Dalam masalah
penerapan sunnah sering dilontarkan syubhat-syubhat dari ahlul bid’ah yang
menyebabkan umat enggan dan tidak bersemangat untuk mengamalkannya. Di
antaranya syubhat-syubhat yang dipropagandakan oleh para politikus yang berbaju
da’i. Mereka selalu meremehkan masalah fiqih dan hukum-hukum syari’at dan
menganggapnya sebagai perkara remeh dan sepele. Mereka menganggap
pelajaran-pelajaran seperti tauhid uluhiyah, fiqih syari’ah dan lain-lainnya
sebagai kulit (qusyur) dan bukan inti (lubab) dari ajaran agama ini. Atau
mereka menganggapnya sebagai furu’ (cabang) dan bukan perkara ushul (pokok).
Perhatikan perkataan
Abdurrahman Abdul Khaliq ketika mengkampanyekan pentingnya mengenali situasi
politik (shifatul ashr) dalam kasetnya sebagai berikut: “Sayang sekali pada
hari ini kita memiliki syaikh-syaikh para ulama yang hanya mengerti qusyur
(kulit Islam) yang sudah lewat masanya…..”
Para ulama yang
tidak mengetahui shifatul ashr dianggap sebagai orang-orang yang jumud dan
hanya mengerti qusyur atau kulit Islam saja. Ini merupakan bentuk pelecehan
dan meremehkan syariat Allah Azza wa Jalla yang dibawa oleh para ulama
tersebut.
Di tempat lain ia
menyatakan bahwa para ulama dikatakan sebagai mumi yang badannya hidup di zaman
kita, sedangkan akal dan pikiran mereka ada di masa lalu. Atau dengan istilah
dia yang lain ‘cetakan lama’, ‘ulama haid dan nifas’, dan seterusnya.
Ucapan-ucapan ini
sama dengan ucapan seluruh ahlul bid’ah sejak dahulu, apakah dari kalangan
mu’tazilah ataupun yang lainnya. Seperti apa yang diucapkan oleh ‘Amr bin
Ubaid: “Ilmunya imam Syafi’i tidak keluar dari celana dalam perempuan”. Atau
istilah-istilah lain yang lebih mengerikan dari ini.
Semua perkataan itu
bertujuan sama, yaitu merendahkan ilmu-ilmu fiqih seperti hukum haid, nifas,
thaharah, mandi junub, dan segala hukum-hukum yang berkaitan dengan fiqih.
Mereka menganggap bahwa perkara itu sangat rendah yang seharusnya kita lebih
mementingkan perkara yang lebih besar, yaitu wawasan politik, mengenal situasi
politik (shifatul ‘ashr), atau menurut istilah Ikhwanul Muslimin tsaqafah
islamiyah, atau fiqhul waqi’ menurut istilah sururiyyin, dan sistem kepartaian
dan demokrasi serta berbagai macam perkara yang mereka anggap bisa memenangkan
mereka dalam percaturan politik dan mencapai puncak kekuasaan yang mereka
inginkan.
Para ulama membantah
syubhat mereka ini dari beberapa sisi:
1. Jika pembagian
tersebut bertujuan hanya untuk mementingkan yang ushul dan meremehkan yang
furu’, maka ini adalah pembagian yang batil.
Kita katakan kepada
mereka: ”Tidak ada dalam agama ini perkara yang remeh” seperti dikatakan oleh
Imam Malik. Pada suatu saat Imam Malik pernah ditanya dengan satu pertanyaan,
kemudian beliau menjawab: “Saya tidak tahu”. Mendengar jawaban ini si penanya
terheran-heran dan berkata: “Sesungguhnya ini adalah masalah yang sepele, dan
aku bertanya tentang hal ini semata-mata karena ingin memberi tahu kepada sang
amir (penguasa)”. Melihat hal ini, Imam Malik marah seraya berkata: “Kau
katakan ini masalah sepele dan remeh? Tidak ada dalam agama ini perkara yang
remeh! Tidaklah kau mendengar ucapan Allah Azza wa Jalla:
إِنَّا سَنُلْقِي عَلَيْكَ
قَوْلاً ثَقِيلاً. المزمل: 5
“Sesungguhnya Kami akan menurunkan kapadamu perkataan
yang berat.” (al-Muzammil: 5)
Oleh karena itu
seluruh ilmu agama ini semuanya berat, khususnya karena akan dipertanyakan pada
hari kiamat (Tarti-bul Madariq, Qadli ‘Iyadl 1/184; Lihat Dlarurarul Ihtimam
bis Sunnatin Nabawiyyah, hal. 118)
Perhatikanlah ucapan
Imam Malik di atas, bahwasanya perkara agama ini semuanya penting dan berat
karena akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah kelak. Ucapan itu cukup
sebagai bantahan terhadap syubhat dari ahlul bid’ah yang membagi-bagi agama ini
menjadi Qusyur wa Lubab (kulit dan inti), kemudian mereka meremehkan perkara
yang mereka anggap qusyur. Demikian pula sebagian yang lain yang membagi
agama ini menjadi Ushul wal Furu’ (Pokok dan Cabang), dan menganggap remeh
masalah furu’ dengan kalimat-kalimat yang banyak diucapkan seperti: “Inikan
masalah furu’, kenapa harus diajarkan?” atau kalimat: “Janganlah kalian
disibukkan dengan masalah furu’” dan lain-lainnya.
