Syubhat 4: Pembagian bid’ah menjadi lima
Sebagian ulama berpendapat bahwa bid’ah terbagi menjadi lima sebagai berikut:
- Bid’ah Wajibah: yaitu setiap bid’ah yang sesuai dengan kaidah-kaidah dan dalil-dalil diwajibkannya sesuatu dalam syariat. Contohnya pembukuan Al Qur’an dan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika dikhawatirkan keduanya akan tersia-siakan. Berhubung menyampaikan risalah Islam kepada generasi berikutnya adalah suatu kewajiban menurut ijma’, dan mengabaikan hal ini hukumnya haram menurut ijma’, karenanya hal-hal seperti ini mestinya tidak perlu diperselisihkan lagi bahwa hukumnya wajib.
- Bid’ah Muharramah: yaitu setiap bid’ah yang sesuai dengan kaidah-kaidah dan dalil-dalil diharamkannya sesuatu dalam syariat. Contohnya berbagai bentuk pajak dan upeti, demikian pula setiap bentuk kezhaliman yang bertentangan dengan norma-norma agama, seperti penyerahan jabatan secara turun temurun kepada orang yang bukan ahlinya (nepotisme).
- Bid’ah Mandubah: yaitu setiap bid’ah yang sesuai dengan kaidah-kaidah dan dalil-dalil dianjurkannya sesuatu dalam syari’at. Contohnya shalat tarawih berjama’ah.
- Bid’ah Makruhah: yaitu setiap bid’ah yang sesuai dengan kaidah-kaidah dan dalil-dalil dimakruhkannya sesuatu dalam syari’at. Contohnya mengkhususkan beberapa hari yang dimuliakan dengan jenis ibadah tertentu, seperti larangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk berpuasa hari Jum’at secara khusus, atau qiyamullail pada malamnya; demikian pula menambah bilangan tertentu dalam wirid dengan sengaja, seperti menjadikan tasbih, tahmid dan takbir selepas shalat menjadi masing-masing 100 kali, dan semisalnya.
- Bid’ah Mubahah: yaitu setiap bid’ah yang sesuai dengan kaidah-kaidah dan dalil-dalil dibolehkannya sesuatu dalam syari’at. Seperti menggunakan ayakan (penapis) gandum sebagai usaha memperbaiki taraf hidup, sebagaimana yang disebutkan dalam sebuah atsar bahwa hal pertama yang diada-adakan setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat adalah menggunakan ayakan gandum. Hal ini dibolehkan karena ia merupakan sarana untuk memperbaiki taraf hidup yang hukumnya boleh.[1])
Kaidah-kaidah penting dalam hal ini
Sebelum masuk ke pokok permasalahan, ada beberapa kaidah yang harus kita
camkan terlebih dahulu dalam menyikapi pendapat para ulama agar kita
tidak terjerumus ke dalam taklid buta, yaitu sebagai berikut:
- Berdasarkan ijma’ para ulama, tidak ada seorang pun setelah para sahabat yang pendapatnya menjadi hujjah dalam masalah agama[2]). Adapun para sahabat, maka pendapat mereka masih diperselisihkan apakah cukup kuat untuk dijadikan hujjah ataukah tidak. Sedangkan pendapat yang rajih (kuat) dalam masalah ini ialah bahwa pendapat sahabat adalah hujjah dengan syarat-syarat dan kondisi tertentu.[3])
- Setiap ulama bisa benar dan bisa salah dalam berpendapat, dan yang menjadi patokan dalam masalah ini adalah dalil syar’i. Mereka hanyalah berijtihad yang bila benar mendapat dua pahala, namun bila salah mendapat satu pahala sedangkan kesalahannya diampuni. Akan tetapi kesalahan mereka tetap tidak boleh diikuti setelah kita mengetahuinya.
- Berdasarkan ijma’ para ulama, siapapun yang telah jelas baginya ajaran/hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka tidak halal baginya untuk meninggalkan hadits tersebut karena mengikuti pendapat orang lain, siapapun orangnya[4]).
Berangkat dari kaidah-kaidah ini, marilah kita nilai sejauh mana kebenaran pembagian bid’ah menjadi lima tadi.
Pertama:
jelas sekali bahwa pembagian bid’ah menjadi lima tadi adalah pendapat
segelintir ulama yang baru muncul sekian abad setelah generasi sahabat,
karenanya ia tidak menjadi hujjah.
Kedua:
pendapat tersebut bertentangan dengan hadits-hadits yang mencela setiap
bentuk bid’ah. Di samping itu, pembagian bid’ah menjadi lima tersebut
saling bertolak belakang, yang menunjukkan akan batilnya pembagian
tersebut.
