MUKADDIMAH
Segala
puji bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala Yang Maha Awal dan Maha
Akhir, Yang Maha Zhahir dan Maha Bathin, Dia-lah Yang Mengetahui segala
sesuatu. Shalawat dan salam semoga tercurah atas hamba dan rasulNya
Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang telah meninggalkan
kita di atas jalan yang putih bersih, siang dan malamnya sama
terangnya. Tidak ada seorangpun yang menyimpang darinya keculi binasa.
Dunia
Arab Internasional telah memasuki era yang sangat berbahaya dan
menentukan. Yaitu penghancuran identitas diri yang merupakan bukti
gagalnya seluruh eksperimen negara-negara Arab terdahulu yang telah terlepas dari nilai-nilai ke-Islamannya. Lalu mengambil pemikiran-pemikiran yang bersifat eksperimen dan spekulatif, tidak sesuai sama sekali dengan sejarah masa lalu dan agama.
Konsep
pemikiran Liberalisme Internasional telah memasuki era peperangan yang
dahsyat melawan pemikiran-pemikiran Islami dalam usahanya menguasai
dunia Arab Internasional. Pergolakan itu membangkitkan sentimen
sebagian kelompok yang menggiring mereka melakukan beberapa aksi
kekerasan terhadap bangsa Arab dan dunia Islam pada umumnya. Aksi
tersebut bersandar kepada beberapa metodologi berpikir yang keliru, secara langsung merupakan sebab timbulnya berbagai kekacauan dalam lembaran sejarah Islam.
Penghancuran
identitas bangsa Arab memberi peranan penting dalam mengembalikan
pemetaan dunia Arab kepada asas ideologi Barat (baca kafir). Bangsa
Arab telah mengokohkan asas-asas pemikiran yang kufur tersebut bagi
diri mereka sebagai akibat hilangnya identitas diri. Ironinya kata mereka, alasan mengambil ideologi Barat itu karena gagalnya ideologi Islam mengangkat martabat bangsa Arab.
Kita
saksikan bersama, ketika konsep pemikiran nasionalisme telah
menjungkalkan bangsa Arab kedalam krisis perpecahan, sebaliknya kita
saksikan juga konsep pemikiran liberalisme yang dianut oleh bangsa Arab pada hari ini juga menggiring mereka kedalam krisis kepercayaan diri. Maka sudah sewajarnya mereka menelaah dengan seksama pola pemikiran politik yang Islami menurut al-Qur’an dan as-Sunnah.
Mengambil metodologi Ahlus Sunnah wal Jama’ah sebagai solusi
dalam menghadapi segala tantangan zaman dan dalam membabat habis
pemikiran-pemikiran yang menyesatkan. Pemikiran-pemikiran yang diimpor
dari kalangan non Islam oleh sebagian kelompok sempalan yang mengacu
kepada pemikiran Khawarij, Mu’tazilah dan Bathiniyah setelah diilhami oleh kelompok-kelompok orientalis Barat yang senantiasa mengincar bangsa Arab dan dunia Islam.
Dalam
tiga pertemuan tanya jawab yang terangkum dalam buku ini dijelaskan
kepada kita metodologi Islami dalam menyikapi politik dan perkembangan
pemikiran. Metodologi yang mengacu kepada tujuan mengamankan dan
membersihkan umat Islam dari pemikiran-pemikiran yang mengotori akal
mereka, pemikiran-pemikiran yang berkaitan erat dengan penyimpangan
masa lalu dan yang akan datang. Sebagai konsekwensinya umat Islam harus bersatu
di atas pedoman Ahlus Sunnah wal Jamaah. Pedoman itulah yang dapat
membantu umat ini dalam mengarahkan kebangkitan umat Islam dan
memperbaiki perjalanan menuju ke arah sana.
Kebangkitan umat Islam telah muncul di atas dua manhaj.
1. Manhaj yang memulai dengan menancapkan aqidah yang benar dan berusaha mengamalkannya, kemudian
berangkat dari situ berusaha menelurkan ide-ide politik yang sejalan
dengan sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
2. Manhaj yang memulai dengan memunculkan ide-ide politik dan undang-undang sementara masalah aqidah dikebelakangkan. Akhirnya mereka jatuh dalam tindakan-tindakan yang salah.
