HUKUM MENCIUM TANGAN ATAU KEPALA
Pertanyaan.
Bagaimana
hukum mencium kepala orang yang lebih besar atau tua, seperti kakek,
nenek dan yang lainnya sebagai bentuk penghormatan?
Jawaban.
Mencium kepala, tangan atau kening sebagai bentuk penghormatan atau pemuliaan itu diperbolehkan, sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits dari Aisyah Radhiyallahu anhuma, dia mengatakan:
وَكَانَ
النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا رَآهَا قَدْ أَقْبَلَتْ
رَحَّبَ بِهَا ثُمَّ قَامَ إِلَيْهَا فَقَبَّلَهَا ثُمَّ أَخَذَ بِيَدِهَا
فَجَاءَ بِهَا حَتَّى يُجْلِسَهَا فِي مَكَانِهِ. وَكَانَتْ إِذَا
أَتَاهَا النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَحَّبَتْ بِهِ
ثُمَّ قَامَتْ إِلَيْهِ فَقَبَّلَتْهُ وأَنَّهَا دَخَلَتْ عَلَى
النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي مَرَضِهِ الَّذِي قُبِضَ
فِيهِ فَرَحَّبَ وَقَبَّلَهَا
Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam jika melihat putri Beliau Shallallahu
‘alaihi wa sallam (yaitu Fathimah) mendatangi Beliau Shallallahu
‘alaihi wa sallam, maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyambut
kedatangannya. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri lalu
berjalan menyambut, menciumnya, menggandeng tangannya lalu
mendudukkannya di tempat Beliau duduk. (Begitu juga sebaliknya-red)
Jika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendatangi Fathimah Radhiyallahu anhuma,
maka Fathimah menyambut kedatanga Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Dia bangkit dan berjalan kearah Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam
lalu mencium Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan Fathimah Radhiyallahu anhuma pernah
mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam saat Beliau Shallallahu
‘alaihi wa sallam sedang menderita sakit menjelang wafat Beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
menyambut kedatangannya dan menciumnya.[1]
Diriwayatkan dari Abu Juhaifah Radhiyallahu anhu, dia mengatakan:
لَمَّا قَدِمَ جَعْفَرٌ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، مِنْ أَرْضِ الْحَبَشَةِ قَبَّلَ رَسُوْلَ اللهِ مَا بَيْنَ عَيْنَيْهِ
Ketika
Ja’far Radhiyallahu anhu mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
setibanya dari Habasyah, Ja’far Radhiyallahu anhu mencium wajah
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yaitu antara dua mata Beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam [2]
Dalam
sebuah hadits dari Anas bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah
mengambil Ibrahim (putra Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam ) lalu
menciumnya[3]
Juga
disebutkan dalam hadits dari Aisyah Radhiyallahu anhuma bahwa Abu Bakr
Radhiyallahu anhu ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat,
beliau Radhiyallahu anhu menyingkap kain penutup wajah Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam lalu mencium wajah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
yaitu antara dua mata Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam .[4]
Kita
juga bisa mendapatkan menemukan beberapa atsar dari para Ulama salaf
tentang perlakuan adil terhadap anak-anak dalam masalah ciuman,
sebagaimana juga tentang mencium tangan. Diriwayatkan dari Abdurrahman
bin Razîn, dia mengatakan, “Kami melewati Rabadzah (sebuah perkampungan
dekat Madinah-red) maka dikatakan kepada kami, ‘Salamah bin al-Akwa’
ada di sini.’ Maka kami mendatanginya dan menyalaminya lalu dia
mengeluarkan kedua tangannya, seraya mengatakan, ‘Kami telah membaiat
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan kedua tanganku ini.’ Dia
mengeluarkan telapak tangannya yang besar seperti telapak tangan unta.
Kami berdiri menghampirinya dan menciumnya.”[5]
Perlu diingat, meskipun mencium tangan atau kepala itu boleh, namun tidak sepantasnya dilakukan terus menerus.
