Ada dua pendapat ’ekstrim’ terkait dengan bahasan ini. Satu pendapat
mengatakan bahwa segala sesuatu yang tidak dikerjakan di jaman Nabi shallallaahu
’alaihi wasallam tidak bisa disebut bid’ah. Ini tergantung niat atau
bentuknya. Jika niat atau bentuknyanya (mereka anggap) baik, maka jadilah ia
bid’ah yang baik (bid’ah hasanah). Bisa
dikatakan, tidak ada kamus bid’ah dalam bahasa syari’at mereka.
Pendapat ini dianut oleh kebanyakan penggemar bid’ah.
Adapun pendapat lain mengatakan bahwa segala sesuatu yang tidak dikerjakan di
jaman Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam, maka itu disebut bid’ah secara
mutlak.[1]
Dua pendapat ini keliru. Ada satu kaidah yang sangat penting (dalam
mengenal bid’ah) yang perlu kita perhatikan sebagai berikut :
إذا تَرَكَ الرسول صلى الله عليه وسلم فعل عبادة من
العبادات مع كون موجبها وسببها المقتضي لها قائمًا ثابتًا ، والمانع منها منتفيًا
؛ فإن فعلها بدعة
”Apabila Rasulullah shallallaahu
’alaihi wasallam meninggalkan satu ibadah dari jenis-jenis ibadah yang
ada, padahal faktor dan sebab yang menuntut dikerjakan ada, sementara faktor
penghalangnya tidak ada, maka melaksanakan ibadah tersebut adalah bid’ah”. [2]
Ada dua kata
kunci di sini, yaitu :
1. Keberadaan
faktor dan sebab yang menuntut dilakukannya amalan tersebut.
2. Ketiadaan
faktor penghalang untuk mengerjakan amalan tersebut.
Contoh (1) : Pengumpulan Al-Qur’an di jaman Abu
Bakar. Hal ini tidak
pernah dilakukan pada jaman Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam.
Namun apakah hal ini bisa disebut sebagai bid’ah? Jawabnya
: Tidak. Mengapa? Karena
faktor atau sebab yang mendorong dilakukan pengumpulan di jaman
Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam itu belum ada. Pada
waktu itu, Al-Qur’an dijaga dalam dada para shahabat melalui hafalan mereka.
Ini sekaligus sebagai faktor penghalang dilakukannya pengumpulan Al-Qur’an.
Oleh karena itu, pengumpulan Al-Qur’an di jaman Rasulullah shallallaahu
’alaihi wasallam belum dirasa perlu sehingga hal itu belum/tidak
dilaksanakan di jaman beliau shallallaahu ’alaihi wasallam. Namun
setelah tragedi perang Yamamah ketika Khalifah Abu Bakr radliyallaahu
’anhu menumpas orang-orang murtad dan gerombolan pengikut nabi palsu
Musailamah Al-Kadzdzab, banyak para penghafal Al-Qur’an yang gugur (sebanyak 70
orang). Dari sinilah kemudian muncul faktor pendorong atau sebab dilakukannya
pembukuan Al-Qur’an – sekaligus menggugurkan faktor penghalang yang dulu di
jaman Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam ada. Ini
tercermin pada perkataan ’Umar bin Khaththab kepada Abu Bakr radliyallaahu
’anhuma :
”Dalam peperangan Yamamah para shahabat yang hafal Al-Qur’an telah
banyak yang gugur. Saya khawatir akan gugurnya para shahabat yang lain dalam
peperangan selanjutnya, sehingga banyak ayat-ayat yang perlu dikumpulkan”.
Apa yang dikatakan oleh ’Umar merupakan sebab yang sangat kuat dilakukannya
pengumpulan Al-Qur’an demi kemaslahatan kaum muslimin.
Hal yang sama juga seperti kasus pembubuhan titik dan harakat pada huruf
hijaiyyah.
[3]
Setelah banyak terjadi kesalahan dalam bacaan dan banyaknya perselisihan
karenanya, maka dipandang perlu untuk membubuhkan tanda-tanda dalam Al-Qur’an
sebagaimana dirintis oleh Abul-Aswad Ad-Dualiy, yang kemudian dilanjutkan
(disempurnakan) oleh Naashir bin ’Ashim dan Yahya bin Ya’mar pada jaman
kekhalifahan ’Abdul-Malik bin Marwan; dan kemudian disempurnakan lagi oleh
Al-Khalil. Hal itu dilakukan untuk meminimalisasi kesalahan dalam bacaan
Al-Qur’an.
