Di masjid kami ada dua tempat terpisah dari
masjid. Kami telah terbiasa shalat di tempat ini. Semenjak pembangunan masjid
selesai, kita shalat di dalamnya. Apakah kita diperbolehkan beri’tikaf di tempat ini?
Published
Date: 2011-08-22
Alhamdulillah
I’tikaf adalah berdiam diri di masjid untuk ketaatan kepada Allah, dan
ini khusus di dalam masjid tidak sah selain masjid.
Ibnu
Qudamah rahimahullah berkata, ‘I’tikaf tidak sah di
selain masjid. Kalau orang yang beri’tikaf laki-laki. Kami
tidak tahu diantara para ulama’ ada perbedaan dalam hal ini. Asal hal itu
adalah firman Allah Ta’ala, ‘Dan janganlah engkau
pergauli (para wanita) sementara kamu semua dalam kondisi beri’tikaf di dalam masjid.’ Maka Allah khususkan hal itu. kalau i’tikaf sah di selain masjid, tidak dikhususkan pengharaman mempergauli
di dalamnya. Karena berhubungan badan, diharamkan dalam i’tikaf secara mutlak. Dalam hadits Aisyah radhiallahu’anha berkata:
(إن كان
رسول الله صلى الله عليه وسلم ليدخل علي رأسه , وهو في المسجد , فأرجله , وكان لا
يدخل البيت إلا لحاجة إذا كان معتكفا)
‘Jikalau Rasulullah sallallahu’alaihi wa sallam memasukkan kepalanya sementara beliau di masjid dan
saya menyisir (rambutnya). Biasanya beliau tidak masuk rumah kecuali kalau ada
keperluan dikala beliau dalam kondisi beri’tikaf.
Diriwayatkan
oleh Ad-Darimi dengan sanadnya dari Zuhri dari Urwah dan Said bin Musayyab dari
Aisyah dalam hadits :
(وأن السنة
للمعتكف أن لا يخرج إلا لحاجة الإنسان , ولا اعتكاف إلا في مسجد جماعة)
‘Sesungguhnya sunnah bagi orang beri’tikaf, tidak keluar kecuali untuk keperluan orang. Dan tidak ada i’tikaf kecuali di masjid (yang ada shalat) jama’ah.’ Selesai dari kitab ‘Al-Mugni, 3/65.
Tempat
yang terpisah ini, nampaknnya bukan bagian dari masjid yang digunakan untuk
shalat. Maka i’tikaf di dalamnya tidak sah.
Batasan
penentuan kamar, ruangan yang masuk masjid dengan yang tidak masuk masjid
adalah
1. Kalau kamar yang menyatu dengan masjid
disediakan untuk diabuat masjid atau berniat untuk dijadikan bagian dari masjid
untuk shalat di dalamnya. Maka ia mempunyai hukum masjid. Maka diperbolehkan i’tikaf di dalamnya. Orang haid dan nifas dilarang (menetap) di dalamnya.
Akan tetapi kalau diniatkan bagian untuk belajar, tempat pertemuan atau tempat
tinggal imam dan muazin. Bukan dibuat tempat shalat, maka ketika itu, tidak
mengambil hukum masjid.
2. Kalau tidak diketahui niatan orang yang
membangun masjid. Asalnya adalah sesuatu yang masuk dalam pagar masjid, dan ia
ada pintu ke masjid. Maka ia mempunyai hukum masjid.
3. Halaman dan pelataran yang dikelilingi pagar
masjid, ia mempunyai hukum masjid. An-Nawawi rahimahullah berkata, ‘Tembok masjid di dalam dan luarnya, mempunyai hukum masjid dalam
pemeliharaan dan menghormati kesuciannya. Begitu juga atapnya, sumur di
dalamnya, begitu juga pelatarannya. Syafi’i dan teman-teman
rahimahumullah telah mengaskan sahnya i’tikaf di pelataran
dan atapnya. Dan sahnya shalat makmum di dalamnya yang mengikuti orang di dalam
masjid.’ Selesai dari kitab ‘Al-Majmu’, 2/207.
Dalam
kitab ‘Matolib Ulin Nuha, 2/234 dikatakan, ‘Diantara (batasan) masjid adalah belakangnya yakni atapnya. Diantaranya
juga pelataran yang dikelilingi (tembok). Al-Qodi berkata, ‘Kalau ia ada pagar dan pintu, maka ia seperti masjid. Karena ia bersama
masjid. Dan mengikutinya. Kalau tidak dikelilingi (pagar) maka, tidak ada
ketetapan baginya hukum masjid. Diantaranya menara (masjid) yang mana pintunya
(menyatu) dengan masjid. Kalau menara dan pintunya diluar masjid, meskipun
dekat. Dan orang yang beri’tikaf keluar untuk azan, maka i’tikafnya batal.’ Selesai dengan ringkasan.
Syekh
Ibnu Utsaimin rahimahullah ditanya, ‘Kamar yang ada di
dalam masjid apakah beri’tikaf di dalamnya?
Beliau
menjawab, ‘Ini ada beberapa kemungkinan. Barangsiapa yang
melihat keumumam perkataan para ahli fiqih maka dia mengatakan, ia termasuk
bagian dari masjid. Karena ruangan dan kamar yang dikelilingi tembok masjid,
termasuk bagian dari masjid. Barangsiapa yang melihat bahwa dibangunnya bukan
bagian dari masjid, bahwa kamar dikhususkan untuk imam. Maka ia seperti rumah
Rasulullah sallallahu’alaihi wa sallam. Maka rumah Rasulullah
pintu-pintunya langsung ke masjid, meskipun begitu ia termasuk rumah.
Rasulullah sallallahu’alaihi wa sallam tidak masuk ke rumah (yakni
ketika beri’tikaf). Yang lebih hati-hati, orang yang beri’tikaf jangan berada di dalamnya. Akan tetapi orang-orang sekarang
menganggap kamar yang ada di dalam masjid termasuk masjid. Selesai dari ‘Syarkh Al-Kafi’
Wallahu’alam.
From <https://islamqa.info/id/130984>