Oleh : Asy-Syaikh Muhammad Naashiruddin Al-Albani rahimahullah
Alhamdulillaah, wash-shalaatu was-salaamu ’alaa Rasuulillah wa aalihi wa shahbihi wa man waalaahu, wa ba’d :
Ini merupakan muhadlarah yang pernah aku (Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah) sampaikan di kota Dauhah ibu kota Qatar, pada bulan Ramadlan tahun 1342 H. Namun sebagian ikhwan meminta kepadaku agar ceramah tersebut ditulis menjadi sebuah buku; karena muhadlarah tersebut mengandung banyak faedah yang penting.
Maka akupun memenuhi permintaan tersebut untuk menyebarkan manfaatnya. Sebagai peringatan, aku tambahkan pula sebagian judul untuk membantu pembaca dalam memahami inti permasalahan setiap pembahasannya. Aku berharap Allah agar mencatatku termasuk orang yang membela agama-Nya, membela syari’at-Nya, serta menuliskan pahala untukku. Dia adalah semulia-mulianya tempat meminta.
Segala puji bagi Allah, kami memuji, meminta pertolongan, meminta ampun serta meminta perlindungan kepada-Nya dari kejelekan jiwa-jiwa dan amalan kami. Barangsiapa yang telah diberi petunjuk oleh Allah, tidak ada yang bisa menyesatkannya. Dan barangsiapa yang telah disesatkan oleh Allah, tidak ada yang bisa memberi petunjuk. Aku bersaksi bahwasannya tidak ada tuhan yang berhaq untuk disembah melainkan Allah semata, tidak ada sekutu bagi-Nya dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan-Nya.
Allah berfirman :
”Wahai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dengan sebenar-benar taqwa dan janganlah kalian mati kecuali dalam keadaan beriman” [QS. Aali Imran : 102].
”Wahai manusia, bertaqwalah kalian kepada Rabb kalian yang telah menciptakan kalian dari jiwa yang satu dan menciptakan darinya istri, kemudian mengembangkan dari keduanya laki-laki dan perempuan yang banyak. Bertaqwalah kalian kepada Allah yang (dengan menggunakan nama-Nya) kalian meminta-minta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kalian” [QS. An-Nisaa’ : 1].
”Wahai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan ucapkanlah ucapan yang baik. Niscaya Allah akan membaikkan amalan kalian dan mengampunkan dosa-dosa kalian. Barangsiapa yang mentaati Allah dan Rasul-Nya sungguh telah mendapat kemenangan yang besar” [QS. Al-Ahzaab : 70-71].
Amma ba’du
Sesungguhnya perkataan yang paling benar adalah Kitabullah, dan petunjuk yang paling baik adalah petunjuk Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Adapun perkara yang paling jelek adalah perkara yang diada-adakan, dan semua perkara yang diada-adakan adalah bid’ah, sedangkan semua bid’ah itu sesat, dan semua kesesatan itu di neraka. Dan setelah itu :
Aku telah mempunyai perkiraan bahwa aku tidak akan bisa membawakan materi yang asing dalam acara ini, apalagi di sini banyak ulama dan ustadz yang terpandang. Kalau benar perkiraanku ini, cukuplah perkataanku ini sebagai pengingat, mengamalkan firman Allah :
”Berilah peringatan, karena peringatan itu akan bermanfaat bagi orang-orang yang beriman” [QS. Adz-Dzaariyaat : 55].
Ceramahku di malam bulan Ramadlan yang mulia ini tidak berkaitan dengan masalah keutamaan puasa, keutamaan shalat tarawih, atau yang lainnya, seperti yang biasa disampaikan oleh para penasihat dan pembimbing lainnya. Sehingga bisa memberikan manfaat bagi orang yang menjalankan puasa, dan menghasilkan kebaikan dan barakah bagi mereka.
Namun tema yang aku pilih dalam pertemuan ini adalah masalah yang sangat penting, karena merupakan salah satu pokok syari’at yang mulia, yaitu penjelasan pentingnya As-Sunnah dalam syari’at Islam.
Allah tabaaraka wa ta’ala telah memilih Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallamdengan nubuwwah, memuliakannya dengan risalah, menurunkan kepadanya kitab-Nya Al-Qur’an Al-Karim dan memerintahkannya untuk menerangkan kepada manusia. Allah ta’ala berfirman :
”Dan Kami turunkan kepadamu Adz-Dzikr (Al-Qur’an) agar engkau menjelaskan kepada manusia apa-apa yang diturunkan bagi mereka” [QS. An-Nahl : 44].
