Oleh
Syaikh ‘Abdul Hamid bin ‘Abdirrahman as-Suhaibani
Syaikh ‘Abdul Hamid bin ‘Abdirrahman as-Suhaibani
A. Adab-Adab Sebelum Safar
1. Melakukan shalat Istikharah sebelum bepergian, yaitu shalat sunnah dua raka’at kemudian berdo’a dengan do’a Istikharah.
Dari
Jabir bin ‘Abdillah Radhiyallahu anhu, ia berkata: “Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan kepada kami shalat Istikharah
untuk memutuskan segala sesuatu, sebagaimana beliau Shallallahu ‘alaihi
wa sallam mengajarkan al-Qur-an. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda: ‘Apabila
seseorang di antara kalian mempunyai rencana untuk mengerjakan sesuatu,
hendaklah melakukan shalat sunnat (Istikharah) dua raka’at kemudian
membaca do’a:
“اللَّهُمَّ
إِنِّيْ أَسْتَخِيْرُكَ بِعِلْمِكَ، وَأَسْتَقْدِرُكَ بِقُدْرَتِكَ،
وَأَسْأَلُكَ مِنْ فَضْلِكَ الْعَظِيْمِ، فَإِنَّكَ تَقْدِرُ وَلاَ
أَقْدِرُ، وَتَعْلَمُ وَلاَ أَعْلَمُ، وَأَنْتَ عَلاَّمُ الْغُيُوْبِ،
اَللَّهُمَّ إِنْ كُنْتَ تَعْلَمُ أَنَّ هَذَا اْلأَمْرَ -وَيُسَمِّى
حَاجَتَهُ- خَيْرٌ لِيْ فِيْ دِيْنِي وَمَعَاشِيْ وَعَاقِبَةِ أَمْرِيْ
-أَوْ قَالَ: عَاجِلِهِ وَآجِلِهِ فَاقْدُرْهُ لِيْ وَيَسِّرْهُ لِيْ
ثُمَّ بَارِكْ لِيْ فِيْهِ، وَإِنْ كُنْتَ تَعْلَمُ أَنَّ هَذَا اْلأَمْرَ
شَرٌّ لِيْ فِيْ دِيْنِيْ وَمَعَاشِيْ وَعَاقِبَةِ أَمْرِيْ -أَوْ قَالَ:
عَاجِلِهِ وَآجِلِهِ- فَاصْرِفْهُ عَنِّيْ وَاصْرِفْنِيْ عَنْهُ وَاقْدُرْ
لِيَ الْخَيْرَ حَيْثُ كَانَ ثُمَّ أَرْضِنِيْ بِهِ.”
“Ya
Allah, sesungguhnya aku meminta pilihan yang tepat kepada-Mu dengan
ilmu-Mu dan aku memohon kekuatan kepada-Mu (untuk mengatasi
persoalanku) dengan ke-Mahakuasaan-Mu. Aku memohon kepada-Mu sesuatu
dari anugerah-Mu Yang Mahaagung, sesungguhnya Engkau Mahakuasa sedang
aku tidak kuasa, Engkau mengetahui, sedang aku tidak mengetahui dan
Engkau-lah Yang Maha mengetahui hal yang ghaib. Ya Allah, apabila
Engkau mengetahui bahwa urusan ini (orang yang mempunyai hajat
hendak-nya menyebutkan persoalannya) lebih baik dalam agamaku,
penghidupanku, dan akibatnya terhadap diriku -atau Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘…Di dunia atau Akhirat’- sukseskanlah
untukku, mudahkanlah jalannya, kemudian berilah berkah. Akan tetapi
apabila Engkau mengetahui bahwa persoalan ini lebih berbahaya bagiku
dalam agamaku, penghidupanku, dan akibatnya terhadap diriku, atau -Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘…Di
dunia atau akhirat,’- maka singkirkanlah persoalan tersebut, dan
jauhkanlah aku dari padanya, takdirkan kebaikan untukku dimana saja
kebaikan itu berada, kemudian berikanlah keridhaan-Mu kepadaku.” [HR. Al-Bukhari no. 1162, 6382 dan 7390]
2.
Hendaknya bertaubat kepada Allah dari segala macam kemaksiatan yang
telah diperbuatnya dan beristighfar dari setiap dosa yang dilakukannya,
karena dia tidak mengetahui apa yang akan terjadi setelah ia melakukan
safar dan tidak mengetahui pula takdir yang menimpanya.
