Tidak jarang orang yang mempunyai semangat membara untuk memberikan
nasehat. Tidak jarang pula orang yang memberikan nasehat hanya bertumpu
pada kepuasan nafsu.
Mengapa secara nafsu? Berdasar
naluri orang cenderung malu dan tidak ingin ketahuan melakukan maksiat dan
dosa. Berbeda jika yang melakukannya orang lain, sebagian orang cenderung untuk
menghakimi dan memvonis. Karena itu
tidak heran jika ada yang membelokkan nasehat demi memuluskan hobi ghibah.
Berdasar kenyataan tersebut
wajar pula bila para ulama meletakkan dasar-dasar etika dalam
menyampaikan nasehat.
Di antaranya 7 hal berikut ini:
1. IKHLAS
Nasehat adalah salah satu
ibadah paling utama dalam agama Islam. Nasehat
adalah penjaga
keamanan dalam masyarakat untuk menolak berbagai kerusakan dan memperbaiki
berbagai aib dan kekurangan. Oleh
karena itu, Islam sangat memperhatikan ajaran nasehat dan menjadikannya
sebagai salah satu syiar para nabi dan kaum muslimin. Bahkan, Rasulullah
shallallaahu ’alaihi wasallam pernah membaiat salah seorang sahabatnya, yaitu
Jarir bin Abdullah, supaya selalu memberi nasehat
kepada setiap muslim. Ini terdapat dalam hadits
catatan Al-Bukhari, Muslim, al-Tirmidzi, al-Nasai, dan Abu Dawud.
Semua juga mengetahui bahwa syarat diterimanya amalan ada
dua:
1) Dilakukan ikhlas untuk Allah Ta’ala, dan
2) Sesuai dengan Sunnah.
1) Dilakukan ikhlas untuk Allah Ta’ala, dan
2) Sesuai dengan Sunnah.
Jelasnya, nasehat itu termasuk amalan yang paling wajib, paling utama, dan paling baik.
Allah Ta’ala berfirman,
الَّذِي
خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلاً وَهُوَ
الْعَزِيزُ الْغَفُورُ
“Supaya Dia menguji kalian
siapa di antara kalian yang paling bagus amalannya.” (Al-Mulk:2)
Al-Fudhail bin Iyadh berkata,
“Artinya, yang paling ikhlas dan paling benar. Sebuah amal yang dilakukan dengan ikhlas tetapi tidak benar akan
tidak diterima. Jika benar tetapi tidak ikhlas, juga tidak akan diterima. Yang
diterima adalah yang ikhlas dan benar. Amalan yang ikhlas (murni)
adalah amalan yang dilakukan hanya untuk Allah, sedangkan amalan yang benar
adalah amalan yang sesuai dengan Sunnah.” (Lihat Tafsir al-Baghawi, IV: 369;
al-Hilyah, VIII: 59; dan al-Amr bil-Ma’ruf karya Syaikhul-Islam: 53 –tahqiq).
Jadi, amal shalih harus
dilakukan semata-mata untuk Allah Ta’ala. Disebutkan dalam hadits sahih dari
Abu Hurairah bahwa Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam bersabda,
قَالَ
اللَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى أَنَا أَغْنَى الشُّرَكَاءِ عَنْ الشِّرْكِ مَنْ
عَمِلَ عَمَلًا أَشْرَكَ فِيهِ مَعِي غَيْرِي تَرَكْتُهُ وَشِرْكَهُ
“Allah Ta’ala berfirman, ‘Aku
tidak butuh sekutu. Barangsiapa mengerjakan amalan yang dia menyekutukan Aku
dengan sesuatu, maka Aku berlepas diri darinya, dan amalan itu semuanya untuk
yang dia sekutukan itu.'” (Riwayat Muslim, Ibnu Majah, dan Ibnu Khuzaimah)
Inilah tauhid, dasar Islam itu.
