Allah Azza wa Jalla mewajibkan kita agar memiliki al-wala`[1] kepada kaum Muslimin, dan al-bara`[2] terhadap orang-orang kafir.
Allah berfirman :
إِنَّمَا وَلِيُّكُمُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَالَّذِينَ آمَنُوا الَّذِينَ يُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَهُمْ رَاكِعُونَ وَمَنْ يَتَوَلَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَالَّذِينَ آمَنُوا فَإِنَّ حِزْبَ اللَّهِ هُمُ الْغَالِبُونَ
“Sesungguhnya penolong kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya,
dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat,
seraya mereka tunduk (kepada Allah). Dan barangsiapa mengambil Allah, Rasul-Nya
dan orang-orang yang beriman menjadi penolongnya (wali yang ditaati), maka
sesungguhnya pengikut (agama) Allah itulah yang pasti
menang”.[al-Mâidah/5:55-56]
لَا يَتَّخِذِ الْمُؤْمِنُونَ الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ ۖ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَٰلِكَ فَلَيْسَ مِنَ اللَّهِ فِي شَيْءٍ إِلَّا أَنْ تَتَّقُوا مِنْهُمْ تُقَاةً
“Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang
kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mu’min. Barangsiapa berbuat
demikian, niscaya lepaslah dia dari pertolongan Allah kecuali karena (siasat)
memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka” [Ali ‘Imrân/3:28]
قَدْ كَانَتْ لَكُمْ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ فِي إِبْرَاهِيمَ وَالَّذِينَ مَعَهُ إِذْ قَالُوا لِقَوْمِهِمْ إِنَّا بُرَآءُ مِنْكُمْ وَمِمَّا تَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ كَفَرْنَا بِكُمْ وَبَدَا بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةُ وَالْبَغْضَاءُ أَبَدًا حَتَّىٰ تُؤْمِنُوا بِاللَّهِ وَحْدَهُ
“Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagimu
pada Nabi Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia; ketika mereka
berkata kepada kaum mereka:”Sesungguhnya kami berlepas diri dari kamu dan dari
apa yang kamu sembah selain Allah, kami ingkari (kekafiran)mu dan telah nyata
antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai kamu
beriman kepada Allah saja”. [al-Mumtahanah/60:4].
وَإِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ لِأَبِيهِ وَقَوْمِهِ إِنَّنِي بَرَاءٌ مِمَّا تَعْبُدُونَ إِلَّا الَّذِي فَطَرَنِي فَإِنَّهُ سَيَهْدِينِ وَجَعَلَهَا كَلِمَةً بَاقِيَةً فِي عَقِبِهِ لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ
“Dan ingatlah ketika Ibrahim berkata kepada bapaknya
dan kaumnya: “Sesungguhnya aku tidak bertanggung jawab terhadap apa yang kamu
sembah, tetapi (aku menyembah Rabb) yang menjadikanku; karena sesungguhnya Dia
akan memberi hidayah kepadaku”. Dan (Ibrahim) menjadikan kalimat tauhid itu
kalimat yang kekal pada keturunannya supaya mereka kembali kepada kalimat
tauhid itu”. [az-Zukhrûf/43:26-28].
لَا تَجِدُ قَوْمًا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ يُوَادُّونَ مَنْ حَادَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَوْ كَانُوا آبَاءَهُمْ أَوْ أَبْنَاءَهُمْ أَوْ إِخْوَانَهُمْ أَوْ عَشِيرَتَهُمْ ۚ أُولَٰئِكَ كَتَبَ فِي قُلُوبِهِمُ الْإِيمَانَ وَأَيَّدَهُمْ بِرُوحٍ مِنْهُ ۖ وَيُدْخِلُهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا ۚ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ ۚ أُولَٰئِكَ حِزْبُ اللَّهِ
“Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman
kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih-sayang dengan orang-orang yang
menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau
anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka. Mereka itulah
orang-orang, yang Allah telah menanamkan keimanan dalam hati mereka dengan pertolongan
yang datang daripada-Nya. Dan dimasukkan-Nya mereka ke dalam surga yang
mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Allah ridha
terhadap mereka dan merekapun merasa puas terhadap (limpahan rahmat)-Nya.