Bagi
seorang yang hendak safar hendaknya mengembalikan barang-barang yang
pernah dirampasnya kepada pemiliknya, membayar hutang-hutang,
menyiapkan nafkah (uang belanja) kepada yang wajib diberikan nafkah,
segera menyelesaikan perjanjian-perjanjian yang diulur-ulur dan menulis
wasiat kepada ahli warisnya dengan dihadiri para saksi, dan
meninggalkan uang belanja kepada keluarganya (isteri, anak dan orang
tua) dan meninggalkan kebutuhan pokok yang dapat mencukupinya.[1]
Hendaknya seorang yang hendak safar tidak membawa perbekalan kecuali dari sumber yang halal lagi baik.
3. Hendaknya melakukan safar (perjalanan) bersama dengan dua orang atau lebih. Sebagaimana hadits:
اَلرَّاكِبُ شَيْطَانٌ وَالرَّاكِبَانِ شَيْطَانَانِ وَالثَّلاَثَةُ رَكْبٌ.
“Satu
pengendara (musafir) adalah syaitan, dua pengendara (musafir) adalah
dua syaitan, dan tiga pengendara (musafir) ialah rombongan musafir.”[2]
4.
Seorang musafir hendaknya memilih teman perjalanan yang shalih, yaitu
orang yang dapat membantu menjaga agamanya, menegurnya apabila lupa,
membantunya jika dibutuhkan dan mengajarinya apabila ia tidak tahu.
5. Mengangkat pemimpin, yaitu hendaknya menunjuk seorang ketua rombongan dalam safar, sebagaimana hadits:
إِذَا كَانَ ثَلاَثَةٌ فِيْ سَفَرٍ فَلْيُؤَمِّرُوْا أَحَدَكُمْ.
“Jika tiga orang (keluar) untuk bepergian, maka hendaklah mereka mengangkat salah seorang dari mereka sebagai ketua rombongan.”[3]
Dan
yang dipilih sebagai ketua rombongan adalah orang yang mempunyai akhlak
yang paling baik, paling dekat dengan teman-temannya, paling dapat
mengutamakan kepentingan orang lain (tidak egois) dan senantiasa
mencari kesepakatan rombongan (ketika ada perbedaan pendapat)
6. Disunnahkan untuk melakukan safar (perjalanan) pada hari Kamis dan berangkat pagi-pagi ketika akan melakukan perjalanan. Hal ini berdasarkan hadits shahih dari Ka’ab bin Malik Radhiyallahu anhu :
أَنَّ
النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَرَجَ يَوْمَ الْخَمِيْسِ
فِيْ غَزْوَةِ تَبُوْكَ، وَكَانَ يُحِبُّ أَنْ يَخْرُجَ يَوْمَ
الْخَمِيْسِ.
“Bahwasanya
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar menuju perang Tabuk pada hari
Kamis dan telah menjadi kebiasaan beliau untuk keluar (bepergian) pada
hari Kamis.”[4]
Di dalam riwayat yang lain,
لَقَلَّمَا كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْرُجُ إِذَا خَرَجَ فِيْ سَفَرٍ إلاَّ يَوْمَ الْخَمِيْسِ.
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila bepergian senantiasa melakukannya pada hari Kamis.” [HR. Al-Bukhari no. 2949][5]
Sedangkan dalil tentang disunnahkannya untuk berangkat pagi-pagi ketika hendak melakukan perjalanan adalah:
اَللَّهُمَّ بَارِكْ لأُِمَّتِيْ فِيْ بُكُوْرِهَا
“Ya Allah, berkahilah ummatku pada pagi harinya.” [HR. Abu Dawud no. 2606, at-Tirmidzi no. 1212, ia berkata: “Hadits ini hasan.”]
Dan
sangat disukai untuk memulai bepergian pada waktu ad-Dulajah, yaitu
awal malam atau sepanjang malam, sebagaimana hadits dari Anas bin Malik
Radhiyallahu anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
“عَلَيْكُمْ بِالدُّلْجَةِ فَإِنَّ الأَرْضَ تُطْوَى بِاللَّيْلِ.”
