Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas حفظه الله
Tujuan
hidup seorang Muslim adalah akhirat, bukan dunia. Akhirat (surga)
merupakan puncak cita-cita seorang Muslim. Orang yang beriman dan
berakal memandang dunia dan akhirat dengan sudut pandang yang benar.
Cinta
seseorang kepada akhirat tidak akan sempurna kecuali dengan bersikap
zuhud terhadap dunia. Sementara, zuhud terhadap dunia tidak akan
terealisasi melainkan setelah ia memandang kedua hal ini dengan sudut
pandang yang benar.
Pertama,
memandang dunia sebagai sesuatu yang mudah hilang, lenyap, dan musnah.
Dunia adalah sesautu yang kurang, tidak sempurna dan hina. Persaingan
dan ambisi dalam mendapatkan hal-hal duniawi sangat menyakitkan. Dunia
adalah tempat kesedihan, kesusahan dan kesengsaraan. Akhir dari semua
masalah duniawi adalah kefanaan yang diikuti dengan penyesalan dan
kesedihan. Orang yang mengejar kenikmatan dunia tidak lepas dari tiga
keadaan yaitu kecemasan sebelum meraihnya, keresahan pada saat
meraihnya, dan kesedihan setelah meraihnya.
Kedua,
memandang akhirat sebagai sesuatu yang pasti datang, kekal dan abadi.
Karunia dan kebahagiaan yang terdapat di akhirat begitu mulia, dan apa
yang ada di akhirat sangat berbeda dengan apa yang ada di dunia.
Akhirat adalah sebagaimana yang difirmankan Allâh Azza wa Jalla :
وَالْآخِرَةُ خَيْرٌ وَأَبْقَىٰ
Padahal kehidupan akhirat itu lebih baik dan lebih kekal. [Al-A’la/87: 17]
Apabila
seseorang lebih mengutamakan sesuatu yang fana dan tidak sempurna, maka
itu merupakan indikasi ketidaktahuannya terhadap mana yang lebih utama
atau jika dia tahu maka itu merupakan indikasi dia tidak menginginkan
sesuatu yang lebih utama tersebut.
Kedua
hal ini menunjukkan lemahnya iman, akal, dan hatinya. Sebab, orang yang
mengejar dunia, berambisi terhadapnya, dan lebih memprioritaskannya
daripada akhirat, tidak luput dari kondisi apakah ia percaya bahwa apa
yang di akhirat itu lebih mulia, lebih utama, dan lebih kekal daripada
apa yang ada di dunia, ataukah ia tidak percaya akan hal tersebut? Jika
ia tidak percaya, berarti ia tidak mempunyai keimanan. Tapi jika ia
percaya namun tidak lebih mengutamakan akhirat daripada dunia, maka ia
adalah orang yang akalnya rusak dan tidak pandai memilih yang terbaik
bagi diri sendiri.
Pembagian ini penting untuk diketahui, mengingat bahwa setiap hamba tidak dapat terlepas dari salah satunya. Dengan kata lain, orang
yang lebih mengutamakan dunia daripada akhirat disebabkan oleh dua
faktor; pertama adalah rusaknya iman, dan yang kedua adalah rusaknya
akal. Sungguh, alangkah banyak orang yang mengalami kedua hal tersebut.
Oleh
sebab itu, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam
dan para Sahabat Beliau mencampakkan dunia di belakang punggung mereka.
Mereka memalingkan hati mereka dari dunia. Mereka mengabaikannya dan
tidak merasa nyaman dengannya. Mereka meninggalkannya dan tidak
mengejarnya. Bagi mereka, dunia adalah penjara, bukan surga, sehingga
mereka selalu bersikap zuhud dalam arti yang sebenarnya. Seandainya
menginginkan dunia, niscaya mereka akan mendapatkan apa yang disenangi
dan mencapai apa yang diinginkan.