Menurut pandanganku (Asy-Syaikh Al-Albani), Al-Bayan (penjelasan) yang disebutkan dalam ayat ini mencakup 2 macam penjelasan :
Pertama, penjelasan lafadh dan susunannya, yaitu penyampaian Al-Qur’an tidak menyembunyikannya dan menyampaikan kepada umat, sebagaimana Allah ta’alamenurunkannya kepada beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Inilah yang dimaksud dengan firman Allah ta’ala :
”Wahai Rasul, sampaikanlah apa-apa yang diturunkan kepadamu dari Rabb-mu…” [QS. Al-Maaidah : 67].
Telah berkata Sayyidah ‘Aisyah radliyallaahu ‘anhaa dalam haditsnya :
”Barangsiapa yang mengatakan kepada kalian bahwa Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam menyembunyikan perkara yang dia perintahkan untuk menyampaikannya, berarti ia telah berbuat kedustaan yang besar kepada Allah”. Kemudian beliau membaca ayat tersebut" [Diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim].
Dalam riwayat Muslim : “Kalaulah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallammenyembunyikan suatu perkara yang disuruh untuk disampaikan, sungguh dia akan menyembunyikan firman Allah ta’ala : ”Dan (ingatlah), ketika kamu berkata kepada orang-orang yang Allah telah melimpahkan nikmat kepadanya dan kamu (juga) telah memberi nikmat kepadanya : “Tahanlah terus istrimu dan bertaqwalah kepada Allah”, sedangkan kamu menyembunyikan di dalam hatimu apa yang Allah akan menyatakannya, dan kamu takut kepada manusia, sedangkan Allah-lah yang lebih berhak ditakuti” (QS. Al-Ahzab : 37)”.
Kedua, Penerangan makna lafadh atau kalimat atau ayat yang membutuhkan penjelasannya. Yang demikian ini banyak dalam ayat-ayat yang mujmal (global),ammah (umum), atau muthlaq. Maka datanglah As-Sunnah menjelaskan yang mujmal, mengkhususkan yang umum, dan membatasi yang muthlaq. Yang demikian ini semuanya terjadi dengan perkataan beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana terjadi pula dengan perbuatan dan taqrir beliau.
Pentingnya As-Sunnah untuk Memahami Al-Qur’an dan Contoh-Contohnya
Firman Allah ta’ala :
”Pencuri laki-laki dan perempuan, potonglah tangan mereka….” [QS. Al-Maaidah : 38].
Ayat ini merupakan contoh yang baik dalam masalah ini, karena kata pencuri dalam ayat ini bersifat muthlaq. Demikian pula dengan tangan. Jadi, sunnah qauliyah menerangkan yang pertama (yaitu pencuri) dengan membatasi pencuri yang mencuri ¼ dinar dengan sabda beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam :
”Tidak dipotong tangan kecuali mencapai ¼ dinar atau lebih” [Diriwayatkan oleh Al- Bukhari dan Muslim].
Sebagaimana sunnah menerangkan maksud “tangan” dengan perbuatan beliaushallallaahu ‘alaihi wa sallam, perbuatan shahabatnya, dan ijma’ bahwa mereka dahulu memotong tangan pencuri pada batas pergelangan, sebagaimana telah dikenal dalam kitab-kitab hadits.
Demikian pula ketika sunnah qauliyyah menerangkan ayat tentang tayamum :
”Usaplah pada wajah-wajah dan tangan-tangan kalian….” [QS. Al-Maidah : 6].
Maksud tangan di sini adalah telapak tangan. Hal itu berdasarkan pada sabda beliaushallallaahu ‘alaihi wasallam :
”Tayamum itu dengan mengusap wajah dan kedua telapak tangan” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhari, Muslim, dan selain keduanya dari hadits ‘Ammar bin Yaasir radliyallaahu ‘anhu].
Demikian pula sebagian ayat-ayat yang lain tidak mungkin dipahami dengan pemahaman yang benar sesuai dengan keinginan Allah ta’ala kecuali dari jalan Sunnah seperti :
1. Firman Allah ta’ala :
"Orang-orang yang beriman dan tidak mencampur-adukkan iman mereka dengan kedhaliman (syirik), mereka itulah orang-orang yang akan mendapatkan keamanan dan mereka itu adalah orang-orangyang mendapatkan petunjuk” [QS. Al-An’am : 82].
