Pertanyaan.
Jika
seorang ibu menyuruh anak laki-lakinya yang sudah menikah untuk
menceraikan istrinya sebagai akibat dari percekcokan yang terjadi
antara si ibu dan keluarga si istri, padahal si istri sama sekali tidak
ikut campur dalam masalah tersebut. Dan secara kasat mata, si istri
adalah wanita yang istiqamah dan baik. Haruskah si anak mentaati
perintah ibu untuk menceraikan istrinya? Mohon penjelasan, jazakumullah
khairan
Jawaban.
Sebelum
memberikan jawaban terhadap permasalahan yang sedang mendera penanya,
kami turut berempati kepada kepada saudara dan semoga Allâh Azza wa
Jalla memberikan solusi terbaik bagi saudara dan semua anggota keluarga
penanya.
Saudaraku,
sebagaimana telah diketahui bersama bahwa nash-nash syar’iyah yang
terkait dengan mentaati kedua orang itu banyak sekali. Nash-nash
tersebut mengharuskan seorang anak untuk berbakti dan berbuat baik
kepada keduanya, seperti firman Allâh Azza wa Jalla :
وَقَضَىٰ رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا
Dan
Rabbmu telah memerintahkan supaya kamu jangan beribadah kepada selain
Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan
sebaik-baiknya. [Al-Isra’/17:23]
Namun, perlu diketahui bahwa ketaatan itu harus dilakukan jika mereka memerintahkan untuk melakukan hal-hal yang ma’ruf (yang baik) bukan untuk melakukan perbuatan maksiat atau kemungkaran. Allâh Azza wa Jalla berfirman:
وَإِنْ جَاهَدَاكَ عَلَىٰ أَنْ تُشْرِكَ بِي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلَا تُطِعْهُمَا ۖ وَصَاحِبْهُمَا فِي الدُّنْيَا مَعْرُوفًا ۖ وَاتَّبِعْ سَبِيلَ مَنْ أَنَابَ إِلَيَّ ۚ ثُمَّ إِلَيَّ مَرْجِعُكُمْ فَأُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ
Dan
jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang
tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti
keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah
jalan orang yang kembali kepada-Ku. Kemudian hanya kepada-Kulah kembalimu, maka Kuberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan. [Luqman/31:15]
Dan berdasarkan sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِي الْمَعْرُوفِ
Sesungguhnya kewajiban taat itu hanya ada pada hal-hal ma’ruf[1]
Berdasarkan
uraian di atas, apabila seorang ibu menyuruh anak laki-lakinya untuk
menceraikan istrinya dengan beberapa sebab yang semua sebab itu hanya
sekedar mengikuti hawa nafsu, sekedar menginginkan keduanya berpisah,
atau disebabkan oleh pertengkaran atau permusuhan dua keluarga tanpa
ada ikut campur tangan sama sekali dari istri anak laki-lakinya dalam
permusuhan tersebut. Dalam hal ini, si ibu hanya ingin melampiaskan
emosinya dengan menyuruh anaknya menceraikan istrinya sebagai bentuk
balasan kepada istri dan keluarga istri. Jika demikian ini faktanya,
maka perintah ibu tersebut bukan dilatar belakangi alasan yang syar’i. Oleh karena itu, si anak tidak wajib mentaati permintaan ibunya dengan menceraikan istrinya.
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَ طَاعَةَ لِـمَخْلُوْقٍ فِي مَعْصِيَةِ اللهِ
Tidak boleh taat kepada makhluk dalam hal maksiat kepada Allâh Azza wa Jalla[2]
Terlebih
lagi jika secara kasat mata terlihat beberapa indikasi ketakwaan,
kebaikan dan keistiqamahan pada diri istri dalam kehidupan berumah
tangga. Bahkan seharusnya si anak laki-laki ini harus berusaha membantu
ibunya agar menarik kembali permintaannya itu. Ini bertujuan supaya si
ibu tidak terjerumus dalam perbuatan menzhalimi orang lain dan merusak
kehidupan suami istri hanya disebabkan permusuhan dalam keluarga besar
mereka. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
انْصُرْ
أَخَاكَ ظَالِمًا أَوْ مَظْلُومًا قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ هَذَا
نَنْصُرُهُ مَظْلُومًا فَكَيْفَ نَنْصُرُهُ ظَالِمًا قَالَ تَرُدُّهُ عَنْ
ظُلْمِهِ فَذَاكَ نُصْرَةٌ لَهُ
Bantulah
saudaramu yang berlaku zhalim atau yang dizhalimi. Para Sahabat
bertanya, ‘Kami membantu saudara kami yang dizhalimi, lalu, bagaimana
cara membantu saudara yang berbuat zhalim?’ Rasûlullâh Shallallahu
‘alaihi wa sallam menjawab, “Engkau menahannya dari perbuatan
zhalimnya. Itulah bentuk menolong saudara yang hendak berbuat zhalim.”[3]
Adapun jika perintah ibu kepada anak laki-lakinya agar menceraikan istrinya berdasarkan sebab-sebab yang sesuai syari’at dan untuk mewujudkan kemaslahatan yang sesuai syari’at, maka si anak wajib taat.