Sungguh,
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditawarkan kunci-kunci
perbendaharaan dunia, tetapi Beliau menolaknya. Dunia juga ditawarkan
kepada para Sahabat Beliau ﷺ, namun mereka tidak terpengaruh dan tidak
menukar akhirat mereka dengannya. Mereka tahu bahwa dunia hanya tempat
melintas dan persinggahan, bukan tempat untuk tinggal dan menetap.
Dunia
adalah tempat kesedihan, bukan tempat kebahagiaan. Dunia tak ubahnya
seperti awan pada musim kemarau yang membumbung di langit namun hanya
sebentar lalu menghilang. Dunia seperti khayalan (mimpi) sesaat yang
belum juga kita puas menikmatinya, tiba-tiba diumumkan untuk berangkat
(menuju tempat tujuan).
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَالِيْ
وَلِلدُّنْيَا ؟ مَا أَنَا وَالدُّنْيَا؟ إِنَّمَا مَثَلِيْ وَمَثَلُ
الدُّنْيَا كَمَثَلِ رَاكِبٍ ظَلَّ تَحْتَ شَجَرَةٍ ثُمَّ رَاحَ
وَتَرَكَهَا
Apalah
artinya dunia ini bagiku?! Apa urusanku dengan dunia?! Sesungguhnya
perumpamaanku dan perumpamaan dunia ini ialah seperti pengendara yang
berteduh di bawah pohon, ia istirahat (sesaat) kemudian meninggalkannya[1]
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
وَاللهِ مَا الدُّنْيَا فِـي الْآخِرَةِ إِلَّا مِثْلُ مَا يَـجْعَلُ أَحَدُكُمْ إِصْبَعَهُ هٰذِهِ – وَأَشَارَ يَحْيَ بِالسَّبَّابَةِ – فِـي الْيَمِّ ، فَلْيَنْظُرْ بِمَ تَرْجِـعُ ؟
Demi Allâh! Tidaklah dunia dibandingkan akhirat melainkan seperti salah seorang dari kalian meletakkan jarinya -Yahya (perawi hadits) berisyarat dengan jari telunjuknya- ke laut, lalu lihatlah apa yang dibawa jarinya itu?[2]
Allâh Azza wa Jalla berfirman:
إِنَّمَا
مَثَلُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا كَمَاءٍ أَنْزَلْنَاهُ مِنَ السَّمَاءِ
فَاخْتَلَطَ بِهِ نَبَاتُ الْأَرْضِ مِمَّا يَأْكُلُ النَّاسُ
وَالْأَنْعَامُ حَتَّىٰ إِذَا أَخَذَتِ الْأَرْضُ زُخْرُفَهَا
وَازَّيَّنَتْ وَظَنَّ أَهْلُهَا أَنَّهُمْ قَادِرُونَ عَلَيْهَا أَتَاهَا
أَمْرُنَا لَيْلًا أَوْ نَهَارًا فَجَعَلْنَاهَا حَصِيدًا كَأَنْ لَمْ
تَغْنَ بِالْأَمْسِ ۚ كَذَٰلِكَ نُفَصِّلُ الْآيَاتِ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
Sesungguhnya
perumpamaan kehidupan duniawi itu hanya seperti air (hujan) yang Kami
turunkan dari langit, lalu tumbuhlah tanaman-tanaman bumi dengan subur
(karena air itu), di antaranya ada yang dimakan manusia dan hewan
ternak. Hingga apabila bumi itu telah sempurna keindahannya, dan
berhias, dan pemiliknya mengira bahwa mereka pasti menguasainya
(memetik hasilnya), datanglah kepadanya adzab Kami pada waktu malam
atau siang, lalu Kami jadikan (tanaman)nya seperti tanaman yang sudah
disabit, seakan-akan belum pernah tumbuh kemarin. Demikianlah Kami
menjelaskan tanda-tanda (kekuasaan Kami) kepada orang yang berpikir. [Yûnus/10:24]
Allâh Azza wa Jalla juga berfirman:
وَاضْرِبْ
لَهُمْ مَثَلَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا كَمَاءٍ أَنْزَلْنَاهُ مِنَ
السَّمَاءِ فَاخْتَلَطَ بِهِ نَبَاتُ الْأَرْضِ فَأَصْبَحَ هَشِيمًا
