Sebagai pelengkap, rasanya kurang pas kalau kita bicara panjang lebar
tentang bid’ah namun tidak memberikan solusi bagi mereka yang telah lama
‘mengidap’ penyakit yang satu ini. Karenanya, kami berusaha untuk
menawarkan beberapa terapi yang diharapkan mampu membantu ‘kesembuhan’
mereka.
Terapi pertama: Kenali penyakitnya terlebih dahulu
Seperti layaknya penyakit, sebelum seorang dokter bisa menentukan obat
apa yang cocok untuknya, terlebih dahulu ia harus mengadakan diagnosa.
Ia harus mengumpulkan informasi sebanyak-banyaknya tentang penyakit yang
diderita si pasien, baru kemudian menentukan terapi apa yang cocok
untuknya.
Demikian pula bid’ah, ia tak ubahnya seperti penyakit yang menggerogoti
agama seseorang. Kalau orang tersebut tidak merasa dirinya sakit,
bagaimana ia akan berobat? Oleh karena itu, berikut ini kami sebutkan
beberapa pengaruh buruk bid’ah terhadap agama seseorang, mudah-mudahan
dengan menyadarinya, seseorang akan lebih waspada terhadap bahaya bid’ah
dan berusaha sekuat tenaga untuk membasminya [1].
a. Amalan yang tercampuri bid’ah tidak akan diterima Allah
Beberapa bid’ah memang sangat buruk dampaknya, seperti bid’ahnya faham qadariyyah.
Diriwayatkan dalam Shahih Muslim bahwa salah seorang tabi’in yang
bernama Yahya bin Ya’mar menceritakan, bahwa yang pertama kali menyoal
masalah takdir di Basrah ialah Ma’bad Al Juhany. Ia menuturkan: Ketika
itu, aku bersama Humaid bin Abdirrahman Al Himyari hendak berangkat
menunaikan haji atau umrah. Maka kukatakan kepadanya: “Andai saja kita
berjumpa dengan salah seorang sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian kita tanyai dia tentang orang-orang qadariyyah itu…”. Lalu tiba-tiba kami berpapasan dengan Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma,
maka segeralah kami mengapitnya dari sebelah kiri dan kanan. Saat itu
nampaknya temanku ingin agar aku yang memulai pembicaraan, maka
kukatakan kepada Ibnu ‘Umar:
“Hai Abu Abdirrahman, sesungguhnya di daerah kami muncul sekelompok
orang yang pandai membaca Al Qur’an, dan mendalami berbagai ilmu… akan
tetapi mereka mendakwakan bahwa takdir Allah itu tidak ada, dan bahwa
segala sesuatu terjadi dengan sendirinya (tanpa ada ketentuan terlebih
dahulu -pen)”
Setelah mendengar uraian tadi, Ibnu Umar radhiallahu’anhuma menjawab:
“Kalau kamu bertemu dengan mereka, sampaikan bahwa aku berlepas diri
dari mereka dan mereka pun berlepas diri dariku… kabarkan bahwa Ibnu
Umar bersumpah kalau pun ada di antara
mereka yang menginfakkan emas sebesar gunung Uhud, niscaya Allah tak
akan menerima infaknya sampai ia beriman kepada takdir…”
Kemudian Ibnu Umar radhiallahu’anhuma mengutip
hadits dari ayahnya yang bercerita tentang kedatangan Malaikat Jibril
dalam sosok orang yang tak dikenal, lalu menanyakan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang makna Islam, Iman dan Ihsan (H.R. Muslim no 8).
b. Pelaku bid’ah tak akan mendapat perlindungan Allah, namun diserahkan pada dirinya sendiri
Imam Asy Syathiby mengatakan: “Allah mengutus Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai rahmatan lil ‘aalamin;
Sedangkan kita, sebelum diutusnya beliau, tidaklah mengenal manakah
jalan kebenaran itu. Kita tidak mengerti tentang apa-apa yang baik bagi
urusan dunia melainkan sedikit, apalagi urusan akhirat, maka sedikitpun
kita tak tahu. Sampai Allah mengutus Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mencabut semua keraguan dalam dada, dan mengangkat semua perselisihan diantara manusia.