Mereka itulah golongan Allah”. [al-Mujâdilah/58:22].
Al-wala` (loyalitas) dan al-bara` (berlepas diri) ini
telah ditetapkan dalam Al-Qur’ân, as-Sunnah dan Ijma’. Masalah ini sudah
disyariatkan sebelum ada perintah berjihad, yaitu saat Nabi Shallallahu ‘alaihi
wa sallam berada di Mekkah. Al-wala` dan al-bara` tetap wajib, baik dalam
kondisi aman maupun perang. Ia bukan sesuatu yang baru.
Kami menyampaikan permasalahan ini supaya diingat
terus dan untuk menjelaskan kerancuan dalam memahaminya. Karena sebagian orang
yang melampaui batas, yang berjalan di atas pemikiran Khawarij memahami ‘adâwah
(permusuhan), barâ’ah (berlepas diri), dan kebencian kepada orang-orang kafir
memiliki konsekwensi, (yaitu) haramnya bergaul dengan orang-orang kafir.
Mereka tidak mengetahui bahwa yang dimaksud adalah
berlepas diri dari agama mereka. Dalam artian tidak mencintai mereka. Maksudnya
bukan tidak boleh bergaul dengan mereka dalam masalah yang dibolehkan Islam,
ataupun menzhalimi mereka dengan menghancurkan rumah-rumah mereka, membunuh
mereka yang berada dalam jaminan keamanan, membunuh anak-anak, kaum wanita atau
juga memusnahkan harta benda mereka. Lalu ini disebut jihad.
Sedangkan sebagian lainnya mengira, kebencian dan
berlepas diri dari orang-orang kafir merupakan teror dan kezhaliman kepada
mereka. Sebagaimana hal ini terungkap dalam berbagai dialog maupun tulisan di
sebagian media massa. Kemudian anggapan keliru ini dimanfaat oleh orang-orang
kafir dan orang munafik. Mereka mengatakan, agama Islam itu agama teror dan
buas?!
Kami (Syaikh Shalih Fauzan) mengatakan kepada kelompok
pertama dan kedua, bahwa Islam merupakan agama rahmat bagi pemeluknya, dan
agama yang mengajarkan keadilan dan pemenuhan janji kepada para musuhnya.
Allah Azza wa Jalla berfirman:
وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ أَنْ صَدُّوكُمْ عَنِ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ أَنْ تَعْتَدُوا ۘ وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَىٰ ۖ وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۖ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
“Dan janganlah sekali-kali kebencian(mu) kepada sesuatu
kaum karena mereka menghalang-halangi kamu dari Masjidil Haram, mendorong kamu
berbuat aniaya (kepada mereka). Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan)
kebajikan dan taqwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan
pelanggaran. Dan bertaqwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat
siksa-Nya” [al-Mâidah/5:2].
وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَىٰ أَلَّا تَعْدِلُوا ۚ اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَىٰ ۖ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ
“Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap
sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena
adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah”
[al-Mâidah/5:8].
Jadi dinul-Islam ini, meskipun memerintahkan agar
memusuhi orang-orang kafir karena agama mereka, supaya ajaran mereka tidak ada
yang menelusup ke tengah kaum Muslimin, dan ini untuk menutup celah, namun
Islam mengharamkan berbuat zhalim terhadap mereka tanpa alasan yang haq. Islam
menghormati hak-hak orang-orang kafir mu’ahad (yang sedang dalam perjanjian
damai), dzimmi (orang-orang kafir yang tinggal di tengah komunitas muslim dengan
membayar pajak), musta’man (orang kafir yang mendapatkan suaka). Islam
mengharamkan darah dan harta benda mereka. Islam juga memberikan hak-hak dan
kewajiban yang sama kepada mereka, sebagaimana hak dan kewajiban kaum Muslimin.