Inilah yang menjadi tujuan diutusnya seluruh rasul dan diciptakannya seluruh
makhluk. Tauhid adalah hak Allah atas hamba-hamba-Nya, yaitu supaya mereka
beribadah kepada-Nya dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun (Al-Amr bil-Ma’ruf
karya Syaikhul Islam: 53-540)
Ikhlas adalah salah satu syarat
tercapainya tujuan nasehat, yaitu adanya
perbaikan terhadap berbagai aib dan kekurangan.
Sebaliknya, sikap
tidak jujur itu tidak mungkin mendatangkan perbaikan. Di samping menjadi syarat
diterimanya amalan dan diperolehnya pahala dan balasan dari Allah, ikhlas juga
menjadi syarat sahnya amalan dan tercapainya tujuan dan hasil yang diinginkan. Semakin ikhlas dalam memberikan
nasehat, semakin besar pula kebaikan yang akan diperoleh orang yang memberi dan
diberi nasehat.
2. BERILMU
Tujuan sebuah nasehat adalah
untuk memperbaiki aib yang ada dan mengajak orang menuju keutamaan. Ini
tidak mungkin terwujud kecuali
dilakukan oleh orang yang mengetahui antara utama dan kehinaan, mengetahui yang
baik dari yang rusak.
Jika orang yang memberi nasehat
itu tidak tahu, bahaya
yang ditimbulkan justru lebih besar daripada manfaat yang didapat.
Mungkin ada orang yang ingin
memberi nasehat, tetapi bisa jadi justru menyuruh perbuatan yang rusak –karena
mengiranya sebagai kebaikan. Inilah yang tidak jarang dilakukan orang yang
berusaha memberi nasehat kepada saudara-saudaranya, padahal tidak tahu hakekat
kebenaran.
Jadi, perkara yang
diperintahkan itu harus benar-benar perkara yang baik, sementara perkara yang
dilarang itu harus benar-benar perkara yang batil. Perkara yang baik adalah
segala hal yang diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya shallallaahu ’alaihi
wasallam, yaitu ketaatan.
Semua ketaatan adalah amal
shalih, dan semua amal shalih adalah ketaatan. Maksudnya, amal yang
disyariatkan dan disunnahkan. Amal yang disyariatkan dan disunnahkan adalah
amal yang diperintahkan, baik perintah wajib maupun perintah sunnah.
Inilah amalan yang shalih,
baik, dan bagus. Kebalikannya adalah kemaksiatan, amalan yang rusak, kejelekan,
kejahatan, kezhaliman, dan kesewenang-wenangan.
Amalan itu bisa menjadi baik
jika berdasarkan ilmu dan fiqih. Ini sebagaimana ucapan Umar bin
Abdul-Aziz, “Barangsiapa beribadah kepada Allah tanpa ilmu, kerusakan yang
dihasilkannya lebih banyak daripada kebaikannya.”
Inilah perbedaan antara
orang-orang jahiliyah dan orang-orang Islam. Jadi, harus mengetahui perkara
yang ma’ruf dan yang mungkar, dapat membedakan keduanya, dan mengetahui keadaan
yang diperintah dan keadaan yang dilarang. (Al-Amru bil-Ma’ruf: 54-55).
3. MENUTUPI AIB DAN TIDAK
MEMBEBERKANNYA
Tujuan orang yang memberi
nasehat adalah menghilangkan dan menjauhkan aib yang ada pada saudaranya. Kaum salaf jika
menasehati seseorang, mereka melakukannya secara sembunyi-sembunyi.
Al-Fudhail bin Iyadh berkata, “Orang mukmin itu menutupi dan menasehati, sedangkan orang fajir itu membuka aib dan
menjelek-jelekkan.”
Sifat
yang disebutkan al-Fudhail ini merupakan salah satu tanda menasehati dan
menjelek-jelekkan. Memberi nasehat itu ditunjukkan oleh tindakan
menutupi aib, sedangkan
menjelek-jelekkan itu ditunjukkan oleh tindakan membeberkan kejelekan secara
terang-terangan.