Karena dikhawatirkan itu akan menghilangkan sunnah berjabat tangan yang
dijelaskan dengan perkataan dan perbuatan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi
wa sallam dan juga perbuatan para Sahabat Radhiyallahu anhum. Ketika
mereka bertemu, mereka berjabat tangan dan ketika mereka datang dari bepergian jauh, mereka saling berpelukan.[6] Apalagi,
jika mengingat keutamaan dari berjabat tangan yaitu bisa menjadi sebab
terhapusnya dosa-dosa orang-orang yang berjabat tangan. Orang yang
memiliki antusiasme tinggi tentu tidak ingin kehilangan momentum untuk
mewujudkan kebaikan ini.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ
الْمُؤْمِنَ إِذَا لَقِيَ الْمُؤْمِنَ فَسَلَّمَ عَلَيْهِ، وَأَخَذَ
بِيَدِهِ، فَصَافَحَهُ، تَنَاثَرَتْ خَطَايَاهُمَا، كَمَا يَتَنَاثَرُ
وَرَقُ الشَّجَرِ
Seorang
Mukmin, jika dia bertemu dengan Mukmin yang lain, lalu dia mengucapkan
salam kepadanya dan menjabat tangannya, maka dosa-dosa akibat kesalahan
mereka berdua akan berguguran sebagaimana dedaunan berguguran[7]
Terkait masalah ini, penulis merasa perlu untuk mengingatkan para pembaca tentang dua hal:
Pertama:
Hadits
Abu Hurairah Radhiyallahu anhu yang terkait dengan mencium tangan,
dimana dijelaskan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika
hendak dicium tangannya, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَهْ إِنَّمَا يَفْعَلُ هَذَا الأَعَاجِمُ بـِمُلُوْكِهَا ,إِنـِّي لَسْتُ بِمَلِكٍ, إِنَّمَا أَنَا رَجُلٌ مِنْكُمْ
Tidak
mau. Yang melakukan ini hanya orang-orag ajam terhadap para raja
mereka, sementara saya bukan seorang raja. Saya hanya seorang lelaki
sebagaimana kalian.
Hadits ini palsu, tidak bisa dijadiakn hujjah, apalagi untuk membantah hadits yang shahih.
Kedua:
Tidak ada rukhsah terkait mencium tangan atau kepala ini untuk mencium atau mengecup mulut,
sebagaimana yang dilakukan oleh Syi’ah dan yang lainnya. Perbuatan ini
dimakruhkan karena tidak ada riwayat yang menjelaskan bahwa perbuatan
itu dilakukan oleh para Ulama salaf. Al-Baghawi mengatakan, “Barangsiapa yang mau mencium, maka janganlah dia mencium mulut, namun ciumlah tangan, kepala atau kening.”[8]
Disebutkan dalam kitab al-Adabus Syar’iyyah, 2/572, karya Ibnu Muflih disebutkan penjelasan tentang sebab makruhnya mencium mulut, “Dimakruhkan mencium mulut, karena jarang sekali perbuatan dilatar belakangi keinginan untuk memuliakan.”
Wallahu a’lam
[Disalin
dari majalah As-Sunnah Edisi 05/Tahun XIX/1436H/2015. Diterbitkan
Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton
Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak
Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
_______
Footnote
[1] HR. Al-Bukhâri dalam Adabul Mufrad, no. 947; Abu Daud, no. 5217; At-Tirmidzi, no. 3872. Syaikh al-Albani dalam kitab al-Misykah memandang sanad hadits ini jayyid, 3/1329
_______
Footnote
[1] HR. Al-Bukhâri dalam Adabul Mufrad, no. 947; Abu Daud, no. 5217; At-Tirmidzi, no. 3872. Syaikh al-Albani dalam kitab al-Misykah memandang sanad hadits ini jayyid, 3/1329
[2] HR. Ath-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Kabîr, 2/108, 22/100; Abu Daud dalam Sunannya, 2/777 dari asy-Sya’biy. Dalam kitab as-Silsilah ash-Shahîhah, 6/335, syaikh al-Albani rahimahullah menilai sanad hadits ini jayyid
[3] HR. Al-Bukhâri, no.1303
[4] HR. Al-Bukhâri, no.1241
[5] HR. Al-Bukhâri dalam Adabul Mufrad, no. 973. Dalam Shahîh Adabil Mufrad, no. 747, syaikh al-Albani rahimahullah memandang sanad atsar ini hasan.
[6] Diriwayatkan oleh ath-Thabrani dalam al-Mu’jamul Ausath, no. 97 dari hadits Anas bin Malik. Syaikh al-Albani rahimahullah dalam kitab ash-Shahîhah, 6/303 mengatakan bahwa sanadnya jayyid.
[7] HR. Ath-Thabrani dalam al- Ausath, 1/84 dan al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman, 6/473 dari hadits Hudzaifah Radhiyallahu anhu . Syaikh al-Albani rahimahullah menilai hadits ini sebagai hadits shahih. As-Shahîhah, no. 2692
[8] Syarhus Sunnah, 12/293