Imam Asy Syathiby mengatakan, “Bagaimana mungkin sesuatu yang sesuai
dengan dalil syar’i dinamakan bid’ah, sedangkan di antara hakikat bid’ah
itu sendiri ialah: sesuatu yang tidak sesuai dengan dalil syar’i maupun
kaidah-kaidahnya? Sebab jika di sana ada kaidah atau dalil yang
menunjukkan bahwa perbuatan tersebut adalah mubah, atau mandub (dianjurkan),
atau wajib; niscaya tidak akan pernah ada bid’ah dalam agama. Oleh
karena itu, pendapat yang di satu sisi mengatakan bahwa hal tersebut
merupakan bid’ah, lalu secara bersamaan mengatakan bahwa dalil-dalil
syar’i mengarah kepadanya; adalah pendapat yang menggabungkan antara dua
hal yang saling bertolak belakang”.[5])
Ketiga: Apakah dibenarkan bagi seorang muslim setelah mendengar sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa
semua bid’ah (dalam agama) adalah sesat, kemudian ia meninggalkannya
karena di sana ada sejumlah ulama yang menganggap adanya bid’ah mubahah, mandubah, atau wajibah??
Ada sebuah pelajaran berharga yang bisa kita petik dari kisah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika
mi’raj ke langit… di sana, beliau sempat melihat beberapa Nabi yang
terdahulu. Di antara mereka ada yang pengikutnya hanya sekitar tiga
sampai sembilan orang; ada pula yang hanya dua orang; ada yang satu;
bahkan ada Nabi yang tak punya pengikut sama sekali.
Benar, Nabi tanpa pengikut…!! [6].
Artinya; kebenaran bukan diukur dari banyak-sedikitnya pengikut.
Meskipun orang sejagat menolaknya, yang namanya kebenaran tetap
kebenaran di sisi Allah Ta’ala.
Dalam Al Qur’an, Allah Ta’ala memerintahkan kita untuk taat kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada tiga belas ayat [7]).
Seandainya tidak khawatir buku ini jadi terlalu tebal, niscaya kami
nukilkan satu persatu ayat tersebut. Namun paling tidak, kami akan
mencantumkan dua ayat dan mengisyaratkan sisanya dalam catatan kaki.
Allah U berfirman:
“Ta’atilah Allah dan Rasul-Nya (Muhammad), supaya kalian mendapat rahmat” (Aali ‘Imran: 132).
“…dan rahmat-Ku meliputi segala sesuatu. Maka akan Aku
tetapkan rahmat-Ku untuk orang-orang yang bertaqwa, yang menunaikan
zakat dan orang-orang yang beriman kepada ayat-ayat Kami”. (157) (Yaitu) orang-orang yang mengikut Rasul, Nabi yang ummi yang (namanya) mereka didapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka, yang
menyuruh mereka mengerjakan yang ma’ruf dan melarang mereka dari
mengerjakan yang mungkar. Menghalalkan bagi mereka segala yang baik,
mengharamkan bagi mereka segala yang buruk, dan membuang dari mereka
beban-beban serta belenggu-belenggu yang ada pada mereka. Maka
orang-orang yang beriman kepadanya, memuliakannya, menolongnya, dan
mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (al-Qur’an),
mereka itulah orang-orang yang beruntung” (Al A’raf: 156-157).
Dalam hadits shahih disebutkan:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَنْ يُنَجِّيَ أَحَدًا مِنْكُمْ
عَمَلُهُ قَالُوا وَلَا أَنْتَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ وَلَا أَنَا
إِلَّا أَنْ يَتَغَمَّدَنِي اللَّهُ بِرَحْمَةٍ سَدِّدُوا وَقَارِبُوا
وَاغْدُوا وَرُوحُوا وَشَيْءٌ مِنْ الدُّلْجَةِ وَالْقَصْدَ الْقَصْدَ
تَبْلُغُوا (رواه البخاري في صحيحه, حديث رقم: 6463)
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, katanya; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Amal seseorang tidak akan mampu menyelamatkan dirinya…” . “Sampai engkau pun tak bisa selamat wahai Rasulllah ?” tanya mereka. “Ya, aku pun demikian… kecuali bila Allah Ta’ala menaungiku dengan rahmat-Nya;
karenanya luruskanlah (amal kalian) dan dekatilah kebenaran semampunya.
Berusahalah di pagi dan petang, serta sejenak di malam hari, serta
bersikaplah yang sedang-sedang saja dalam ibadah, niscaya kalian akan
sampai” (H.R. Bukhari no 6463).
Dalam Fathul Baari, Al Hafizh Ibnu Hajar –rahimahullah–
menjelaskan bahwa perintah Nabi yang berbunyi “luruskanlah”
mengisyaratkan supaya kita selalu mengikuti sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam beramal. Demikian pula dengan sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam “dekatilah”
yang mengisyaratkan agar seseorang jangan berlebihan dalam ibadah,
sehingga cepat merasa bosan [8]).