Contoh (2) : Maulid Nabi. Jika kita ditanya : ”Apakah
hal itu dilakukan di jaman Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam (atau jaman
shahabat setelah Nabi wafat)?”. Jawabannya : Tidak. Apakah ini disebut bid’ah ? Jawabannya adalah : Ya.
Mengapa? Karena faktor pendorong dan sebab untuk dilakukan
di jaman Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam ada. Juga, faktor penghalangnya pun tidak ada.
Namun realitas menyatakan bahwa Nabi shallallaahu ’alaihi
wasallam dan para shahabatnya tidak melakukannya. Apa artinya? Artinya, maulid Nabi bukan
merupakan amalan yang teranggap dalam syari’at secara asal. Jika ada
yang mengatakan : ”Kami melakukannya dengan tujuan
(faktor pendorong) untuk meramaikan syi’ar-syi’ar Islam dan sebagai wujud rasa
syukur kami kepada beliau shallallaahu ’alaihi wasallam”. Jika
memang itu faktor pendorong Anda, maka kami jawab : ”Bukankah faktor
pendorong yang sama sangat mungkin ada pada jaman Nabi shallallaahu
’alaihi wasallam dan para shahabatnya serta tidak ada halangan bagi mereka
untuk melakukannya? Namun ternyata mereka tidak melakukannya!!. Jadi,
itu merupakan amalan bid’ah. Bukan teranggap sebagai kemaslahatan dalam
syari’at.
Ibnu Taimiyyah
berkata :
فإن هذا لم يفعله السلف مع قيام المقتضي له وعدم
المانع منه ، ولو كان هذا خيرًا محضًا أو راجحًا لكان السلف رضي الله عنه أحق به
منا ، فإنهم كانوا أشد محبة لرسول الله صلى الله عليه وسلم وتعظيمًا له منا ، وهم
على الخير أحرص . وإنما كمال محبته وتعظيمه في متابعته وطاعته وإتباع
أمره ، وإحياء سنته باطنًا وظاهرًا ، ونشر ما بعُث به ، والجهاد على ذلك بالقلب
واليد واللسان . فإن هذه طريقة السابقين الأولين من المهاجرين والأنصار والذين
اتبعوهم بإحسان
”Sesungguhnya ini (maulid) tidak pernah
dilakukan oleh salaf, padahal faktor pendorongnya ada, sedangkan faktor
penghalangnya tidak ada. Seandainya ini baik atau agak kuat, tentu salaf lebih
berhak (melakukan hal ini) daripada kita; karena sesungguhnya kecintaan dan
pengagungan mereka terhadap Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam lebih
dari yang kita lakukan dan mereka sangat bersemangat dalam segala kebaikan.
Sempurnanya kecintaan dan pengagungan terhadapnya hanya terdapat pada kesetiaan
mengikuti jejaknya, menaatinya, melaksanakan perintahnya, menghidupkan
sunnahnya lahir dan batin, menjelaskan ajarannya, serta berjihad demi semua itu
dengan hati, tangan, dan lisan. Inilah jalan yang ditempuh oleh para pendahulu
dari kalangan Muhajirin dan Anshar serta orang-orang yang mengikuti mereka
dengan kebaikan”.[4]
Atau jika kita ingin contoh yang lebih jelas dari nomor 2, maka kita ambil
contoh ’ekstrim’: adzan dan iqamah yang dilakukan di shalat
’Ied. Saya yakin kita
semua akan mengatakan bahwa itu bid’ah.[5] Apa indikasinya ? Faktor pendorong untuk dilakukan adzan dan iqamah
pada shalat ’Ied di jaman Rasulullah shallallaahu ’alaihi
wasallam ada, yaitu untuk memberitahukan kaum muslimin agar berkumpul
dan menghadairi shalat berjama’ah di lapangan (mushalla); sementara itu
faktor penghalangnya tidak ada sama sekali. Tapi pada kenyataannya, beliau
tetap tidak melakukannya.[6] Maka
sesuai dengan pernyataan di awal, adzan dan iqamah pada shalat ’Ied itu
hukumnya bid’ah.