“Hendaklah kalian bepergian pada waktu malam, karena seolah-olah bumi itu terlipat pada waktu malam.” [HR. Abu Dawud no. 2571, al-Hakim II/114, I/445, hasan]
7.Berpamitan kepada keluarga dan teman-teman yang ditinggalkan.
Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam senantiasa berpamitan kepada para
Sahabatnya ketika akan safar (bepergian), beliau Shallallahu ‘alaihi wa
sallam mengucapkan do’a kepada salah seorang di antara mereka, dengan
do’a:
أَسْتَوْدِعُ اللهَ دِيْنَكَ وَأَمَانَتَكَ وَخَوَاتِيْمَ عَمَلِكَ.
“Aku menitipkan agamamu, amanahmu dan perbuatanmu yang terakhir kepada Allah.”
[HR. Ahmad II/7, 25, 38, at-Tirmidzi no. 3443, Ibnu Hibban no. 2376,
al-Hakim II/97, dishahihkan dan disepakati oleh Imam adz-Dzahabi. Lihat
Silsilah al-Ahaadiits ash-Shahiihah no. 14]
Makna أَسْتَوْدِعُ اللهَ دِيْنَكَ (aku titipkan agamamu),
yaitu aku memohon kepada Allah agar berkenan menjaga agamamu (agar
istiqamah dalam ketaatan kepada Allah). Sedangkan yang dimaksud dengan amanah adalah keluarga dan orang-orang yang selainnya serta harta yang dititipkan, dijaga dan dikuasakan kepada orang kepercayaan atau wakilnya atau yang semakna dengan itu.
Makna خَوَاتِيْمَ عَمَلِكَ (perbuatanmu yang terakhir),
yaitu do’a untuknya agar akhir perbuatannya baik (husnul khatimah). Hal
ini karena, amalan terakhir merupakan amalan yang paling menentukan
baginya di Akhirat kelak dan sebagai penghapus perbuatan-perbuatan
buruk yang dilakukan.[6]
B. Adab-Adab Ketika Safar
1. Menaiki kendaraan dan mengucapkan do’a safar (bepergian).
Apabila
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menaiki kendaraannya, beliau
mengucapkan takbir sebanyak tiga kali: “اللهُ أَكْبَرُ, اللهُ أَكْبَرُ,
اللهُ أَكْبَرُ,” kemudian berdo’a:
“سُبْحَانَ
الَّذِيْ سَخَّرَ لَنَا هَذَا وَمَا كُنَّا لَهُ مُقْرِنِيْنَ، وَإِنَّا
إِلَى رَبِّنَا لَمُنْقَلِبُوْنَ، الَلَّهُمَّ إِنَّا نَسْأَلُكَ فِي
سَفَرِنَا
هَذَا الْبِرَّ وَالتَّقْوَى، وَمِنَ الْعَمَلِ مَا تَرْضَى، الَلَّهُمَّ
هَوِّنْ عَلَيْنَا سَفَرَنَا هَذَا وَاطْوِ عَنَّا بُعْدَهُ، الَلَّهُمَّ
أَنْتَ الصَّاحِبُ فِي السَّفَرِ وَالْخَلِيْفَةُ فِيْ اْلأَهْلِ،
الَلَّهُمَّ إِنِّيْ أَعُوْذُبِكَ مِنْ وَعْثَاءِ السَّفَرِ وَكَآبَةِ
الْمَنْظَرِ وَسُوْءِ الْمُنْقَلَبِ فِي الْمَالِ وَاْلأَهْلِ.”
“Mahasuci
Rabb yang menundukkan kendaraan ini untuk kami, sedangkan sebelumnya
kami tidak mampu. Dan sesungguhnya kami akan kembali kepada Rabb kami
(di hari Kiamat). Ya Allah, sesungguhnya kami memohon kebaikan dan
taqwa dalam perjalanan ini, kami memohon perbuatan yang membuat-Mu
ridha. Ya Allah, mudahkanlah perjalanan kami ini, dan dekatkanlah
jaraknya bagi kami. Ya Allah, Engkaulah teman dalam perjalanan dan yang
mengurus keluarga(ku). Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu
dari kelelahan dalam bepergian, pemandangan yang menyedihkan dan
perubahan yang jelek dalam harta dan keluarga.”[7]
Dalam hadits yang lain:
كَانَ
رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا سَافَرَ
يَتَعَوَّذُ مِنْ وَعْثَاءِ السَّفَرِ وَكَآبَةِ الْمُنْقَلَبِ
وَالْحَوْرِ بَعْدَ الْكَوْرِ، وَدَعْوَةِ الْمَظْلُوْمِ، وَسُوْءِ
الْمَنْظَرِ فِي اْلأَهْلِ وَالْمَالِ.