Ketika seorang pelaku bid’ah meninggalkan karunia Allah dan
pemberian-Nya yang sedemikian besar, lantas menganggap dirinya cukup
faham akan apa yang baik baginya atau bagi dunianya, padahal Allah tidak
menyebutkan satu dalil pun tentangnya; maka bagaimana mungkin orang
semacam ini layak mendapat perlindungan Allah dan naungan rahmat-Nya,
sedangkan ia telah melepaskan tangannya dari tali Allah dan
menyerahkannya pada dirinya sendiri?! Sungguh, orang semacam ini amat
layak untuk dijauhkan dari rahmat Allah. Bukankah Allah Ta’ala berfirman :
وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا
“Berpegang teguhlah kalian semuanya kepada tali Allah, dan janganlah berpecah-belah…” (Ali ‘Imran: 103),
setelah sebelumnya Ia berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kalian kepada Allah dengan sebenar-benar takwa…” (Aali ‘Imran: 102).
Seakan Allah ingin mengisyaratkan bahwa takwa yang sesungguhnya ialah
dengan berpegang teguh dengan tali Allah, dan semua yang diluar itu
adalah perpecahan, karenanya Allah mengatakan: “janganlah berpecah”.
Sedangkan perpecahan merupakan karakter terburuk setiap pelaku bid’ah,
karena ia meninggalkan aturan Allah dan memisahkan diri dari jama’ah
kaum muslimin.
c. Pelaku bid’ah adalah orang yang dilaknat menurut syari’at
Dalilnya ialah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang berbunyi,
مَنْ أَحْدَثَ فِيهَا حَدَثًا أَوْ آوَى مُحْدِثًا فَعَلَيْهِ لَعْنَةُ اللَّهِ وَالْمَلَائِكَةِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ (متفق عليه)
“Barangsiapa
berbuat bid’ah di dalamnya (Madinah), atau melindungi pelaku bid’ah,
maka baginya laknat Allah, para malaikat, dan manusia seluruhnya” (Muttafaq ‘Alaih).[2]
d. Bid’ah semakin menjauhkan pelakunya dari Allah Ta’ala
Sebagaimana yang diriwayatkan dari Ayyub As Sikhtiyani -salah seorang tokoh tabi’in- bahwa beliau mengatakan:
مَا ازْدَادَ صَاحِبُ بِدْعَةٍ اِجْتِهَاداً، إِلاَّ ازْدَادَ مِنَ اللهِ بُعْداً {حلية الأولياء – (ج 1 / ص 392)}
“Semakin giat pelaku bid’ah dalam beribadah, semakin jauh pula ia dari Allah” (Hilyatul Auliya’, 1/392). Apa yang dikatakan oleh tokoh tabi’in di atas, kebenarannya didukung oleh hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika menyifati orang-orang Khawarij:
يَخْرُجُ فِيكُمْ قَوْمٌ تَحْقِرُونَ صَلَاتَكُمْ مَعَ صَلَاتِهِمْ
وَصِيَامَكُمْ مَعَ صِيَامِهِمْ وَعَمَلَكُمْ مَعَ عَمَلِهِمْ
وَيَقْرَءُونَ الْقُرْآنَ لَا يُجَاوِزُ حَنَاجِرَهُمْ يَمْرُقُونَ مِنْ
الدِّينِ كَمَا يَمْرُقُ السَّهْمُ مِنْ الرَّمِيَّةِ … الحديث (متفق عليه)
“Akan muncul diantara kalian suatu kaum yang kalian
akan meremehkan shalat kalian (para sahabat), puasa kalian, dan amal
kalian di samping shalat mereka, puasa mereka, dan amal mereka. Mereka rajin membaca Al Qur’an akan tetapi (pengaruhnya) tidak melampaui tenggorokan mereka. Mereka keluar dari Islam seperti anak panah yang keluar menembus sasarannya” (Muttafaq Alaih).[3]
Perhatikan, bagaimana mulanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyifati mereka sebagai kaum yang amat giat beribadah, lalu menjelaskan betapa jauhnya mereka dari Allah.[4]
e. Bid’ah mencegah pelakunya dari mendapat syafa’at Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
Sebagaimana yang disebutkan dalam hadits shahih yang berbunyi:
أَلَا وَإِنَّ أَوَّلَ الْخَلَائِقِ يُكْسَى يَوْمَ الْقِيَامَةِ
إِبْرَاهِيمُ عَلَيْهِ السَّلَام أَلَا وَإِنَّهُ سَيُجَاءُ بِرِجَالٍ مِنْ
أُمَّتِي فَيُؤْخَذُ بِهِمْ ذَاتَ الشِّمَالِ فَأَقُولُ يَا رَبِّ
أَصْحَابِي فَيُقَالُ إِنَّكَ لَا تَدْرِي مَا أَحْدَثُوا بَعْدَكَ (متفق
عليه)
“Sesungguhnya manusia pertama yang diberi pakaian pada hari kiamat ialah Ibrahim ‘alaihis salam.
