Di dalam Al-Qur’an Allah azza wa jalla berfirman:
سَأَصْرِفُ عَنْ ءَايَـتِي الَّذِينَ يَتَكَبَّرُونَ فِي الأَرْضِ بِغَيْرِ الْحَقِّ
Artinya:
“Aku akan memalingkan dari ayat-ayat-Ku orang-orang yang menyombongkan dirinya di muka bumi tanpa alasan yang benar..” (Al A’raf: 146)
Tentang
tafsiran ayat ini Imam Sufyan As Tsauri –rahimahullah- berkata: ” Aku
akan palingkan mereka dari memahami Al- Qur’an”. Al-Firyaby
–rahimahullah- mengatakan: “Aku akan menghalangi hati mereka dari
mentadabburi urusan-Ku”, maksudnya Al-Qur’an.Berkenaan dengan masalah
ini, Imam Ibnu Katsier menjelaskan bahwa balasan (Allah) pada mereka
sesuai dengan dosa yang mereka lakukan. Beliau -rahimahullah-
mengatakan:
“Sebagaimana mereka menyombongkan diri tanpa alasan yang benar, maka Allahpun menghinakan mereka”.
Bila
Allah azza wa jalla memalingkan hati seorang hamba dari memahami dan
mentadaabburi Al-Qur’an, maka dia tidak akan bisa memanfaatkan kekuatan
hafalan, bagusnya pengucapannya (terhadap ayat-ayat al-qur’an), baiknya
pemahaman serta kuatnya keinginannya (terhadap Al-Qur’an). Dia tak
dapat mengambil manfaat dari semua itu. Namun tidak berarti bahwa
kesombongan menghalanginya dari menghafal Al-Qur’an. Bahkan diantara penghafal lafadz-lafadz Al-Qur’an ada orang yang sombong. Maka yang dimaksudkan oleh ayat ini adalah, ” Allah menutup hati mereka dari memahami al-Qur’an dan mengamalkan isinya”.
Di dalam kitab Al-Madkhal Imam Ibnul Haaj Al Maliky –rahimahullah- berkata: “Sebagaimana
telah diketahui bahwa sebagian orang yang sombong hafal al-qur’an dan
ilmu, akan tetapi mereka terhalangi dari mendapatkan manfaat berupa
pemahaman dan pengamalan (terhadap isi kandungan) Al-Qur’an. Padahal
(pemahaman dan amalan) itulah yang menjadi prioritas. (Bila demikian
keadaannya pen.) maka orang-orang awam jauh lebih baik dari mereka”
Jadi siapa saja yang hanya menghafal lafadz-lafadz Al-Qur’an dan (hanya sibuk pen.) memperbaiki bacaan namun tidak mengamalkannya,
maka orang awam jauh lebih baik darinya. Inilah maksud dari
dipalingkannya hati dari ayat-ayat-Nya. Dia dipalingkan dari memahami
serta mengamalkannya, bukan dari memperbaiki bacaannya. Boleh jadi ada
diantara manusia orang yang bacaannya baik terhadap al-quran ataupun
terhadap selain Al-Qur’an, akan tetapi keadaannya jika dibandingkan
dengan keadaan ahlul qur’an dan ilmu sangat jauh sekali. Semua kembali
pada baiknya hati yang dipakai untuk menghafal al-qur’an dan ilmu yang
disertai pemahaman dan tadabbur.
Dan
siapa saja yang mencermati keadaan orang-orang yang berilmu dari
kalangan ulama, maka dia akan mendapati bahwa apa yang mengalir dari
lisan mereka serta yang digoreskan oeh pena-pena mereka berupa karunia
Allah, semua itu mereka dapatkan karena ketaan mereka kepada Allah.
Orang-orang yang memperhatikan hubungan mereka dengan Allah baik dalam
hal tetundukan, cinta, kedekatan dan penghambaan akan mendapati bahwa
jalan terbaik untuk mendapatkan ilmu adalah menggantungkan hati kepada
Allah azza wa jalla serta melepaskan diri dari segala faktor yang dapat
memalingkan diri dari-Nya.
