Telah
menceritakan kepada kami Ja’far bin Musaafir dan Muhammad bin
Sulaimaan Al-Anbaariy, mereka berdua berkata : Telah mengkhabarkan
kepada kami Ibnu Abi Fudaik, dari ‘Abdul-Malik bin Zaid -
Ja’far menyandarkannya kepada Sa’iid bin Zaid bin
‘Amru bin Nufail - , dari Muhammad bin Abi Bakr, dari
‘Amrah, dari ‘Aaisyah radliyallaahu ‘anhaa, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam :“Maafkanlah orang-orang yang terpandang atas kekeliruan mereka, kecuali dalam masalah hudud” [As-Sunan no. 4375].
Keterangan para perawi :
a. Ja’far bin Musaafir bin Ibraahiim bin Raasyid At-Tuniisiy, Abu Shaalih Al-Hudzaliy; seorang yang shaduuq, namun terkadang keliru (w. 254 H) [Taqriibut-Tahdziib, hal. 201 no. 965].
b. Muhammad bin Sulaimaan Al-Anbaariy, Abu Haaruun; seorang yang shaduuq (w. 234) [idem, hal. 850 no. 5969]. Begitulah yang dikatakan oleh Ibnu Hajar. Namun saya cenderung mengambil kesimpulan bahwa ia seorang yang tsiqah. Abu Bakr Al-Kahthiib berkata : “Tsiqah”. Maslamah berkata : “Tsiqah”. Tidak ternukil ada orang yang melemahkannya [Tahdziibut-Tahdziib, 9/203].
c. Ibnu
Abi Fudaik, ia adalah Muhammad bin Ismaa’iil bin Muslim bin Abi
Fudaik Ad-Dailamiy, Abu Ismaa’iil Al-Madaniy; seorang yang shaduuq (w. 200 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 826 no. 5773].
d. ‘Abdul-Malik
bin Zaid bin Sa’iid bin Zaid bin ‘Amru bin Nufail
Al-Qurasyiy Al-‘Adawiy; seorang yang diperselisihkan.
An-Nasaa’iy mengatakan : “Tidak mengapa dengannya”.
Ibnu Hibbaan memasukkanya dalam Ats-Tsiqaat. ‘Aliy bin Al-Hasan bin Al-Junaid berkata : “Dla’iiful-hadiits”. ‘Abdurrahmaan bin Mahdiy meriwayatkan darinya, dimana hal ini sama dengan pentautsiqannya [Tahdziibul-Kamaal, 18/308-310 no. 3527 dan Tahdziibut-Tahdziib, 6/393-394 no. 746]. Ibnu ‘Adiy memasukkannya dalam Al-Kaamil (6/534
no. 1458), dan saat mengomentari dua hadits, salah satu di antaranya
adalah hadits di atas, berkata : “Dan ini adalah dua hadits
munkar dengan sanad ini. Kedua hadits tersebut tidak diriwayatkan
kecuali ‘Abdul-Malik bin Zaid, dan dari ‘Abdul-Malik Ibnu
Abi Fudaik”. Ibnul-Jauziy : “Telah berkata ‘Aliy bin
Al-Husain bin Al-Junaid dan Abul-Fath Al-Azdiy : ‘Dla’iiful-hadiits” [Adl-Dlu’afaa’, 2/149-150 no. 2168]. Ibnu Hajar menyepakati perkataan An-Nasaa’iy (yaitu : ‘Tidak mengapa dengannya’) [At-Taqriib, hal. 622 no. 4207].
Penyimpulan : Saya lebih cenderung mengatakan bahwa ‘Abdul-Malik ini shaduuq hasanul-hadiits. Al-Azdiy adalah seorang yang yang terkenal keras dalam jarh.
Sama halnya dengan An-Nasaa’iy, namun ia mentautsiq
‘Abdul-Malik. Adapun perkataan Ibnu ‘Adiy, didasarkan atas
penyimpulannya bahwa ‘Abdul-Maalik bersendirian dalam periwayatan
hadits itu dari Ibnu Abi Fudaik. Padahal, ia tidak bersendirian dalam
hal itu. Sikap Ibnul-Jauziy didasarkan atas penyandarannya atas
perkataan Ibnul-Junaid dan Al-Azdiy. Oleh karena itu, pendla’ifan
Ibnul-Junaid dan Al-Azdiy belum cukup untuk menjatuhkan kredibilitas
‘Abdul-Malik yang telah di-tautsiq oleh An-Nasaa’iy, Ibnu Mahdiy, dan Ibnu Hibbaan. Wallaahu a’lam.
e. Muhammad bin Abi Bakr bin Muhammad bin ‘Amru bin Hazm Al-Anshaariy, Abu ‘Abdil-Malik Al-Madaniy; seorang yang tsiqah (w. 132 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [Taqriibut-Tahdziib, hal. 829 no. 5800].
f. ‘Amrah bintu ‘Abdirrahmaan bin Sa’d bin Zuraarah Al-Anshariyyah Al-Madaniyyah; seorang wanita yang tsiqah (w. 98/106 H dalam usia 77 tahun). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 1365 no. 8742].
Dari jalan Abu Daawud, Ibnu Hazm meriwayatkan dalam Al-Muhallaa 11/404.
Hadits tersebut diriwayatkan juga oleh Ad-Daaruquthniy no. 3473, Ath-Thahawiy dalamSyarh Musykiilil-Aatsaar 6/148 no. 2376, Al-Baihaqiy 8/267 & 334, dan Ibnu ‘Adiy dalamAl-Kaamil 6/534; dari Ibnu Abi Fudaik. Diriwayatkan oleh Ahmad 6/181, An-Nasaa’iy dalam Al-Kubraa 6/468 no. 7254, Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah 9/43, Ath-Thahawiy dalamSyarh Musykiilil-Aatsaar 6/149 no. 2377, dan Ibnu Hazm dalam Al-Muhalla 11/405;
dari jalan ‘Abdurrahmaan bin Mahdiy. Keduanya (Ibnu Mahdiy dan
Ibnu Abi Fudaik), dari ‘Abdul-Malik bin Zaid, dari Muhammad bin
Abi Bakr, dari ayahnya, dari ‘Amarah, dari ‘Aaisyah secara marfu’.
Penyebutan
perantara Abu Bakr bin Muhammad bin ‘Amru inilah yang lebih kuat
dibandingkan riwayat yang dibawakan Abu Daawud.
Abu Bakr bin Muhammad bin ‘Amru bin Hazm adalah seorang yang tsiqah lagi ‘aabid (w. 120 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 1118 no. 8045].
Sanad hadits ini hasan.
