SAKARATUL MAUT, DETIK-DETIK YANG MENEGANGKAN LAGI MENYAKITKAN[1]
Oleh
Dr Muhammad bin Abdul Aziz bin Ahmad Al’Ali
Dr Muhammad bin Abdul Aziz bin Ahmad Al’Ali
Kematian
akan menghadang setiap manusia. Proses tercabutnya nyawa manusia akan
diawali dengan detik-detik menegangkan lagi menyakitkan. Peristiwa ini
dikenal sebagai sakaratul maut.
Ibnu
Abi Ad-Dunya rahimahullah meriwayatkan dari Syaddad bin Aus
Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: “Kematian adalah kengerian yang paling
dahsyat di dunia dan akhirat bagi orang yang beriman. Kematian lebih
menyakitkan dari goresan gergaji, sayatan gunting, panasnya air
mendidih di bejana. Seandainya ada mayat yang dibangkitkan dan
menceritakan kepada penduduk dunia tentang sakitnya kematian, niscaya
penghuni dunia tidak akan nyaman dengan hidupnya dan tidak nyenyak
dalam tidurnya”[2].
Di antara dalil yang menegaskan terjadinya proses sakaratul maut yang mengiringi perpisahan jasad dengan ruhnya, firman Allah:
وَجَآءَتْ سَكْرَةُ الْمَوْتِ بِالْحَقِّ ذَلِكَ مَاكُنتَ مِنْهُ تَحِيدُ
“Dan datanglah sakaratul maut dengan sebenar-benarnya. Itulah yang kamu selalu lari darinya”. [Qaaf: 19]
Maksud
sakaratul maut adalah kedahsyatan, tekanan, dan himpitan kekuatan
kematian yang mengalahkan manusia dan menguasai akal sehatnya. Makna
bil haq (perkara yang benar) adalah perkara akhirat, sehingga manusia
sadar, yakin dan mengetahuinya. Ada yang berpendapat al haq adalah
hakikat keimanan sehingga maknanya menjadi telah tiba sakaratul maut
dengan kematian[3].
Juga ayat:
كَلآ
إِذَا بَلَغَتِ التَّرَاقِيَ {26} وَقِيلَ مَنْ رَاقٍ {27} وَظَنَّ
أَنَّهُ الْفِرَاقُ {28} وَالْتَفَّتِ السَّاقُ بِالسَّاقِ {29} إِلَى
رَبِّكَ يَوْمَئِذٍ الْمَسَاقُ
“Sekali-kali
jangan. Apabila nafas (seseorang) telah (mendesak) sampai kerongkongan.
Dan dikatakan (kepadanya): “Siapakah yang dapat menyembuhkan”. Dan dia
yakin bahwa sesungguhnya itulah waktu perpisahan. Dan bertaut betis
(kiri) dengan betis (kanan). Dan kepada Rabbmulah pada hari itu kamu
dihalau”. [Al Qiyamah: 26-30]
Syaikh
Sa’di menjelaskan: “Allah mengingatkan para hamba-Nya dengan keaadan
orang yang akan tercabut nyawanya, bahwa ketika ruh sampai pada taraqi
yaitu tulang-tulang yang meliputi ujung leher (kerongkongan), maka pada
saat itulah penderitaan mulai berat, (ia) mencari segala sarana yang
dianggap menyebabkan kesembuhan atau kenyamanan. Karena itu Allah
berfiman: “Dan dikatakan (kepadanya): “Siapakah yang akan
menyembuhkan?” artinya siapa yang akan meruqyahnya dari kata ruqyah.