Misalnya, si istri terbukti melakukan keburukan, seperti melakukan
praktek sihir atau perdukunan, atau melakukan keburukan dalam
intraksinya dengan lelaki yang bukan mahramnya, atau terbukti dia
melakukan pencurian, atau mengkhianati ikatan rumah tangga, atau dia
berani keluar rumah pada waktu-waktu yang mencurigakan tanpa izin dari
suaminya, atau si suami tahu bahwa si istri sering meninggalkan
ibadah-ibadah yang diwajibkan dalam agama, berperangai buruk dan lain
sebagainya. Jika ini benar-benar terbukti, bukan sekedar berdasarkan
dugaan semata, maka si anak wajib mentaati perintah ibunya. Dia harus
menceraikan istrinya.
Disebutkan dalam sebuah hadits bahwa Ibnu Umar Radhiyallahu anhuma mengatakan:
كَانَتْ
عِنْدِي امْرَأَةٌ أُحِبُّهَا وَكَانَ أَبِي يَكْرَهُهَا فَأَمَرَنِي
أَبِي أَنْ أُطَلِّقَهَا فَأَبَيْتُ فَذَكَرْتُ ذَلِكَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَا عَبْدَ اللهِ بْنَ عُمَرَ ! طَلِّقِ
امْرَأَتَكَ
Saya
memiliki seorang istri yang saya sukai, tapi bapakku tidak menyukainya.
Lalu bapakku menyuruhku untuk menceraikannya, tapi saya keberatan. Lalu
saya menceritakan hal itu kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Wahai Abdullah bin Umar! Ceraikanlah istrimu!” Maka saya pun menceraikan istri saya itu[4]
Hadits
ini menunjukkan bahwa diantara hak seorang bapak yang baik dan
bertujuan baik, sejalan dengan syari’at, jika dia membenci istri
anaknya dengan alasan yang sesuai syari’at pula, maka dia berhak
meminta anaknya untuk menceraikan istrinya dan kewajiban anak untuk
mentaati permintaannya. Jika seoranng bapak berhak seperti ini, maka
ibu lebih berhak melakukannya, karena hak seorang ibu terhadap anak
melebihi hak seorang bapak terhadap anaknya. Ini jika
ketentuan-ketentuan di atas yang sesuai syari’at telah terpenuhi.
Wallahu a’lam
[Disalin
dari majalah As-Sunnah Edisi 05/Tahun XIX/1436H/2015. Diterbitkan
Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton
Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak
Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
_______
Footnote
[1] HR. Al-Bukhâri, no. 7145 dan Muslim, no. 1840 dari hadits Ali bin Abi Thâlib Radhiyallahu anhu
_______
Footnote
[1] HR. Al-Bukhâri, no. 7145 dan Muslim, no. 1840 dari hadits Ali bin Abi Thâlib Radhiyallahu anhu
[2] HR.
Ahmad, no. 1095 dari hadits Ali bin Abi Thâlib Radhiyallahu anhu.
Hadits ini dinilai sebagai hadits shahih oleh syaikh al-Albani
rahimahullah dalam as-Silsilah ash-Shahîhah, no. 179
[3] HR.
Al-Bukhâri, no. 6952 dari hadits Anas bin Malik Radhiyallahu anhu juga
diriwayatkan oleh Imam Muslim, no. 2584 dari hadits Abdullah bin Jâbir.
[4] HR.
At-Tirmidzi, no. 1189; Al-Hakim, 4/169; Ahmad, no. 5011 dari hadits
Ibnu Umar Radhiyallahu anhuma . Hadits ini dihukumi shahih oleh syaikh
al-Albani rahimahullah dalam al-Irwa’, 7/136
Sumber: https://almanhaj.or.id/6266-ibu-menyuruh-anaknya-menceraikan-istrinya.html