Syaikh Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin rahimahullah ditanya, “Sebagian orang ada yang
membawa anak mereka yang belum mencapai umur tamyiz[1] ke masjid ketika hendak
shalat. Anak-anak tersebut biasa tidak berperilaku baik ketika shalat, mereka
berebutan shaf, mereka biasa bercanda satu dan lainnya sehingga menggelisahkan
jamaah yang lain. Apa nasehat engkau terhadap orang yang bertanggung pada anak-anak
tersebut?”
Jawaban beliau rahimahullah,
Aku berpendapat bahwa membawa anak yang sering
mengganggu jama’ah lainnya tidaklah diperbolehkan. Karena perbuatan semacam ini mengganggu jamaah
lainnya yang sedang menunaikan ibadah yang wajib. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mendengar sebagian sahabat shalat dan
mengeraskan bacaannya, lantas beliau pun bersabda,
لا تجهرن
بعضكم على بعض في القراءة
“Janganlah di antara kalian mengeraskan suara satu sama
lain dalam bacaan”[2] Dalam riwayat lain
disebutkan, “Janganlah kalian saling
menyakiti satu sama lain.” Intinya, segala perbuatan yang menyakiti orang yang
sedang shalat tidaklah dibenarkan.
Nasehatku bagi orang tua yang bertanggung
jawab terhadap anak-anak tersebut, janganlah membawa mereka ke masjid.
Bimbinglah mereka sebagaimana yang dianjurkan oleh Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam,
مروا أبناءكم
بالصلاة لسبع واضربوهم عليها لعشر
“Perintahkanlah anak kalian untuk shalat di saat mereka
berusia 7 tahun dan pukullah mereka jika mereka enggan ketika mereka berusia 10
tahun.”[3] [4]
Namun aku juga menasehati para jama’ah masjid untuk memberikan keluasan pada anak-anak
yang telah diperintahkan untuk ke masjid agar tidak membuat mereka merasa
sempit. Biarkanlah mereka berada di shaf yang sudah mereka tempati lebih
dahulu. Karena seseorang yang lebih dahulu mendapatkannya, maka dialah yang
lebih berhak, terserah ia hanyalah bocah (anak-anak) atau orang yang telah
dewasa.
Jika kita membiarkan mereka tetap di shaf yang mereka dapati lebih dahulu,
keuntungannya adalah:
(1) kita telah membiarkan mereka
mendapatkan haknya. Karena sekali lagi, siapa saja yang telah lebih dahulu
mendapatkan sesuatu, maka dialah yang lebih berhak,
(2) tidak membuat mereka jauh dari masjid
(artinya: semangat ke masjid, karena diberi keluasan berada di shaf terdepan,
pen),
(3) itu akan membuat anak kecil tidak
memiliki rasa dendam atau tidak suka terhadap orang yang berani merampas
tempatnya padahal ia telah lebih dahulu mendapatkannya,
(4) jika kita merampas tempat mereka di
depan, maka anak-anak akan berkumpul dengan teman-teman lainnya sehingga mereka
malah bermain-main dan membuat gelisah jama’ah yang lain, dan ini berbeda jika anak-anak tersebut
bersama orang yang telah dewasa.
Adapun penjelasan sebagian ulama yang berpendapat
bahwa sebaiknya anak-anak menempati shaf akhir karena berdalil dengan sabda
Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam,
لِيَلِنِى
مِنْكُمْ أُولُو الأَحْلاَمِ وَالنُّهَى
“Hendaklah yang berturut-turut di belakangku di antara
kalian adalah orang dewasa dan orang yang cerdas.”[5] Pendapat ini adalah
pendapat yang lemah karena bertentangan dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang lain,
من سبق إلى
ما لم يسبقه إليه أحد فهو أحق به
“Barangsiapa yang mendahului mendapatkan sesuatu dari
yang lain, maka dia lebih berhak mendapatkannya.”[6] Sedangkan sabda
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Hendaklah yang berturut-turut
di belakangku di antara kalian adalah orang dewasa dan orang yang cerdas”, yang dimaksud adalah dalam hal ketidak-sempurnaan.