Pasalnya, mereka telah kehilangan segala terapi umum yang mereka
pikirkan, sehingga mereka bergantung sekali pada terapi ilahi. Namun
qadha dan qadar jika datang dan tiba, maka tidak dapat ditolak. Dan dia
yakin bahwa sesungguhnya itulah waktu perpisahan dengan dunia. Dan
bertaut betis (kiri) dengan betis (kanan), maksudnya kesengsaraan jadi
satu dan berkumpul. Urusan menjadi berbahaya, penderitaan semakin
sulit, nyawa diharapkan keluar dari badan yang telah ia huni dan masih
bersamanya. Maka dihalau menuju Allah Ta’ala untuk dibalasi amalannya,
dan mengakui perbuatannya. Peringatan yang Allah sebutkan ini akan
dapat mendorong hati-hati untuk bergegas menuju keselamatannya, dan
menahannya dari perkara yang menjadi kebinasaannya. Tetapi, orang yang
menantang, orang yang tidak mendapat manfaat dari ayat-ayat, senantiasa
berbuat sesat dan kekufuran dan penentangan”.[4]
Sedangkan beberapa hadits Nabi yang menguatkan fenomena sakaratul maut:
Imam Bukhari meriwayatkan dari ‘Aisyah Radhiyallahu ‘anhuma, ia bercerita (menjelang ajal menjemput Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam)
Imam Bukhari meriwayatkan dari ‘Aisyah Radhiyallahu ‘anhuma, ia bercerita (menjelang ajal menjemput Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam)
إِنَّ
رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ بَيْنَ يَدَيْهِ
رَكْوَةٌ أَوْ عُلْبَةٌ فِيهَا مَاءٌ فَجَعَلَ يُدْخِلُ يَدَيْهِ فِي
الْمَاءِ فَيَمْسَحُ بِهِمَا وَجْهَهُ وَيَقُولُ لَا إِلَهَ إِلَّا
اللَّهُ إِنَّ لِلْمَوْتِ سَكَرَاتٍ ثُمَّ نَصَبَ يَدَهُ فَجَعَلَ يَقُولُ
فِي أخرجه البخاري ك الرقاق باب سكرات الموت و في المغازي باب مرض النبي
ووفاته. الرَّفِيقِ الْأَعْلَى حَتَّى قُبِضَ وَمَالَتْ
“Bahwa
di hadapan Rasulullah ada satu bejana kecil dari kulit yang berisi air.
Beliau memasukkan tangan ke dalamnya dan membasuh muka dengannya seraya
berkata: “Laa Ilaaha Illa Allah. Sesungguhnya kematian memiliki
sakaratul maut”. Dan beliau menegakkan tangannya dan berkata: “Menuju
Rafiqil A’la”. Sampai akhirnya nyawa beliau tercabut dan tangannya
melemas”[5]
Dari Anas Radhiyallahu anhu, berkata:
عَنْ
أَنَسٍ قَالَ لَمَّا ثَقُلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
جَعَلَ يَتَغَشَّاهُ فَقَالَتْ فَاطِمَةُ عَلَيْهَا السَّلَام وَا أخرجه
البخاري في المغازي باب مرض النبي ووفاته.اليَوْمِ َرْبَ أَبَاهُ فَقَالَ
لَهَا لَيْسَ عَلَى أَبِيكِ كَرْبٌ بَعْدَ
“Tatkala
kondisi Nabi makin memburuk, Fathimah berkata: “Alangkah berat
penderitaanmu ayahku”. Beliau menjawab: “Tidak ada penderitaan atas
ayahmu setelah hari ini…[al hadits]” [6]
Dalam riwayat Tirmidzi dengan, ‘Aisyah menceritakan:
عَنْ
عَائِشَةَ قَالَتْ مَا أَغْبِطُ أَحَدًا بِهَوْنِ مَوْتٍ بَعْدَ الَّذِي
رَأَيْتُ مِنْ شِدَّةِ مَوْتِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ أخرجه الترمذي ك الجنائز باب ما جاء في التشديد عند الموت وصححه
الألباني
“Aku tidak iri kepada siapapun atas kemudahan kematian(nya), sesudah aku melihat kepedihan kematian pada Rasulullah”.[7]
Dan
penderitaan yang terjadi selama pencabutan nyawa akan dialami setiap
makhluk. Dalil penguatnya, keumuman firman Allah: “Setiap jiwa akan
merasakan mati”. (Ali ‘Imran: 185). Dan sabda Nabi: “Sesungguhnya
kematian ada kepedihannya”. Namun tingkat kepedihan setiap orang
berbeda-beda. [8]
KABAR GEMBIRA UNTUK ORANG-ORANG YANG BERIMAN.