Sesungguhnya mayoritas perdebatan sengit yang dicatat sejarah Islam sebabnya adalah perbedaan faham mengenai manhaj Islami.
Sementara pertempuran sengit di negeri-negeri Barat dipicu oleh
pemimpin-pemimpin yang berkuasa hingga meletusnya revolusi Perancis
pada tahun 1793M. Kemudian meluas menjadi peperangan antara bangsa
hingga meledaklah Perang Dunia I. Kemudian beralih menjadi perang
ideologi antara komunisme, nazisme, fasisme, demokratisme dan
liberalisme. Setelah berakhir perang dingin, terjadilah asimilasi
budaya dibawah naungan bendera negara-negara Barat.
Para
pemikir-pemikir Barat mulai menyuarakan melalui mimbar-mimbar ilmiah
mereka, bahwasanya peperangan budaya dan ideologi telah dimulai. Dan
peperangan antara konsep Islami dan konsep pemikiran sekuler telah
dinyatakan terang-terangan. Oleh karena itu dapat kita simpulkan bahwa
kaum muslimin harus menyatukan barisan mereka dan memadukan visi dan
misi mereka. Dan mereka harus mempelajari manhaj Islami yang benar.
Ulama-ulama yang berbicara dalam kesempatan ini adalah ulama-ulama dan pemikir-pemikir Islam yang handal.Samahatusy Syaikh Abdul Aziz bin Baz adalah mufti Kerajaan Saudi Arabia merangkap ketua umum Lembaga Riset, Fatwa, Dakwah dan Bimbingan Islam. Kemudian Fadhilatusy Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan Al-Fauzan,
beliau adalah anggota Lembaga Riset, Fatwa, Dakwah dan Bimbingan Islam
Saudi Arabia dan mantan Dekan Ma’had ‘Ali Lil Qadha. Beliau
adalah seorang peniliti yang matang yang telah bernadzar untuk selalu
berkhidmat pada kepentingan agama dan penyebaran aqidah yang benar.
Kemudian Fadhilatusy Syaikh Dr. Shalih bin Ghanim As-Sadlan,
seorang Guru Besar yang berpengalaman di Fakultas Syari’ah,
seorang pengamat handal yang selalu tegak di atas manhaj yang lurus.
Para ulama tersebut mengetengahkan asas-asas yang menjadi dasar dan kaidah
bagi seluruh kafilah-kafilah dakwah Islam. Di samping mengetengahkan
hubungan antara penguasa dan rakyat, amar ma’ruf nahi mungkar dan
masalah perseteruan antara haq dan batil.
Buku yang menghidangkan rangkuman tiga pertemuan ini merupakan seri pertama dari silsilah buku yang akan diterbitkan. Buku ini layak disosialisasikan ke tengah kaum muslimin supaya mereka dapat mengetahui dengan baik urusan agama mereka. Dan sesungguhnya para ulama tertuntut untuk menjelaskan manhaj Ahlus Sunnah wal Jama’ah dalam bidang politik
dan pola pemikiran sebagaimana halnya mereka menjelaskan bidang aqidah.
Serta pihak-pihak yang berhubungan dengan proses belajar mengajar dan
informasi tertuntut untuk menyebarluaskannya dan menyampaikannya kepada
para pemuda khususnya.
Sehingga dienul Islam tidak merugi disebabkan tindakan mereka. Dan
sehingga pola pikir Islami tetap terjaga keutuhannya di tengah umat
Islam. Hanya Allah sajalah yang berhak memberi taufiq dan Dia-lah Yang
Maha Mengetahui apa yang tersembunyi di dalam hati.
(Dr. Anwar Majid Asyqi)[1]
PRAKATA
Dalam
majalah Syarq Ausath edisi no. 5262 hari Ahad tanggal 25/4/1993, kami
memuat teks ceramah yang disampaikan oleh Fadhilatusy Syaikh Shalih bin
Fauzan al-Fauzan dengan judul “Mendalami Ilmu Agama”. Kami
juga pernah memuat teks jawaban mufti kerajaan Saudi Arabia Samahatusy
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz terhadap soal-soal yang diajukan
kepada beliau dari hadirin [2]
Jawaban
yang diberikan oleh Syaikh bin Baz sangat jelas dan terang sejelas Dien
Islam yang haq ini. Dalam jawabannya tersebut beliau menjelaskan manhaj
Ahlus Sunnah wal Jamaah dalam berbagai kasus dan masalah bernuansa
politis yang banyak menyeret kaum muslimin sekarang ini. Besarnya
faidah dari jawaban tersebut serta urgensi masalah yang dibahas,
berdatanganlah surat-surat dari penjuru dunia Islam minta keterangan
dan penjelasan lebih lanjut.