Pembaca sekalian, marilah kita cermati ayat-ayat dan hadits di atas,
kemudian kita korelasikan dengan masalah yang sedang kita bahas…
Kalau kita perhatikan hadits di atas, dapat kita simpulkan bahwa amalan
seseorang tidak akan cukup untuk menyelamatkan dirinya, atau untuk
menghantarkannya ke Surga [9]); termasuk amalan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sekalipun.
Mengapa demikian? Karena betapa pun banyaknya amal seseorang, nilai
Surga jauh lebih mahal dari itu… dan tak akan ada orang yang mampu
membeli Surga dengan imbalan amalnya, kecuali bila disertai Rahmat
Allah. Lalu bagaimanakah cara mendapatkan Rahmat Allah? Kuncinya adalah
dengan ittiba’ (mengikuti) Rasulullah sesuai ayat kedua di atas
(Al-A’raaf: 156-157). Karenanya, demi keselamatan diri kita, jangan
sampai kita rela menyelisihi perintah dan larangan beliau hanya karena
terpukau dengan pendapat seseorang, sealim apa pun orangnya…
Yakinlah bahwa semua yang ma’ruf (baik) telah beliau ajarkan, dan semua
yang mungkar telah beliau larang. Setiap yang baik pasti beliau
halalkan, dan setiap yang keji pasti beliau haramkan. Bahkan lebih dari
itu, beliaulah yang membebaskan kita dari belenggu-belenggu jahiliyyah yang
menjerat kita selama ini… karenanya, jangan sampai kita khianati jasa
baik beliau tadi karena mengikuti pendapat sebagian ulama yang keliru.
Pembagian bid’ah menjadi lima tersebut belum tentu salah jika yang
dimaksud adalah bid’ah lughawi, tetapi sebaliknya jika yang dimaksud
adalah bid’ah syar’i maka ia jelas bertentangan dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Tentunya kita harus berbaik sangka kepada para ulama dengan mengatakan
bahwa bid’ah yang mereka maksudkan di sini ialah bid’ah lughawi.
Sehingga dengan begitu kita menyelamatkan para ulama dari tuduhan bahwa
mereka sengaja menyelisihi sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Akan tetapi bagi mereka yang bersikeras membenarkan pembagian bid’ah yang tidak tepat tersebut, maka jawabnya ialah: setiap ulama bisa keliru, sepintar apa pun dia. Sedangkan seorang Nabi tak mungkin keliru, apalagi penghulunya para Nabi dan Rasul; yaitu Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Kalau anda belum puas dengan jawaban ini, maka berikut ini adalah
jawaban Imam Asy Syaukani terhadap pembagian bid’ah menjadi lima tadi.
Dalam penjelasan beliau mengenai hadits Aisyah radhiyallahu ‘anha yang maknanya: “Barangsiapa mengada-adakan perkara baru dalam urusan kami yang bukan dari padanya, maka hal itu tertolak” (muttafaq alaih); beliau mengatakan:
وَهَذَا الْحَدِيثُ مِنْ قَوَاعِدِ الدِّينِ ؛ لِأَنَّهُ يَنْدَرِجُ
تَحْتَهُ مِنْ الْأَحْكَامِ مَا لَا يَأْتِي عَلَيْهِ الْحَصْرُ . وَمَا
أَصْرَحَهُ وَأَدَلَّهُ عَلَى إبْطَالِ مَا فَعَلَهُ الْفُقَهَاءُ مِنْ
تَقْسِيمِ الْبِدَعِ إلَى أَقْسَامٍ وَتَخْصِيصِ الرَّدِّ بِبَعْضِهَا
بِلَا مُخَصِّصٍ مِنْ عَقْلٍ وَلَا نَقْلٍ فَعَلَيْك إذَا سَمِعْت مَنْ
يَقُولُ هَذِهِ بِدْعَةٌ حَسَنَةٌ بِالْقِيَامِ فِي مَقَامِ الْمَنْعِ
مُسْنِدًا لَهُ بِهَذِهِ الْكُلِّيَّةِ وَمَا يُشَابِهُهَا مِنْ نَحْوِ
قَوْلِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: {كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ}
طَالِبًا لِدَلِيلِ تَخْصِيصِ تِلْكَ الْبِدْعَةِ الَّتِي وَقَعَ
النِّزَاعُ فِي شَأْنِهَا بَعْدَ الِاتِّفَاقِ عَلَى أَنَّهَا بِدْعَةٌ ،
فَإِنْ جَاءَك بِهِ قَبِلْته ، وَإِنْ كَاعَ كُنْت قَدْ أَلْقَمْته حَجَرًا
وَاسْتَرَحْت مِنْ الْمُجَادَلَةِ . (نيل الأوطار, كتاب الصلاة, باب:
الصلاة في ثوب الحرير والمغصوب).