Ingatlah, bahwa nanti akan ada sekelompok umatku yang dihalau ke
sebelah kiri… maka kutanyakan: “Ya Rabbi… mereka adalah sahabatku [5])?”, akan tetapi jawabannya ialah: “Kamu tidak tahu akan apa yang mereka ada-adakan sepeninggalmu…” (Muttafaq ‘Alaih).[6])
f. Pelaku bid’ah ikut menanggung dosa orang yang mengikutinya hingga hari kiamat
Dasarnya ialah firman Allah Ta’ala:
لِيَحْمِلُوا أَوْزَارَهُمْ كَامِلَةً يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَمِنْ
أَوْزَارِ الَّذِينَ يُضِلُّونَهُمْ بِغَيْرِ عِلْمٍ أَلَا سَاءَ مَا
يَزِرُونَ
“Agar mereka
memikul dosa-dosa mereka seluruhnya pada hari kiamat, dan sebahagian
dari dosa-dosa orang yang mereka sesatkan yang tidak mengetahui
sedikitpun (bahwa mereka disesatkan). Ingatlah, amat buruklah dosa yang
mereka pikul itu” (QS. An Nahl: 25).
Sebagaimana dalam hadits shahih Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang maknanya, “Barangsiapa mengajarkan ajaran jelek, maka ia akan memikul dosanya dan dosa orang yang mengamalkan ajarannya…” [7].
g. Pelaku bid’ah sangat sulit untuk bertaubat
Dalilnya ialah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang berbunyi,
إِنَّ اللهَ حَجَزَ التَّوْبَةَ عَنْ كُلِّ صَاحِبِ بِدْعَةٍ (رواه أبو الشيخ والطبراني والبيهقي وغيرهم)
“Sesungguhnya Allah mencegah setiap pelaku bid’ah dari taubat” (H.R Abu Syaikh, At Thabrani, Al Baihaqy dan lainnya).[8]
Demikian pula yang disebutkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang perpecahan umat beliau, yang diantaranya beliau mengatakan:
إِنَّ أَهْلَ الْكِتَابَيْنِ افْتَرَقُوا فِي دِينِهِمْ عَلَى ثِنْتَيْنِ
وَسَبْعِينَ مِلَّةً وَإِنَّ هَذِهِ الْأُمَّةَ سَتَفْتَرِقُ عَلَى ثَلَاثٍ
وَسَبْعِينَ مِلَّةً يَعْنِي الْأَهْوَاءَ كُلُّهَا فِي النَّارِ إِلَّا
وَاحِدَةً وَهِيَ الْجَمَاعَةُ وَإِنَّهُ سَيَخْرُجُ فِي أُمَّتِي
أَقْوَامٌ تَجَارَى بِهِمْ تِلْكَ الْأَهْوَاءُ كَمَا يَتَجَارَى الْكَلْبُ
بِصَاحِبِهِ لَا يَبْقَى مِنْهُ عِرْقٌ وَلَا مَفْصِلٌ إِلَّا دَخَلَهُ
وَاللَّهِ يَا مَعْشَرَ الْعَرَبِ لَئِنْ لَمْ تَقُومُوا بِمَا جَاءَ بِهِ
نَبِيُّكُمْ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَغَيْرُكُمْ مِنْ النَّاسِ
أَحْرَى أَنْ لَا يَقُومَ بِهِ (رواه أبو داود وأحمد وغيرهما بسند حسن).