Topik
pembahasan yang banyak ditanyakan oleh generasi umat ini adalah usaha
menutup kesenjangan yang ada dalam khazanah ilmu-ilmu keislaman Ahlus
Sunnah wal Jamaah pada hari ini. Tatap muka dengan tiga syaikh yang
diadakan ini merupakan titik tolak silsilah dialog dan pertemuan dengan
ulama-ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah yang terkemuka di masa mendatang.
Dalam buku ini kami mengetengahkan dialog interaktif dengan tiga ulama
Ahlus Sunnah wal Jamaah yang terkemuka mengingat urgensi masalah ini,
bahaya yang timbul akibat salah menyikapinya dan keutamaan para ulama.
Maka buku kecil yang langka ini merupakan mimbar ilmu bagi para alim
ulama dalam usaha memunculkan sikap politik Ahlus Sunnah wal Jamaah
dalam menyelesaikan problematika yang mengungkung umat manusia sekarang
ini.
(Dr Abdullah bin Muhammad ar-Rifa’i).
_________________________________________
[Disalin
dari kitab Muraja’att fi Fiqhil Waqi’ As-Siyasi wal Fikri
‘ala Dhauil Kitabi wa Sunnah, edisi Indonesia Koreksi Total
Masalah Politik & Pemikiran Dalam Perspektif Al-Qur’an &
As-Sunnah, Penulis Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz, Syaikh
Shalih bin Fauzan Al-Fauzan, Syaikh Shalih bin Ghanim As-Sadlan,
Penyusun Dr. Abdullah bin Muhammad Ar-Rifai. Penerbit Darul Haq –
Jakarta, Penerjemah Abu Ihsan Al-Atsari]
_______
Footnote
[1]. Beliau dilahirkan pada tahun 1364H di Madinah Munawwarah.
• Meraih gelar Doktor dari Universitas Golden Gate California pada tahun 1403H.
• Mengikuti penataran tentang teknologi satelit dan komputer di Washington pada tahun 1403H dan tahun 1405H.
Diantara karya-karya ilmiah beliau adalah :
• Petrol Saudi Arabia Dalam Tinjauan Strategis.
• Analisa Perbandingan Terhadap Undang-Undang Amerika.
• Piagam Kesepakatan Antara USA dan Israel Hingga Tahun 1985.
• Antara Syariat Islam dan Undang-Undang Amerika (dalam dua bahasa Arab dan Inggris).
• Iran dalam Tinjauan Strategis.
• Sekilas Tentang Sejarah Pemikiran Sufi.
• Makalah mingguan yang rutin beliau isi dalam majalah Iqra terbitan Saudi Arabia.
[2]. Samahatusy
Syaikh sangat menekankan supaya mentaati waliyul amri dalam perkara
ma’ruf. Dengan ketaatan tersebut urusan umat ini akan berjalan
lancar, stabilitas keamanan dapat dikendalikan dan masyarakat akan
terhindar dari kekacauan. Syaikh Ibnu Baz menjelaskan bahwa yang
dimaksud dengan “waliyul amri” adalah ulama, umara,
penguasa dan sultan. Beliau juga menjelaskan bahwa kewajiban mentaati
waliyul amri sebatas dalam perkara ma’ruf dan bukan maksiat.
Beliau menerangkan bahwa penguasa yang memerintahkan kepada perkara
maksiat tidak wajib ditaati, namun walaupun begitu rakyat tidak
dibenarkan memberontak penguasa. Beliau juga menjelaskan kapan rakyat
boleh memberontak penguasa. Syariat yang mulia telah menetapkan
batasan-batasan sebagai berikut.
