membuat Islam benar-benar dalam kondisi genting.
Kemudian Allah selamatkan agama ini dengan mengokohkan dan memantapkan
hati Abu Bakar ash-Shiddiq untuk tampil memerangi dan menumpaskan
gerakan separatis dan aksi murtad tersebut. Tindakan Abu Bakar ini
didukung oleh seluruh Sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam[8]. Imam ‘Ali Ibnul Madini berkata: “Sesungguhnya
Allah menjaga agama ini dengan Abu Bakar Radhiyallahu anhu pada saat
terjadi riddah dan dengan Imam Ahmad rahimahullah pada hari mihnah.”[9]
Pemberontakan Ketiga
Pemberontakan ketiga terjadi pada masa pemerintahan Khalifah ‘Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu anhu. Yaitu gerakan teroris yang merupakan konspirasi Yahudi dan Persia untuk melakukan pembunuhan yang dilakukan oleh Abu Lu’lu’ah al-Majusi terhadap Amirul Mukminin al-Faruq ‘Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu anhu. Beliau wafat tahun 23 H (643 M) Radhiyallahu anhu.[10]
Pemberontakan Keempat
Kemudian di zaman pemerintahan khalifah ‘Utsman bin ‘Affan Radhiyallahu anhu muncul pula gerakan teror dan pemberontakan yang memprovokasi massa untuk anti terhadap khalifah yang sah, Amirul Mukminin ‘Utsman bin ‘Affan Radhiyallahu anhu. Gembong dari gerakan ini adalah ‘Abdullah bin Saba’ al-Yahudi. Dia menampilkan diri sebagai seorang Muslim, namun kedengkian dan kekufuran terhadap Islam tersimpan di dadanya.
Selama
40 hari khalifah ‘Utsman bin ‘Affan Radhiyallahu anhu dikepung di rumah
beliau sendiri. Para pemberontak (Khawarij/teroris) pun bahkan berani
menerobos masuk rumah khalifah ‘Utsman dengan menaiki dinding rumah
beliau. Kemudian dengan kejinya mereka membunuh Amirul Mukminin ‘Utsman
bin ‘Affan yang ketika itu sedang membaca Al-Qur-an. Muncratlah darah
suci seorang Sahabat mulia Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
dan tetesan pertama darah beliau mengenai mushaf yang berada di
pangkuannya, tepat mengenai ayat Allah:
فَسَيَكْفِيكَهُمُ اللَّهُ ۚ وَهُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ
“Maka Allah akan mencukupi (membalas)mu dari mereka dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” [Al-Baqarah/2: 137][11]
Beliau Radhiyallahu anhu wafat pada tahun 35 H (656 M).
Pemberontakan Kelima
Kemudian barisan para teroris pembunuh Khalifah ‘Utsman bin ‘Affan tersebut menghilangkan jejak dan menyusup di barisan Amirul Mukminin ‘Ali bin Abi Thalib. Mereka menampilkan diri sebagai pendukung khalifah ‘Ali. Barisan para teroris tersebut menyulut bara fitnah. Hingga akhirnya, mereka menyatakan diri keluar dari barisan khalifah ‘Ali, dengan alasan bahwa ‘Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu anhu telah kafir karena telah berhukum dengan selain hukum Allah. Mereka menyempal dari barisan khalifah ‘Ali dan menyingkir dari suatu tempat yang bernama Harura’, jumlah mereka sekitar 12000 orang, yang kemudian mereka berdiam di situ. Itulah awal pertumbuhan mereka secara terang-terangan memisahkan diri dan keluar dari barisan para Sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka memproklamirkan bahwa komandan perang mereka adalah ‘Abdullah bin Wahhab ar-Rasibi dan imam mereka adalah ‘Abdullah bin al-Kawwa al-Yasykuri.[12]
Orang-orang
Khawarij sangat kuat dalam beribadah, tetapi mereka meyakini bahwa
mereka lebih berilmu dari para Sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam dan ini merupakan penyakit yang sangat berbahaya. Di
tengah-tengah mereka tidak ada seorang pun ahlul ilmu dari kalangan
Sahabat, padahal para Sahabat masih hidup.
Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma menuturkan: “Ketika
kaum Khawarij me-misahkan diri, mereka masuk ke suatu daerah. Ketika
itu jumlah mereka 6000 orang. Mereka semua sepakat untuk memberontak
kepada Amirul Mukminin ‘Ali bin Abi Thalib. Banyak yang datang kepada
‘Ali untuk mengingatkan beliau: ‘Wahai Amirul Mukminin sesungguhnya
kaum ini (Khawarij) hendak memberontak kepadamu!” Namun ‘Ali
menyatakan: “Biarkan mereka, karena aku tidak akan memerangi mereka
hingga mereka dulu yang memerangiku dan mereka akan mengetahui nantinya.”
Kemudian
terjadi perdebatan antara Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma dengan para
Khawarij tersebut, semua hujjah dan argumentasi mereka dalam
mengkafirkan dan memberontak dari barisan ‘Ali -bahkan dari barisan
para Sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam- dibantah habis oleh
Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma dengan hujjah dan argumentasi yang
kokoh dan tidak dapat dibantah lagi, dan mereka tidak mampu membantah
hujjah-hujjah tersebut. Sehingga tersingkap dan terjawab segala
kerancuan berpikir yang selama ini menutupi akal dan hati mereka yang
picik tersebut. Ibnu ‘Abbas berkata: “Maka bertaubatlah 4000 orang dari mereka, dan sisanya tetap memberontak. Maka akhirnya mereka -para pemberontak- ditumpas habis.”[13]
Demikianlah
Ibnu ‘Abbas menasihati mereka dengan meletakkan prinsip dasar dalam
memahami agama Islam yang benar, yaitu dengan merujuk apa yang telah
difahami dan diamalkan oleh para Sahabat Radhiyallahu anhum. Tidak
boleh seseorang memahami dan menafsirkan nash-nash Al-Qur-an dan
As-Sunnah dengan pemahaman dan penafsiran sendiri yang keluar dan
berbeda dari apa yang dipahami dan diamalkan oleh para Sahabat.
Kemudian
barisan Khawarij yang melarikan diri membuat fitnah dimana-mana dan
berusaha membangun kekuatan kembali untuk memberontak dan
memporak-porandakan jama’ah kaum Muslimin dan mereka terus mendendam
kepada khalifah kaum Muslimin. Ada tiga orang Khawarij yang berencana
membunuh khalifah ‘Ali bin Abi Thalib, Mu’awiyah bin Abi Sufyan dan
‘Amr bin al-‘Ash Radhiyallahu anhum. Kemudian ‘Abdurrahman bin ‘Amr
yang terkenal dengan ‘Abdurrahman bin Muljam al-Himyari al-Kindi
(seseorang dari kaum Khawarij) membunuh ‘Ali bin Abi Thalib ketika
shalat Shubuh. Amirul Mukminin ‘Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu anhu
wafat di bulan Ramadhan tahun 40 H (661 M).[14]
Setiap
pemberontakan melawan pemerintah, membuat kerusakan, mengganggu
stabilitas keamanan, menakut-nakuti dan mengadakan teror bagi kaum
Muslimin, maka umumnya pelakunya orang kafir, atau munafik atau
Khawarij. Karena sesungguhnya Islam tidak pernah mengajarkan untuk
membuat kerusakan, sebaliknya Islam mengajak kepada kedamaian dan
keamanan.
Bahkan Nabi Ibrahim Alaihissallam setelah membangun Ka’bah beliau memohon kepada Allah agar negeri Mekkah diberikan rasa aman.
