Ada fenomena ‘sakit’ yang menjangkiti sebagian kita (saya
termasuk di antaranya) dalam soal kratak-mengkritik. Sering kita saksikan
ada seseorang yang merasa senang ketika mengkritik seseorang dan beranggapan
bahwa "hasil temuan" itu merupakan satu prestasi yang layak mendapatkan
apresiasi.
“Salah kawan pola pikir Anda itu”, gumam saya (dan
sepertinya saya sedang bergumam pada diri saya sendiri). Jika Anda hendak
menerapkan sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Agama
adalah nasihat” ; maka kritikan yang Anda berikan itu seharusnya merupakan
satu usaha untuk mengembalikannya pada kebenaran. Tentu saja, Anda harus
berpikiran bahwa kesalahan adalah sesuatu yang membuat diri Anda tidak nyaman
(bukannya malah bergembira-ria). Janganlah Anda pernah berpikiran menjadikan
kesalahan orang lain sebagai ladang prestasi pribadi Anda. Dan janganlah Anda
pernah berpikir menjadikan kesalahan orang lain sebagai ajang pesta-pora dalam
sanjungan.
Dan Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah telah
memberikan petuah :
ما كلمتُ أحدًا قط إلا أحببتُ أن يُوفقَ
ويسدد ويعانَ، ويكونَ عليه رعايةٌ من اللهِ وحفظٌ، وما كلمتُ أحدًا قط إلا ولم أبالِ
بيين اللهُ الحقَّ على لساني أو لسانه.
“Aku tidak pernah berbicara kepada seorangpun melainkan aku
berharap agar ia ditetapkan dan ditolong dalam kebenaran, serta menjadikan
pembicaraanku tadi sebagai petunjuk dan bimbingan Allah kepadanya. Dan aku tidaklah
peduli – saat berbicara pada seseorang – apakah Allah akan memberikan kebenaran
melalui lisanku atau lisan orang lain” [Aadaabusy-Syaafi’iy, Ibnu Abi Haatim
hal. 91].
Jadilah pengkritik yang bermental dokter, bukan pengkritik
bermental auditor....
– Yang sedang menasihati diri sendiri –
[Satu catatan FB saya beberapa waktu lalu]
________
Abu Al-Jauzaa'
from=
http://abul-jauzaa.blogspot.fr/2010/01/kritikus-bermental-auditor.html