تَذْرُوهُ الرِّيَاحُ ۗ وَكَانَ اللَّهُ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ مُقْتَدِرًا ﴿٤٥﴾ الْمَالُ وَالْبَنُونَ زِينَةُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا ۖ وَالْبَاقِيَاتُ الصَّالِحَاتُ خَيْرٌ عِنْدَ رَبِّكَ ثَوَابًا وَخَيْرٌ أَمَلًا
Dan
buatkanlah untuk mereka (manusia) perumpamaan kehidupan dunia ini,
ibarat air (hujan) yang Kami turunkan dari langit, sehingga menyuburkan
tumbuh-tumbuhan di bumi, kemudian (tumbuh-tumbuhan) itu menjadi kering
yang diterbangkan oleh angin. Dan
Allâh Mahakuasa atas segala sesuatu. Harta dan anak-anak adalah
perhiasan kehidupan dunia tetapi amal kebajikan yang terus menerus
adalah lebih baik pahalanya di sisi Rabb-mu serta lebih baik untuk
menjadi harapan. [Al-Kahfi/18:45-46][3]
Ada kabar mutawatir dari
ulama Salaf mengatakan, “Cinta dunia merupakan induk dari segala
kesalahan (dosa) dan merusak agama. Hal ini ditinjau dari beberapa segi:
Pertama: Mencintai
dunia berarti mengagungkan dunia, padahal ia sangat hina di mata
Allâh Azza wa Jalla. Termasuk dosa yang paling besar adalah
mengagungkan sesuatu yang direndahkan oleh Allâh Azza wa Jalla .
Kedua: Allâh
Azza wa Jalla mengutuk, memurkai, dan membenci dunia, kecuali yang
ditujukan kepada-Nya. Karena itu, barangsiapa mencintai apa yang
dikutuk, dimurkai, dan dibenci oleh Allâh Azza wa Jalla maka ia
akan berhadapan dengan kutukan, murka dan kebencian-Nya.
Ketiga: Mencintai
dunia berarti menjadikan dunia sebagai tujuan dan menjadikan amal dan
ciptaan Allâh Azza wa Jalla yang seharusnya menjadi sarana menuju
kepada Allâh Azza wa Jalla dan negeri akhirat berubah menjadi
kepentingan dunia. Sehingga ia membalik persoalan dan memutar
kebijaksanaan.
Di sini ada dua persoalan:
- Menjadikan wasilah (sarana) sebagai tujuan.
- Menjadikan amal akhirat sebagai alat untuk menggapai dunia.
Ini
adalah keburukan yang terbalik dari semua sisi. Juga berarti membalik
sesuatu pada posisi yang benar-benar terbalik. Ini sesuai sekali dengan
firman Allâh Azza wa Jalla :
مَنْ كَانَ يُرِيدُ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا وَزِينَتَهَا نُوَفِّ إِلَيْهِمْ أَعْمَالَهُمْ فِيهَا وَهُمْ فِيهَا لَا يُبْخَسُونَ ﴿١٥﴾ أُولَٰئِكَ الَّذِينَ لَيْسَ لَهُمْ فِي الْآخِرَةِ إِلَّا النَّارُ ۖ وَحَبِطَ مَا صَنَعُوا فِيهَا وَبَاطِلٌ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
“Barangsiapa menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya,
niscaya Kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di
dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan.
Itulah orang-orang
yang tidak memperoleh balasan di akhirat kecuali neraka. Dan
lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di dunia dan
sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan.” [Hûd/11: 15-16]
Keempat: Mencintai
dunia membuat manusia tidak sempat melakukan sesuatu yang bermanfaat
baginya di akhirat akibat kesibukannya dengan dunia.
Kelima: Cinta dunia menjadikan dunia sebagai cita-cita terbesar manusia.