Ada yang mengatakan “Barangsiapa
memerintah saudaranya di hadapan orang banyak, sesungguhnya dia telah menjelek-jelekkannya” atau ungkapan yang semakna.
Kaum salaf tidak suka melakukan
amar ma’ruf nahi munkar dengan cara seperti ini. Mereka suka melakukan hal ini
secara sembunyi-sembunyi, berduaan antara orang yang memerintah dan yang
diperintah. Ini merupakan salah satu tanda nasehat. Orang yang memberi
nasehat itu tidak
bermaksud membeberkan aib-aib orang yang dinasehatinya.Tujuannya hanya ingin menghilangkan kerusakan yang
ada padanya.
Adapun membeberkan dan
mengumumkan aib termasuk perbuatan yang diharamkan Allah dan Rasul-Nya.
Sebagian ulama berkata kepada orang yang hendak melakukan amar ma’ruf, “Berusahalah sekuat tenaga untuk menutupi para pelaku maksiat itu!
Sesungguhnya menampakkan aurat
(aib, kejelekan) mereka termasuk kelemahan dalam Islam karena sesuatu yang
paling berhak untuk ditutupi adalah aurat.”
Oleh karena itu, membeberkan
perbuatan keji digolongkan perbuatan menjelek-jelekkan orang lain. Dua
perbuatan ini termasuk tanda-tanda orang fajir. Orang fajir itu tidak
bermaksud menghilangkan atau menjauhkan orang mu`min dari kekurangan dan aib. Orang
fajir hanya bertujuan untuk membebeberkan aib yang ada pada saudaranya yang
beriman.
Dia hanya ingin menjatuhkan
kehormatan saudaranya. Dia selalu berusaha
membongkar aib saudaranya. Tujuannya
hanya untuk merendahkan saudaranya yang mu`min dengan cara menunjukkan aib-aib
dan kejelekan-kejelekannya kepada orang banyak. Ia ingin memberikan bahaya
kepada saudaranya itu.
Sebaliknya, orang yang memberi nasehat
hanya ingin menghilangkan dan manjauhkan aib yang ada pada saudaranya yang
beriman. Itulah sifat yang disebutkan
Allah Ta’ala pada Rasul-Nya.” (Al-Farqu Bainan-Nashihah wat-Ta’yir: 28-30.
Lihat juga Jami’ul-‘Ulum wal-Hikam: 77)
4. LEMAH LEMBUT, RENDAH HATI,
DAN BERAKHLAK BAIK
Memberi nasehat harus dengan
lamah lembut. Hal ini sebagaimana sabda
Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam,
إِنَّ
الرِّفْقَ لَا يَكُونُ فِي شَيْءٍ إِلَّا زَانَهُ وَلَا يُنْزَعُ مِنْ شَيْءٍ
إِلَّا شَانَهُ
“Tidaklah kelemahlembutan
itu ada pada sesuatu kecuali membuatnya indah. Sebaliknya, tidaklah
kelembutan itu tercerabut dari sesuatu kecuali akan membuatnya jelek.” (Muslim, Abu Dawud, dan Ahmad)
Lemah lembut adalah salah satu unsur terpenting untuk membuat seseorang mau
menerima nasehat tanpa menimbulkan rasa dengki atau dendam kepada orang yang
menasehati.