رَبِّ اجْعَلْ هَٰذَا بَلَدًا آمِنًا
“Ya Rabb-ku, jadikanlah negeri (Makkah) ini, negeri yang aman sentausa….” [Al-Baqarah/2: 126]
[Disalin
dari kitab Syarah Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah (Ahlus Sunnah
Melarang Memberontak Kepada Penguasa), Penulis Yazid bin Abdul Qadir
Jawas, Penerbit Pustaka Imam Asy-Syafi’i, Po Box 7803/JACC 13340A
Jakarta, Cetakan Ketiga 1427H/Juni 2006M]
_______
Footnote
[1] Talbiis Ibliis (hal. 110) oleh Imam Ibnul Jauzi, cet. Darul Kutub al-‘Ilmiyyah, lihat juga al-Muntaqa an-Nafiis min Talbiis Ibliis (hal. 89) oleh Syaikh ‘Ali bin Hasan ‘Ali ‘Abdul Hamid al-Halabi, cet. Daar Ibnul Jauzi.
Footnote
[1] Talbiis Ibliis (hal. 110) oleh Imam Ibnul Jauzi, cet. Darul Kutub al-‘Ilmiyyah, lihat juga al-Muntaqa an-Nafiis min Talbiis Ibliis (hal. 89) oleh Syaikh ‘Ali bin Hasan ‘Ali ‘Abdul Hamid al-Halabi, cet. Daar Ibnul Jauzi.
[2] HR. Al-Bukhari (no. 4351), Muslim (no. 1064) dari Sahabat Abu Sa’id al-Khudri
[3] Yakni bacaan tersebut tidak sampai masuk ke dalam hatinya yang dengan itu dia dapat memahami apa yang dibacanya
[4] HR.
Al-Bukhari (no. 4351, 7432), Muslim (no. 1064 (144)), Abu Dawud (no.
4764), an-Nasa-i (V/87-88), al-Baihaqi (VII/18) dan Ahmad (III/68, 72,
73) dari Sahabat Abu Sa’id al-Khudri Radhiyallahu anhu.
[5] HR.Bukhari 3344, 3610, 6163, 6933 dan Muslim 1064, 1065
[6] HR. Al-Bukhari (no. 3344), Muslim (no. 1064 (143)) dan Abu Dawud (no. 4764).
[7] HR.
Ahmad (IV/355), ‘Abdullah bin Ahmad dalam as-Sunnah (II/635, no. 1513),
Ibnu Majah (no. 173), Ibnu Abi ‘Ashim dalam as-Sunnah (no. 904), Ibnu
Abi Syaibah, al-Lalika-i dalam Syarah Ushuul I’tiqaad Ahlis Sunnah wal
Jamaa’ah (no. 2311), dari Sahabat Ibnu Abi Aufa. Hadits ini shahih dan
ada syawahid (penguat) dari Abu Umamah.
[8] Lihat al-Bidaayah wan Nihaayah (VI/315-335) oleh al-Hafizh Ibnu Katsir
[9] Siyar A’lamin Nubalaa’ (XI/196).
[10] Lihat al-Bidaayah wan Nihaayah (VII/141-142).
[11] Lihat
al-Bidaayah wan Nihaayah (VII/192-198) dan Siyar A’laamin Nubalaa’
Siratul Khulafaa-ur Raasyidiin (hal. 206-207) oleh Imam adz-Dzahabi
[12] Demikianlah
mereka menampilakan tokoh-tokoh baru, karena memang di tengah-tengah
mereka tidak ada seorang pun dari kalangan para Sahabat Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidak ada seorang ulama pun. Rata-rata
mereka adalah kaum muda yang tidak memahami Al-Qur-an dan As-Sunnah
sebagaimana yang dipahami para Sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam. Dengan kesempitan dan kedangkalan ilmu tersebut mereka
berani menentang ulama dari kalangan para Sahabat Radhiyallahu anhum
[13] Lihat al-Bidaayah wan Nihaayah (VII/289-300).
[14] Lihat al-Bidaayah wan Nihaayah (VII/338-340).
Sumber: https://almanhaj.or.id/6165-sejarah-awal-mula-pemberontakan-dalam-islam.html