Orang
yang beriman, ruhnya akan lepas dengan mudah dan ringan. Malaikat yang
mendatangi orang yang beriman untuk mengambil nyawanya dengan kesan
yang baik lagi menggembirakan. Dalilnya, hadits Al Bara` bin ‘Azib
Radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
berkata tentang proses kematian seorang mukmin:
إِنَّ
الْعَبْدَ الْمُؤْمِنَ إِذَا كَانَ فِي انْقِطَاعٍ مِنْ الدُّنْيَا
وَإِقْبَالٍ مِنْ الْآخِرَةِ نَزَلَ إِلَيْهِ مَلَائِكَةٌ مِنْ السَّمَاءِ
بِيضُ الْوُجُوهِ كَأَنَّ وُجُوهَهُمْ الشَّمْسُ مَعَهُمْ كَفَنٌ مِنْ
أَكْفَانِ الْجَنَّةِ وَحَنُوطٌ مِنْ حَنُوطِ الْجَنَّةِ حَتَّى
يَجْلِسُوا مِنْهُ مَدَّ الْبَصَرِ ثُمَّ يَجِيءُ مَلَكُ الْمَوْتِ
عَلَيْهِ السَّلَام حَتَّى يَجْلِسَ عِنْدَ رَأْسِهِ فَيَقُولُ أَيَّتُهَا
النَّفْسُ الطَّيِّبَةُ اخْرُجِي إِلَى مَغْفِرَةٍ مِنْ اللَّهِ
وَرِضْوَانٍ قَالَ فَتَخْرُجُ تَسِيلُ كَمَا تَسِيلُ الْقَطْرَةُ مِنْ فِي
السِّقَاءِ فَيَأْخُذُهَا فَإِذَا أَخَذَهَا لَمْ يَدَعُوهَا فِي يَدِهِ
طَرْفَةَ عَيْنٍ حَتَّى يَأْخُذُوهَا فَيَجْعَلُوهَا فِي ذَلِكَ الْكَفَنِ
وَفِي ذَلِكَ الْحَنُوطِ وَيَخْرُجُ مِنْهَا كَأَطْيَبِ نَفْحَةِ مِسْكٍ
وُجِدَتْ عَلَى وَجْهِ الْأَرْضِ
“Seorang
hamba mukmin, jika telah berpisah dengan dunia, menyongsong akhirat,
maka malaikat akan mendatanginya dari langit, dengan wajah yang putih.
Rona muka mereka layaknya sinar matahari. Mereka membawa kafan dari
syurga, serta hanuth (wewangian) dari syurga. Mereka duduk di
sampingnya sejauh mata memandang. Berikutnya, malaikat maut hadir dan
duduk di dekat kepalanya sembari berkata: “Wahai jiwa yang baik –dalam
riwayat- jiwa yang tenang keluarlah menuju ampunan Allah dan
keridhaannya”. Ruhnya keluar bagaikan aliran cucuran air dari mulut
kantong kulit. Setelah keluar ruhnya, maka setiap malaikat maut
mengambilnya. Jika telah diambil, para malaikat lainnya tidak
membiarkannya di tangannya (malaikat maut) sejenak saja, untuk mereka
ambil dan diletakkan di kafan dan hanuth tadi. Dari jenazah, semerbak
aroma misk terwangi yang ada di bumi..”[al hadits].[9]
Malaikat
memberi kabar gembira kepada insan mukmin dengan ampunan dengan ridla
Allah untuknya. Secara tegas dalam kitab-Nya, Allah menyatakan bahwa
para malaikat menghampiri orang-orang yang beriman, dengan mengatakan
janganlah takut dan sedih serta membawa berita gembira tentang syurga.