Oleh karena itu Allah Ta’ala
memerintahkan Musa dan Harun supaya bersikap lemah lembut kepada orang yang sangat
kafir, durhaka, zhalim, dan sewenang-wenang, yakni Fir’aun. Allah berfirman,
فَقُولاَ
لَهُ قَوْلاً لَّيِّنًا لَّعَلَّهُ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَى
“Maka katakanlah kepadanya
perkataan yang lemah lembut.” (Thaha:44)
Allah Ta’ala berfirman kepada
Nabi-Nya, Muhammad shallallaahu ’alaihi wasallam,
فَبِمَا
رَحْمَةٍ مِّنَ اللهِ لِنتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ
لاَنفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ
“Maka berkat rahmat Allah,
engkau berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya engkau bersikap keras
dan berhati kasar, tentu mereka menjauh dari sekitarmu.” (Ali ‘Imran:159)
‘Abdulaziz bin Abi Rawwad berkata,
“Orang-orang sebelum kalian biasanya jika melihat suatu kemungkaran pada diri
saudaranya, mereka memerintahnya dengan lemah lembut sehingga mereka pun
mendapat pahala dari amar ma’ruf dan nahi munkar yang dilakukannya itu. Namun,
orang-orang ini [di sekitar Abdulaziz, red.] suka mencela temannya sehingga
membuat marah saudaranya itu, dan suka membeberkan aib saudaranya.”
(Jami’ul-‘Ulum wal-Hikam: 77)
5. TIDAK MENJELEK-JELEKKAN
KARENA DOSA YANG DIPERBUATNYA
Menjelek-jelekkan orang lain
karena dosa yang diperbuatnya adalah perbuatan tercela. Tindakan seperti ini
menunjukkan bahwa orang yang memberi nasehat tidak jujur dan tidak ikhlas.
Tujuan nasehat itu untuk memperbaiki saudaranya yang mempunyai aib, bukan
menjelek-jelekannya karena aib tersebut.
Jika seseorang memberi tahu
tentang suatu aib agar saudaranya itu mau menjauhinya maka itulah perbuatan
yang baik. Orang yang ditunjukkan aibnya hendaknya meminta maaf jika memang
dibolehkan. Namun, jika dia memberi tahu saudaranya dengan cara
menjelek-jelekkannya karena dosanya itu, maka perbuatan seperti ini tercela.
Salah seorang salaf ditanya
“Apakah kamu suka jika ada orang yang memberitahu kamu tentang aib-aibmu?” Dia
menjawab, “Jika dia ingin menjelek-jelekkan aku, maka aku tidak suka.”
(Al-Farqu bainan-Nashihah wat-Ta’yir: 27)
Karena itu, orang yang hendak
memberi nasehat hendaknya bersikap lemah lembut ketika menasehati saudaranya
agar nasehatnya itu dapat masuk ke hati dan orang-orang pun menjadi tertarik
kepada kebenaran. Allah Ta’ala berfirman,
اُدْعُ
إِلَى سَبِيْلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ
“Serulah (manusia) kepada jalan
Tuhanmu dengan hikmah dan pengajaran yang baik.” (Al-Nahl:125)
Orang yang menasehati saudaranya hendaknya menggunakan ungkapan-ungkapan yang paling lembut dan yang paling bisa diterima. Dengan demikian, orang yang dinasehati pun akan merasakan bahwa saudaranya itu mencintai dirinya dan memperhatikan dirinya sehingga dia pun menjadi percaya kepadanya dan mau mengikuti nasehatnya.
6.
HIKMAH
Hikmah berdakwah ditunjukkan
oleh ayat sebelum ini. Juga dalam ayat lain,
يُؤْتِي
الْحِكْمَةَ مَن يَشَآءُ وَمَن يُؤْتَ الْحِكْمَةَ فَقَدْ أُوتِيَ خَيْرًا
كَثِيرًا
”Allah menganugrahkan al
hikmah (kefahaman yang dalam tentang Al Qur’an dan As Sunah) kepada siapa yang
Dia kehendaki. Barangsiapa diberi hikmah, sesungguhnya dia telah diberi
kebaikan yang banyak.” (Al-Baqarah:269)
Hikmah itu dibutuhkan dalam
segala hal, lebih-lebih ketika memberi nasehat. Orang yang menasehati hendaknya
bersikap bijaksana, bisa memilih ungkapan dan kata-kata yang paling bagus serta
waktu yang tepat.