• Mereka mendapati kekafiran yang nyata pada penguasa
• Mereka mempunyai sandaran dalil dari Allah (Al-Qur’an dan As-Sunnah) dalam dakwaan mereka tersebut.
• Sanggup dan kuasa mengganti penguasa tersebut
Jika mereka tidak
sanggup karena masih lemah, maka mereka tidak dibenarkan memberontak
meskipun penguasa tersebut telah melakukan kekufuran yang nyata. Karena
pemberontakan yang dilakukan dalam kondisi seperti itu justru akan
membahayakan rakyat banyak dan menyalakan api fitnah. Disamping hal itu
jelas bertentangan dengan motivasi sebenarnya yaitu perbaikan dan
menciptakan maslahat bagi segenap umat. Beliau juga menjelaskan bahwa
dalam kondisi demikian, rakyat cukup memberi nasihat, mengucapkan
perkataan yang haq dan amar ma’ruf nahi mungkar sesuai kemampuan,
itulah kewajiban umat jika begitu kondisinya.
Dalam jawaban
terhadap pertanyaan yang diajukan kepada beliau saat berlangsung acara
pertemuan di Universitas Al-Imam Turki bin Abdullah di Riyadh beliau
menjelaskan urgensi ketaatan dan tetap melazimi manhaj Anhlus Sunnah
wal Jamaah serta peringatan keras dari Allah dan Rasul-Nya terhadap
orang yang berusaha membangkang dan memecah belah kaum muslimin tanpa
haq.
Beliau juga
menerangkan bahwa undang-undang atau peraturan yang sejalan dengan
syariat Islam tidaklah menjadi masalah (yaitu harus ditaati). Seperti
undang-undang dan peraturan jalan raya dan urusan-urusan lainnya yang
berguna bagi masyarakat umum dan tidak bertentangan dengan syariat.
Sementara undang-undang yang jelas-jelas bertentangan dengan syariat,
tidak boleh ditaati sama sekali. Barangsiapa menghalalkan undang-undang
yang bertentangan dengan syariat tersebut maka ia telah kafir. Ketika
beliau ditanya tentang sikap terhadap penguasa yang menghalalkan
undang-undang yang bertentangan syariat, beliau menjelaskan :
“Kita taati mereka dalam perkara yang ma’ruf dan jangan
mentaati mereka dalam perkara maksiat, hingga Allah mendatangkan
pengganti yang terbaik bagi kita”.
Beliau sangat
memperingatkan bahaya orang-orang yang menyeru kepada selain Kitabullah
dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka tidak
layak diataati dan diikuti, tidak patut di dengar ucapannya dan
selayaknya dimusuhi. Inilah teks jawaban tersebut :
Apa yang dimaksud
dengan mentaati waliyul amri yang tersebut dalam ayat, apakah mereka
para ulama atau penguasa? Bagaimanakah sekiranya penguasa itu berlaku
zhalim dan aniaya terhadap diri sendiri dan terhadap rakyatnya?
Jawab : Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman dalam kitab-Nya.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ ۖ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۚ ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
“Hai
orang-orang yang beriman, ta’atilah Allah dan ta’atilah
Rasul(Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan
pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah
(Al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman
kepada Allah dan hari Kemudian. Yang demikian itu adalah lebih utama
(bagimu) dan lebih baik akibatnya” [An-Nisaa/4:59]
Ulil amri adalah
para ulama dan umara (penguasa), yaitu penguasa dan ulama kaum
muslimin. Mereka harus ditaati jika mereka memerintahkan kepada perkara
yang ma’ruf bukan perkara maksiat. Seorang ulama dan penguasa
mesti ditaati, sebab hanya dengan cara seperti itulah urusan rakyat
akan berjalan dengan baik, keamanan akan tetap terjaga, seluruh urusan
akan dapat dijalankan, orang yang teraniaya mendapat keadilan sementara
orang yang zhalim mendapat peringatan. Apabila mereka tidak diataati
maka semua urusan akan hancur berantakan, yang kuat akan memakan yang
lemah. Maka merupakan kewajiban mentaati penguasa maupun ulama dalam
perkara ma’ruf. Seorang ulama tertuntut untuk menjelaskan hukum
Allah, sementara penguasalah yang menjalankannya. Demikianlah
penafsiran yang benar tentang waliyul amri, yaitu ulama yang tahu
tentang dienullah dan umara (penguasa) yang memerintah kaum muslimin,
mereka tertuntut untuk menerapkan hukum Allah. Sementara rakyat wajib
mendengarkan bimbingan para ulama dan perkara yang haq dan wajib
mematuhi penguasa dalam perkara yang ma’ruf. Namun jika mereka
memerintahkan kepada perkara maksiat, baik yang memerintahkan itu umara
ataupun ulama, maka tidak wajib diataati. Jika seorang penguasa
memerintahkan kamu meminum khamr, maka janganlah turuti perintahnya,
janganlah meminum khamr! Jika mereka memintamu untuk memakan riba, maka
janganlah penuhi permintaannya dan janganlah memakan riba! Demikian
juga halnya terhadap para ulama, jika mereka mengatakan kepadamu sebuah
perkara maksiat. Tentunya seorang ulama yang mengerti syariat tidak
layak mengatakannya. Namun boleh jadi ulama tersebut ulama yang fasik.
