Islam Pedoman Hidup: Bid’ah dalam Kitab al-Ma’tsurat Karya Hasan al-Banna

Senin, 06 Mei 2019

Bid’ah dalam Kitab al-Ma’tsurat Karya Hasan al-Banna

 
Oleh: Ustadz Abu Ahmad

Kitab al-Ma’tsurat oleh Hasan al-Banna adalah kitab yang sangat populer di kalangan kaum Muslimin di seluruh dunia, tidak terkecuali di Indonesia. Bahkan wirid-wirid yang terkandung di dalamnya dijadikan sebagai amalan harian wajib bagi para pengikut kelompok Ikhwanul-Muslimin dan kebanyakan para aktivis pergerakan Islam di Indonesia.
Beberapa bulan yang lalu telah masuk kepada kami pertanyaan dari sebagian pembaca tentang kitab al-Ma’tsurat ini, apakah kitab ini layak untuk diamalkan kandungannya, karena banyak dari kaum Muslimin di daerahnya yang mengamalkan wirid-wirid dalam kitab ini.

Maka dengan memohon pertolongan kepada Allah dalam pembahasan kali ini akan kami paparkan studi kelayakan kitab al-Ma’tsurat ini untuk dipakai dan diamalkan kandungannya.

Penulis Kitab “al-Ma’tsurat”

Penulisnya adalah Syaikh Hasan bin Ahmad bin Abdurrahman al-Banna, pendiri jama’ah Ikhwanul-Muslimin. Ia dilahirkan pada tahun 1906 M di Mahmudiyyah Buhairah, Mesir, dan meninggal di Kairo, Mesir tanggal 12 Februari 1949 M.

Hasan al-Banna adalah pengikut tarikat shufiyyah Hashshofiyyah sejak usia muda. Dia mengenal tarikat Hashshofiyyah semenjak duduk di Madrasah Mu’allimin UIa di Damanhur. Dia kemudian berbai’at di hadapan mursyid Tarikat Hashshofiyyah, Syaikh Abdul-Wahhab al-Hashshofi, dan kemudian aktif dalam kepengurusan Jam’iyyah Hashshofiyyah al-Khoiriyyah.

Semasa hidupnya, Hasan al-Banna selalu mengamalkan ritual-ritual tarikat Hashshofiyyah tersebut seperti Wadhifah (wirid) Rozuqiyyah tiap pagi dan petang. Nampaknya Wadhifah Rozuqiyyah ini adalah asal dari Wadhifah Kubra (nama lain dari al-Ma’tsurat sebagaimana tertera dalam judul cetakannya).

Hasan al-Banna tidak hanya mengamalkan Wadhifah Rozuqiyyah saja, bahkan dia juga mengikuti ritual Hashshofiyyah di kuburan-kuburan dengan cara menghadap kepada sebuah kuburan yang terbuka dengan tujuan untuk mengingat kematian, kemudian ritual Hadhrah setelah sholat Jum’at, dan ritual Maulid Nabi.

Abul-Hasan an-Nadwi berkata: “Hasan al-Banna selalu mengamalkan wirid-wirid dan ritual-ritual ini hingga akhir hayatnya.” (Tafsir Siyasi lil-Islam halaman 83).

Adapun dalam segi aqidahnya, Hasan al-Banna adalah Asy’ari Mufawwidhah sebagaimana nampak dalam kitabnya, Aqa’id (lihat Mudzakkirat Da’wah wa Da’iyyah, Nazharat fi Manhaj Ikhwanul-Muslimin dan Thoriqoh Hasan al-Hanna wa Ashumul-Waritsin)

Wirid-Wirid “al-Ma’tsurat” yang Lemah atau Tidak Ada Asalnya

Tidak diragukan lagi bahwa dzikir dan do’a termasuk diantara ibadah-ibadah yang paling utama. Sedangkan ibadah wajib dilandaskan atas dalil yang tsabit (kuat) dan tidak boleh menetapkan suatu ibadah tanpa dalil atau dengan dalil yang dha’if (lemah). Maka tidak boleh seorang Muslim mengamalkan suatu dzikir tertentu kecuali setelah meyakini bahwa dzikir tersebut dinukil dengan dalil yang tsabit dari al-Qur’an dan as-Sunnah (lihat bahasan “Hadits Dha’if dalam Fadho’il-A’mal” dalam Majalah al-Furqon Edisi Spesial Ramadhan-Syawwal Tahun 6).