“Apabila
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan perjalanan jauh,
beliau berlindung kepada Allah dari kelelahan perjalanan, perubahan
yang menyedihkan, kekurangan setelah kelebihan, do’a orang-orang yang
teraniaya serta pemandangan yang buruk dalam keluarga dan hartanya.” [HR. Muslim no. 1343 (426)]
2.
Bertakbir (mengucapkan اللهُ أَكْبَرُ (Allahu Akbar)) ketika sedang
jalan mendaki dan bertasbih (mengucapakan سُبْحَانَ الله (Subhanallaah)
ketika jalan menurun.
Sebagaimana hadits Jabir bin ‘Abdillah Radhiyallahu anhu, ia berkata:
كُناَّ إِذَا صَعِدْنَا كَبَّرْنَا وَ إِذَا نَزَلْنَا سَبَّحْنَا.
“Kami apabila berjalan menanjak mengucapkan takbir (Allahu Akbar) dan apabila jalan menurun membaca tasbih (Subhanallaah).”
[HR. Al-Bukhari no. 2993-2994, Ahmad III/333, ad-Da-rimi no. 2677,
an-Nasa-i dalam ‘Amalul Yaum wal Lailah no. 541 dan Ibnu Sunni dalam
‘Amalul Yaum wal Lailah no. 516]
3. Memperbanyak mengucapkan do’a, berdasarkan hadits:
عَنْ
أَبِيْ هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ: ثَلاَثُ دَعَوَاتٍ مُسْتَجَابَاتٌ لاَ شَكَّ فِيْهِنَّ
دَعْوَةُ الْمَظْلُوْمِ، وَدَعْوَةُ الْمُسَافِرِ، وَدَعْوَةُ الْوَالِدِ
عَلَى وَلَدِهِ.
Dari Abu Hurairah Radhyallahu anhu, ia berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Tiga
do’a yang pasti dikabulkan (mustajab) dan tidak ada keraguan lagi
tentang-nya, do’anya seorang yang dizhalimi, do’anya musafir (orang
yang melakukan perjalanan), do’a buruk orang tua terhadap anaknya.’”
[HR. Ah-mad II/434, Abu Dawud no. 1536, At-Tirmidzi no. 2741. Lihat
Silsilah al-Ahaadiits ash-Shahiihah oleh Imam al-Albani no. 596]
4. Melantunkan sya’ir dan puisi, sebagaimana hadits Salamah bin al-Akwa’ Radhiyallahu anhu, beliau berkata: “Kami
bepergian bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menuju
Khaibar, kemudian kami terus bergerak ketika malam, lalu berkatalah
seseorang kepada Amir bin Akwa’, ‘Tidakkah engkau perdengarkan kepada kami sya’ir-sya’ir kegembiraanmu?’
Hal ini dikarenakan Amir adalah seorang penyair, kemudian beliau (Amir)
turun dari tunggangannya dan memberikan semangat kepada orang-orang,
seraya berkata: ‘Ya Allah, jika tidak
karena Engkau pasti kami tidak akan pernah mendapatkan petunjuk, tidak
pula kami bershadaqah dan tidak pula kami shalat (hingga akhir do’a).’ Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya: ‘Siapakah yang bersenandung itu?’ Mereka menjawab: ‘Amir bin al-Akwa’.’ Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: ‘Semoga Allah memberikan rahmat kepadanya…’” [HR. Al-Bukhari no. 2477 dan Muslim no. 1802 (124)]
5. Beristirahat ketika sedang melakukan perjalanan.
Hal
tersebut merupakan belas kasih kita kepada hewan tunggangan, di samping
memanfaatkannya untuk tidur dan beristirahat. Namun demikian, perlu
memperhatikan keadaan tempat pemberhentian dan sebaiknya menjauhkan
diri dari jalanan, terutama pada waktu malam hari, karena banyak
serangga-serangga dan hewan melata yang berbisa, juga binatang buas
berkeliaran pada malam hari di jalan-jalan untuk memudahkan gerak
mereka, di samping mereka memunguti makanan yang berjatuhan (dari para
musafir) atau yang lainnya di jalanan tersebut boleh jadi akan
didatangi oleh mereka dan terganggu. Apabila seseorang membuat tenda,
maka sudah seharusnya ia menjauhkan diri dari jalanan (saat malam hari).