Allah berfirman:
إِنَّ
الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا تَتَنَزَّلُ
عَلَيْهِمُ الْمَلاَئِكَةُ أَلآتَخَافُوا وَلاَتَحْزَنُوا وَأَبْشِرُوا
بِالْجَنَّةِ الَّتِي كُنتُمْ تُوعَدُونَ {30} نَحْنُ أَوْلِيَاؤُكُمْ فِي
الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَفِي اْلأَخِرَةِ وَلَكُمْ فِيهَا مَاتَشْتَهِي
أَنفُسُكُمْ وَلَكُمْ فِيهَا مَاتَدَّعُونَ
“Sesungguhnya
orang-orang yang berkata: “Rabb kami adalah Allah kemudian mereka
beristiqomah, maka para malaikat turun kepada mereka (sembari
berkata):” Janganlah kamu bersedih dan bergembiralah kamu dengan
(memperoleh) syurga yang telah dijanjikan Allah kepadamu. Kamilah
pelindung-pelindungmu di dunia dan akhirat di dalamnya kamu memperoleh
apa yang kamu inginkan dan memperoleh (pula) di dalamnya apa yang kamu
minta. Sebagai hidangan (bagimu) dari Rabb Yang Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang”. [Fushshilat: 30]
Ibnu
Katsir mengatakan: “Sesungguhnya orang-orang yang ikhlas dalam
amalannya untuk Allah semata dan mengamalkan ketaatan-Nya berdasarkan
syariat Allah niscaya para malaikat akan menghampiri mereka tatkala
kematian menyongsong mereka dengan berkata “janganlah kalian takut atas
amalan yang kalian persembahkan untuk akhirat dan jangan bersedih atas
perkara dunia yang akan kalian tinggalkan, baik itu anak, istri, harta
atau agama sebab kami akan mewakili kalian dalam perkara itu. Mereka
(para malaikat) memberi kabar gembira berupa sirnanya kejelekan dan
turunnya kebaikan”.
Kemudian
Ibnu Katsir menukil perkataan Zaid bin Aslam: “Kabar gembira akan
terjadi pada saat kematian, di alam kubur, dan pada hari Kebangkitan”.
Dan mengomentarinya dengan: “Tafsiran ini menghimpun seluruh tafsiran,
sebuah tafsiran yang bagus sekali dan memang demikian kenyataannya”.
Firman-Nya:
“Kamilah pelindung-pelindungmu di dunia dan akhirat maksudnya para
malaikat berkata kepada orang-orang beriman ketika akan tercabut
nyawanya, kami adalah kawan-kawan kalian di dunia, dengan meluruskan,
memberi kemudahan dan menjaga kalian atas perintah Allah, demikian juga
kami bersama kalian di akhirat, dengan menenangkan keterasinganmu di
alam kubur, di tiupan sangkakala dan kami akan mengamankan kalian pada
hari Kebangkitan, Penghimpunan, kami akan membalasi kalian dengan
shirathal mustaqim dan mengantarkan kalian menuju kenikmatan
syurga”.[10]
Dalam ayat lain, Allah mengabarkan kondisi kematian orang mukmin dalam keadaan baik dengan firman-Nya:
الَّذِينَ تَتَوَفَّاهُمُ الْمَلاَئِكَةُ طَيِّبِينَ يَقُولُونَ سَلاَمٌ عَلَيْكُمُ ادْخُلُوا الْجَنَّةَ بِمَا كُنتُمْ تَعْمَلُونَ
“(Yaitu)
orang-orang yang diwafatkan dalam keadaan baik oleh para malaikat
dengan mengatakan (kepada mereka): “Salamun ‘alaikum (keselamatan
sejahtera bagimu)”, masuklah ke dalam syurga itu disebabkan apa yang
telah kamu kerjakan”. [An Nahl: 32]
.
Syaikh Asy Syinqithi mengatakan: “Dalam ayat ini, Allah menyebutkan bahwa orang yang bertakwa, yang melaksanakan perintah Rabb mereka dan menjauhi larangan-Nya akan diwafatkan para malaikat yaitu dengan mencabut nyawa-nyawa mereka dalam keadaan thayyibin (baik), yakni bersih dari syirik dan maksiat, (ini) menurut tafsiran yang paling shahih, (juga) memberi kabar gembira berupa syurga dan menyambangi mereka mereka dengan salam…[11]
.
Syaikh Asy Syinqithi mengatakan: “Dalam ayat ini, Allah menyebutkan bahwa orang yang bertakwa, yang melaksanakan perintah Rabb mereka dan menjauhi larangan-Nya akan diwafatkan para malaikat yaitu dengan mencabut nyawa-nyawa mereka dalam keadaan thayyibin (baik), yakni bersih dari syirik dan maksiat, (ini) menurut tafsiran yang paling shahih, (juga) memberi kabar gembira berupa syurga dan menyambangi mereka mereka dengan salam…[11]
MENGAPA RASULULLAH SHALLALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM MENDERITA SAAT SAKARATUL MAUT?