Ahlul bid’ah selalu
sinis terhadap ahlus sunnah yang senantiasa mengkaji, mempelajari, menulis
masalah-masalah fiqih seperti gerakan-gerakan shalat atau masalah-masalah fiqih
lainnya dan mencemoohkan mereka dengan kalimat-kalimat di atas.
2. Pembagian ini
merupakan pembagian bid’ah yang tidak ada asalnya.
Dalam hal ini kita
dengarkan ucapan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah: “Adapun pembagian
agama ini dengan istilah masalah ushul dan furu’ adalah pembagian yang tidak
ada dasarnya (tidak ada asalnya). Pembagian itu tidak berasal dari para shahabat,
para tabi’in maupun yang mengikuti mereka dengan ihsan, dan tidak pula dari
para imam kaum muslimin. Istilah ini sesungguhnya diambil dari kaum
mu’tazilah dan yang sejenis dengan mereka dari ahlul bid’ah. Kemudian istilah
tersebut dipakai oleh sebagian ahlu fiqih dalam kitab-kitab mereka, padahal
pembagian ini sangat kontradiktif”. (Masail Maridiniyah, hal. 788;
Lihat Dlaruratul Ihtimam, Syaikh Abdus Salam bin Bar-jas, hal. 111)
Ibnul Qayyim
rahimahullah berkata ketika membicarakan pembagian agama menjadi ushul dan
furu’: “Semua pembagian yang tidak dapat dibuktikan dengan al-Qur’an dan
as-Sunnah serta prinsip-prinsip syariat, hal itu adalah pembagian yang batil
dan harus dibuang. Karena pembagian seperti ini adalah salah satu dari
dasar-dasar kesesatan umat” (Mukhtashar ash-Shawaiqul Mursalah, 2/415)
3. Tidak ada
definisi yang disepakati oleh mereka sendiri, manakah yang dimaksud ushul dan
mana yang dianggap furu’.
Seperti yang
dikatakan oleh Ibnu Taimiyyah diatas, pembagian ini sangat kontradiktif. Ketika
kita tanyakan kepada mereka apakah yang kalian anggap sebagai ushul ternyata
mereka sendiri berselisih pendapat.
Sebagian mereka
menganggap masalah keyakinan (aqidah) sebagai ushul dan masalah amaliyah
(ibadah) sebagai furu’. Kalau demikian apakah mereka menganggap bahwa shalat
sebagai furu’, padahal seluruh umat Islam mengerti bahwa shalat adalah
merupakan salah satu prinsip pokok ajaran Islam?
Sebagian yang lain
mengatakan bahwa yang merupakan ushul adalah perkara-perkara yang meyakinkan
(mutawatir), sedangkan yang tidak mutawatir dianggap sebagai perkara furu’
yang meragukan. Ini pun terbantah karena masalah keyakinan itu berkaitan dengan
ilmu, sehingga berbeda-beda pada tiap orang. Bagi para ulama yang mengerti ilmu
hadits, mereka sangat yakin terhadap seluruh hadits shahih, apakah ia
mutawatir ataupun tidak.
Sebagian yang lain
menyatakan bahwa perkara ushul adalah perkara-perkara yang wajib, sedangkan
perkara-perkara yang tidak wajib dianggap furu’. Kalau begitu apakah boleh kita
meremehkan perkara yang tidak wajib?
Sebagian lagi
menyatakan bahwa yang merupakan perkara ushul adalah masalah yang disepakati
oleh para ulama, sedangkan masalah furu’ adalah masalah yang diperselisihkan
oleh para ulama. Bahkan sebagian lainnya menyatakan bahwa seluruh perkara, baik
aqidah, ibadah, maupun hukum adalah furu’, sedangkan intinya adalah bersikap
baik terhadap sesama manusia (akhlaq kemanusiaan).