C. Adab-Adab Setelah Safar (Bepergian)
1. Mengucapkan do’a Safar (bepergian), sebagaimana telah disebutkan pada halaman 67.
Kemudian menambahkannya dengan lafazh do’a:
آيِبُوْنَ تَائِبُوْنَ عَابِدُوْنَ لِرَبِّنَا حَامِدُوْنَ.
“Kami kembali dengan bertaubat, tetap beribadah dan selalu memuji kepada Rabb kami.”
[HR. Muslim no. 1345, Ahmad III/187;189, an-Nasa-i no. 551 dalam
‘Amalul Yaum wal Lailah dan Ibnu Sunni no. 526 dari Shahabat Anas bin
Malik Radhiyallahua anhu]
Apabila
kembali dari bepergian dan melalui bukit atau melalui tempat yang luas
lagi tinggi, bertakbir tiga kali kemudian berdo’a:
لاَ
إِلهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ
الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ آيِبُوْنَ، تَائِبُوْنَ،
عَابِدُوْنَ، سَاجِدُوْنَ، لِرَبِّنَا حَامِدُوْنَ، صَدَقَ اللهُ وَعْدَهُ
وَنَصَرَ عَبْدَهُ وَهَزَمَ الأَحْزَابَ وَحْدَهُ.
“Tidak
ada ilah yang berhak diibadahi melainkan Allah Yang Mahaesa tiada
sekutu bagi-Nya. Bagi-Nya kerajaan dan segala pujian. Dia-lah Yang
Mahakuasa atas segala sesuatu, kami kembali dengan bertaubat, tetap
beribadah dan bersujud, serta selalu memuji Rabb kami. Dialah Yang
membenarkan janji-Nya, menolong hamba-Nya dan menghancurkan segala
musuh dengan ke-Maha-esaan-Nya.” [HR. Al-Bukhari no. 1797, Muslim no. 1344 (428)]
Dan sangat disukai (dianjurkan) untuk mengulang do’a tersebut:
آيِبُوْنَ تَائِبُوْنَ عَابِدُوْنَ لِرَبِّنَا حَامِدُوْنَ.
“Kami kembali dengan bertaubat, tetap beribadah dan selalu memuji kepada Rabb kami.”
[HR. Muslim no. 1345, Ahmad III/187;189, an-Nasa-i no. 551 dalam
‘Amalul Yaum wal Lailah dan Ibnu Sunni no. 526 dari Sahabat Anas bin
Malik Radhiyallahu anhu]
Hal
ini berdasarkan perkataan Anas Radhiyallahu anhu bahwa beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam terus mengucapkan hal tersebut hingga
kami tiba di Madinah. [HR. Muslim no. 1345 (429)]
2.
Memberitahukan terlebih dahulu kedatangannya kepada keluarganya dan
tidak disukai untuk datang kembali dari bepergian pada malam hari tanpa
memberitahukan terlebih dahulu kepada keluarganya. Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang seseorang mengetuk pintu
rumah keluarganya di waktu malam. Hal ini berdasarkan hadits berikut,
نَهَى النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يَطْرُقَ أَهْلَهُ لَيْلاً.
“Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang seseorang untuk mengetuk
(pintu rumah) keluarganya pada waktu malam hari.” [HR. Al-Bukhari no. 1801, Muslim no. 715 (184), dan lafazh ini berdasarkan riwayat al-Bukhari]-penj.
Dan di dalam hadits lainnya disebutkan:
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لاَيَطْرُقُ أَهْلَهُ، كَانَ لاَيَدْخُلُ إِلاَّ غُدْوَةً أَوْ عَشِيَّةً.
“Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah mengetuk pintu (rumah
keluarganya), tidak pula masuk (ke rumah, setelah pulang dari
bepergian) kecuali pada pagi hari atau sore hari.” [HR. Al-Bukhari no. 1800 dan Muslim no. 1928 (180), lafazh hadits ini berdasarkan riwayat al-Bukhari]
Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam menerangkan hikmah, di balik dari
pelarangan tersebut, dimana beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda:
كَيْ تَمْتَشِطَ الشَّعِثَةُ وَتَسْتَحِدَّ الْمُغِيْبَةُ.