Setelah kami meneliti do’a-do’a dan dzikir-dzikir dalam kitab al-Ma’tsurat ini ternyata ada beberapa dzikir yang lemah dalilnya atau bahkan tidak ada asalnya sama sekali, di antara do’a-doa dan dzikir-dzikir tersebut ialah:
  1. Wirid Pertama Ashbahnaa wa asbaha al-mulku lillahi laa syariikalahu wa alhamdu kulluhu lillahi laa syarikalahu laa ilaha illa allahu wa ilaihi an-nusyuur.”Artinya: Sesungguhnya kami terjaga di pagi hari dengan (kesadaran bahwa)/kerajaan (bumi dan segala isinya) ini seluruhnya adalah milik Allah. Dan segala puji bagi Allah, tiada sekutu bagi-Nya, tiada Rabb selain Dia dan kepada-Nya kami akan dibangkitkan.”Wirid ini datang dalam hadits Abu Hurairah Radhiyallahu ’anhu yang diriwayatkan oleh Bukhari dalam Adabul-Mufrod 1/211 nomor 604 dan, Ibnu Sunni dalam Amal Yaum wa Lailah halaman 74 dari jalan Abu Awanah dari Umar bin Abi Salamah dari bapaknya dari Abu Hurairah Radhiyallahu ’anhu.
    Riwayat ini dikatakan oleh Syaikh al-Albani rahimahullah: “Dha’if dengan lafazh ini, di dalam sanadnya terdapat Umar bin Abi Salamah az-Zuhri al-Qodhi, fihi dha’fun (padanya terdapat kelemahan).(Dho’if Adabul-Mufrad halaman 60).
  2. Wirid Kedua Allahumma ma ashbaha bii minni’mati faminka wahdaka laa syariika laka falaka alhamdu walaka asy-syukru.”Artinya: Ya Allah nikmat apapun yang kuperoleh dan diperoleh seseorang di antara makhluk-Mu adalah dari-Mu, yang Tunggal dan tak bersekutu, maka bagi-Mu segala puji dan syukur.” Wirid ini terdapat dalam hadits Abdullah bin Ghonam al-Bayadhi yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam Sunan-nya 4/318, Ibnu Hibban dalam Shahih-nya 3/143, Nasa’i dalam Sunan Kubro 6/5, Abu Bakar asy-Syaibani dalam Ahad wal-Matsani 4/183, dan Baihaqi dalam Syu’abul-Iman 4/89 dari jalan Rabi’ah bin Abi Abdirrahman dari Abdullah bin Anbasah dari Abdullah bin Ghonam al-Bayadhi.
    Abdullah bin Anbasah dikatakan oleh adz-Dzahabi rahimahullah: Hampir-hampir tidak dikenal.
    Riwayat ini dilemahkan oleh Syaikh al-Albani dalam Takhrij Kalimu Thoyyib halaman 73 dan Dho’if Jami’ Shaghir : 5730.
  3. Wirid Ketiga Yaa rabbi laka alhamdu kamaa yanbagii lijalaali wajhika wali’adhiimi sulthaanika. ”Wirid ini terdapat dalam hadits Abdullah bin Umar Radhiyallahu ’anhuma yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dalam Sunan-nya 2/1249, Thabrani dalam Mu’jam Ausath 9/101 dan Mu’jam Kabir 12/343, dan Baihaqi dalam Syu’abul-Iman 4/94 dari jalan Shadaqah bin Basyir dari Qudamah bin Ibrahim al-Jumahi dari Abdullah bin Umar Radhiyallahu ’anhuma.al-Bushiri rahimahullah berkata: “Sanad ini, terdapat kritikan padanya.” (Mishbahu Zujajah 4/130).
    Shadaqah bin Basyir dikatakan oleh Ibnu Hajar rahimahullah dalam Taqrib: Maqbul (yaitu diterima haditsnya jika ada penguatnya, kalau tidak ada penguatnya maka haditsnya lemah).”
    Qudamah bin Ibrahim dikatakan oleh Ibnu Hajar rahimahullah dalam Taqrib: Maqbul.
    Riwayat ini dilemahkan oleh Syaikh al-Albani dalam Dha’if Sunan Ibnu Majah halaman 308 dan Dha’if Jami’ Shoghir : 1877.
  4. Wirid Keempat Allahumma sholli ‘alaa Muhammadin ‘abdika wanabiyyika warosuulika an-nabiyyi al-ummii wa ‘alaa aalihi washohbihi wasallim tatsliimaa ‘adada ma ahaatho bihi ‘ilmuka wakhoththo bihi qolamuka wa ahshoohu kitaabuka…Artinya: Ya Allah limpahkanlah shalawat atas junjungan kami Muhammad hamba-Mu, nabi-Mu, dan rasul-Mu, nabi yang ummi, dan atas keluarganya; dan limpahkanlah salam sebanyak yang diliput oleh ilmu-Mu dan dituliskan oleh pena-Mu, dan dirangkum oleh kitab-Mu.Shalawat ini adalah shalawat yang bid’ah yang tidak ada asalnya, tidak ada di dalam kitab-kitab hadits yang mu’tabar sepanjang penelitian kami.
    Wirid-wirid diatas (1 s/d 4) adalah yang lemah atau tidak ada asalnya. Di samping itu, di dalam kitab al-Ma’tsurat ini banyak wirid-wirid lain yang shahih lafazhnya tetapi bid’ah dari segi kaifiyyat (tatacara)nya karena memberikan bilangan bacaan-bacaannya yang tidak pernah ada tuntunannya dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Do’a “Rabithah” yang Bid’ah