‘Abdul-Malik bin Zaid dalam periwayatan dari Muhammad bin Abi Bakr mempunyaimutaba’aat dari :
1. Abu Bakr bin Naafi’ Al-‘Umariy.
Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy dalam Al-Adabul-Mufrad no. 465, Ishaaq bin Rahawaih no. 1142, Ath-Thahawiy dalam Syarh Musykiilil-Aatsaar 6/142-143
no. 2367-2370, Ibnu Hibbaan 1/296 no. 94, dan Al-Baihaqiy 8/334; dari
beberapa jalan, semuanya dari Abu Bakr bin Naafi’
Al-‘Umariy, dari Muhammad bin Abi Bakr bin Muhammad bin
‘Amru, dari ‘Amrah, dari ‘Aaisyah radliyallaahu ‘anhaa secaramarfuu’, tanpa menyebutkan perantara Abu Bakr bin Muhammad.
Diriwayatkan juga oleh Abu Ya’laa no. 4953 dari jalan Abu Ma’mar Al-Hudzaliy, dan Ath-Thabaraaniy dalam Al-Ausath 3/277-278
no. 3139 dari jalan Nu’aim bin Hammaad; keduanya (Abu
Ma’mar Al-Hudzaliy dan Nu’aim bin Hammaad) dari Abu Bakr
bin Naafi’ maulaa Ibni ‘Umar, ia berkata : Telah
menceritakan kepadaku Abu Bakr bin Muhammad bin ‘Amru bin Hazm,
ia berkata : Aku mendengar ‘Amrah bintu ‘Abdirrahmaan
berkata : Telah berkata ‘Aaisyah : Telah bersabda Rasulullahshallallaahu ‘alaihi wa sallam : “…(al-hadits)….”. Di sini tanpa menyebutkan Muhammad bin Abi Bakr.
Perselisihan sanad ini berporos pada Abu Bakr bin Naafi’ Al-Qurasyiy Al-‘Adawiy Al-Madaniy; seorang yang dla’iif [idem, hal. 1119 no. 8049].
2. ‘Abdurrahmaan bin Muhammad bin Abi Bakr bin Muhammad bin ‘Amru.
Diriwayatkan oleh An-Nasaa’iy dalam Al-Kubraa 6/468 no. 7253 dan Ath-Thahawiy dalam Syarh Musykilil-Aatsaar 6/144-145
no. 2372, keduanya dari Ibnu Abi Maryaam, ia berkata : Telah
menceritakan kepada kami ‘Aththaaf bin Khaalid, ia berkata :
Telah menceritakan kepadaku ‘Abdurrahmaan bin Muhammad bin Abi
Bakr bin Muhammad, dari ayahnya, dari ‘Amrah, dari ‘Aaisyah secara marfu – namun tanpa lafadh : “kecuali dalam masalah hudud”.
Ibnu Abi Maryam, ia adalah Sa’iid bin Al-Hakam bin Muhammad bin Saalim, Abu Muhammad Al-Mishriy; seorang yang tsiqah, tsabat, lagi faqiih (144-224 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 375 no. 2299].
‘Aththaaf
bin Khaalid bin ‘Abdillah bin Al-‘Aash Al-Qurasyiy
Al-Makhzumiy, Abu Shafwaan Al-Madaniy; seorang yang yang
diperbincangkan.
Maalik
berkata : “Ia bukan termasuk pemimpin di antara manusia”.
Dalam beberapa riwayat, Maalik mengingkari orang yang meriwayatkan
hadits dari ‘Aththaaf. Ahmad meriwayatkan dari Abu Salamah
Al-Khuzaa’iy bahwasannya Ibnu Mahdiy tidak meridlainya. Ahmad
berkata : “Tsiqah, shahiihul-hadiits”. Di lain waktu ia berkata : “Tidak mengapa dengannya, ….shaalihul-hadiits”. Ibnu Ma’iin berkata : “Tidak mengapa dengannya, tsiqah, shaalihul-hadiits”. Abu Zur’ah berkata : “Tidak mengapa dengannya”. Abu Haatim berkata : “Shaalih, laisa bi-dzaaka. Muhammad bin Ishaaq dan ‘Athaaf, keduanya adalah pintu rahmah”. Abu Daawud berkata : “Tsiqah”.
Di lain tempat ia berkata : “Tidak mengapa dengannya”.
An-Nasaa’iy berkata : “Tidak kuat”. Di lain tempat ia
berkata : “Tidak mengapa dengannya”. Ibnu ‘Adiy
berkata : “Aku berpendapat haditsnya tidak mengapa jika orang yang tsiqaat meriwayatkan
darinya”. Al-‘Ijliy telah mentsiqahkannya. Al-Bazzaar
berkata : “Jama’ah telah meriwayatkan darinya, dan ia
seorang yang shaalihul-hadiits, meskipun ia merwayatkan hadits-hadits yang tidak ada mutaba’ah-nya”. Ibnu Hibbaan berkata : “Tidak boleh berhujjah dengannya kecuali apa yang mencocoki riwayat para perawitsiqaat” [Tahdziibul-Kamaal, 20/138-142 no. 3953 dan Tahdziibut-Tahdziib, 7/221-223 no. 410]. Ad-Daaruquthniy berkata : “Dla’iif” [Adl-Dlu’afaa wal-Matruukuun hal. 200 no. 427]. Ibnu Syaahiin memasukkannya dalam Ats-Tsiqaat [hal. 257 no. 1034]. Abu Ahmad Al-Haakim berkata : “Tidak kokoh menurut mereka (ulama)” [Al-Mughniy fidl-Dlu’afaa’ 2/58 no. 4118]. Ibnu Hajar berkata : “Shaduuq, namun sering ragu (yahimu) [idem, hal. 680 no. 4645].
Kesimpulan : Ia seorang yang shaduuq, hasanul-hadiits. Tidak lebih rendah dari itu.Wallaahu a’lam.
‘Abdurrahmaan bin Muhammad bin Abi Bakr bin Muhammad bin ‘Amru; tidak ada yang men-tsiqah-kannya selain Ibnu Hibbaan. Al-‘Uqailiy dan Ibnu ‘Adiy memasukkannya dalam Adl-Dlua’afaa’. Ibnu Hajar menyimpulkan : “Maqbuul” [idem, hal. 597 no. 4023]. Maknanya, riwayatnya diterima jika ada mutaba’ah, jika tidak maka dla’iif.
[dan di sini, ‘Abdurrahmaan bin Muhammad bin Abi Bakr mempunyai mutaba’aat].
3. ‘Abdul-‘Aziiz bin ‘Abdillah bin ‘Umar.
Ada perselisihan dalam jalur ini.
Diriwayatkan oleh An-Nasaa’iy dalam Al-Kubraa 6/468-469 no. 7255 dan darinya Ath-Thahawiy dalam Syarh Musykiilil-Aatsaar 6/147
no. 2375; dari Muhammad bin Haatim : Telah mengkhabarkan kepada kami
Suwaid – ia adalah Ibnu Nashr - , ia berkata : Telah
mengkhabarkan kepada kami ‘Abdullah (bin Al-Mubaarak), dari
‘Abdul-‘Aziiz bin ‘Abdillah bin ‘Umar, dari
Muhammad bin Abi Bakr bin ‘Amru bin Hazm, dari ayahnya, dari ‘Amrah, dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallamsecara mursal.