“Agar
keluarganya mempunyai waktu terlebih dahulu untuk merapikan diri,
berhias, menyisir rambut yang kusut dan dapat bersolek setelah
ditinggal pergi.” [HR. Muslim no. 715 (181)]
3. Shalat dua raka’at di masjid ketika tiba dari safar (perjalanan), sebagaimana hadits berikut:
إِنَّ
النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا قَدِمَ مِنْ
سَفَرٍ ضُحًى دَخَلَ الْمَسْجِدَ فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ قَبْلَ أَنْ
يَجْلِسَ.
“Sesungguhnya
apabila Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah tiba dari bepergian
pada saat Dhuha, beliau masuk ke dalam masjid dan kemudian shalat dua
raka’at sebelum duduk.” [HR. Al-Bukhari no. 3088 dan Muslim no. 2769, lafazh hadits ini berdasarkan riwayat al-Bukhari]
Sedangkan dalam hadits Jabir bin ‘Abdillah Radhiyallahu anhu ia berkata: “Aku
pernah bepergian bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Ketika kami telah tiba di kota Madinah, beliau berkata kepadaku:
اُدْخُلِ الْمَسْجِدَ فَصَلِّ رَكْعَتَيْنِ.
“Masuklah masjid dan shalatlah dua raka’at.” [HR. Al-Bukhari no. 3087]
[Disalin
dari kitab Aadaab Islaamiyyah, Penulis ‘Abdul Hamid bin ‘Abdirrahman
as-Suhaibani, Judul dalam Bahasa Indonesia Adab Harian Muslim Teladan,
Penerjemah Zaki Rahmawan, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir Bogor, Cetakan
Kedua Shafar 1427H – Maret 2006M]
_______
Footnote
_______
Footnote
[1]. Hal ini sebagaimana hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
مَا حَقُّ امْرِئٍ مُسْلِمٍ لَهُ شَيءٌ يُوْصِيْ فِيْهِ يَبِيْتُ لَيْلَتَيْنِ إِلاَّ وَوَصِيَّتُهُ مَكْتُوْبَةٌ عِنْدَهُ.
“Tiada
hak bagi seorang muslim yang memiliki sesuatu yang di dalamnya (harus)
diwasiatkan, lantas ia bermalam sampai dua malam melainkan wasiat itu
harus (sudah) ditulis olehnya.” ]HR. Al-Bukhari no. 2738, Muslim no. 1627, Abu Dawud no. 2862, Ibnu Majah no. 2702, lihat Irwaa-ul Ghaliil no. 1652]-penj.
[2].
Hasan: Diriwayatkan oleh Ahmad (II/186), Abu Dawud (no. 2607), Imam
Malik dalam al-Muwaththa’ (II/978) dan at-Tirmidzi (no. 1674), ia
berkata: “Hadits ini hasan shahih.” Hadits ini dihasankan oleh Syaikh
al-Albani rahimahullah dalam Sil-silah al-Ahaadiits ash-Shahiihah (no.
62) dan Shahiih Sunan Abi Dawud (II/494).
[3].
Shahih: Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 2609). Disha-hihkan oleh
Syaikh al-Albani t dalam Shahiihul Jaami’ (no. 763) dan Shahiih Sunan
Abi Dawud (II/495).
[4].
Shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 2950) dan Abu Dawud (no.
2605). Lihat Silsilah al-Ahaadiits ash-Shahiihah (V/162) karya Syaikh
al-Albani rahimahullah.
[5]. Dalam teks aslinya tertulis muttafaqun ‘alahi namun kami tidak mendapatkannya di Shahih Muslim.-penj.
[6]. Lihat Adabus Safar, oleh Ummu ‘Abdillah.
[7].
HR. Muslim no. 1342 dari Sahabat Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma,
at-Tirmidzi no. 3444, Abu Dawud no. 2599, Ahmad II/144 dan 150 dan
an-Nasa-i dalam ‘Amalul Yaum wal Lailah no. 548.
Sumber: https://almanhaj.or.id/4007-adab-adab-safar.html