Allah Azza wa Jalla berfirman :
وَأَوْفُوا بِعَهْدِ اللَّهِ إِذَا عَاهَدْتُمْ وَلَا تَنْقُضُوا الْأَيْمَانَ بَعْدَ تَوْكِيدِهَا
“Dan tepatilah perjanjian dengan Allah apabila kamu
berjanji dan janganlah kamu membatalkan sumpah-sumpah(mu) itu, sesudah
meneguhkannya”.[an-Nahl/16:91].
وَأَوْفُوا بِالْعَهْدِ ۖ إِنَّ الْعَهْدَ كَانَ مَسْئُولًا
“Dan penuhilah janji; sesungguhnya janji itu pasti
diminta pertanggunganjawabnya”. [al-Isrâ’/17:34].
إِلَّا الَّذِينَ عَاهَدْتُمْ مِنَ الْمُشْرِكِينَ ثُمَّ لَمْ يَنْقُصُوكُمْ شَيْئًا وَلَمْ يُظَاهِرُوا عَلَيْكُمْ أَحَدًا فَأَتِمُّوا إِلَيْهِمْ عَهْدَهُمْ إِلَىٰ مُدَّتِهِمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَّقِينَ
“Kecuali orang-orang musyirikin yang kamu mengadakan
perjanjian (dengan mereka), dan mereka tidak mengurangi sesuatupun (dari isi
perjanjian)mu dan tidak (pula) mereka membantu seseorang yang memusuhi kamu,
maka terhadap mereka itu penuhilah janjinya sampai batas waktunya. Sesungguhnya
Allah menyukai orang-orang yang bertakwa”.[at-Taubah/9:4].
‘Abdullah bin Rawahah Radhiyallahu ‘anhu menceritakan,
ketika ia diutus oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ke penduduk Khaibar
untuk menaksir atau menghitung dengan perkiraan hasil buah-buahan agar menjadi
pijakan pemungutan pajak dari Yahudi, lalu ada orang Yahudi yang hendak menyuap
agar ia (‘Abdullah bin Rawahah Radhiyallahu ‘anhu ) meringankan mereka. Menerima perlakuan ini, beliau berkata: “Wahai
kawan-kawan (dari kaum yang dirubah menjadi, Red.) kera! Kalian adalah orang
yang paling aku benci di dunia ini, namun kebencianku tidak membuaku berlaku
zhalim terhadap kalian.” Orang-orang Yahudi (itupun) menimpalinya: “Dengan
inilah, langit dan bumi menjadi tegak.”
Begitu juga tidak ada larangan melakukan akad jual
beli atau sewa-menyewa dengan orang-orang kafir. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam pernah membeli makanan untuk keluarga beliau Shallallahu ‘alaihi wa
sallam dari seorang Yahudi. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga
menggadaikan baju besinya kepada seorang Yahudi. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa
sallam pernah memakan makanan mereka, dan menghadiri undangan mereka. Beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengadakan perjanjian damai dengan orang-orang
kafir, seperti perjanjian Hudaibiyah dengan orang-orang musyrik, perjanjian
damai dengan orang Yahudi di Madinah, perjanjian dengan kaum Nashara di Najran.
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan agar berlaku baik kepada
tetangga dan para tawanan. Sebagaimana firman Allah Azza wa Jalla :
وَيُطْعِمُونَ الطَّعَامَ عَلَىٰ حُبِّهِ مِسْكِينًا وَيَتِيمًا وَأَسِيرًا
“Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada
orang miskin, anak yatim dan orang yang ditawan”.[al-Insân/76:8].
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam memenuhi
perjanjian bersama mereka, dan Allah Azza wa Jalla memerintahkan kepada seorang
anak untuk berbuat baik kepada orang tuanya yang kafir. Allah Azza wa Jalla
berfirman, :
وَصَاحِبْهُمَا فِي الدُّنْيَا مَعْرُوفًا ۖ وَاتَّبِعْ سَبِيلَ مَنْ أَنَابَ إِلَيَّ
“Dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan
ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku” [Luqman/31:15].
Bahkan dalam keadaan hendak memerangi mereka pun,
sebelum menyerang, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan agar
mendakwahi mereka, melarang membunuh orang tua, para pendeta, anak-anak dan
kaum wanita, dan juga melarang melakukan perusakan. Adakah perlakuan kepada
musuh yang lebih baik dan lebih indah dari perbuatan ini?