Apabila seorang ulama memerintahkanmu berbuat maksiat, maka janganlah
taati perintahnya. Karena ketaatan itu hanyalah dalam perkara yang
ma’ruf saja, sebagaimana disabdakan Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam dalam sebuah hadits.
لاَطَاعَةَ لِمَحْلُوْقِ فِي مَعْصِيَةِ الْخَالِق
“Tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam hal mendurhakai Allah”.
Namun perlu diingat,
tidak boleh memberontak penguasa sekalipun mereka berbuat maksiat. Kita
wajib mematuhi mereka dalam perkara yang ma’ruf saja, dan tidak
dibenarkan mentaati mereka dalam perkara maksiat serta tidak boleh
memberontak mereka. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda.
عَلَى اْلمَرْءِ السَمْعُ وَ اطَّا عَةُ فِي المَنْشَطِ وَاْلمَكْرَهِ وَفِيْمَا أَحَبَّ وَكَرِهَ مَالَمْ يُومَرْ بِمَعْصِيَةِ اللّهِ فَإِنْ أُمِرَ بِمَعْصِيَةِ اللّهِ فَلاَ سَمْعَ وَلاَ طَاعَةَ
“Seorang
muslim wajib patuh dan taat (kepada umara) dalam saat lapang maupun
sempit, pada perkara yang disukainya ataupun dibencinya selama tidak
diperintah berbuat maksiat, jika diperintah berbuat maksiat, maka tidak
boleh patuh dan taat”
Dalam hadits lain Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
مَنْ خَرَجَ عَنِ الطَاعَةِوَفَارَقَ اْلجَمَاعَةَ وَمَاتَ، مَاتَ مِيْتَةَ اْلجَاهِلِيَّةِ
“Barangsiapa membangkang terhadap penguasa dan memisahkan diri dari jamaah lalu mati, maka ia mati secara jahiliyah”
Dalam hadits lain Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
مَنْ رَأَى مِنْ أَمِيْرِهِ شَيْئًا مِنْ مَعْصِيَةِ اللَّهِ فَلْيَكْرَهُ مَايَأْتِي مِنْ مَعْصِيَةِ اللّهِ وَلاَ يَنْزِ عَنَّ يَدًا مِنْ طَاعَةٍ فَإِنْ مَنْ فَارَقَاْلجَمَاعَةَ مَاتَ مِيْتَةَ اْلجَاهِلِيَّةِ
“Barangsiapa
melihat sebuah perkara maksiat pada diri pemimpinnya, maka hendaknya ia
membenci kemaksiatan yang dilakukannya dan janganlah ia membangkang
pemimpinnya. Sebab barangsiapa melepaskan diri dari jamaah lalu mati,
maka ia mati secara jahiliyah”.
Dalam hadits lain Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berbsada.
مَنء أَتَاكُمْ وَأَمْرُكُمْ جَمِيْعً يُرِيْدُ أَنْ يُفَرِّقَ جَمَاعَتَكُمْ وَأَنْ يَشُقَّ عَصَاكُمْ فَاقْتُلُوْهُ كَائًِنًا مَنْ كَانَ
“Siapa saja yang berusaha memecah belah persatuan kalian maka bunuhlah ia, siapapun orangnya”.