Orang
yang hanya mengandalkan kemampuan dirinya, baik dari segi pemahaman dan
hafalan tanpa kembali kepada Allah dan melakukan ketaan pada-Nya,
mereka tidak akan mendapatkan apa yang mereka cita-citakan berupa ilmu
yang disertai pemahaman dan pengamalan. Mereka akan dihalangi darinya
karena hati mereka berpaling dari Allah azza wa Jalla serta menyibukkan
diri dengan selain-Nya.
Kebanyakan
para penuntut ilmu menyibukkan diri dengan cara-cara yang sifatnya
dzahir dalam menuntut ilmu, seperti menghafal matan, menghadiri majelis
para masyaikh, namun lalai dari penyerahan penuh dalam ketaatan kepada
Allah dan bergantung pada-Nya, mengembalikan segala urusan pada-Nya
dengan tadharru’, berdo’a, meminta dan berdzikir (mengingat-Nya).
Karena ilmu adalah rezeki, sementara rezeki berada ditangan Ar-Razzak
(pemberi rezeki). Maka siapa saja yang tunduk dan taat kepada-Nya,
memperbaiki perbuatannya disisi Allah, maka Allah adalah sebaik-baik
Pemberi. Dia akan memberikan serta membukakan untuk hamba-Nya kemampuan
yang tidak dimiliki oleh rekan-rekannya sebagai bentuk kasih sayang
Allah kepadanya.
Wahai
penuntut ilmu… berhati-hatilah…. Jangan sampai engkau tertipu dengan
bagusnya hafalanmu, kuatnya pemahamanmu serta semangatmu untuk duduk
dan hadir di majelis ilmu, atau perkenalanmu dengan banyak masyaikh. Semua itu tidak akan memberimu manfaat jika hatimu lalai dari mengingat Allah.
Ketahuilah…
Sesuai dengan kadar ketaatanmu kepada Allah, baiknya amalan dan baiknya
kondisi dirimu disisi-Nya, (sesuai kadar itulah pen.). Dia akan
mengajarimu apa yang tidak engkau ketahui, membukakan untukmu
pintu-pintu pemahaman yang tidak dibukakan untuk orang selainmu. Semua
murni karena Rahmat-Nya. Kenalilah jalan menuju ilmu, peganglah dengan
kuat, dan telusurilah jalan-jalan itu.
Faidah dari dauroh Muhimmaatul Ilmi tahun pertama di Masjid Nabawi tangga 29 Shafar 1431 H
Ditahun selanjutnya Kamis 30 Shafar 1432 H, disela-sela penjelasan terhadap ayat yang sama beliau menambahkan:
“Banyaknya
hafalan serta faktor penunjang ilmu lainnya yang sifatnya dzahir tidak
akan berarti bagi seorang hamba. Sebab manusia kemampuan
bertingkat-tingkat dari segi pemahaman. Dan pada dasarnya ilmu adalah
pemahaman, adapun hafalan hanya sebagai alat untuk menghasilkan ilmu.
Pada hadits Ibnu Mas’ud yang terdapat dalam shahihain Rasulullah
shallallahu alaihi wasallam bersabda:
“Atau pemahan yang diberikan Allah kepada seseorang terhadap Al Qur’an”
(Dalam
hadits ini pen) Rasulullah tidak menyebut hafalan. Karena dari segi
hafalan manusia (memiliki kemampuan yang) sama, baik dia orang munafik
ataupun orang kafir. Para ahli dari kalangan orientalis ada yang hafal
isi al-Qur’an seluruhnya. Bisa jadi agamnya yahudi ataupun nasrani.
Maka yang dimaksud dari “dipalingkan” pada firmannya “Aku akan
memalingkan” adalah dipalingkannya hati dari memahami al-qur’an dan
mengamalkan isi kandungannya.
Wallahu a’lam
___________
Madinah, 22 Shafar 1435 H
ACT El-Gharantaly, حفظه الله تعالى
from=http://bbg-alilmu.com/archives/18525