“Hadits ini merupakan salah satu pondasi agama, karena tak terhingga
banyaknya hukum yang masuk ke dalamnya. Alangkah jelasnya dalil ini
sebagai pembatal bagi apa yang dilakukan sebagian fuqaha’ ketika
membagi bid’ah menjadi macam-macam. Atau ketika mereka mengkhususkan
jenis bid’ah tertentu yang tertolak, tanpa bersandar pada dalil baik
secara logika maupun riwayat. Karenanya, ketika mendengar ada orang
mengatakan: “Ini bid’ah hasanah”, wajib bagi anda untuk menolaknya;
yaitu dengan bersandar pada keumuman hadits ini dan hadits-hadits senada
seperti: “Kullu bid’atin dholalah”. Anda
harus menanyakan dalil mana yang mengkhususkan bid’ah-bid’ah lain yang
masih diperdebatkan, setelah disepakati bahwa hal itu merupakan bid’ah?
Kalau ia bisa mendatangkan dalilnya, kita akan terima. Namun jika tak
mampu, maka anda telah membungkamnya seribu bahasa, dan tak perlu
melanjutkan perdebatan” (Nailul Authar, 1/66 cet. Daarul Fikr).
-bersambung insya Allah-
Penulis: Ustadz Abu Hudzaifah Al Atsary, Lc
Mahasiswa Magister ‘Ulumul Hadits wad Dirosah Islamiyah Univ. Islam Madinah
Artikel www.muslim.or.id
[1]) Pembagian ini kami ringkas dari kitab Anwarul Buruq fi Anwa’il Furuq,
Al Farqu 252; tulisan Al Qarafy (w. 684 H). Beliau mengadopsi pemikiran
ini dari gurunya, yaitu ‘Izzuddien bin Abdissalam (w. 660 H); dan orang
inilah yang pertama kali mencetuskan pembagian bid’ah menjadi lima.
Pendapat ini kemudian diikuti pula oleh sebagian ulama mutaakhkhirin
seperti Jalaluddien As Suyuthi (w. 911 H). Novel Alaydrus juga berdalil
dengan pembagian ini dengan contoh-contoh yang sedikit berbeda (Mana
Dalilnya 1, hal 28-31).
[2]) Lihat Al Ihkam, oleh Al Aamidy 4/152 dan Al Ihkam, oleh Ibnu Hazm 2/233.
[3]) Lebih
jelasnya silakan merujuk ke pembahasan mengenai ‘Qoulus Shahaby’ dalam
kitab-kitab usul fiqh, seperti Mudzakkirah Usulil Fiqh karya Al ‘Allamah
Muhammad Al Amien Asy Syinqithy.
[4]) Sebagaimana yang dikatakan Imam Syafi’i:
أَجْمَعَ النَّاسُ عَلَى أَنَّ مَنْ اسْتَبَانَتْ لَهُ سُنَّةٌ عَنْ
رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمْ يَكُنْ لَهُ أَنْ
يَدَعَهَا لِقَوْلِ أَحَدٍ مِنْ النَّاسِ .( إعلام الموقعين عن رب العالمين
2/ 421)
Semua orang (ulama) sepakat bahwa siapa saja yang telah jelas baginya sebuah sunnah (hadits) dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidak boleh baginya meninggalkan sunnah tersebut karena pendapat siapa pun (I’lamul Muwaqqi’ien 2/421).
[5]) Lebih
lengkapnya silakan merujuk ke kitab Al I’tisham, karya Imam Asy
Syathiby. Di sana beliau membantah syubhat ini secara mendetail, sedang
di sini kami hanya menukil bantahan beliau secara umum.
[6]) Lihat Shahih Bukhari, hadits no: 3410, 5705, 5752, 6541; dan Shahih Muslim hadits no: 220.
[7])
Selain yang kami cantumkan, silakan saudara lihat dalam Surat Aali
‘Imran: 32; An Nisa’: 59, 69, 80; Al Ma’idah: 92; Al Anfal: 1; An Nur:
54, 56; Muhammad: 33; Al Hasyr: 7, dan At Taghabun: 12.
[8]) Lihat Fathul Baari, kitab; Ar Riqaaq, bab: Al Qashdu wal Mudawamatu fil Amal.
[9]) Sebagaimana yang tersebut dalam riwayat Aisyah radhiyallahu ‘anha, yang juga dalam Shahih Bukhari no 6464 & 6467.
Sumber: https://muslim.or.id/7283-ini-dalilnya-6-benarkah-pembagian-bidah-menjadi-lima.html