Muhammad bin Haatim bin Nu’aim bin ‘Abdil-Hamiid, Abu ‘Abdillah Al-Marwaziy; seorang yang tsiqah [idem, hal. 834 no. 5831].
Suwaid bin Nashr bin Suwaid Al-Marwaziy, Abul-Fadhl Ath-Thausaaniy; seorang yangtsiqah (w. 240 H) [idem, hal. 425 no. 2714].
‘Abdullah bin Al-Mubaarak bin Waadlih Al-Handhaliy At-Taimiy, Abu ‘Abdirrahmaan Al-Marwaziy; seorang yang tsiqah, tsabat, faqiih, lagi ‘aalim (w. 181). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 540 no. 3595].
‘Abdul-‘Aziiz
bin ‘Abdillah bin ‘Abdillah bin ‘Umar bin
Al-Khaththaab Al-Qurasyiy, Abu Muhammad Al-Madaniy; seorang yang tsiqah [idem, hal. 613 no. 4133].
Sanad hadits ini mursal shahih.
Diriwayatkan juga oleh An-Nasaa’iy dalam Al-Kubraa 6/469 no. 7258 dan Ath-Thahawiy dalam Syarh Musykiilil-Aatsaar 6/147
no. 2374 dari jalan Yuunus bin ‘Abdil-A’laa, ia berkata :
Telah menceritakan kepada kami Ma’n, dari Ibnu Abi Dzi’b,
dari ‘Abdul-‘Aziiz bin ‘Abdillah, dari Abu Bakr bin
‘Amru bin Hazm, dari ‘Amrah secaramursal. Riwayat ini tanpa menyebutkan Muhammad bin Abi Bakr (anak Abu Bakr bin ‘Amru).
Yuunus bin ‘Abdil-A’laa bin Maisarah bin Hafsh bin Hayyaan Ash-Shadafiy; seorang yang tsiqah (w. 264 H). Dipakai Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 1098 no. 7964].
Ma’n bin ‘Iisaa bin Yahyaa bin Diinaar Al-Asyja’iy, Abu Yahyaa Al-Madaniy; seorang yang tsiqah lagi tsabat (w. 198 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 963 no. 6868].
Ibnu
Abi Dzib, ia adalah Muhammad bin ‘Abdirrahmaan bin Al-Mughiirah
bin Al-Haarits bin Abi Dzi’b Al-Qurasyiy Al-‘Aamiriy,
Abul-Haarits Al-Madaniy; seorang yangtsiqah, faqiih, lagi faadlil (w. 158/159 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalamShahih-nya [idem, hal. 871 no. 6122].
Sanad hadits ini juga mursal shahih.
Diriwayatkan juga oleh An-Nasaa’iy dalam Al-Kubraa 6/469 no. 7257 dari Ibraahiim bin Ya’quub, dan Ath-Thahawiy dalam Syarh Musykiilul-Aatsaar 6/145-146
no. 2373 dari ‘Aliy bin ‘Abdirrahmaan bin Muhammad bin
Al-Mughiirah; keduanya dari ‘Abdullah bin Yuusuf, ia berkata :
Telah menceritakan kepada kami Ibnu Abir-Rijaal, dari Ibnu Abi
Dzi’b, dari ‘Abdul-‘Aziiz bin ‘Abdillah bin
‘Abdillah bin ‘Umar bin Al-Khaththaab, dari Ibnu Hazm, dari
‘Amrah pernah berkata : Telah berkata ‘Aaisyah :
Sesungguhnya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda : “…..(al-hadits)….”.
Padanya terdapat perbincangan/dialog antara ‘Abdul-‘Aziiz dan Ibnu Hazm.
Ibraahiim bin Ya’quub bin Ishaaq As-Sa’diy, Abu Ishaaq Al-Juzjaaniy; seorang yangtsiqah lagi haafidh (w. 259 H) [idem, hal. 118 no. 275].
‘Aliy bin ‘Abdirrahmaan bin Muhammad bin Al-Mughiirah; seorang yang shaduuq (w. 272 H) [idem, hal. 700 no. 4799].
‘Abdullah bin Yuusuf At-Tuniisiy; seorang yang tsiqah lagi mutqin (w. 218). Dipakai Al-Bukhaariy dalam Shahih-nya [idem, hal. 559 no. 3745].
Ibnu Abir-Rijaal, ia adalah ‘Abdurrahmaan bin Abir-Rijaal adalah seorang yangtsiqah, ditsiqahkan oleh jumhur ulama [lihat selengkapnya dalam Tahdziibut-Tahdziib,
6/169-170 no. 351]. Akan tetapi Abu Zur’ah berkata : “Ia
memarfu’kan banyak hal yang tidak dimarfu’kan
selainnya” [idem].
Ibnu Hazm di situ adalah Abu Bakr bin Muhammad bin ‘Amru bin Hazm.
Sanad hadits ini bersambung (maushul), dan diduga, ini dari kekeliruan Ibnu Abir-Rijaal. Oleh karena itu, yang benar sanadnya mursal sebagaimana di atas. Wallaahu a’lam.
‘Amrah dalam periwayatan dari ‘Aaisyah mempunyai mutaba’ah dari Al-Qaasim bin Muhammad, sebagaimana diriwayatkan oleh Ath-Thabaraaniy dalam Al-Ausath 6/54 no. 5774 dan Al-Qadlaa’iy dalam Musnad Asy-Syihaab 1/380
no. 655 dari jalan Ishaaq bin Zaid Al-Khaththaabiy, ia berkata : Telah
mengkhabarkan kepada kami Muhammad bin Sulaimaan bin Abi Daawud, ia
berkata : Telah menceritakan kepada kami Al-Mutsannaa Abu Haatim
Al-‘Aththaar, ia berkata : Telah mengkhabarkan kepada kami
‘Ubaidullah bin Al-‘Iizaar, dari Al-Qaasim bin Muhammad,
dari ‘Aaisyah : Bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
أقيلوا الكرام عثراتهم
“Maafkanlah orang-orang mulia kekeliruannya”.
Sanad hadits ini sangat lemah, karena Al-Mustannaa (bin Bakr Abu Haatim Al-Bashriy) ini matruuk sebagaimana dikatakan Ad-Daaruquthniy [lihat : Mausu’ah Aqwaal Ad-Daaruquthniy, hal. 540 no. 2877. Lihat juga Adl-Dlu’afaa oleh Al-‘Uqailiy 4/1389-1390 no. 1847].
‘Aaisyah mempunyai syawaahid dari :
1. ‘Abdullah bin Mas’uud radliyallaahu ‘anhu.