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ كَانَتِ الدُّنْيَا هَمَّهُ فَرَّقَ اللهُ عَلَيْهِ أَمْرَهُ ، وَجَعَلَ فَقْرَهُ بَيْنَ
عَيْنَيْهِ ، وَلَمْ يَأْتِهِ مِنَ الدُّنْيَا إِلَّا مَا كُتِبَ لَـهُ ،
وَمَنْ كَانَتِ الْآخِرَةُ نِيَّـتَهُ جَمَعَ اللهُ لَهُ أَمْرَهُ ،
وَجَعَلَ غِنَاهُ فِـيْ قَلْبِهِ ، وَأَتَـتْهُ الدُّنْـيَا وَهِـيَ
رَاغِمَـةٌ
Barangsiapa tujuan hidupnya adalah dunia, maka Allâh akan mencerai-beraikan urusannya, menjadikan kefakiran di kedua pelupuk matanya, dan ia mendapat dunia menurut apa yang telah ditetapkan baginya. Dan barangsiapa yang niat (tujuan) hidupnya adalah negeri akhirat, Allâh Azza wa Jalla akan mengumpulkan urusannya, menjadikan kekayaan di hatinya, dan dunia akan mendatanginya dalam keadaan hina.[4]
Keenam: Pecinta
dunia adalah orang yang paling banyak disiksa karena dunia, ia disiksa
pada tiga keadaan. Ia disiksa di dunia dalam bentuk usaha, kerja keras
untuk mendapatkannya, dan perebutan dengan sesama pecinta dunia. Dia
disiksa di alam barzakh (kubur) dan disiksa pada hari kiamat.
Ketujuh: Penggila
harta dan pecinta dunia yang lebih mengutamakan dunia daripada akhirat
adalah orang yang paling bodoh dan paling idiot. Sebab, ia lebih
mengutamakan khayalan daripada kenyataan, lebih mengutamakan tidur
daripada terjaga, lebih mengutamakan bayang-bayang yang segera hilang
daripada kenikmatan yang kekal, lebih mengutamakan rumah yang segera
binasa dan menukar kehidupan yang abadi yang nyaman dengan kehidupan
yang tidak lebih dari sekedar mimpi atau bayang-bayang yang segera
hilang. Sesungguhnya orang yang cerdas tidak akan tertipu dengan
hal-hal semacam itu.[5]
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,
مُحِبُّ الدُّنْيَا لَا يَنْفَكُّ مِنْ ثَلَاثٍ : هَمٌّ لَازِمٌ ، وَتَعَبٌ دَائِمٌ ، وَحَسْرَةٌ لَا تَنْقَضِى.
Pecinta
dunia tidak akan terlepas dari tiga hal : kesedihan (kegelisahan) yang
terus-menerus; kecapekan (keletihan) yang berkelanjutan; dan penyesalan
yang tidak pernah berhenti.[6]
Manusia diciptakan oleh Allâh Azza wa Jalla untuk beribadah. Allâh Azza wa Jalla berfirman:
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
“Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku.” [Adz-Dzâriyât/51:56]
Oleh
karena itu wajib dia habiskan waktunya untuk beribadah kepada
Allâh Azza wa Jalla. Janganlah seorang Muslim tertipu dengan
dunia, sehingga dia lalai dan meninggalkan ibadah kepada Allâh
Azza wa Jalla. Rezeki dan ajal sudah ditentukan oleh Allâh Azza
wa Jalla, meskipun demikian seorang Muslim wajib mencari nafkah
sekedarnya untuk kehidupan dia di dunia. Akan tetapi janganlah
kesibukan dia dengan usaha, dagang, kerja, dan lainnya itu membuat ia
lalai dari mengingat Allâh Azza wa Jalla .