Kondisi
umum proses pencabutan nyawa seorang mukmin mudah lagi ringan. Namun
kadang-kadang derita sakarul maut juga mendera sebagian orang sholeh.
Tujuannya untuk menghapus dosa-dosa dan juga mengangkat kedudukannya.
Sebagaimana yang dialami Rasulullah. Beliau Shallallallahu ‘alaihi wa
sallam merasakan pedihnya sakaratul maut seperti diungkapkan Bukhari
dalam hadits ‘Aisyah di atas.
Ibnu
Hajar mengatakan: “Dalam hadits tersebut, kesengsaran (dalam) sakaratul
maut bukan petunjuk atas kehinaan martabat (seseorang). Dalam konteks
orang yang beriman bisa untuk menambah kebaikannya atau menghapus
kesalahan-kesalahannya”[12]
Menurut Al Qurthubi dahsyatnya kematian dan sakaratul maut yang menimpa para nabi, maka mengandung manfaat :
Pertama
: Supaya orang-orang mengetahui kadar sakitnya kematian dan ia
(sakaratul maut) tidak kasat mata. Kadang ada seseorang melihat orang
lain yang akan meninggal. Tidak ada gerakan atau keguncangan. Terlihat
ruh keluar dengan mudah. Sehingga ia berfikir, perkara ini (sakaratul
maut) ringan. Ia tidak mengetahui apa yang terjadi pada mayat
(sebenarnya). Tatkala para nabi, mengabarkan tentang dahsyatnya
penderitaan dalam kematian, kendati mereka mulia di sisi Allah, dan
kemudahannya untuk sebagian mereka, maka orang akan yakin dengan
kepedihan kematian yang akan ia rasakan dan dihadapi mayit secara
mutlak, berdasarkan kabar dari para nabi yang jujur kecuali orang yang
mati syahid.
Kedua
: Mungkin akan terbetik di benak sebagian orang, mereka adalah para
kekasih Allah dan para nabi dan rasul-Nya, mengapa mengalami
kesengsaraan yang berat ini?. Padahal Allah mampu meringankannya bagi
mereka? Jawabnya, bahwa orang yang paling berat ujiannya di dunia
adalah para nabi kemudian orang yang menyerupai mereka dan orang yang
semakin mirip dengan mereka seperti dikatakan Nabi kita. Hadits ini
dikeluarkan Bukhari dan lainnya. Allah ingin menguji mereka untuk
melengkapi keutamaan dan peningkatan derajat mereka di sisi-Nya. Ini
bukan sebuah aib bagi mereka juga bukan bentuk siksaan. Allah
menginginkan menutup hidup mereka dengan penderitaan ini meski mampu
meringankan dan mengurangi (kadar penderitaan) mereka dengan tujuan
mengangkat kedudukan mereka dan memperbesar pahala-pahala mereka
sebelum meninggal. Tapi bukan berarti Allah mempersulit proses kematian
mereka melebihi kepedihan orang-orang yang bermaksiat. Sebab
(kepedihan) ini adalah hukuman bagi mereka dan sanksi untuk kejahatan
mereka. Maka tidak bisa disamakan”.[13]
KABAR BURUK DARI PARA MALAIKAT KEPADA ORANG-ORANG KAFIR.
