Islam Pedoman Hidup: Kafirnya Seorang Hakim atau Penguasa Tidaklah Melazimkan Kebolehan Keluar Ketaatan dan Mengangkat Senjata Kepadanya

Senin, 24 Agustus 2015

Kafirnya Seorang Hakim atau Penguasa Tidaklah Melazimkan Kebolehan Keluar Ketaatan dan Mengangkat Senjata Kepadanya


Seandainya benar kata orang-orang bodoh itu bahwa penguasa kita telah kafir (murtad), maka kekafirannya itu tidaklah selalu melazimkan kebolehan untuk keluar ketaatan darinya, atau – bahkan – mengangkat pedang.

Bolehnya keluar ketaatan dari penguasa, sedikitnya jika memenuhi 4 (empat) syarat, yaitu:

1.        Penguasa itu jatuh dalam perkara kekafiran yang nyata, yang kita memiliki bukti di sisi Allah akan hal itu.

Dalilnya :

عَنْ جُنَادَةَ بْنِ أَبِي أُمَيَّةَ، قَالَ: " دَخَلْنَا عَلَى عُبَادَةَ بْنِ الصَّامِتِ وَهُوَ مَرِيضٌ، قُلْنَا: أَصْلَحَكَ اللَّهُ، حَدِّثْ بِحَدِيثٍ يَنْفَعُكَ اللَّهُ بِهِ سَمِعْتَهُ مِنَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَِيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: دَعَانَا النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَِيْهِ وَسَلَّمَ فَبَايَعْنَاهُ، فَقَالَ فِيمَا أَخَذَ عَلَيْنَا: أَنْ بَايَعَنَا عَلَى السَّمْعِ وَالطَّاعَةِ فِي مَنْشَطِنَا وَمَكْرَهِنَا، وَعُسْرِنَا وَيُسْرِنَا، وَأَثَرَةً عَلَيْنَا، وَأَنْ لَا نُنَازِعَ الْأَمْرَ أَهْلَهُ إِلَّا أَنْ تَرَوْا كُفْرًا بَوَاحًا عِنْدَكُمْ مِنَ اللَّهِ فِيهِ بُرْهَانٌ "
Dari Junaadah bin Umayyah, ia berkata : Kami pernah masuk menemui ‘Ubaadah bin Ash-Shaamit yang ketika itu ia sedang sakit. Kami berkata : “Semoga Allah memperbaiki keadaanmu. Ceritakanlah kepada kami hadits yang Allah telah memberikan manfaat kepadamu dengannya, yang telah engkau dengar dari Nabishallallaahu ‘alaihi wa sallam. Ia berkata : “Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallampernah memanggil kami, lalu membaiat kami. Dan diantara baiatnya adalah agar kami berbaiat untuk mendengar dan taat ketika kami semangat ataupun tidak suka, ketika dalam kemudahan ataupun dalam kesusahan, ataupun ketika kami diperlakukan secara sewenang-wenang. Dan hendaklah kami tidak merebut urusan kepemimpinan dari ahlinya (orang yang berhak). Beliau shallallaahu ’alaihi wasallam berkata : ”Kecuali jika kalian melihat kekufuran yang nyata, yang kalian memiliki bukti di sisi Allah” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 7056 dan Muslim no. 1709].

Ibnu Hajar rahimahullah berkata :