Allâh Azza wa Jalla berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُلْهِكُمْ أَمْوَالُكُمْ وَلَا أَوْلَادُكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ ۚ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَٰلِكَ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْخَاسِرُونَ
Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah harta bendamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allâh. Dan barangsiapa berbuat demikian, maka mereka itulah orang-orang yang rugi.” [Al-Munaafiquun/63: 9]
Wajib diingat, bahwa kesibukan kita dengan ibadah kepada Allâh dengan ikhlas dan itiiba’ serta
senantiasa bertakwa kepada Allâh Azza wa Jalla akan mendatangkan
rezeki dan menutup kefakiran. Allâh Azza wa Jalla berfirman:
وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا ﴿٢﴾ وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ
Barangsiapa bertakwa kepada Allâh niscaya Dia akan membukakan jalan keluar bagi-nya, dan Dia memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangkanya [Ath-Thalâq/65 : 2-3]
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allâh Ta’ala berfirman,
يَا
ابْنَ آدَمَ ! تَفَرَّغْ لِعِبَادَتِـيْ أَمْلَأُ صَدْرَكَ غِنًـى
وَأَسُدُّ فَقْرَكَ ، وَإِلَّا تَفْعَلْ مَلَأْتُ يَدَيْكَ شُغْلًا وَلَمْ
أَسُدَّ فَقْرَكَ
‘Wahai
anak Adam! Curahkanlah (gunakanlah) waktumu untuk beribadah kepada-Ku,
niscaya Aku penuhi dadamu dengan kekayaan (kecukupan) dan Aku tutup
kefakiranmu. Jika engkau tidak melakukannya, maka Aku penuhi kedua
tanganmu dengan kesibukan dan Aku tidak akan tutup
kefakiranmu.’”[7]
Seorang
Muslim dan Muslimah tidak boleh tertipu oleh kehidupan dunia. Dan
hendaklah ia mencurahkan waktunya untuk beribadah kepada Allâh.
Banyak
manusia yang terlalaikan sehingga banyak waktu yang terbuang sia-sia
untuk mengejar dunia, waktu yang digunakan mulai dari pagi hingga
malam hanya untuk mengurusi dunia, seperti mencari nafkah, dagang, kerja,
lembur, mengerjakan tugas kantor. Sedangkan rizki itu datangnya dengan
pasti, setiap anak yang lahir itu sudah membawa rizki. Akan tetapi yang
belum pasti adalah keadaan kita dihadapan Allâh pada hari Kiamat,
apakah amal kita diterima atau tidak, apakah kita akan masuk surga atau
neraka. Oleh karena itu, jangan jadikan dunia ini sebagai tujuan.
Orang
yang tujuannya dunia akan dicerai beraikan urusannya dan dijadikan
kefakiran di depan pelupuk matanya. Sehingga ia selalu merasa kurang,
tidak cukup, dan fakir, padahal Allâh telah memberikan nikmat yang
banyak. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,
مَنْ كَانَتِ الدُّنْيَا هَمَّهُ فَرَّقَ اللهُ عَلَيْهِ أَمْرَهُ، وَجَعَلَ فَقْرَهُ بَيْنَ
عَيْنَيْهِ، وَلَمْ يَأْتِهِ مِنَ الدُّنْيَا إِلَّا مَا كُتِبَ لَهُ،
وَمَنْ كَانَتِ الْآخِرَةُ نِيَّـتَهُ جَمَعَ اللهُ لَهُ أَمْرَهُ،
وَجَعَلَ غِنَاهُ فِـيْ قَلْبِهِ، وَأَتَـتْهُ الدُّنْيَا وَهِـيَ
رَاغِمَةٌ
Barangsiapa tujuan hidupnya adalah dunia, maka Allâh akan mencerai-beraikan urusannya, menjadikan kefakiran di kedua pelupuk matanya, dan ia mendapat dunia menurut apa yang telah ditetapkan baginya. Dan barangsiapa yang niat (tujuan) hidupnya adalah negeri akhirat, Allâh akan mengumpulkan urusannya, menjadikan kekayaan di hatinya, dan dunia akan mendatanginya dalam keadaan hina.[8]
Akan
tetapi dunia tidak akan datang melainkan hanya seukuran apa yang telah
Allâh Azza wa Jalla tentukan, meskipun ia telah kerja dari pagi
sampai larut malam. Adapun orang yang tujuannya adalah akhirat, maka
Allâh Azza wa Jalla kumpulkan seluruh urusannya, Allâh Azza
wa Jalla jadikan hatinya itu merasa cukup dengan rezeki yang
Allâh Azza wa Jalla berikan dan dunia akan datang dalam keadaan
hina. Orang yang bahagia adalah orang cukup dan puas dengan rezeki yang
Allâh Azza wa Jalla berikan.