Diriwayatkan oleh Ath-Thabaraaniy dalam Al-Ausath 7/302 no. 7562 dan Abu Nu’aim dalam Taariikh Ashbahaan 2/234 dari jalan Muhammad bin ‘Aashim, dan Al-Khathiib dalam At-Taariikh 11/287
dari jalan Muhammad bin Makhlad; keduanya (Muhammad bin ‘Aashim
dan Muhammad bin Makhlad) dari ‘Abdullah bin Muhammad bin Yaziid
Al-Hanafiy : Telah menceritakan kepadaku ayahku : Telah menceritakan
kepadak kami Abu Bakr bin ‘Ayyaasy, dari ‘Aashim, dari
Zirr, dari ‘Abdullah (bin Mas’uud), ia berkata : Telah
bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam :
أقيلوا ذوي الهيئات زلاتهم
“Maafkanlah orang-orang yang terpandang atas ketergelinciran mereka”.
Muhammad bin ‘Aashim bin Yahyaa Abu ‘Abdillah Al-Qaadliy Al-Faqiih Al-Kaatib Al-Ashbahaaniy; seorang yang shaduuq lagi faqiih (w. 299 H) [Irsyaadul-Qaadliy wad-Daaniy, hal. 563-564 no. 916].
‘Abdullah bin Muhammad bin Yaziid Al-Hanafiy adalah seorang yang tsiqah (w. 275 H) [Taariikh Baghdaad, 11/287 no. 5154].
Muhammad bin Yaziid Al-Hanafiy Al-Kuufiy Al-‘Aththaar; seorang yang majhuul haal(w.
276 H). Tidak ada yang mentsiqahkannya selain Maslamah bin Qaasim
Al-Andalusiy, dan hanya seorang saja yang meriwayatkan darinya, yaitu
‘Abdullah bin Muhammad Al-Hanafiy di atas [lihat : TahriirTaqriibit-Tahdziib, 3/336 no. 6407].
Abu Bakr bin ‘Ayyaasy, ia adalah Ibnu Saalim Al-Asadiy; seorang yang tsiqah lagi‘aabid,
akan tetapi berubah hapalannya di usia tua, sedangkan riwayat yang
berasal dari kitabnya adalah shahih (w. 173 H dalam usia 96 tahun).
Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya[Taqriibut-Tahdziib – bersama At-Tahriir 4/160 no. 7985].
‘Aashim bin Bahdalah, Ibnu Abi Nujuud Al-Asadiy Al-Kuufiy, Abu Bakr Al-Muqri; seorang yang shaduuq, namun mempunyai beberapa keraguan (w. 127/128 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [Taqriibut-Tahdziib, hal. 471 no. 3071].
Zirr
bin Hubaisy bin Habaasyah bin Aus bin Bilaal/Hilaal bin Sa’d bin
Nashr Al-Asadiy Al-Kuufiy, Abu Maryam; seorang yang tsiqah lagi jaliil (w. 81/82/83 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 336 no. 2019].
Ad-Daaruqthniy mengomentari hadits ini : “Ini adalah hadits ghariib dari
hadits ‘Aashim, dari Zirr, dari ‘Abdullah. Al-Hanafiy
menyendiri dalam riwayat tersebut dari ayahnya, dari Abu Bakr bin
‘Ayyaasy, darinya. Kami tidak menulisnya kecuali dari Ibnu
Makhlad” [Taariikh Baghdaad, 11/287].
Sanad ini adalah dla’iif, karena kemajhulan Muhammad bin Yaziid Al-Hanafiy di atas. Namun, riwayat ini bisa dipakai untuk i’tibar.
Zirr bin Hubaisy mempunyai mutaba’ah dari ‘Alqamah, sebagaimana diriwayatkan oleh Ath-Thabaraaniy dalam Al-Ausath (Majma’ul-Bahrain 4/279
no. 2468) : Telah menceritakan kepada kami Ahmad : Telah menceritakan
kepadaku ayahku : Telah menceritakan kepada kami Bisyr bin ‘Ubaid
Ad-Daarisiy : Telah menceitakan kepada kami Muhammad bin Humaid
Al-‘Atakiy, dari Al-A’masy, dari Ibraahiim, dari
‘Alqamah, dari ‘Abdullah, ia berkata : Telah bersabda
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “…(al-hadits)…”.
Ahmad di sini adalah Ibnu ‘Ubaidillah bin Jariir bin Jabalah bin Abi Rawwaad Al-‘Atakiy Al-Bashriy; seorang yang shaduuq (w. 292 H) [Irsyaadul-Qaadliy wad-Daaniy, hal. 134 no. 139].
‘Ubaidullah
bin Jariir bin Jabalah bin Abi Rawwaad, Abul-‘Abbaas/Abul-Hasan
Al-‘Atakiy Al-Bashriy; seorang yang tsiqah (w. 262 H) [Taariikh Baghdaad, 12/31-33 no. 5421].
Bisyr
bin ‘Ubaid Ad-Daarisiy Abu ‘Aliy; seorang yang lemah,
bahkan sangat lemah. Ia telah didustakan oleh Al-Azdiy. Ibnu
‘Adiy berkata : “Munkarul-hadiits, dari para imam”. Ibnu Hibbaan memasukkanya dalam Ats-Tsiqaat [Lisaanul-Miizaan, 2/300 no. 1487].
Muhammad bin Humaid Al-‘Atakiy, belum diketemukan biografinya.
Al-A’masy, ia adalah Sulaimaan bin Mihraan; seorang yang tsiqah, namun masyhurdalam tadliis. Namun tadlis-nya
dari Ibraahiim di sini dihukumi bersambung sebagaimana diterangkan para
ulama. Lihat selengkapnya pembicaraan Al-A’masy disini.
Ibraahiim, ia adalah Ibnu Yaziid bin Qais bin Al-Aswad bin ‘Umar An-Nakha’iy, Abu ‘Imraan Al-Kuufiy; seorang yang tsiqah lagi faqiih, namun banyak melakukan irsaal (w. 196 H pada usia 49/58 tahun). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [Taqriibut-Tahdziib, hal. 118 no. 272].
‘Alqamah bin Qais bin ‘Abdillah bin Maalik An-Nakha’iy, Abu Syibl Al-Kuufiy; seorang yang tsiqah lagi tsabat (w. 63/65/72/73 H dalam usia 90 tahun). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 689 no. 4715].
2. ‘Abdullah bin ‘Umar bin Al-Khaththaab radliyallaahu ‘anhumaa.
Diriwayatkan oleh As-Sahmiy dalam Taariikh Jurjaan hal.
122 no. 191 : Telah mengkhabarkan kepada kami Abu Ahmad bin ‘Adiy
Al-Haafidh : Telah mengkhabarkan kepada kami Ishaaq bin Ibraahiim bin
Muhammad bin Yuusuf Abu Ya’quub, di Jurjaan : Telah menceritakan
kepada kami Muhammad bin Ghaalib : Telah menceritakan kepada kami
‘Abdush-Shamad, yaitu Ibnu An-Nu’maan : Telah menceritakan
kepada kami Al-Maajisyuun, dari ‘Abdullah bin Diinaar, dari Ibnu
‘Umar : Bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
أقيلوا ذوي الهيآت عثراتهم
“Maafkanlah orang-orang yang terpandang atas kekeliruan mereka”.