“Sesungguhnya
ahli kitab telah berpecah menjadi 72 firqah; dan sesungguhnya umat ini
akan berpecah menjadi 73 millah -maksudnya ajaran yang mengikuti bid’ah
dan hawa nafsu,- mereka semua berada di Neraka kecuali satu, yaitu Al
Jama’ah. Nanti akan muncul pada umatku sekelompok orang yang kerasukan
bid’ah dan hawa nafsu sebagaimana anjing kerasukan rabies, tak tersisa
satu pun dari urat dan sendinya melainkan telah kerasukan. Hai sekalian
bangsa Arab, demi Allah… kalau kalian saja tidak mau melaksanakan ajaran
Nabimu, maka orang lain akan lebih tidak mau lagi” (H.R. Abu Dawud, Ahmad dan lainnya).[9]
h. Pelaku bid’ah dijauhkan dari telaga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada hari kiamat
Sebagaimana yang disebutkan dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, katanya,
أَنَا فَرَطُهُمْ عَلَى الْحَوْضِ أَلَا لَيُذَادَنَّ رِجَالٌ عَنْ حَوْضِي
كَمَا يُذَادُ الْبَعِيرُ الضَّالُّ أُنَادِيهِمْ أَلَا هَلُمَّ فَيُقَالُ
إِنَّهُمْ قَدْ بَدَّلُوا بَعْدَكَ فَأَقُولُ سُحْقًا سُحْقًا (رواه مسلم
وابن ماجه وأحمد)
“Aku akan
mendahului kalian menuju telaga… sungguh, akan ada beberapa orang yang
dihalau dari telagaku sebagaimana dihalaunya onta yang kesasar. Aku
memanggil mereka: “Hai datanglah kemari…!” namun dikatakan kepadaku:
“Mereka telah mengganti-ganti (ajaranmu) sepeninggalmu…” maka kataku:
“Menjauhlah sana… menjauhlah sana (kalau begitu)” (H.R Muslim, Ibnu Majah dan Ahmad).[10]
i. Pelaku bid’ah dikhawatirkan terjerumus ke dalam kekafiran
Sebab itulah para ulama dari dahulu sampai sekarang senantiasa berbeda
pendapat tentang kafir-tidaknya sejumlah firqah ahlul bid’ah, seperti khawarij, qadariyyah dan yang lainnya. Hal ini didukung oleh dhahir ayat yang berbunyi:
إِنَّ الَّذِينَ فَرَّقُوا دِينَهُمْ وَكَانُوا شِيَعًا لَسْتَ مِنْهُمْ
فِي شَيْءٍ إِنَّمَا أَمْرُهُمْ إِلَى اللَّهِ ثُمَّ يُنَبِّئُهُمْ بِمَا
كَانُوا يَفْعَلُونَ
Sesungguhnya
orang-orang yang memecah belah agamanya dan mereka (terpecah) menjadi
beberapa golongan, tidak ada sedikitpun tanggung jawabmu terhadap mereka (QS. Al An’am: 159).
Diantara mereka ada yang jelas-jelas mengkafirkan firqah bid’ah tertentu seperti batiniyyah dan
yang lainnya. Jika ada ulama yang berselisih tentang suatu perkara,
apakah ia dihukumi kafir atau tidak? Tentunya setiap orang yang berakal
akan merinding untuk
ditempatkan di persimpangan yang sarat marabahaya seperti ini. Siapa
yang rela kalau ada orang yang mengatakan kepadanya: “Sesungguhnya para ulama berselisih pendapat mengenaimu; apakah kamu telah kafir, atau sekedar sesat?” Atau yang mengatakan: “Sesungguhnya ada sebagian ulama yang mengkafirkan kamu dan menganggap darahmu halal…?!” tentunya tak seorang pun mau dikatakan seperti itu.[11]
j. Pelaku bid’ah dikhawatirkan akan mati dalam keadaan suu’ul khatimah
Wajar saja, karena seorang pelaku bid’ah sama dengan orang yang
bermaksiat kepada Allah, dan siapa pun yang bersikukuh dengan maksiatnya
perlu dicemaskan kalau-kalau ia mati dalam keadaan itu.