Maksudnya, kewajiban
rakyat adalah patuh dan taat kepada ulama dan umara dalam perkara
ma’ruf. Dengan begitu seluruh urusan akan lancar, masyarakat akan
merasa aman, orang-orang yang teraniaya akan mendapat keadilan,
orang-orang yang zhalim mendapat peringatan dan stabilitas keamanan
tetap terjaga. Tidak dibenarkan memberontak penguasa dan memecah belah
persatuan kaum muslimin kecuali apabila benar-benar didapati pada diri
penguasa tersebut kekafiran yang nyata dan memiliki hujjah yang nyata
dari Allah (Al-Qur’an dan As-Sunnah). Serta pemberontakan mereka
itu terhadap penguasa yang telah jelas kekafirannya tadi dapat memberi
manfaat bagi kaum muslimin, kezhaliman dapat dienyahkan dan Daulah
Islamiyah dapat benar-benar ditegakkan. Adapun jika mereka tidak mampu,
maka mereka tidak diperkenankan memberontak meskipun penguasa itu
benar-benar kafir. Sebab jika masih nekad dengan tindakan mereka
tersebut justru akan menimbulkan kerugian dan kerusakan umat serta
menyalakan api fitnah dan pembunuhan semena-mena. Namun apabila mereka
benar-benar mampu dan memiliki kekuatan untuk merubah penguasa yang
kafir lagi zhalim tersebut dan menggantinya dengan penguasa yang shalih
dan mampu melaksanakan hukum Allah, mereka boleh melakukannya. Yaitu
setelah memenuhi syarat-syarat di atas, yaitu mereka mendapati
kekafiran yang nyata pada penguasa itu dan memiliki hujjah dari Allah
serta memiliki kemampun untuk memunculkan kebenaran dan menaikkan
penguasa yang shalih dan punya kuasa menerapkan hukum Allah.
Kemudian saudara penanya meneruskan pertanyaannya sebagai berikut :
Maksudnya ketidakmampuan mereka itu merupakan alasan bahwa tanggung jawab itu terangkat dari mereka?
Syaikh menjawab :
“Benar! Hendaknya mereka menyuarakan kebenaran, menegakkan amar
ma’ruf nahi mungkar, itu sudah cukup bagi mereka. Perkara
ma’ruf ialah lawan dari perkara maksiat. Perkara yang diwajibkan
syari’at, disunnahkan dan dibolehkan termasuk kategori
ma’ruf. Seperti perintah supaya tidak melanggar rambu lalu
lintas, jika lampu merah, wajib berhenti. Hal semacam itu tentunya
bermanfaat bagi segenap kaum muslimin, dan hal itu juga termasuk
al-ishlah (perbaikan).
Pertanyaan berikut :
“Apa hukumnya menerapkan undang-undang buatan manusia? Apakah
boleh dipatuhi, apakah seorang hakim atau penguasa menjadi kafir karena
menerapkannya?
Jawab : Jika
undang-undang tersebut tidak menyalahi syariat, tentunya hal itu tidak
dilarang. Misalnya undang-undang peraturan lalu lintas dan jalan raya
atau perkara-perkara lainnya yang berguna bagi kaum muslimin dan tidak
bertolak belakang dengan syariat, maka tidaklah mengapa dipatuhinya.
Adapun undang-undang
yang bertentangan dengan syariat, ia tidak boleh mematuhinya. Apabila
diterapkan undang-undang yang berarti tidak ada hukuman atas pezina,
pencuri dan peminum khamr, maka undang-undang seperti ini tentu saja
batil. Jika penguasa tersebut menghalalkan undang-undang ini hukumnya
kafir. Jika ia katakan undang-undang seperti itu halal dan boleh
diterapkan, berarti ia telah menghalalkan apa yang diharamkan Allah,
hukumnya kafir.
Lalu bagaimana cara menyikapi penguasa tersebut?
Jawabnya : Kita
mematuhinya dalam perkara yang ma’ruf, jangan sekali-kali
mematuhinya dalam perkara maksiat hingga Allah mendatangkan
penggantinya.
Sumber: https://almanhaj.or.id/4001-koreksi-total-masalah-politik-dan-pemikiran-dalam-perspektif-al-quran-dan-as-sunnah.html