Abu Ahmad bin ‘Adiy Al-Haafidh, ia adalah Ibnu ‘Adiy.
Ishaaq bin Ibraahiim bin Muhammad bin Yuusuf Abu Ya’quub Al-Bashriy; ia seorang yang tsiqah (w. 253). Dipakai Al-Bukhaariy dalam Shahih-nya [Taqriibut-Tahdziib, hal. 126 no. 333].
Muhammad bin Ghaalib bin Tamtaam, seorang yang tsiqah sebagaimana dikatakan Ad-Daaruquthniy [Miizaanul-I’tidaal, 3/681 no. 8043].
‘Abdush-Shamad
bin An-Nu’maan Al-Bazzaar Al-Baghdaadiy (w. 216). Ia telah
ditsiqahkan Ibnu Ma’iin. Ad-Daaruquthniy berkata : “Tidak
kuat”. Begitu pula dikatakan An-Nasaa’iy [Siyaru A’laamin-Nubalaa’, 9/518 no. 200 dan Miizaanul-I’tidaal, 2/621 no. 5079]. Abu Haatim berkata : “Shaalihul-hadiits, shaduuq”. Al-‘Ijliy telah mentsiqahkannya [Mishbaahul-Ariib, 2/265 no. 16047]. Ibnu Hibbaan memasukkannya dalam Ats-Tsiqaat 8/415. Kesimpulannya yang benar atas diri ‘Abdush-Shamad, ia seorang yang shaduuq, hasanul-hadiits [lihat : Mu’jam Asamiyyir-Ruwaat, 2/529].
Al-Maajisyuun,
ia adalah ‘Abdul-‘Aziiz bin ‘Abdillah bin Abi Salamah
Al-Maajisyuun Al-Madaniy, Abu ‘Abdillah; seorang yang tsiqah (w. 164). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 613 no. 4132].
‘Abdullah bin Diinaar Al-Qurasyiy, Abu ‘Abdirrahmaan Al-Madaniy; seorang yangtsiqah (w. 127 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [Taqriibut-Tahdziib, hal. 504 no. 3320].
Sanad hadits ini hasan.
3. ‘Umar bin Al-Khaththaab dan Abu Bakr radliyallaahu ‘anhumaa.
Diriwayatkan oleh Al-Balaadzuriy dalam Al-Ansaab 10/327
: Telah menceritakan kepadaku Hafsh bin ‘Umar, dari Al-Haitsam
bin ‘Adiy, dari Mujaalid, dari Asy-Sya’biy, dari
‘Umar, bahwasannya ia berkata :
أقيلوا ذوي الهيئات عثراتهم
“Maafkanlah orang-orang yang terpandang atas kekeliruan mereka”.
Dan ia juga meriwayatkan hal itu dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Dan telah diriwayatkan juga hal itu dari Abu Bakr” [sampai di sini perkataan Al-Balaadzuriy].
Riwayat
ini sangat lemah. Penyakit utamanya ada di Al-Haitsam bin ‘Adiy
bin ‘Abdirrahmaan Ath-Thaa’iy; ia telah didustakan oleh
Ibnu Ma’iin. Abu Haatim berkata : “Matruukul-hadits, kedudukannya seperti kedudukan Al-Waaqidiy” [Al-Jarh wat-Ta’diil, 9/85 no. 350]. Adapun cacat-cacat yang lain adalah :
Mujaalid
bin Sa’iid bin ‘Umar Al-Hamdaaniy Al-Kuufiy; seorang yang
tidak kuat dan berubah hapalannya di akhir umurnya (w. 144 H) [idem, hal. 920 no. 6520].
Asy-Sya’biy tidak pernah bertemu dengan ‘Umar, apalagi Abu Bakr radliyallaahu ‘anhumaa [Jaami’ut-Tahshiil fii Ahkaamil-Maraasil, hal. 204 no. 322].
4. Anas bin Maalik radliyallaahu ‘anhu.
Diriwayatkan oleh Muslim no. 2510 hadits semakna dengan lafadh :
حدثنا
محمد بن المثنى ومحمد بن بشار (واللفظ لابن المثنى). قالا: حدثنا محمد بن
جعفر. أخبرنا شعبة. سمعت قتادة يحدث عن أنس بن مالك؛ أن رسول الله صلى
الله عليه وسلم قال "إن الأنصار كرشي وعيبتي. وإن الناس سيكثرون ويقلون.
فاقبلوا من محسنهم واعفوا عن مسيئهم".
Telah
menceritakan kepada kami Muhammad bin Al-Mutsannaa dan Muhammad bin
Basyaar – dan lafadhnya milik Ibnul-Mutsannaa - , mereka berdua
berkata : Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ja’far :
Telah mengkhabarkan kepada kami Syu’bah : Aku mendengar Qataadah
menceritakan dari Anas bin Maalik : Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Sesungguhnya
orang-orang Anshar adalah penjaga rahasiaku dan menjadi kesayanganku
serta pembelaku. Sesungguhnya orang-orang selain Anshar akan menjadi
banyak dan kaum Anshar akan menjadi sedikit. Oleh karena itu, terimalah mereka yang baik dan maafkanlah mereka yang bersalah”.
Secara keseluruhan, hadits di atas adalah shahih dengan penguat-penguatnya.
[saya
tidak membawakan seluruh jalan hadits ini yang lumayan banyak. jika
diuraikan, tentu akan banyak memakan tenaga dan waktu. apalagi, saya
belum buka dan ngulang-ngulang materi kuliah ekologi vegetasi yang akan
praktek esok hari. jalan periwayatan yang ditulis di atas sudah sangat
cukup untuk menyatakan validasi hadits yang dibahas].
Sebagian Fawaaid Hadits :
Ibnul-Qayyim rahimahullah berkata :
قوله
صلى الله عليه وسلم: "أقيلوا ذوي الهيئات عثراتهم إلا الحدود" قال ابن
عقيل: "المراد بهم الذين دامت طاعاتهم وعدالتهم فزلت في بعض الأحايين
أقدامهم بورطة".
قلت: ليس ما ذكره بالبين فإن النبي صلى الله عليه وسلم يعبر عن أهل التقوى والطاعة والعبادة بأنهم ذوو الهيئات ولا عهد بهذه العبارة في كلام الله ورسوله للمطيعين المتقين والظاهر أنهم ذوو الأقدار بين الناس من الجاه والشرف والسؤدد فإن الله تعالى خصهم بنوع التكريم وتفضيل على بني جنسهم فمن كان منهم مستورا مشهورا بالخير حتى كبا به جواده ونبا عصب صبره وأديل عليه شيطانه فلا تسارع إلى تأنيبه وعقوبته بل تقال عثرته ما لم يكن حدا من حدود الله فإنه يتعين استيفاؤه من الشريف كما يتعين أخذه من الوضيع فإن النبي صلى الله عليه وسلم قال: "لو أن فاطمة بنت محمد سرقت لقطعت يدها وقال: إنما هلك بنوا إسرائيل أنهم كانوا إذا سرق فيهم الشريف تركوه وإذا سرق فيهم الضعيف أقاموا عليه الحد".