Pada akhir kitab al-Ma’tsurat ini tercantum Do’a Rabithah yang berbunyi:
Allahumma innaka ta’lamu anna hadihi al-quluuba qodijtama’at ‘alaa mahabbatika waltaqot ‘alaa thoo ‘atika watawahhadat ‘alaa da’watika wa ta’aahadat ‘alaa nushroti syarii’atika fawassiq allahumma roobithhaa wa adim wuddahaa.

Artinya: Ya Allah, sesungguhnya Engkau Maha Mengetahui bahwa hati-hati ini telah berkumpul untuk mencurahkan mahabbah (kecintaan) hanya kepada-Mu, bertemu untuk taat kepada-Mu, bersatu dalam rangka menyeru di (jalan)-Mu, dan berjanji setia untuk membela syari’at-Mu, maka kuatkanlah ikatan pertaliannya ya Allah, abadikan kasih sayangnya…
Syaikh Ihsan bin Ayisy al-Utaibi rahimahullah berkata: Di akhir al-Ma’tsurat terdapat wirid rabithah, ini adalah bid’ah shufiyyah yang diambil oleh Hasan al-Banna dari tarikatnya, Hashshofiyyah. (Kitab TarbiyatuI-Aulad fil-Islam Ii Abdullah Ulwan fi Mizani Naqd Ilmi halaman 126).