قال النووي المراد بالكفر هنا المعصية ومعنى الحديث لا تنازعوا ولاة الأمور في ولايتهم ولا تعترضوا عليهم إلا أن تروا منهم منكرا حققا تعلمونه من قواعد الإسلام فإذا رأيتم ذلك فانكروا عليهم وقولوا بالحق حيثما كنتم انتهى وقال غيره المراد بالإثم هنا المعصية والكفر فلا يعترض على السلطان إلا إذا وقع في الكفر الظاهر
”Telah berkata An-Nawawi : Yang dimaksudkan dengan kufur di sini adalah kemaksiatan. Jadi makna hadits adalah : Jangan kalian menentang ulil-amri (pemimpin/penguasa) dalam kekuasaan mereka dan janganlah kalian membangkang kecuali apabila kalian melihat kemunkaran yang nyata dari mereka, yang kalian ketahui bahwa hal itu termasuk sendi-sendi Islam (min qawaa’idil-Islaam). Apabila kalian melihat yang demikian itu, maka ingkarilah dan sampaikanlah yang benar dimanapun kalian berada” – selesai –…. (Ibnu Hajar melanjutkan : ) Dan berkata ulama selain beliau (An-Nawawi) : ”Bahwasannya yang dimaksudkan dengan dosa adalah kemaksiatan dan kekufuran. Maka dari itu, tidak diperbolehkan melakukan penyerangan kepada sulthan kecuali bila ia telah terjatuh dalam kekufuran yang nyata” [selesai – Fathul-Bari, 13/8].

2.        Telah ditegakkan hujjah padanya.

Dalilnya adalah firman Allah ta’ala :

وَمَا كَانَ اللّهُ لِيُضِلّ قَوْماً بَعْدَ إِذْ هَدَاهُمْ حَتّىَ يُبَيّنَ لَهُم مّا يَتّقُونَ إِنّ اللّهَ بِكُلّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
“Dan Allah sekali-kali tidak akan menyesatkan suatu kaum, sesudah Allah memberi petunjuk kepada mereka sehingga dijelaskan-Nya kepada mereka apa yang harus mereka jauhi. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu” [QS. At-Taubah : 115].

Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata :

وليس لأحد أن يكفر أحدًا من المسلمين ـ وإن أخطأ وغلط ـ حتي تقام عليه الحجة، وتبين له المحَجَّة، ومن ثبت إسلامه بيقين لم يزل ذلك عنه بالشك، بل لا يزول إلا بعد إقامة الحجة، وإزالة الشبهة‏.‏
“Dan tidak boleh bagi seorangpun untuk mengkafirkan orang lain dari kaum muslimin – walau ia bersalah dan keliru – sampai ditegakkan padanya hujjah dan dijelaskan kepadanya bukti dan alasan. Barangsiapa yang telah tetap ke-Islam-an padanya dengan yakin, maka tidaklah hilang darinya hanya karena sebuah keraguan. Bahkan tidak hilang kecuali setelah ditegakkan kepadanya hujjah dan dihilangkan darinya syubhat” [Majmuu’ Al-Fataawaa, 12/466].

3.        Mempunyai kemampuan untuk menurunkannya atau menggulingkannya.

Dalilnya :

عَنْ أبي سَعيدٍ قال : سَمِعتُ رسولَ الله صَلَّى اللهُ عَلَِيْهِ وَسَلَّمَ يَقولُ : مَنْ رَأَى مِنكُم مُنْكَراً فَليُغيِّرهُ بيدِهِ ، فإنْ لَمْ يَستَطِعْ فبِلسَانِهِ ، فإنْ لَمْ يَستَطِعْ فَبِقلْبِهِ ، وذلك أَضْعَفُ الإيمانِ
Dari Abu Sa’iid (Al-Khudriy), ia berkata : Aku mendengar Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Barangsiapa yang melihat kemunkaran maka rubahlah ia dengan tangannya. Jika tidak mampu, maka rubahlah dengan lisannya. Dan jika tidak mampu, maka (tolaklah) dengan hatinya, dan itu adalah selemah-lemahnya iman” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 49, ‘Abdurrazzaaq no. 5649, Ahmad 3/10, dan yang lainnya].

Ibnu Hajar berkata :

وملخصه أنه ينعزل بالكفر إجماعا " فيجب على كل مسلم القيام في ذلك، فمن قوي على ذلك فله الثواب، ومن داهن فعليه الإثم، ومن عجز وجبت عليه الهجرة من تلك الأرض.
”Dan kesimpulannya, mencopot (seorang pemimpin) karena kekufuran merupakan ijma’. Maka wajib bagi setiap muslim untuk melakukan hal tersebut. Barangsiapa yang mampu melakukanya, maka ia mendapatkan pahala. Barangsiapa yang tidak mau melakukannya (padahal dia mampu), maka ia mendapatkan dosa. Dan barangsiapa yang lemah (tidak memiliki kemampuan), maka ia harus berhijrah meninggalkan negeri tersebut” [Fathul-Baariy, 13/123].