وهذا باب عظيم من أبواب محاسن هذه الشريعة الكاملة وسياستها للعالم وانتظامها لمصالح العباد في المعاش والمعاد.
قلت: ليس ما ذكره بالبين فإن النبي صلى الله عليه وسلم يعبر عن أهل التقوى والطاعة والعبادة بأنهم ذوو الهيئات ولا عهد بهذه العبارة في كلام الله ورسوله للمطيعين المتقين والظاهر أنهم ذوو الأقدار بين الناس من الجاه والشرف والسؤدد فإن الله تعالى خصهم بنوع التكريم وتفضيل على بني جنسهم فمن كان منهم مستورا مشهورا بالخير حتى كبا به جواده ونبا عصب صبره وأديل عليه شيطانه فلا تسارع إلى تأنيبه وعقوبته بل تقال عثرته ما لم يكن حدا من حدود الله فإنه يتعين استيفاؤه من الشريف كما يتعين أخذه من الوضيع فإن النبي صلى الله عليه وسلم قال: "لو أن فاطمة بنت محمد سرقت لقطعت يدها وقال: إنما هلك بنوا إسرائيل أنهم كانوا إذا سرق فيهم الشريف تركوه وإذا سرق فيهم الضعيف أقاموا عليه الحد".
وهذا باب عظيم من أبواب محاسن هذه الشريعة الكاملة وسياستها للعالم وانتظامها لمصالح العباد في المعاش والمعاد.
“Sabda beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam : ‘Maafkanlah orang-orang yang terpandang (dzawul-haiaat) atas kekeliruan mereka, kecuali dalam masalah hudud’. Telah berkata Ibnu ‘Uqail : Yang dimaksud dengan mereka (yaitu : dzawul-haiaat)
adalah orang-orang yang senantiasa berada dalam ketaatan dan keadilan
yang kemudian tergelincir dalam sebagian kekeliruan karena
kelengahannya.
Aku (Ibnul-Qayyim) katakan : Yang ia (Ibnu ‘Uqail) sebutkan ini tidak jelas, karena Nabishallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak mengibaratkan orang-orang bertaqwa dan taat sebagai dzawul-haiaat.
Ibarat/perkataan ini juga tidak ditemui dalam firman Allah
(Al-Qur’an) dan sabda Rasul-Nya yang ditujukan kepada orang-orang
yang taat dan taqwa. Yang nampak, mereka itu adalah orang-orang yang
terpandang di tengah masyarakat karena kedudukannya, kemuliaannya, dan
kekuasaannya. Hal itu dikarenakan Allahta’ala telah
mengkhususkan mereka dengan sebagian pemuliaan dan pengutamaan atas
orang-orang selain mereka. Barangsiapa yang termasuk golongan mereka
yang berusaha menutupi kesalahan dan masyhur dengan
kebaikannya, hingga kemudian syaithan mengubah mereka; maka tidak
dibenarkan bergegas-gegas mencerca dan menghukum mereka. Bahkan
hendaknya diangkat (dimaafkan) kesalahannya itu selama hal itu bukan
termasuk kekeliruan yang wajib dihukum dengan hukuman hadd. Karena hukuman hadd itu wajib ditegakkan untuk orang-orang mulia/bangsawan sebagaimana hal itu juga wajib ditegakkan kepada masyarakat biasa. Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda : ‘Seandainya Faathimah binti Muhammad mencuri, maka aku benar-benar yang akan memotong tangannya’. Beliau juga bersabda : ‘Bani
Israaiil itu binasa hanyalah karena jika ada orang-orang terhormat di
kalangan mereka mencuri, maka mereka meninggalkannya (tidak dihukum).
Namun bila orang-orang lemah di antara mereka yang mencuri, ditegakkan
padanya hukuman’.
Hadits
ini merupakan bab yang sangat besar dari bab-bab yang mengandung
kebaikan dari syari’at yang sempurna ini, dan juga pengaturannya
bagi alam serta pengaturannya bagi kebaikan manusia di dunia maupun
akhirat” [Badaai’ul-Fawaaid, 3/139].
Memaafkan yang dimaksud Ibnul-Qayyim rahimahullah di atas termasuk menutupi kekeliruannya. Ada faedah bagus dari Ibnu Rajab rahimahullah tentang hal ini :
قال الفضيل : ( المؤمن يستر وينصح والفاجر يهتك ويُعيِّر ) .
فهذا الذي ذكره الفضيل من علامات النصح والتعيير ، وهو أن النصح يقترن به الستر والتعيير يقترن به الإعلان .
وكان يقال : ( من أمر أخاه على رؤوس الملأ فقد عيَّره ) أو بهذا المعنى .
وكان
السلف يكرهون الأمر بالمعروف والنهي عن المنكر على هذا الوجه ويحبون أن
يكون سراً فيما بين الآمر والمأمور فإن هذا من علامات النصح فإن الناصح
ليس له غرض في إشاعة عيوب من ينصح له وإنما غرضه إزالة المفسدة التي وقع
فيها . وأما إشاعة وإظهار العيوب فهو مما حرمه الله ورسوله قال الله تعالى
: (إِنَّ الَّذِينَ يُحِبُّونَ أَنْ تَشِيعَ الْفَاحِشَةُ فِي الَّذِينَ
آمَنُوا لَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ وَاللَّهُ
يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لا تَعْلَمُونَ) (النور:19)
والأحاديث في فضل السر كثيرةٌ جدَّاً .
وقال بعض العلماء لمن يأمر بالمعروف : ( واجتهد أن تستر العصاة فإن ظهور عوراتهم وهن في الإسلام أحقُّ شيء بالستر : العورة ) .
“Al-Fudlail
(bin ‘Iyaadl) berkata : ‘Seorang mukmin itu senantiasa
menutupi (kesalahan) dan menasihati saudaranya. Sedangkan seorang
faajir senantiasa menjatuhkan dan mencela saudaranya’. Apa yang
dikatakan oleh Al-Fudlail ini termasuk tanda-tanda (perbedaan antara)
nasihat dan celaan. Termasuk tanda-tanda nasihat selalu diiringi dengan
menutupi kesalahan saudaranya. Adapun celaan senantiasa diiringi dengan
pembeberan kesalahan saudaranya. Dulu pernah dikatakan :
‘Barangsiapa memerintah saudaranya di depan khalayak ramai,
sungguh ia telah mencelanya (dengan perbuatannya itu)’. Atau
perkataan yang semakna.[1]
Adalah salaf membenci tindakan ‘amar ma’ruf nahi munkar’ dengan cara demikian. Mereka menyukai hal itu dilakukan secara sirr (sembunyi-sembunyi)
antara yang memerintah dan yang diperintah; karena ini merupakan
tanda-tanda dari nasihat. Sesungguhnya orang yang memberi nasihat
tidaklah bertujuan menyiarkan aib-aib orang yang ia nasihati. Tujuannya
(seharusnya) hanyalah menghilangkan mafsadah pada perkara tersebut.