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
قَدْ أَفْلَحَ مَنْ أَسْلَمَ وَرُزِقَ كَفَافًا وَقَنَّعَهُ اللهُ بِمَا آتَاهُ
Sungguh beruntung orang yang masuk Islam, diberikan rezeki yang cukup, dan dia merasa puas dengan apa yang Allâh berikan kepadanya[9]
Orang
yang beriman dengan iman yang benar, maka dia tidak suka dengan
kedudukan dan jabatan, karena kecintaan manusia kepada jabatan atau
kepemimpinan akan membawa kepada kerusakan. Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyyah rahimahullah berkata, “Yang demikian karena cinta kepada kepemimpinan (kedudukan/jabatan) merupakan sumber kejahatan dan kezhaliman.”[10]
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَاذِئْبَانِ جَائِعَانِ أُرْسِلَا فِيْ غَنَمٍ بِأَفْسَدَ لَهَا مِنْ حِرْصِ الْمَرْءِ عَلَى الْمَالِ وَالشَّرَفِ لِدِيْنِهِ
Dua
serigala yang lapar yang dilepas di tengah kumpulan kambing, tidak
lebih merusak dibandingkan dengan sifat rakus manusia terhadap harta
dan kedudukan yang sangat merusak agamanya.[11]
Di
dalam hadits ini Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa
sallam mengabarkan bahwa ketamakan manusia terhadap harta dan jabatan
pasti akan merusak agamanya. Ketamakan manusia kepada harta dan
kepemimpinan akan membawa kepada kezhaliman, kebohongan dan
perbuatan keji. Bahkan menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuannya. Na’uudzubillah min dzalik (kita berlindung kepada Allâh dari sifat dan perbuatan demikian).
Orang-orang
yang gila kepada harta, kedudukan, jabatan, dan cinta kepada dunia
mereka akan menyesal pada hari kiamat, ketika mereka diberikan catatan
amalnya dari sebelah kirinya. Semua kekuasaan, jabatan, dan hartanya
tidak bermanfaat di akhirat. Allâh Azza wa Jalla berfirman:
وَأَمَّا مَنْ أُوتِيَ كِتَابَهُ بِشِمَالِهِ فَيَقُولُ يَا لَيْتَنِي لَمْ أُوتَ كِتَابِيَهْ ﴿٢٥﴾ وَلَمْ أَدْرِ مَا حِسَابِيَهْ ﴿٢٦﴾ يَا لَيْتَهَا كَانَتِ الْقَاضِيَةَ ﴿٢٧﴾ مَا أَغْنَىٰ عَنِّي مَالِيَهْ ﴿٢٨﴾ هَلَكَ عَنِّي سُلْطَانِيَهْ
Dan adapun orang yang kitabnya diberikan di tangan kirinya, maka dia berkata, “Alangkah baiknya jika kitabku (ini) tidak diberikan kepadaku. Sehingga aku tidak mengetahui bagaimana perhitunganku, Wahai, kiranya (kematian) itulah yang menyudahi segala sesuatu. Hartaku sama sekali tidak berguna bagiku. Kekuasaanku telah hilang dariku.” [Al-Haqqah/69:25-29]
Oleh karena itu, seorang Muslim harus zuhud terhadap dunia dan qanâ’ah (merasa
puas dengan rezeki yang Allâh karuniakan kepadanya). Setiap
Muslim dan Muslimah harus ingat, bahwa kita diciptakan oleh Allâh
Azza wa Jalla untuk beribadah kepada Allâh Azza wa Jalla. Kita
wajib meluangkan waktu kita untuk ibadah kepada Allâh Azza wa
Jalla. Kalau kita sibukkan diri kita dengan ibadah, melaksanakan
ketaatan kepada-Nya dan menjauhi larangan-Nya, maka Allâh Azza wa
Jalla akan menutupi kefakiran kita. Janganlah kita disibukkan dengan
dunia, dengan angan-angan, cita-cita, main-main, senda gurau, dan
menumpuk-numpuk harta yang membuat kita tertipu dengan dunia.