Sedangkan
orang kafir, maka ruhnya akan keluar dengan susah payah, ia tersiksa
dengannya. Nabi menceritakan kondisi sakaratul maut orang kafir atau
orang yang jahat dengan sabdanya:
“Sesungguhnya
hamba yang kafir -dalam riwayat lain- yang jahat jika akan telah
berpisah dengan dunia, menyongsong akhirat, maka malaikat-malaikat yang
kasar akan dari langit dengan wajah yang buruk dengan membawa dari
neraka. Mereka duduk sepanjang mata memandang. Kemudian malaikat maut
hadir dan duduk di atas kepalanya dan berkata: “Wahai jiwa yang keji
keluarlah engkau menuju kemurkaan Allah dan kemarahan-Nya”. Maka ia
mencabut (ruhnya) layaknya mencabut saffud (penggerek yang) banyak mata
besinya dari bulu wol yang basah. [14]
Secara
ekspilisit, Al Quran telah menjelaskan bahwa para malaikat akan memberi
kabar buruk kepada orang kafir dengan siksa. Allah berfirman: ”
وَلَوْ
تَرَىٰ إِذِ الظَّالِمُونَ فِي غَمَرَاتِ الْمَوْتِ وَالْمَلَائِكَةُ
بَاسِطُو أَيْدِيهِمْ أَخْرِجُوا أَنْفُسَكُمُ ۖ الْيَوْمَ تُجْزَوْنَ
عَذَابَ الْهُونِ بِمَا كُنْتُمْ تَقُولُونَ عَلَى اللَّهِ غَيْرَ
الْحَقِّ وَكُنْتُمْ عَنْ آيَاتِهِ تَسْتَكْبِرُونَ
“Alangkah
dahsyatnya sekiranya kamu melihat di waktu orang-orang yang zhalim
(berada) dalam tekanan-tekanan sakaratul maut, sedang para malaikat
memukul dengan tangannya, (Sambil berkata): “Keluarkan nyawamu”. Di
hari ini kamu dibalas dengan siksaan yang sangat menghinakan, karena
kamu selalu mengatakan terhadap Allah (perkataan) yang tidak benar dan
(karena) kamu selalu menyombongkan diri terhadap ayat-ayatnya”. [Al
An’am: 93]
Maksudnya,
para malaikat membentangkan tangan-tangannya untuk memukuli dan
menyiksa sampai nyawa mereka keluar dari badan. Karena itu, para
malaikat mengatakan: “Keluarkan nyawamu”. Pasalnya, orang kafir yang
sudah datang ajalnya, malaikat akan memberi kabar buruk kepadanya yang
berbentuk azab, siksa, belenggu, dan rantai, neraka jahim, air mendidih
dan kemurkaan Ar Rahman (Allah). Maka nyawanya bercerai-berai dalam
jasadnya, tidak mau taat dan enggan untuk keluar.
Para
malaikat memukulimya supaya nyawanya keluar dari tubuhnya. Seketika
itu, malaikat mengatakan: “Di hari ini kamu dibalas dengan siksaan yang
sangat menghinakan, karena kamu selalu mengatakan terhadap Allah
(perkataan) yang tidak benar dan (karena) kamu selalu menyombongkan
diri terhadap ayat-ayatnya”.. artinya pada hari ini, kalian akan
dihinakan dengan penghinaan yang tidak terukur karena mendustakan Allah
dan (lantaran) kecongkakan kalian dalam mengikuti ayat-ayat-Nya dan
tunduk kepaada para rasul-Nya.
Saat
detik-detik kematian datang, orang kafir mintai dikembalikan agar bisa
masuk Islam. Sedangkan orang yang jahat mohon dikembalikan ke dunia
untuk bertaubat, dan beramal sholeh. Namun sudah tentu, permintaan
mereka tidak akan terkabulkan. Allah berfirman:
حَتَّى
إِذَا جَآءَ أَحَدَهُمُ الْمَوْتَ قَالَ رَبِّ ارْجِعُونِ {99} لَعَلِّي
أَعْمَلُ صَالِحًا فِيمَا تَرَكْتُ كَلآ إِنَّهَا كَلِمَةٌ هُوَ
قَآئِلُهَا وَمِن وَرَآئِهِم بَرْزَخٌ إِلَى يَوْمِ يُبْعَثُونَ
“(Demikianlah
keadaan orang-orang kafir), hingga apabila datang kematian kepada
seseorang dari mereka, dia berkata: “Ya Rabbi kembalikan aku ke dunia.
Agar aku berbuat amal sholeh terhadap yang telah aku tinggalkan.
Sekali-kali tidak. Sesungguhnya itu adalah perkataan yang diucapkannya
saja. Dan di hadapan mereka ada dinding sampai hari mereka
dibangkitkan”. [Al Mukminun: 99-100]
Setiap
orang yang teledor di dunia ini, baik dengan kekufuran maupun perbuatan
maksiat lainnya akan dilanda gulungan penyesalan, dan akan meminta
dikembalikan ke dunia meski sejenak saja, untuk menjadi orang yang
insan muslim yang sholeh. Namun kesempatan untuk itu sudah hilang,
tidak mungkin disusul lagi. Jadi, persiapan harus dilakukan sejak dini
dengan tetap memohon agar kita semua diwafatkan dalam keadaan memegang
agama Allah. Wallahu a’lamu bishshawab. Washallallahu ‘ala Muhamaad wa
‘ala alihi ajmain.