Adapun penyebaran dan penampakan aib-aib, maka itu termasuk hal yang
diharamkan Allah dan Rasul-Nya. Allah ta’ala telah berfirman : ‘Sesungguhnya
orang-orang yang senang dengan tersiarnya khabar tentang perbuatan keji
itu di kalangan kaum mukminin, bagi mereka adzab yang pedih di dunia
dan di akhirat’ (QS. An-Nuur : 19).
Dan hadits-hadits yang berbicara tentang keutamaan memberi nasihat secara sirr sangat banyak.
Sebagian ulama berkata pada orang yang hendak ber-amar ma’ruf :
‘Bersungguh-sungguhlah dalam menutupi orang yang melakukan
kemaksiatan, karena menampaknya aurat (aib) mereka adalah kelemahan
dalam Islam. Sesuatu yang lebih berhak untuk ditutupi adalah : ‘aurat (aib)’.
فلهذا
كان إشاعة الفاحشة مقترنة بالتعيير وهما من خصال الفجار لأن الفاجر لا غرض
له في زوال المفاسد ولا في اجتناب المؤمن للنقائص والمعايب إنما غرضه في
مجرد إشاعة العيب في أخيه المؤمن وهتك عرضه فهو يعيد ذلك ويبديه ومقصوده
تنقص أخيه المؤمن في إظهار عيوبه ومساويه للناس ليُدخل عليه الضرر في
الدنيا .
وأما
الناصح فغرضُه بذلك إزالة عيب أخيه المؤمن واجتنابه له وبذلك وصف الله
تعالى رسوله صلى الله عليه وسلم فقال : (لَقَدْ جَاءَكُمْ رَسُولٌ مِنْ
أَنْفُسِكُمْ عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيصٌ عَلَيْكُمْ
بِالْمُؤْمِنِينَ رَؤُوفٌ رَحِيمٌ) (التوبة:128)
ووصف
بذلك أصحابه فقال : (مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ وَالَّذِينَ مَعَهُ
أَشِدَّاءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاءُ بَيْنَهُمْ تَرَاهُمْ رُكَّعاً
سُجَّداً يَبْتَغُونَ فَضْلاً مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَاناً سِيمَاهُمْ فِي
وُجُوهِهِمْ مِنْ أَثَرِ السُّجُودِ ذَلِكَ مَثَلُهُمْ فِي التَّوْرَاةِ
وَمَثَلُهُمْ فِي الْأِنْجِيلِ كَزَرْعٍ أَخْرَجَ شَطْأَهُ فَآزَرَهُ
فَاسْتَغْلَظَ فَاسْتَوَى عَلَى سُوقِهِ يُعْجِبُ الزُّرَّاعَ لِيَغِيظَ
بِهِمُ الْكُفَّارَ وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا
الصَّالِحَاتِ مِنْهُمْ مَغْفِرَةً وَأَجْراً عَظِيماً) (الفتح:29) .
ووصف المؤمنين بالصبر والتواصي بالمرحمة .
وأما
الحامل للفاجر على إشاعة السوء وهتكه فهو القوة والغلظة ومحبته إيذاء أخيه
المؤمن وإدخال الضرر عليه وهذه صفة الشيطان الذي يزيِّن لبني آدم الكفر
والفسوق والعصيان ليصيروا بذلك من أهل النيران كما قال الله : (إِنَّ
الشَّيْطَانَ لَكُمْ عَدُوٌّ فَاتَّخِذُوهُ عَدُوّاً إِنَّمَا يَدْعُو
حِزْبَهُ لِيَكُونُوا مِنْ أَصْحَابِ السَّعِيرِ) (فاطر:6) .
Oleh karenanya, penyebaran kekejian akan beriringan dengan celaan, dan keduanya merupakan tabiat orang-orang fajir.
Karena, orang fajir itu tidak bertujuan untuk menghilangkan mafsadah
dan tidak pula menjauhkan orang-orang mukmin dari macam-macam
kekurangan dan aib. Mereka itu hanyalah bertujuan untuk menyebarkan aib
saudaranya mukmin semata serta mengoyak kehormatannya. Dan
maksud/tujuannya merendahkan saudaranya yang mukmin dengan jalan
menampakkan segala aib dan kekurangannya itu di hadapan manusia adalah
agar dapat menimpakan kepadanya kesulitan/bahaya di dunia.[2]
Adapun
seorang pemberi nasihat sejati, maka tujuannya adalah menghilangkan aib
saudaranya mukmin dan menjauhkannya dari hal itu. Oleh karenanya, Allah ta’alamensifati Rasul-Nya shallallaahu ‘alaihi wa sallam dengan firman-Nya : ‘Sesungguhnya
telah datang kepada kalian seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat
terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan keimanan dan
keselamatan bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap
orang-orang mukmin’ (QS. At-Taubah : 128).
Allah ta’ala juga telah mensifati para shahabatnya radliyallaahu ‘anhum dengan hal itu melalui firman-Nya : ‘Muhammad
itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah
keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka,
kamu lihat mereka rukuk dan sujud mencari karunia Allah dan
keridaan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas
sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat
mereka dalam Injil, yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya
maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah dia
dan tegak lurus di atas pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati
penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang
kafir (dengan kekuatan orang-orang mukmin). Allah menjanjikan kepada
orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh di antara
mereka ampunan dan pahala yang besar’ (QS. Al-Fath : 29).
Allah ta’ala telah mensifati orang-orang mukmin dengan kesabaran, saling nasihat-menasihati, dan kasih sayang.[3]
Adapun faktor yang membawa orang faajir menyebarkan
kejelekan dan membukanya adalah karena semangat, adanya sifat kasar,
dan kesenangannya untuk menyakiti saudaranya mukmin, serta
menimpakannya bahaya. Ini adalah sifat syaithan yang
senantiasa menghiasi manusia dengan kekufuran, kefasikan, kemaksiatan
sehingga menjadikan mereka sebagai penduduk neraka. Allah ta’ala berfirman : ‘Sesungguhnya
setan itu adalah musuh bagimu, maka anggaplah ia musuh (mu), karena
sesungguhnya setan-setan itu hanya mengajak golongannya supaya mereka
menjadi penghuni neraka yang menyala-nyala’ (QS. Faathir : 6).
وقال
بعد أن قص علينا قصته مع نبي الله آدم عليه السلام ومكرَه به حتى توصل إلى
إخراجه من الجنة : ( يَنْزِعُ عَنْهُمَا لِبَاسَهُمَا لِيُرِيَهُمَا
سَوْآتِهِمَا)(لأعراف: من الآية27).
فشتان بين من قصده النصيحة وبين من قصده الفضيحة ولا تلتبس إحداهما بالأخرى إلا على من ليس من ذوي العقول الصحيحة .