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Bentuk penyia-nyiaan terbesar (yang banyak dilakukan oleh manusia–pent)
yaitu ada dua dan keduanya merupakan pokok segala penyia-nyiaan;
pertama menyia-nyiakan hati, kedua menyia-nyiakan waktu.“[12]
Banyak
orang yang menyia-nyiakan hatinya dengan lebih mengutamakan dunia
daripada akhirat. Padahal dunia ini lebih jelek dari bangkai kambing,
bahkan di sisi Allâh Azza wa Jalla dunia itu tidak sebanding
dengan sehelai sayap nyamuk. Dan hendaknya kita ingat bahwa dunia
adalah kehidupan yang menipu dan memperdaya hati manusia. Allâh
Azza wa Jalla berfirman:
كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ ۗ وَإِنَّمَا تُوَفَّوْنَ أُجُورَكُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ۖ فَمَنْ زُحْزِحَ عَنِ النَّارِ وَأُدْخِلَ الْجَنَّةَ فَقَدْ فَازَ ۗ وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا مَتَاعُ الْغُرُورِ
Setiap
yang bernyawa akan merasakan mati. Dan hanya pada hari kiamat sajalah
diberikan dengan sempurna balasanmu. Barangsiapa dijauhkan dari neraka
dan dimasukkan ke dalam surga, sungguh, dia orang yang sukses (menang).
Kehidupan dunia hanyalah kesenangan yang memperdaya.”[Ali
‘Imrân/3:185]
Hendaknya
seorang Muslim zuhud terhadap dunia dan pendek angan-angannya. Semua
umur ini akan ditanya oleh Allâh Azza wa Jalla. Oleh karena itu
jangan sampai disibukkan dengan dunia dan jangan disibukan dengan
angan-angan kosong. Orang-orang kafir disibukan dengan dunia dan
disibukan dengan angan-angan yang kosong. Kita disuruh untuk
meninggalkan mereka, sebagaimana Allâh Azza wa Jalla menyuruh
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk
meninggalkan orang kafir. Allâh Azza wa Jalla berfirman:
ذَرْهُمْ يَأْكُلُوا وَيَتَمَتَّعُوا وَيُلْهِهِمُ الْأَمَلُ ۖ فَسَوْفَ يَعْلَمُونَ
Biarkanlah mereka (di dunia ini) makan dan bersenang-senang dan dilalaikan oleh angan-angan (kosong) mereka, kelak mereka akan mengetahui (akibat perbuatannya) [Al-Hijr/15:3]
Panjang
angan-angan, merasa masih berusia panjang adalah penyakit berbahaya dan
kronis bagi manusia. Jika penyakit ini menjangkiti seorang Muslim, maka
itu akan membawa kepada indikasi yang lebih serius. Misalnya ia mulai
menjauhi perintah Allâh Azza wa Jalla, enggan bertaubat, cinta
kepada dunia, lupa akan kehidupan akhirat yang abadi, dan membuat hati
menjadi keras. Allâhul Musta`ân.
Mudah-mudahan
Allâh Azza wa Jalla memberikan taufik kepada kita untuk zuhud
terhadap dunia, tidak tamak kepada dunia, tidak panjang angan-angan,
tidak mengharapkan sesuatu pada apa yang ada di tangan manusia.
Mudah-mudahan Allâh memberikan kepada kita sifat
qanâ’ah, merasa cukup dan puas dengan apa yang Allâh
Azza wa Jalla berikan, yang dapat kita gunakan untuk melaksanakan
ketaatan kepada Allâh dan menjauhkan larangan-larangan-Nya.
Mudah-mudahan Allâh memberikan keistiqamahan kepada kita dalam
menghadapi fitnah dunia, fitnah syahwat dan syubhat. Mudah-mudahan
Allâh memasukkan kita ke dalam Surga dan menjauhkan kita dari api
Neraka.