Ada pula yang
menyatakan seperti apa yang banyak diucapkan akhir-akhir ini bahwa masalah yang
merupakan pokok agama ini adalah berjuang mencapai kekuasaan melalui sistem
demokrasi, walaupun harus mengorbankan prinsip aqidah, ibadah dan akhlaq,
karena mereka anggap sebagai furu’.
Akhirnya setiap
aliran sesat yang ingin membuang atau meremehkan suatu masalah akan mengatakan
masalah itu adalah furu’.
4. Jika pembagian
ini dilakukan bertujuan untuk meremehkan perkara-perkara yang mereka anggap
sebagai fu-ru’, maka ini adalah sebesar-besar kebatilan, karena Allah
memerintahkan kita untuk memeluk agama ini secara keseluruhan.
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ
ءَامَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً وَلاً تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ
الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ. البقرة: 208
“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kalian ke
dalam Islam secara keseluruhan, dan janganlah kalian turut langkah-langkah
setan. Sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagimu.” (al-Baqarah:
208)
Menafsirkan ayat di
atas, Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhu berkata: “As-Silmi adalah Islam, sedangkan
Kaaffah maknanya adalah keseluruhan”. Berkata Mujahid: “Amalkanlah seluruh
amalan dan seluruh kebaikan”. Juga berkata Ibnu Katsir: “Allah memerintahkan kepada
hamba-hamba-Nya yang beriman dan yang membenarkan Rasulullah shalallahu ‘alaihi
wa sallam agar mengambil seluruh syariat-syariat Islam, mengamalkan seluruh
perintah-perintahnya dan meninggalkan seluruh yang dilarangnya”.
Demikianlah para
ulama menafsirkan ayat di atas, yakni ambillah dari syariat Islam ini secara
keseluruhan. Jangan memilih-milih atau mengambil sebagian dan meremehkan
sebagian lainnya. Para ulama tidak membedakan mana yang ushul dan mana yang
furu’. Mereka tidak pula membedakan mana yang Qusyur dan mana yang Lubab. Kita
wajib mengambilnya secara keseluruhan sebagai agama Allah yang mulia dan kita
wajib menghormatinya. Jika hal itu perkara wajib, maka kita harus
mengamalkannya. Dan jika hal itu adalah perkara yang mustahab, maka kita
dianjurkan untuk mengamalkannya. Kalaupun kita tidak mengamalkannya (karena
bukan wajib), kita tetap tidak boleh merendahkannya dan menganggapnya sebagai
perkara yang sepele dengan menyebutkan sebagai perkara furu’, qusyur, juziyyat
dan isti-lah-istilah yang lainnya.
4. Kerasnya para
shahabat kepada orang-orang yang meremehkan sunnah, walaupun pada
perkara-perkara yang dianggap furu’.
Diriwayatkan dari
Abdullah bin Umar, ketika beliau berkata bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda:
لاَ تَمْنَعُوْا نِسَاءَكُمْ
الْمَسَاجِدَ. (متفق عليه
“Janganlah kamu cegah perempuan-perempuan kalian
(untuk) mendatangi masjid.” (HR. Bukhari Muslim)
Kemudian berkatalah
anaknya: “Demi Allah, aku akan melarang mereka ke masjid”. Mendengar ucapan
tersebut Ibnu Umar marah dan memaki anaknya dengan caci makian yang tidak
pernah diucapkan sebelumnya, seraya berkata: “Saya katakan ‘Rasulullah
berkata’, kemudian kamu mengatakan: “Demi Allah akan saya larang?!”
Dalam riwayat lain
dari Ibnu Umar bahwasanya ia berkata: “Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda:
ائْذِنُوْا النِّسَاءَ
بِاللَّيْلِ إِلَى الْمَسَاجِدَ
“Izinkanlah oleh kalian wanita-wanita pergi ke
masjid”.
Maka berkatalah
anaknya: “Kalau begitu mereka akan mengambilnya sebagai permainan”. Maka Ibnu
Umar pun memukul dadanya seraya berkata: “Aku sampaikan kepadamu dari
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian kamu mengatakan:
“Tidak?!!””
Berkata Imam Nawawi
(mengomen-tari riwayat di atas): “Padanya ada dalil untuk menghukum orang yang
menentang sunnah dan yang membantah dengan akal pikirannya”
Wallahu a’lam.
(Dikutip
dari Buletin Dakwah MANHAJ SALAF, Edisi: 21/Th. I tgl 20 Muharram 1425
H/12 Maret 2004 M, judul asli “Tidak ada masalah sepele dalam agama
ini”, penulis ustadz Muhammad Umar assawed)
from=http://salafy.or.id/blog/2004/12/13/jangan-remeh/