Bahkan disamping melanggar larangan Allah, seorang pelaku bid’ah seakan
ingin mengoreksi syari’at dengan pendapatnya pribadi. Ia tak puas
menerima syari’at begitu saja demi meraih yang dia inginkan. Ia justeru
meyakini bahwa maksiat yang dilakukan adalah ketaatan, mengapa? Karena
ia menganggap baik apa yang dianggap jelek oleh syari’at, yaitu bid’ah.
Tentunya orang yang seperti ini keadaannya, sangat dikhawatirkan akan
mati dalam keadaan suu’ul khatimah.[12]
k. Wajah pelaku bid’ah akan menghitam di hari kiamat
Dalilnya ialah firman Allah Ta’ala yang berbunyi,
يَوْمَ تَبْيَضُّ وُجُوهٌ وَتَسْوَدُّ وُجُوهٌ
“Pada hari yang di waktu itu ada muka yang putih berseri, dan ada pula yang hitam muram…” (Ali ‘Imran: 106).
Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma menafsirkan ayat ini dengan mengatakan,
يَعْنِي: يَوْمَ الْقِيَامَةَ، حِيْنَ تَبْيَضُّ وُجُوْهُ أَهْلِ
السُّنَّةِ وَالْجَمَاعَةِ، وَتَسْوَدُّ وُجُوْهُ أَهْلِ الْبِدْعَةِ
وَالُفُرُقَةِ {تفسير ابن كثير – (ج 2 / ص 92)}
“Yaitu hari kiamat… ketika wajah ahlussunnah wal jama’ah putih berseri, sedangkan wajah ahlul bid’ah wal furqah hitam legam”[13]
Terapi kedua: Sibukkan diri dengan mengamalkan sunnah
Ketahuilah wahai saudaraku… tidaklah seseorang melakukan bid’ah
melainkan pasti saat itu juga ia meninggalkan sunnah. Agama ini ibarat
cawan yang penuh terisi air, kalau seseorang memasukkan secuil benda
asing kedalamnya, pastilah ada air yang tertumpah sesuai kadar benda
yang masuk tadi… demikian pula Islam. Allah Ta’ala berfirman yang artinya: “Pada
hari ini telah kusempurnakan bagimu agamamu, dan telah kucukupkan
nikmat-Ku atasmu, dan telah kuridhai Islam sebagai agamamu” (QS. Al Ma’idah: 3).
Baca dan pelajarilah Shahih Bukhari, dan Shahih Muslim… niscaya kita
akan mendapatkan ribuan sunnah yang selama ini belum pernah kita
lakukan.
Mengapa sebagian kaum muslimin justeru menyibukkan diri dengan membaca buku-buku mujarrobat, ratib, burdah, barzanji dan
sejenisnya yang sarat dengan penyimpangan dalam masalah tauhid; namun
meninggalkan wirid pagi dan sore dan sunnah-sunnah lain yang diajarkan
baginda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam? Bukankah ini namanya mengorek-korek sampah demi mencari tempe basi, dan meninggalkan hidangan lezat yang siap disantap?
Sungguh, seandainya kita menyibukkan diri dengan mengamalkan semua
sunnah yang ada, niscaya kita tidak akan berhasil mengamalkan seluruhnya
dalam dua puluh empat jam… lantas, untuk apa membuat “ibadah model
baru” yang hanya menambah beban hidup kita? Renungkanlah kembali nasehat
Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu yang tercantum dalam mukaddimah buku ini (hal 15).