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
melarang kita membunuh kaum kuffar yang sedang terikat perjanjian. Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ قَتَلَ مُعَاهَدًا لَمْ يَرَحْ رَائِحَةَ الْجَنَّةِ
“(barang siapa yang membunuh orang kafir
yang sedang dalam perjanjian, maka tidak akan mencium aroma surga)”, padahal
kaum kuffar ini sangat membenci kita, sebagaimana Allah Azza wa Jalla berfirman
:
إِنْ يَثْقَفُوكُمْ يَكُونُوا لَكُمْ أَعْدَاءً وَيَبْسُطُوا إِلَيْكُمْ أَيْدِيَهُمْ وَأَلْسِنَتَهُمْ بِالسُّوءِ وَوَدُّوا لَوْ تَكْفُرُونَ
“Jika mereka menangkap kamu, niscaya mereka bertindak
sebagai musuh bagimu dan melepaskan tangan dan lidah mereka kepadamu dengan
menyakiti (mu); dan mereka ingin supaya kamu (kembali)
kafir”.[al-Mumtahanah/60:2].
كَيْفَ وَإِنْ يَظْهَرُوا عَلَيْكُمْ لَا يَرْقُبُوا فِيكُمْ إِلًّا وَلَا ذِمَّةً
“Bagaimana bisa (ada perjanjian dari sisi Allah dan
Rasul-Nya dengan orang-orang musyirikin), padahal jika mereka memperoleh
kemenangan terhadap kamu, mereka tidak memelihara hubungan kekerabatan terhadap
kamu dan tidak (pula mengindahkan) perjanjian”.[at-Taubah/9:8]
هَا أَنْتُمْ أُولَاءِ تُحِبُّونَهُمْ وَلَا يُحِبُّونَكُمْ وَتُؤْمِنُونَ بِالْكِتَابِ كُلِّهِ وَإِذَا لَقُوكُمْ قَالُوا آمَنَّا وَإِذَا خَلَوْا عَضُّوا عَلَيْكُمُ الْأَنَامِلَ مِنَ الْغَيْظِ ۚ قُلْ مُوتُوا بِغَيْظِكُمْ ۗ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ بِذَاتِ الصُّدُورِ إِنْ تَمْسَسْكُمْ حَسَنَةٌ تَسُؤْهُمْ وَإِنْ تُصِبْكُمْ سَيِّئَةٌ يَفْرَحُوا بِهَا
“Beginilah kamu, kamu menyukai mereka, padahal mereka
tidak menyukai kamu, dan kamu beriman kepada kitab-kitab semuanya. Apabila
mereka menjumpai kamu, mereka berkata:”Kami beriman”; dan apabila mereka
menyendiri, mereka menggigit ujung jari lantaran marah bercampur benci terhadap
kamu. Katakanlah (kepada mereka):”Matilah kamu karena kemarahanmu itu”.
Sesungguhnya Allah mengetahui segala isi hati. Jika kamu memperoleh kebaikan,
niscaya mereka bersedih hati, tetapi jika kamu mendapat bencana, mereka
bergembira karenanya” [Ali Imrân/3 : 119-120].
لَتَجِدَنَّ أَشَدَّ النَّاسِ عَدَاوَةً لِلَّذِينَ آمَنُوا الْيَهُودَ وَالَّذِينَ أَشْرَكُوا
“Sesungguhnya kamu dapati orang-orang yang paling
keras permusuhannya terhadap orang-orang yang beriman ialah orang-orang Yahudi
dan orang-orang musyrik”.[al-Mâidah/5:82].
مَا يَوَدُّ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ وَلَا الْمُشْرِكِينَ أَنْ يُنَزَّلَ عَلَيْكُمْ مِنْ خَيْرٍ مِنْ رَبِّكُمْ
“Orang-orang kafir dari Ahli Kitab dan orang-orang
musyrik tiada menginginkan diturunkannya sesuatu kebaikan kepadamu dari
Rabb-mu” [al-Baqarah/2:105].