Contoh (3) : Shalat tarawih berjama’ah di masjid. Jika kita ditanya : ”Apakah hal itu dilakukan di jaman Nabi shallallaahu
’alaihi wasallam ?”. Kita jawab : ”Ya, akan tetapi hanya
dilakukan beberapa malam saja, dan kemudian beliau tinggalkan”. Apakah shalat tarawih yang dihidupkan ’Umar bin
Al-Khaththab radliyallaahu ’anhu dan kemudian kita ikuti sampai
sekarang bisa dikatakan bid’ah? Jawabannya: Tidak. Mengapa ? Karena
ada faktor penghalang yang kuat dari Nabi shallallaahu ’alaihi
wasallam untuk meninggalkannya pada waktu itu sebagaimana tergambar dalam
perkataan beliau ketika memberikan penjelasan kepada shahabat mengapa beliau
meninggalkan shalat tarawih berjama’ah di masjid :
فإنه لم يخف علي شأنكم الليلة ولكني خشيت أن تفرض
عليكم صلاة الليل فتعجزوا عنها
”Sesungguhnya keadaan kalian tidaklah samar bagiku di malam tersebut
(= yaitu iman dan semangat kalian dalam beribadah), akan tetapi aku merasa
khawatir (ibadah ini) akan diwajibkan kepada kalian, lalu kalian tidak sanggup
melakukannya”.
Setelah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam wafat dan
syari’at telah mantap[7],
maka hilanglah kekhawatiran ini, sekaligus hilang pula faktor penghalangnya.
Dan hal ini sesuai dengan keumuman anjuran beliau shallallaahu ‘alaihi
wasallam untuk melakukan shalat tarawih berjama’ah :
إنه من قام مع الامام حتى ينصرف كتب له قيام ليلة
“Sesungguhnya barangsiapa shalat tarawih bersama imam (berjama’ah)
sampai selesai, maka ditulis baginya sama dengan shalat semalam suntuk”.
****
Itu saja secara global uraian ringkas mengenai salah satu kaidah mengenal
bid’ah. Masih ada beberapa penjelasan lanjutan terkait dengan pembahasan ini,
sebagaimana diterangkan oleh Asy-Syaikh Muhammad bin Husain Al-Jizaaniy dalam
kitab Qawaaidu Ma’rifatil-Bida’. Tentu saja, penentuan bid’ah atau
tidaknya satu amalan bukan hanya berdasarkan kaidah di atas saja. Masih banyak
kaidah-kaidah lain yang berkaitan yang perlu diketahui oleh kaum muslimin
semua. Saya persilakan bagi rekan-rekan asatidzah dan thullabul-’ilmi yang
lebih berkompeten untuk membahasnya secara mendalam............
Wallaahu ta’ala
a’lam bish-shawwab.
[Abul-Jauzaa’ –
Shaffar, 1430 di Ciomas Permai].
[1] Sebagian ikhwah
memahami pengertian bid’ah seperti ini, yaitu segala sesuatu yang tidak ada di
jaman Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam, maka dinamakan bid’ah.
كل عبادة من العبادات ترك فعلها السلف الصالح من
الصحابة والتابعين وتابعيهم أو نقلها أو تدوينها في كتبهم أو التعرض لها في
مجالسهم فإنها تكون بدعة بشرط أن يكون المقتضي لفعل هذه العبادة قائمًا والمانع منه
منتفيًا
”Setiap ibadah dari jenis-jenis ibadah yang ada yang tidak dilakukan oleh as-salafush-shaalih dari
kalangan shahabat, tabi’in, dan tabi’ut-tabi’in; atau mereka tidak menukilnya
(tidak meriwayatkannya) atau tidak menukilnya dalam kitab-kitab mereka, atau
tidak pernah menyinggung masalah tersebut dalam majelis-majelis mereka; maka
jenis ibadah tersebut adalah bid’ah dengan syarat faktor penuntut untuk
mengerjakan ibadah tersebut ada dan faktor penghalangnya tidak ada.
[3] Huruf hijaiyyah di
jaman Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam tidak memakai tanda,
titik, dan harakat.
عن جابر بن سمرة قال صليت مع رسول الله صلى الله عليه
وسلم العيدين غير مرة ولا مرتين بغير أذان ولا إقامة
Dari Jabir bin Samurah radliyallaahu ‘anhu ia berkata :
“Aku pernah shalat hari raya bersama Rasulullahshallallaahu ‘alaihi wasallam bukan
hanya sekali atau dua kali tanpa adzan dan iqamat” [HR. Muslim no. 887].
[7] Tidak ada kewajiban tambahan yang setelah
Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallamwafat, karena Islam telah
sempurna dengan turunnya QS. Al-Maaidah ayat 3.
from=
http://abul-jauzaa.blogspot.fr/2009/02/apakah-setiap-amal-yang-tidak-dilakukan.html