Hukum Wirid-Wirid Bid’ah

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:
Tidak diragukan lagi bahwa dzikir dan do’a termasuk di antara ibadah-ibadah yang paling afdhal (utama), dan ibadah dilandaskan atas tauqif dan ittiba’, bukan atas hawa nafsu dan ibtida’, Maka do’a-do’a dan dzikir-dzikir Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah yang paling utama untuk diamalkan oleh seorang yang hendak berdzikir dan berdo’a. Orang yang mengamalkan do’a-do’a dan dzikir-dzikir Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang berada di jalan yang aman dan selamat. Faedah dari hasil yang didapatkan dari mengamalkan do’a-do’a dan dzikir-dzikir Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa sallam begitu banyak sehingga tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata, Adapun dzikir-dzikir dari selain Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, kadang-kadang diharamkan, kadang-kadang makruh, dan kadang-kadang didalamnya terdapat kesyirikan yang kebanyakan orang tidak mengetahuinya. Tidak diperkenankan bagi seorang pun membuat bagi manusia dzikir-dzikir dan do’a-do’a yang tidak disunnahkan, serta menjadikan dzikir-dzikir tersebut sebagai ibadah rutin seperti shalat lima waktu, bahkan ini termasuk agama bid’ah yang tidak diizinkan oleh Allah Azza wa Jalla. Adapun menjadikan wirid yang tidak syar’i maka ini adalah hal yang terlarang, bersamaan dengan ini dzikir-dzikir dan wirid-wirid yang syar’i sudah memenuhi puncak dan akhir dari tujuan yang mulia, tidak ada seorang pun yang berpaling dari dzikir-dzikir dan wirid-wirid yang syar’i menuju kepada dzikir-dzikir dan wirid-wirid yang bid’ah melainkan (dialah) seorang yang jahil atau sembrono atau melampaui batas. (Majmu’ Fatawa 22/510-511).

Beliau rahimahullah juga berkata:

Seseorang yang berpaling dari do’a yang syar’i kepada yang lainnya -walaupun itu adalah hizb-hizb- (wirid-wirid) sebagian masyayikh (para syaikh)- maka yang paling bagus baginya adalah hendaknya tidak meluputkan bagi dirinya do’a yang lebih afdhal dan yang lebih sempurna, yaitu do’a-do’a Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena dia yang lebih afdhal dan lebih sempurna dari do’a-do’a yang lainnya dengan kesepakatan kaum Muslimin, meskipun do’a-do’a yang lain tersebut diucapkan oleh sebagian masyayikh, apalagi jika do’a-do’a tersebut di dalamnya terdapat kesalahan atau dosa atau yang lainnya? Diantara orang-orang yang paling tercela adalah orang yang menjadikan hizb (wirid) yang tidak ma’tsur (dinukil) dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam -walaupun itu adalah hizb-hizb sebagian masyayikh- dan meninggalkan hizb-hizb Nabawiyyah yang diucapkan oleh Penghulu Bani Adam, Imam para makhluk, dan hujjah Allah atas para hamba-Nya. (Majmu’ Fatawa 22/525).

Badal (Pengganti) Kitab Ini

Setelah melihat banyaknya hal-hal yang bid’ah dalam kitab al-Ma’tsurat ini, kami memandang bahwa kitab ini tidak layak dijadikan pegangan di dalam wirid-wirid keseharian seorang Muslim.

Kami menganjurkan agar saudara-saudaraku kaum Muslimin memilih kitab-kitab dzikir lainnya yang mengacu kepada do’a dan dzikir yang shahih dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, diantara kitab-kitab yang kami anjurkan untuk dipakai adalah:
  1. aI-Adzkar oleh aI-Imam an-Nawawi bersama penjelasan derajat haditsnya dalam kitab Shahih wa Dha’if aI-Adzkar oleh Syaikh Salim bin ‘Id al-Hilali.
  2. al-Kalimu Thayyib oleh Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah dengan takhrij Syaikh al-Albani.
  3. Tuhfatul-Akhyar oleh Syaikh Abdul-Aziz bin Baz.
  4. Shahih Kalimu Thayyib oleh Syaikh al-Albani.
  5. Hishnul-Muslim oleh Syaikh Sa’id bin Ali bin Wahf al-Qahthani (telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia).

Sumber:
Artikel ini disalin dari Majalah al-Furqon, edisi 06 tahun VI Rabi’ul Awwal 1428H (Februari 2007) (ahlussunnah.info)

 
+++++++++Share Ulang:
Citramas, Bandung
Sumber= https://alqiyamah.wordpress.com/2012/02/06/bidah-dalam-kitab-al-matsurat-karya-hasan-al-banna/