Pemberitaan Allah Azza wa Jalla ini terlihat nyata
dalam perlakuan mereka saat ini terhadap kaum Muslimin, yaitu berupa
pembunuhan, pengusiran, penyiksaan, penghancuran terhadap negara mereka dengan
tanpa perasaan dan kasih sama sekali.[3]
Meski demikian, ketika kaum Muslimin berada pada
posisi di atas, mereka tidak akan membalas dengan perlakuan serupa, sebagai
realisasi dari ajaran agama mereka yang lurus. Lantas, bagaimana mungkin
dikatakan “Islam itu agama teror dan biadab?” Dan dakwah perbaikan dalam Islam,
seperti dakwah Syaikhul-Islam Ibnu taimiyyah dan Syaikh Muhammad bin
Abdul-Wahhab, dan dakwah perbaikan lainnya adalah dakwah teroris?
Perkataan ini tidak lain hanyalah memutarbalikkan
fakta dan membuat kerancuan di tengah umat. (Karena) sebenarnya teror dan
biadab merupakan perlakuan orang-orang kafir terhadap kaum Muslimin, saat
mereka berkuasa.
Al-wala` dan al-bara` dalam Islam tidak berarti teror
dan berbuat zhalim terhadap pemeluk agama samawi. Namun hanya berarti memerangi
musuh-musuh Allah Azza wa Jalla, sebagaimana firman Allah Azza wa Jalla, yang
artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan
musuhmu menjadi teman-teman setia yang kamu sampaikan kepada mereka
(berita-berita Muhammad), karena rasa kasih sayang” [Mumtahanah/60 ayat 1]-
supaya ada garis pembeda antara muslim dan kafir, sehingga seorang muslim
terjaga keislaman dan aqidahnya, serta merasa bangga dengan agamanya. Allah
berfirman :
وَأَنْتُمُ الْأَعْلَوْنَ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ
“Padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi
(derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman” [Ali ‘Imrân/3:139].
لَا يَسْتَوِي أَصْحَابُ النَّارِ وَأَصْحَابُ الْجَنَّةِ
“Tiada sama penghuni-penghuni neraka dengan
penghuni-penghuni surga” [Al-Hasyr/59 : 20].
قُلْ لَا يَسْتَوِي الْخَبِيثُ وَالطَّيِّبُ وَلَوْ أَعْجَبَكَ كَثْرَةُ الْخَبِيثِ ۚ فَاتَّقُوا اللَّهَ يَا أُولِي الْأَلْبَابِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Katakanlah: “Tidak sama yang buruk dengan yang baik,
meskipun banyaknya yang buruk itu menarik hatimu, maka bertaqwalah kepada Allah
hai orang-orang berakal, agar kamu mendapat keberuntungan”. [al-Mâidah/5 :
100].
أَفَنَجْعَلُ الْمُسْلِمِينَ كَالْمُجْرِمِينَ مَا لَكُمْ كَيْفَ تَحْكُمُونَ
“Patut Kami menjadikan orang-orang Islam itu sama dengan
orang-orang yang berdosa (orang kafir) Mengapa kamu (berbuat demikian);
bagaimanakah kamu mengambil keputusan” [al-Qalam/68 : 35-36].
أَمْ نَجْعَلُ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ كَالْمُفْسِدِينَ فِي الْأَرْضِ أَمْ نَجْعَلُ الْمُتَّقِينَ كَالْفُجَّارِ
“Patutkah Kami menganggap orang-orang yang beriman dan
mengerjakan amal yang shalih sama dengan orang-orang yang berbuat kerusakan di
muka bumi? Patutkah (pula) Kami menganggap orang-orang yang bertakwa sama
dengan orang-orang yang berbuat maksiat?” [Shâd/38 : 28]
Jadi seseorang harus bangga dengan keislamannya.