Terapi ketiga: sadarlah bahwa Allah tidak membutuhkan amal kita
Ketahuilah
wahai saudaraku, sesungguhnya amalan yang kita lakukan -betapa pun
besarnya- adalah bagi diri kita sendiri. Allah Ta’ala sama sekali tidak butuh terhadap amal kita. Biarpun manusia sedunia ini kafir semuanya, toh Allah Ta’ala tetaplah
penguasa tunggal alam semesta…. Di sana masih ada jutaan, bahkan
milyaran makhluk yang taat menyembah kepada-Nya. Para malaikat yang
memenuhi angkasa raya… ikan-ikan di lautan… semut-semut dalam liangnya,
bahkan setiap benda yang ada di langit maupun di bumi semuanya bertasbih
kepada-Nya. Sebagaimana ayat:
يُسَبِّحُ لِلَّهِ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَماَ فِي الأَرضِ لَهُ الْمُلْكُ
وَلَهُ الحَمدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيءٍ قَدِيرٌ (التغابن: 1)
“Apa yang ada
di langit dan apa yang ada di bumi (senantiasa) bertasbih kepada Allah;
hanya Allah lah yang mempunyai semua kerajaan dan semua pujian, dan Dia
Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS. At Taghaabun: 1)
Ingatlah bahwa Allah Ta’ala berfirman:
Langit yang
tujuh, bumi, dan semua yang ada di dalamnya bertasbih kepada Allah. Dan
tak ada suatupun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya, tetapi kamu
sekalian tidak mengerti tasbih mereka. Sesungguhnya Dia adalah Maha
Penyantun lagi Maha Pengampun” (Al Isra’: 44).
Dalam sebuah hadits disebutkan:
عَنْ حَكِيْمِ بْنِ حِزَامٍ قَالَ: بَيْنَمَا رَسُوْلُ اللهِ فِي
أَصْحَابِهِ إِذْ قَالَ لَهُمْ: أَتَسْمَعُونَ مَا أَسْمَعُ ؟ قَالُوْا :
مَا نَسْمَعُ مِنْ شَيْءٍ ، قَالَ: إِنِّي لَأَسْمَعُ أَطِيْطَ السَّمَاءِ
وَمَا تُلاَمُ أَنْ تَئِطَّ وَمَا فِيْهَا مَوْضِعُ شِبْرٍ إِلاَّ
وَعَلَيْهِ مَلَكٌ سَاجِدٌ أَوْ قَائِمٌ (رواه الطحاوي في مشكل الآثار
والطيراني في الكبير بإسناد على شرط مسلم)
Dari Hakiem bin Hizam radhiyallahu ‘anhu, katanya: Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang bersama sahabatnya, beliau berkata: “Adakah kalian mendengar apa yang kudengar?” mereka menjawab: “Kami tak mendengar apa-apa…” lalu lanjut beliau: “Aku
benar-benar mendengar suara berat yang ditimbulkan langit… dan wajar
memang kalau dia merasa berat, karena tak tersisa sejengkal pun ruangan
di sana melainkan ada malaikat yang sedang sujud atau berdiri” [14]).
Ingatlah ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam meriwayatkan dari Allah Ta’ala, bahwa Dia berfirman dalam sebuah hadits qudsi:
يَا عِبَادِي إِنَّكُمْ لَنْ تَبْلُغُوا ضَرِّي فَتَضُرُّونِي وَلَنْ
تَبْلُغُوا نَفْعِي فَتَنْفَعُونِي يَا عِبَادِي لَوْ أَنَّ أَوَّلَكُمْ
وَآخِرَكُمْ وَإِنْسَكُمْ وَجِنَّكُمْ كَانُوا عَلَى أَتْقَى قَلْبِ رَجُلٍ
وَاحِدٍ مِنْكُمْ مَا زَادَ ذَلِكَ فِي مُلْكِي شَيْئًا يَا عِبَادِي لَوْ
أَنَّ أَوَّلَكُمْ وَآخِرَكُمْ وَإِنْسَكُمْ وَجِنَّكُمْ كَانُوا عَلَى
أَفْجَرِ قَلْبِ رَجُلٍ وَاحِدٍ مَا نَقَصَ ذَلِكَ مِنْ مُلْكِي شَيْئًا
(رواه مسلم)
“Wahai
hamba-Ku, kalian tak akan mampu mencelakai-Ku maupun memberi manfaat
kepada-Ku… wahai hamba-Ku, kalaulah kalian seluruhnya sejak dari yang
pertama hingga terakhir, baik dari jin maupun manusia; semuanya memiliki
hati yang paling takwa, niscaya itu tak menambah kekuasaan-Ku sedikit
pun… dan seandainya kalian seluruhnya sejak dari yang pertama hingga
terakhir, dari jin dan manusia; semuanya memiliki hati paling bejat,
niscaya itu tak mengurangi kekuasaan-Ku sedikit pun…” (H.R. Muslim no 2577).