4.        Kerusakan akibat keluar ketaatan darinya tidak boleh lebih besar daripada kerusakan apabila menetapinya (tidak memberontak kepadanya).

Dalilnya adalah :

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا، أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَِيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَهَا: " يَا عَائِشَةُ، لَوْلَا أَنَّ قَوْمَكِ حَدِيثُ عَهْدٍ بِجَاهِلِيَّةٍ، لَأَمَرْتُ بالبيت فَهُدِمَ، فَأَدْخَلْتُ فِيهِ مَا أُخْرِجَ مِنْهُ وَأَلْزَقْتُهُ بِالْأَرْضِ، ...... "
Dari ‘Aaisyah radliyallaahu ‘anhaa : Bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda kepadanya : “Wahai ‘Aaisyah, seandainya bukanlah karena kaummu baru saja lepas dari Jahiliyyah, niscaya aku akan perintahkan meruntuhkan Ka’bah, lalu aku masukkan ke dalamnya apa yang pernah dikeluarkan daripadanya, dan niscaya aku akan tempelkan (pintunya) ke tanah…” [Diriwayatkjan oleh Al-Bukhaariy no. 1586 dan Muslim no. 1333].

Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata :

فإذا كان الأمر بالمعروف والنهي عن المنكر مستلزما من الفساد أكثر مما فيه من الصلاح لم يكن مشروعا وقد كره أئمة السنة القتال في الفتنة التي يسميها كثير من اهل الأهواء الأمر بالمعروف والنهي عن المنكر فإن ذلك إذا كان يوجب فتنة هي اعظم فسادا مما في ترك الأمر بالمعروف والنهي عن المنكر لم يدفع أدنى الفسادين باعلاهما بل يدفع أعلاهما باحتمال أدناهما كما قال النبي صلى الله عليه وسلم ألا انبئكم بأفضل من درجة الصيام والصلاة والصدقة والامر بالمعروف والنهي عن المنكر قالوا بلى يا رسول الله قال إصلاح ذات البين فإن فساد ذات البين هي الحالقة لا أقول تحلق الشعر ولكن تحلق الدين
“Apabila amar ma’ruf dan nahi munkar mengkonsekuensikan kerusakan yang lebih banyak daripada kebaikannya, maka perbuatan itu tidaklah disyari’atkan. Para imam Ahlus-Sunnah membenci peperangan dalam masa fitnah yang dinamakan oleh kebanyakan pengikut hawa nafsu sebagai amar ma’ruf nahi munkar; karena yang demikian itu apabila menimbulkan fitnah yang lebih besar kerusakannya daripada meninggalkan amar ma’ruf nahi munkar, tidaklah boleh menolak kerusakan yang lebih kecil dengan mendatangkan kerusakan yang lebih besar. Bahkan seharusnya menolak kerusakan yang lebih besar dengan menanggung kerusakan yang lebih kecil. Hal itu sebagaimana sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam : ‘Maukah kalian aku beritahukan sesuatu yang lebih utama daripada derajat puasa, shalat, shadaqah, dan amar ma’ruf nahi munkar ?’. Mereka (para shahabat) menjawab : ‘Tentu, wahai Rasulullah’. Beliau bersabda : ‘Memperbaiki hubungan antara dua orang yang berselisih, karena kerusakan hubungan itu merupakan ‘pencukur’. Aku tidak mengatakannya mencukur rambut, akan tetapi ia adalah mencukur agama” [Al-Istiqaamah, 1/330].

Jika salah satu syarat hilang, maka tidak boleh keluar ketaatan dan/atau mengangkat senjata kepada penguasa.

Semoga empat hal ini ada manfaatnya.

Wallaahu a’lam.
_______________________________________
[abul-jauzaa’ – sardonoharjo, sleman, yogyakarta, bulan baru dzulqa’dah 1432].