Kepribadiaanya tidak boleh bercampur aduk dengan yang tidak muslim. Dia harus
mengatakan:
لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ
“Untukmulah agamamu dan untukkulah agamaku”
[al-Kâfirûn/109 : 6]
وَإِنْ كَذَّبُوكَ فَقُلْ لِي عَمَلِي وَلَكُمْ عَمَلُكُمْ ۖ أَنْتُمْ بَرِيئُونَ مِمَّا أَعْمَلُ وَأَنَا بَرِيءٌ مِمَّا تَعْمَلُونَ
Jika mereka mendustakan kamu, maka katakanlah Bagiku
pekerjaanku dan bagimu pekerjaanmu. Kamu berlepas diri terhadap apa yang aku
kerjakan, dan aku berlepas diri terhadap apa yang kamu kerjakan [Yûnus/10 : 41]
Oleh karena itu, seorang muslim dilarang menyerupai
non muslim. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
“(barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia
termasuk bagian dari kaum itu)”, karena menyerupai mereka secara fisik
menunjukkan adanya kecintaan hati kepada mereka.
Jadi al-wala` wal-bara` bukan bermakna teror dan
berlaku zhalim. Seorang muslim mendakwahi manusia dengan amal perbuatan sebelum
berdakwah dengan lisan. Dakwah dengan lisan dengan cara hikmah, peringatan yang
baik, dan debat dengan cara yang terbaik. Sebagaimana Allah Azza wa Jalla
memerintahkan hal itu kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, juga
kepada Nabi Musa dan Harun Alaihissalam ketika mereka diutus kepada Fir’aun.
Allah berfirman :
فَقُولَا لَهُ قَوْلًا لَيِّنًا لَعَلَّهُ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَىٰ
“Maka berbicalah kamu berdua kepadanya dengan
kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut. [Thâha/20 : 44]
Seorang muslim, meskipun membenci orang-orang kafir
karena agama mereka, namun ia tetap menghiasi diri dengan akhlak luhur,
pergaulan yang bagus, adil terhadap kaum Muslimin ataupun non muslim, baik
dengan perkataan maupun tindakan.
Allah Azza wa Jalla berfirman ;
وَإِذَا قُلْتُمْ فَاعْدِلُوا
“Dan apabila kamu berkata, maka hendaklah kamu berlaku
adil” [al-An’âm/6 : 152]
.وَإِنْ عَاقَبْتُمْ فَعَاقِبُوا بِمِثْلِ مَا عُوقِبْتُمْ بِهِ
“Dan jika kamu memberikan balasan, maka balaslah
dengan balasan yang sama dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu”. [an-Nahl/16
: 126].
Demikianlah, kita memohon kepada Allah agar Dia menunjukkan kepada kita
kebenaran itu sebagai sebuah kebenaran dan memberikan kekuatan untuk
mengikutinya, serta menunjukkan kepada kita kebathilan itu sebagai sebuah
kebathilan dan memberikan kekuatan untuk menjauhinya.
وَصَلَّى اللهُ وَسَلَّمَ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَآلِهِ وَصَحْبِهِ
(Diterjemahkan dari kitab Al-Bayan Li Akhthai Ba’dhil
Kuttab, cetakan Darubnil-Jauzi (2/160-164)
_______________________________________
Oleh
Syaikh Shâlih Fauzân bin Abdillâh Al Fauzân
Syaikh Shâlih Fauzân bin Abdillâh Al Fauzân
____________________________________
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 08/Tahun XI/1428H/2007M. Penerbit
Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton
Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
_______
Footnote
[1]. Al-Wala berarti kecintaan, kesetiakawanan, loyalitas, pembelaan dan makna senada lainnya, red
[2]. Al-Bara.artinya berlepas diri, melakukan permusuhan dan memberikan kebencian, red
[3]. Semoga Allah Azza wa Jalla segera memberikan balasan yang setimpal terhadap mereka, -red
_______
Footnote
[1]. Al-Wala berarti kecintaan, kesetiakawanan, loyalitas, pembelaan dan makna senada lainnya, red
[2]. Al-Bara.artinya berlepas diri, melakukan permusuhan dan memberikan kebencian, red
[3]. Semoga Allah Azza wa Jalla segera memberikan balasan yang setimpal terhadap mereka, -red
from = https://almanhaj.or.id/3542-meluruskan-pemahaman-al-wala-dan-al-bara.html