Lihatlah… alangkah tidak berartinya manusia di sisi Allah. Alangkah
sia-sianya amal yang selama ini kita lakukan dengan susah payah kalau
sampai Allah tak sudi menerimanya. Kalau amal shalih saja belum tentu
diterima oleh-Nya, maka bagaimana dengan bid’ah? Adakah Allah Ta’ala menaruh
minat sedikit pun kepadanya? Renungkanlah baik-baik masalah ini,
kemudian mari kita koreksi amal kita masing-masing.
Terakhir: mintalah kepada Allah Ta’ala agar senantiasa membimbing kita
Terapi
ini tak kalah penting dari pendahulunya. Apalah artinya usaha kita yang
mati-matian kalau tidak mendapat bimbingan Allah Ta’ala?
Mintalah selalu kepada-Nya agar Dia menunjukkan kepada kita mana yang
bid’ah dan mana yang sunnah. Hadirkanlah selalu hati kita tatkala
membaca firman Allah:
اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ
“Tunjukkanlah kami jalan yang lurus”
Bersimpuhlah di hadapan-Nya pada sepertiga malam terakhir… teteskanlah
airmata kita di haribaan-Nya, mudah-mudahan Dia mencurahkan sebagian
rahmat-Nya untuk kita. Keluhkanlah segala gundah gulana kepada-Nya…
karena Dia lah yang menguasai hati hamba-Nya, dan Dia lah yang
membolak-balikkan hati mereka… mintalah kepada-Nya agar hati kita selalu
berada di jalan yang diridhai-Nya. Simaklah apa yang diriwayatkan oleh
Ummul mukminin Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha,
كَانَ أَكْثَرُ دُعَائِهِ يَا مُقَلِّبَ الْقُلُوبِ ثَبِّتْ قَلْبِي عَلَى دِينِكَ قَالَتْ
فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا أَكْثَرَ دُعَاءَكَ يَا مُقَلِّبَ
الْقُلُوبِ ثَبِّتْ قَلْبِي عَلَى دِينِكَ قَالَ يَا أُمَّ سَلَمَةَ
إِنَّهُ لَيْسَ آدَمِيٌّ إِلَّا وَقَلْبُهُ بَيْنَ أُصْبُعَيْنِ مِنْ
أَصَابِعِ اللَّهِ فَمَنْ شَاءَ أَقَامَ وَمَنْ شَاءَ أَزَاغَ (رواه
الترمذي وقَالَ هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ)
Doa yang paling sering dibaca Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ialah: (يَا مُقَلِّبَ الْقُلُوبِ ثَبِّتْ قَلْبِي عَلَى دِينِكَ) “Wahai Dzat yang membolak-balikkan hati, tetapkanlah hatiku diatas agama-Mu”. Aku
pun bertanya kepadanya: “Ya Rasulullah, alangkah seringnya engkau
memanjatkan doa ini…” maka jawab beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam:“Hai Ummu Salamah, tak ada seorang anak Adam pun melainkan hatinya berada diantara dua jemari Allah Ta’ala. Orang yang Dia kehendaki akan dijadikan-Nya istiqamah (lurus), atau justeru dibiarkan sesat” (H.R. Tirmidzi, dan beliau menghasankannya).[15])
-bersambung insya Allah-
Penulis: Ustadz Abu Hudzaifah Al Atsary, Lc
Mahasiswa Magister ‘Ulumul Hadits wad Dirosah Islamiyah Univ. Islam Madinah
Artikel www.muslim.or.id
[1] Disadur dari Mukhtasar Al I’tisham, hal 31-39, oleh Imam Asy Syathiby. Ikhtisar Sayyid ‘Alawi Abdul Qadir Assaqqaf –hafidhahullaah-.
[2]) H.R. Bukhari no 1870, 7306 dan Muslim no 1366, dari Sayyidina ‘Ali bin Abi Thalib dan Anas bin Malik.