Mudah-mudahan makalah ini bermanfaat untuk kita semua.
[Disalin
dari majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun XIX/1436H/2015M. Diterbitkan
Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8
Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax
0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961,
Redaksi 08122589079 ]
_______
Footnote
[1] Hasan shahih: HR. Ahmad, I/391, 441; at-Tirmidzi, no. 2377; Ibnu Mâjah, no. 4109; dan al-Hâkim, IV/310 dari Sahabat Abdullah bin Mas’ûd Radhiyallahu anhu. Imam at-Tidmidzi berkata, “Hadits ini hasan shahih.” Lihat Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah, no. 438.
Footnote
[1] Hasan shahih: HR. Ahmad, I/391, 441; at-Tirmidzi, no. 2377; Ibnu Mâjah, no. 4109; dan al-Hâkim, IV/310 dari Sahabat Abdullah bin Mas’ûd Radhiyallahu anhu. Imam at-Tidmidzi berkata, “Hadits ini hasan shahih.” Lihat Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah, no. 438.
[2] Shahih: HR. Muslim, no. 2858 dan Ibnu Hibbân, no. 4315-at-Ta’lîqâtul Hisân dari al-Mustaurid al-Fihri Radhiyallahu anhu
[3] Fawâ`idul Fawâ`id, hlm. 311-313, Imam Ibnul Qayyim al-Jauziyyah, tartib,ta’liq, dan takhrij Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid hafizhahullah.
[4] Shahih: HR. Ahmad, V/183; Ibnu Mâjah, no. 4105; Ibnu Hibbân, no. 72-Mawâriduzh Zham-ân;
dan al-Baihaqi, VII/288 dari Sahabat Zaid bin Tsâbit Radhiyallahu
anhu. Lafazh ini milik Ibnu Mâjah. Hadits ini dinilai shahih oleh
Syaikh al-Albani dalam Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah, no. 950
[5] Diringkas dari ‘Idatush Shâbirîn wa Dzakhîratusy Syâkirîn, hlm. 350-356, Ibnul Qayyim, tahqiq dan takhrij Syaikh Salim al-Hilali hafizhahullah
[6] Ighâtsatul Lahafân, I/87-88 dan lihat Mawâridul Amân al-Muntaqa min Ighâtsatil Lahafân, hlm. 83-84
[7] Shahih: HR. Ahmad, II/358; at-Tirmidzi, no. 2466; Ibnu Mâjah, no. 4107 dan al-Hâkim, II/443 dari Sahabat Abu Hurairah Radhiyallahu anhu. Lafazh ini milik at-Tirmidzi. Lihat Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah, no. 1359 dan Shahîh at-Targhîb wat Tarhîb, no. 3166
[8] Shahih: HR. Ahmad, V/183; Ibnu Mâjah, no. 4105; Ibnu Hibbân, no. 72–Mawâriduzh Zham’ân,
dan Al-Baihaqi, VII/288 dari Sahabat Zaid bin Tsâbit Radhiyallahu
anhu. Hadits ini dinilai shahih oleh Syaikh al-Albani dalam Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah, no. 950.
[9] Shahih: HR. Muslim, no. 1054 dari Sahabat ‘Abdullah bin ‘Amr Radhiyallahu anhu
[10] Majmû’ Fatâwaa, XVIII/162
[11] Shahih: HR. at-Tirmidzi, no. 2376; Ahmad, III/456, 460; ad-Darimi, II/304; Ibnu Hibban, no. 3218–At-Ta’lîqâtul Hisân; ath-Thabrani dalam Mu’jamul Kabîr, XIX/96, no. 189; dan lainnya. Hadits ini dinilai shahih oleh at-Tirmidzi, Ibnu Hibban, dan lainnya.
[12] Fawâ`idul Fawaa`id, hlm. 385
Sumber: https://almanhaj.or.id/5858-cinta-dunia-merupakan-sumber-dari-kesalahan-dan-kerusakan-agama.html