[Disalin
dari majalah As-Sunnah Edisi 12/Tahun VIII/1426H/2005. Diterbitkan
Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton
Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
_______
Footnote
[1]. Diadaptasi oleh M. Ashim dari kitab Ahwalu Al Muhtazhir (Dirasah Naqdiyyah) karya Dr. Muhammad bin ‘Abdul ‘Aziz bin Ahmad Al ‘Ali, dosen fakultas Ushuluddin di Riyadh. Majalah Jam’iah Islamiyah edisi 124 tahun XXXVI -1424 H.
[2]. Al Maut hlm. 69
[3]. Lihat Jami’u Al Bayan Fii Tafsiri Al Quran (26/100-101) dan Fathul Qadir (5/75).
[4]. Taisir Al Karimi Ar Rahman Fi Tafsiri Kalami Al Mannan hlm. 833.
[5]. HR. Bukhari kitab Riqaq bab sakaratul maut (6510) dan kitab Maghazi bab sakit dan wafatnya Nabi (4446).
[6]. HR. Bukhari kitab Maghazi bab sakit dan wafatnya Nabi (4446).
[7]. HR. Tirmidzi kitab Janaiz bab penderitaan dalam kematian (979). Lihat Shahih Sunan Tirmidzi (1/502 no: 979).
[8]. At Tadzkirah Fi Ahwali Al Mauta Wa umuri Al Akhirah (1/50-51).
[9]. HR. Ahmad (4/2876, 295, 296) dan Abu Dawud kitab Sunnah bab pertanyaan di alam kubur dan siksanya (4753).
[10]. Tafsiru Al Quranil ‘Azhim (4/100-101).
[11]. Adhwaul Bayan (3/266).
[12]. Fathul Bari Syarhu Shahihil Bukhari (11/363).
[13]. At Tadzkirah Fi Ahwali Al Mauta Wa umuri Al Akhirah (1/48-50) dengan diringkas
[14]. HR. HR. Ahmad (4/2876, 295, 296) dan Abu Dawud kitab Sunnah bab pertanyaan di alam kubur dan siksanya (4753).
Footnote
[1]. Diadaptasi oleh M. Ashim dari kitab Ahwalu Al Muhtazhir (Dirasah Naqdiyyah) karya Dr. Muhammad bin ‘Abdul ‘Aziz bin Ahmad Al ‘Ali, dosen fakultas Ushuluddin di Riyadh. Majalah Jam’iah Islamiyah edisi 124 tahun XXXVI -1424 H.
[2]. Al Maut hlm. 69
[3]. Lihat Jami’u Al Bayan Fii Tafsiri Al Quran (26/100-101) dan Fathul Qadir (5/75).
[4]. Taisir Al Karimi Ar Rahman Fi Tafsiri Kalami Al Mannan hlm. 833.
[5]. HR. Bukhari kitab Riqaq bab sakaratul maut (6510) dan kitab Maghazi bab sakit dan wafatnya Nabi (4446).
[6]. HR. Bukhari kitab Maghazi bab sakit dan wafatnya Nabi (4446).
[7]. HR. Tirmidzi kitab Janaiz bab penderitaan dalam kematian (979). Lihat Shahih Sunan Tirmidzi (1/502 no: 979).
[8]. At Tadzkirah Fi Ahwali Al Mauta Wa umuri Al Akhirah (1/50-51).
[9]. HR. Ahmad (4/2876, 295, 296) dan Abu Dawud kitab Sunnah bab pertanyaan di alam kubur dan siksanya (4753).
[10]. Tafsiru Al Quranil ‘Azhim (4/100-101).
[11]. Adhwaul Bayan (3/266).
[12]. Fathul Bari Syarhu Shahihil Bukhari (11/363).
[13]. At Tadzkirah Fi Ahwali Al Mauta Wa umuri Al Akhirah (1/48-50) dengan diringkas
[14]. HR. HR. Ahmad (4/2876, 295, 296) dan Abu Dawud kitab Sunnah bab pertanyaan di alam kubur dan siksanya (4753).
Sumber: https://almanhaj.or.id/2570-sakaratul-maut-detik-detik-yang-menegangkan-dan-menyakitkan.html