Karena makna hadits yaitu mendorong orang dewasa dan yang cerdas untuk berada
lebih depan agar berada di belakang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Karena mereka tentu saja lebih mengetahui hal fikih dibanding anak-anak dan
tentu saja mereka lebih bisa memperhatikan kekeliruan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam,
atau bisa mendengar beliau. Yang bisa melakukan seperti itu adalah orang dewasa
dan yang cerdas. Beda halnya jika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidaklah boleh berada di
belakangku selain orang dewasa dan yang cerdas.” Jika disebut demikian, maknanya adalah anak kecil
tidaklah boleh di shaf depan. Namun hadits dari beliau berbeda dengan hal itu.
Beliau cuma menganjurkan orang dewasa dan yang cerdas tadi untuk maju berada di
belakang beliau ketika shalat (artinya, bukan jadi suatu keharusan).
@ Ummul Hamam, Riyadh KSA di saat malam musim dingin
28 Dzulhijjah 1432 H
[1] Para fuqoha mengatakan bahwa usia
tamyiz adalah usia anak di mana ia sudah bisa mengetahui manakah yang mudhorot
dan manakah yang mengandung manfaat. Seperti ia mengambil sesuatu dan dikenali,
ia bisa membedakan mana yang baik dan yang buruk. (Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah,
14: 32)
عَنْ أَبِى
سَعِيدٍ قَالَ : اعْتَكَفَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فِى الْمَسْجِدِ
فَسَمِعَهُمْ يَجْهَرُونَ بِالْقِرَاءَةِ فَكَشَفَ السِّتْرَ وَقَالَ : « أَلاَ
إِنَّ كُلَّكُمْ مُنَاجٍ رَبَّهُ فَلاَ يُؤْذِيَنَّ بَعْضُكُمْ بَعْضًا وَلاَ
يَرْفَعْ بَعْضُكُمْ عَلَى بَعْضٍ فِى الْقِرَاءَةِ ». أَوْ قَالَ : « فِى
الصَّلاَةِ ».
Dari Abu Sa’id (Al Khudri), ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam pernah beri’tikaf di masjid, lalu beliau mendengar sebagian orang
mengeraskan suara ketika membaca Al Qur’an. Lalu beliau membuka hijab (tempat
beliau i’tikaf). Lantas beliau bersabda, “Janganlah kalian menyakiti dan
janganlah kalian saling mengeraskan bacaan satu sama lain ketika membaca Al
Qur’an.” Ada yang mengatakan, “Dalam hal bacaan ketika shalat.” (HR. Abu Daud no. 1332
dan Ahmad 3: 94, shahih kata Syaikh Al Albani)
مُرُوا
أَبْنَاءَكُمْ بِالصَّلاَةِ لِسَبْعِ سِنِينَ وَاضْرِبُوهُمْ عَلَيْهَا لِعَشْرِ
سِنِينَ
“Perintahkanlah anak kalian untuk shalat di saat mereka
berusia 7 tahun dan pukullah mereka jika mereka enggan ketika mereka berusia 10
tahun.” (HR. Ahmad, 2: 187,
dengan sanad shahih kata Syaikh Syu’aib Al Arnauth)
[4] Artinya jika anak sudah mengerti dan
bisa tenang ketika shalat, barulah mereka diajak ke masjid. Usia yang dimaksud
adalah mulai dari 7 tahun.
مَنْ سَبَقَ
إِلَى مَا لَمْ يَسْبِقْهُ إِلَيْهِ مُسْلِمٌ فَهُوَ لَهُ
“Barangsiapa yang mendahului mendapatkan sesuatu dari
yang lain, maka dia lebih berhak mendapatkannya.” (HR. Al Baihaqi 6: 142)