وعقوبة
من أشاع السوء على أخيه المؤمن وتتبع عيوبه وكَشَفَ عورته أن يتبع الله
عورته ويفضحه ولو في جوف بيته كما رُوي ذلك عن النبي صلى الله عليه وسلم
من غير وجه وقد أخرجه الإمام أحمد وأبو داود والترمذي من وجوه متعددة .
وأخرج
الترمذي من حديث واثلة بن الأسقع عن النبي صلى الله عليه وسلم قال : " لا
تُظْهِر الشماتة بأخيك فيعافيه الله ويبتليك " . وقال : حسن غريب .
وخرَّج أيضاً من حديث معاذ مرفوعاً : " من عيَّر أخاه بذنب لم يمت حت يعمله " وإسناده منقطع .
وقال الحسن : ( كان يقال : من عيَّر أخاه بذنب تاب منه لم يمت حتى يبتليه الله به "
ويُروى من حديث ابن مسعود بإسناد فيه ضعف : " البلاء موكل بالمنطق فلو أن رجلاً عيَّر رجلاً برضاع كلبة لرضعها ".
وقد رُوي هذا المعنى عن جماعة من السلف .
ولما ركب ابن سيرين الدَّيْن وحبس به قال : ( إني أعرف الذنب الذي أصابني هذا عيَّرت رجلاً منذ أربعين سنة فقلت له : يا مفلس ) .
Allah ta’ala juga berfirman kepada kita sebuah kisah tentang syaithan/iblis dengan tipu muslihatnya dengan Nabi Aadam ‘alaihis-salaam, hingga berhasil mengeluarkannya dari surga : ‘Hai
anak Adam, janganlah sekali-kali kamu dapat ditipu oleh setan
sebagaimana ia telah mengeluarkan kedua ibu bapamu dari surga, ia
menanggalkan dari keduanya pakaiannya untuk memperlihatkan kepada
keduanya 'auratnya’ (QS. Al-A’raaf : 27).
Maka,
sangat jauhlah perbedaan antara orang yang bertujuan memberi nasihat
dengan orang yang bertujuan membuka kejelekan. Tidaklah akan tercampur
antara satu dengan yang lainnya, kecuali bagi orang yang tidak
mempunyai akal sehat.
Ganjaran
bagi orang yang menyebarkan kejelekan saudaranya yang mukmin,
mencari-cari kesalahannya, serta menyingkap aurat mereka; maka Allah
kelak akan mencari-cari kesalahan orang tersebut meskipun ia berada di
dalam rumahnya sendiri, sebagaimana diriwayatkan dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam lebih dari satu jalan. Al-Imam Ahmad, Abu Daawud, dan At-Tirmidziy telah meriwayatkannya dalam banyak jalan.
Dan telah diriwayatkan oleh At-Tirmidziy dari hadits Waatsilah bin Al-Asyqa’, dari Nabishallallaahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda : ‘Janganlah
kamu merasa senang atas bencana yang menimpa saudaramu, karena siapa
tahu Allah kemudian hari memberinya rahmat dan sebaliknya
mengujimu’. At-Tirmidziy berkata : ‘Hasan ghariib’.[4]
Diriwayatkan pula dari hadits Mu’aadz secara marfuu’ : ‘Barangsiapa
yang mencela saudaranya atas satu dosa yang diperbuatnya, maka ia tidak
akan mati sebelum melakukan perbuatan yang sama’. Sanadnya munqathi’ (terputus).[5]
Al-Hasan
(Al-Bashriy) berkata : ‘Pernah dikatakan : Barangsiapa mencela
saudaranya atas satu dosa yang ia telah bertaubat darinya, maka orang
tersebut tidak akan mati sebelum Allah menimpakan hal yang serupa
terhadapnya’.
Dan diriwayatkan dari hadits Ibnu Mas’uud dengan sanad yang padanya terdapat kelemahan : ‘Musibah
itu diwakilkan dengan lisan seseorang. Seandainya ada seseorang yang
mencela orang lain menyusu kepada seekor anjing, niscaya orang yang
mencela tersebut kelak akan menyusu darinya (anjing)’.
Diriwayatkan juga perkataan semakna dari sekelompok salaf.
Dan
ketika Ibnu Siiriin tertimpa hutang yang menyebabkan ia dipenjara, ia
berkata : ‘Sesungguhnya aku mengetahui dosa yang menyebabkan aku
tertimpa musibah ini. Aku pernah mencela seseorang empat puluh tahun
yang lalu, yang waktu itu aku berkata kepadanya : ‘Wahai orang
yang bangkrut !”
[selesai – Al-Farqu Bainan-Nashiihah wat-Ta’yiir oleh Ibnu Rajab Al-Hanbliy – maktabah islamspirit, Free Program].
Itu saja yang dapat saya tuliskan, semoga dapat diambil manfaatnya, terutama yang barusan selesai berbicara….
Wallaahu a’lam bish-shawwaab.
[abu al-jauzaa’ al-atsariy, selesai 11:53 waktu indonesia bagian ngaglik jogjakarta].
[1] Ini sedikit adab yang sering kita (termasuk saya) lupakan…..
[2] Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun.
Hal ini banyak terjadi di antara kita. Banyak di antara kita senang
dengan perbuatan mengorek-ngorek kesalahan orang lain. Jiwanya merasa
puas dengan hal itu. Jiwanya tidak merasa tenang hingga ia bisa
‘mengalahkan’ orang lain dengan kekeliruan yang berhasil ia
bongkar. Demi menyembunyikan apa yang tersembunyi dalam dadanya, maka
ia pun berdalih pada khalayak bahwa yang ia lakukan itu semata hanyalah
usaha amar ma’ruf nahi munkar.
[3] Allah ta’ala berfirman :
ثُمَّ كَانَ مِنَ الَّذِينَ آمَنُوا وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ وَتَوَاصَوْا بِالْمَرْحَمَةِ
“Dan
dia termasuk orang-orang yang beriman dan saling berpesan untuk
bersabar dan saling berpesan untuk berkasih sayang” [QS. Al-Balad : 17].
[4] Sunan At-Tirmidziy no. 2506. Al-Imaam Al-Albaaniy rahimahullah memasukkannya dalamDla’iif Sunan At-Tirmidziy hal. 245-246.
Diriwayatkan pula Ibnu Hibbaan dalam Al-Majruuhiin 2/21-214, Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah5/186, dan Al-Khathiib dalam At-Taariikh 9/96 [dari catatan kaki Dr. Basyar ‘Awwaadhafidhahullah terhadap Sunan At-Tirmidziy 4/277].
[5] Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy no. 2505. Al-Imaam Al-Albaaniy memasukkannya dalamDla’iif Sunan At-Tirmidziy hal. 245 (beliau menghukumi : maudlu’/palsu).
Untuk suplemen, silakan baca : http://www.islamqa.com/ar/ref/13731
from= http://abul-jauzaa.blogspot.fr/2010/12/al-imaam-abu-daawud-rahimahullah.html
from= http://abul-jauzaa.blogspot.fr/2010/12/al-imaam-abu-daawud-rahimahullah.html