Hendaknya memilih dan
menggunakan ungkapan yang paling lembut, paling bisa diterima, mendahulukan
isyarat daripada kata-kata, memilih kata-kata yang ringkas daripada yang
banyak, dan mendahulukan cara sembunyi-sembunyi daripada
terang-terangan.
Cara sembunyi-sembunyi itulah
nasehat, sedangkan cara terang-terangan
sesungguhnya hanya membongkar aib orang lain.
Hendaknya memilih kata-kata yang paling
baik dan paling jelas. Yaitu,
kata-kata yang paling bisa dirasakan oleh orang yang dinasehati bahwa orang
yang memberi nasehat itu mencintai dan memperhatikannya sehingga dia mau
mengikuti nasehatnya dan segera kembali kepada kebenaran.
Hendaknya memilih waktu yang paling utama
dan paling tepat bagi orang yang dinasehati, yaitu waktu-waktu yang
membuatnya siap menerima nasehat.
Semua ini merupakan bentuk
kesungguhan seseorang dalam membersihkan berbagai aib, kerendahan, dan
kemaksiatan (dari saudaranya) dengan cara yang paling bagus dan paling
manjur sehingga tercapailah tujuan yang diinginkannya.
7. JUJUR DAN AMANAH
Hendaknya jujur, amanah, tidak
menipu dalam memberi nasehat, dan
tidak menampakkan sesuatu yang berbeda dengan yang ada dalam hatinya. Mengapa?
Karena orang yang memberi
nasehat adalah amin (orang yang dipercaya), yang tujuannya
hanyalah untuk menghilangkan aib dari saudaranya.
Adapun orang
yang fajir yang
menipu saudaranya, tujuanya hanyalah untuk
menjatuhkan kehormatan dan membongkar aib saudaranya serta menimpakan madharat
kepada saudaranya itu.
Inilah yang ditunjukkan oleh
Allah Ta’ala ketika mengisahkan Nabi Hud dalam firman-Nya,
قَالَ
يَاقَوْمِ لَيْسَ بِي سَفَاهَةٌ وَلَكِنِّي رَسُولُُ مِّن رَّبِّ الْعَالَمِينَ
{67} أُبَلِّغُكُمْ رِسَالاَتِ رَبِّي وَأَنَا نَاصِحٌ أَمِينٌ
“Wahai kaumku, bukannya aku
kurang waras, tetapi aku ini adalah Rasul dari Tuhan semesta alam. Aku
menyampaikan kepadamu amanat Tuhanku dan pemberi nasehat terpercaya kepada
kamu.” (Al-A’raf: 67-68)
Maksudnya, dia dipercaya dalam
menyampaikan risalah dan dalam menunaikan nasehat. Al-Amin artinya tsiqah
(dipercaya) atas sesuatu yang diamanahkan kepadanya (Al-Sirajul-Munir, I: 486).
Dia terkenal di kalangan
manusia sebagai orang yang suka memberi nasehat lagi amanah.
Tafsirnya adalah: “Aku jujur
kepada kalian tentang dakwah yang aku sampaikan kepada kalian, aku bisa
dipercaya dalam ucapanku kepada kalian, aku tidak berdusta, dan aku juga tidak
menipu.” (Ruhul-Ma’ani, IV: 156)
Sederet etika dan adab dalam
memberikan nasehat tersebut sudah semestinya terpatri dalam jiwa seorang
muslim. Memang bukan suatu yang
mudah, tetapi bisa dimulai dari sekarang bukan?
Diolah dari ringkasan dari
kitab Al-Nashihah wa Atsaruha fi Bina`il-Fardi wal-Mujtama’il-Islami oleh
Fawwaz Ahmad Zamarli (14-28). Diterjemahkan oleh Ahmad SSS.
Sumber: Majalah FATAWA Vol IV
No 09, dengan Judul “MENYAMPAIKAN NASEHAT SECARA BERADAB”
Sumber :
http://pondokjamil.atturots.or.id/berita-perhatikanlah-7-hal-ini-ketika-menasehati.html