[3]) H.R.
Bukhari no 5058, 6931, dan Mulim no 1064 dari sahabat Abu Sa’id Al
Khudry. Lafazh hadits diatas kami ambilkan dari hadits Bukhari no 5058.
[4]) Lihat: Mukhtasar Al I’tisham hal 33, oleh Imam Asy Syathiby. Ikhtisar oleh Sayyid ‘Alawi Abdul Qadir Assaqqaf.
[5]) Makna dari ‘sahabatku’ di sini bukanlah para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, akan tetapi orang-orang yang menyertai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam
hal keyakinan (Islam). Karenanya hadits ini tidak bisa dijadikan dalil
bahwa para sahabat berpaling (murtad) dari Islam sepeninggal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana keyakinan orang-orang syi’ah rafidhah yang terkutuk itu. Jadi kata ashaab disini
ialah seperti yang diungkapkan oleh ulama-ulama belakangan ketika
menukil pendapat orang yang semadzhab dengan mereka dengan menagatakan:
(وقال أصحابنا كذا…) yang artinya: Orang-orang yang semadzhab dengan kami
mengatakan begini dan begitu…
[6]) H.R. Bukhari no 6526, 4625, 4626, 4740, 3349 dan Muslim no 2860, dari sahabat ‘Abdullah bin ‘Abbas.
[7]) H.R. Muslim no 1017, dari sahabat Jarir bin Abdillah secara ringkas.
[8] H.R. Abu Syaikh dalam Tarikh Ashbahan, At Thabrani dalam Al Mu’jamul Ausath, Al Baihaqy dalam Syu’abul Iman dan lainnya. Hadits ini dinyatakan shahih oleh Sayyid ‘Alawi Assaqqaf dalam Mukhtasar Al I’tisham hal 35. Dishahihkan pula oleh Al Albani dalam Silsilah Ash Shahihah no 1620.
[9]
H.R. Abu Dawud no 4597, Ahmad dalam Musnadnya (4/102) no 17061 dari
sahabat Mu’awiyah bin Abi Sufyan. Hadits ini dinyatakan shahih
lighairihi oleh Syaikh Al Albani dalam Dhilalul Jannah, 1/2, hadits no 1&2. Perhatian: kalimat
yang bercetak miring di atas hanya terdapat pada riwayat Ahmad, dan
nampaknya ia merupakan perkataan Mu’awiyah yang tersisipkan dalam
hadits, karena disebutkan bahwa beliau menyampaikan hadits tadi di waktu
haji selepas shalat dhuhur (lihat Musnad Imam Ahmad 4/102). Jadi beliau
mengatakan kata-kata tadi dalam kapasitasnya sebagai khalifah saat itu,
wallaahu a’lam -pen.
[10] H.R. Muslim no 249, Ibnu Majah no 4306, dan Ahmad dalam Musnadnya (2/300, 408) hadits no 7980, 8865 dan 9281. Hadits ini juga dishahihkan oleh Al Albani dalam Shahih wa Dha’if Sunan Ibnu Majah, hadits no 4306.
[11] Lihat: Mukhtasar Al I’tisham, hal 38.
[12] Ibid, hal 38.
[13] Tafsir Ibnu Katsier, 2/92. Oleh Abul Fida’ Ibnu Katsier, tahqiq: DR. Sami Muhammad Salamah, cet.2, th. 1420/1999, Daarut Taybah.
[14]) H.R. Ath Thahawy dalam Syarh Musykilil Aatsar 7/337, hadits no 5319 dan Ath Thabrany dalam Al Mu’jamul Kabir, dengan sanad yang shahih sesuai syarat Muslim. Lihat: Silsilah Ash Shahihah hadits no 852.
[15]) H.R. Tirmidzi no 3522, dan Ahmad (6/302, 315) dan dihasankan pula oleh Al Albani dalam Silsilah Ash Shahihah hadits no 2091. Diriwayatkan pula oleh Ibnu Majah dari Anas bin Malik, dan Ahmad dari Aisyah.
Sumber: https://muslim.or.id/7394-ini-dalilnya-10-terapi-intensif-bagi-pelaku-bidah.html