Para shahabat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah memahami perkataan beliau, yaitu adh-dhulm (الظلم) secara umum yang mencakup segala macam bentuk kedhaliman walaupun kecil. Oleh karena itu ayat ini menjadi berat bagi mereka, sehingga mereka berkata : “Ya Rasulullah, siapa di antara kami yang tidak mencampur keimanannya dengan kedhaliman ?”. Maka Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam menjawab :
”Tidak demikian yang dimaksud ! Tetapi yang dimaksud dengan adh-dhulm (kedhaliman) di sini adalah syirik. Tidakkah kalian menyimak perkataan Luqman : “Sesungguhnya syirik itu adalah kedhaliman yang besar” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhari, Muslim, dan lainnya].
2. Firman Allah ta’ala :
”Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu mengqashar shalat(mu), jika kamu takut diserang oleh orang-orang kafir. Sesungguhnya orang-orang kafir itu adalah musuh yang nyata bagimu” [QS. An-Nisaa’ : 101].
Dhahir ayat ini menghendaki dikerjakannya shalat qashar dalam safar itu dengan syarat adanya perasaan takut. Oleh karena itu shahabat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepadanya : “Apakah kita mengqashar padahal telah aman ?”. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
“Ini adalah shadaqah, Allah bershadaqah dengannya kepada kalian, maka terimalah shadaqah-Nya”.
3. Firman Allah ta’ala :
”Telah diharamkan bagi kalian bangkai dan darah…” [QS. Al-Maidah : 3].
As-Sunnah menerangkan bahwa bangkai yang halal adalah bangkai belalang dan ikan. Sedangkan hati dan limpa termasuk darahyang halal. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
”Dihalalkan bagi kita dua bangkai dan dua darah, yaitu : bangkai belalang dan ikan (semua jenis ikan) serta hati dan limpa” [Diriwayatkan oleh Al-Baihaqi secaramarfu’ dan mauquf. Adapun hadits yang bersanad mauquf adalah shahih yang dihukumi dengan marfu’. Hal tersebut dikarenakan bahwa perkataan tersebut tidak mungkin diucapkan hanya berdasarkan ra’yu semata].
4. Firman Allah ta’ala :
”Katakanlah : “Tiada aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir, atau daging babi, karena sesungguhnya semua itu kotor. Atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah. Barangsiapa yang dalam keadaan terpaksa sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” [QS. Al-An’am : 145].
Kemudian datanglah Sunnah yang mengharamkan sesuatu yang tidak disebut dalam ayat ini seperti sabda beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam :
”Setiap binatang buas yang bertaring dan setiap burung yang berkuku pencakar tajam adalah haram”.
Dalam bab ini ada hadits-hadits lain yang melarang dari hal selain itu seperti sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pada waktu perang Khaibar :
”Allah dan Rasul-Nya melarang kalian dari (memakan) himar yang jinak karena rijs (kotor)” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim].
5. Firman Allah ta’ala :
”Katakanlah : Siapa yang telah mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang mengharamkan) rizki yng baik ?” [QS. Al-A’raf : 32].
As-Sunnah menerangkan pula bahwa ada zinah (perhiasan) yang haram. Telah shahih dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau pada suatu hari keluar menuju salah seorang shahabat yang pada salah satu tangannya ada sutera dan di tangan lainnya ada emas. Kemudian beliau bersabda :
”Kedua hal ini (sutera dan emas) haram bagi laki-laki umatku dan halal bagi para wanitanya” [Diriwayatkan oleh Al-Hakim dan beliau menshahihkannya].
Hadits-hadits yang semakna dengan ini banyak dan ma’ruf, baik dalam Shahihainataupun selainnya. Dan banyak lagi contoh-contoh lain yang dikenal di kalangan ahlul-‘ilmi tentang hadits dan fiqh.
Dari uraian di atas menjadi jelaslah bagi kita tentang pentingnya Sunnah dalam syari’at Islam. Karena jika kita kembalikan pandangan kita untuk menleihat contoh yang telah lewat. Terlebih lagi dari contoh lain yang tidak disebutkan. Kita akan yakin bahwasannya tidak ada jalan untuk memahami Al-Qur’an dengan pemahaman benar kecuali dengan diiringi As-Sunnah. Contoh yang pertama, pemahaman para shahabat dari kata dhulm (ظلم) yang tersebut dalam ayat, menurut dhahirnya saja. Padahal mereka (para shahabat) adalah sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Mas’ud : “Yang paling utama dari umat ini yang paling baik hatinya dan paling tidak berbuat takalluf (memberatkan diri secara berlebihan).
Walaupun demikian, mereka salah dalam memahaminya. Kalaulah Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak meluruskan kesalahan mereka dan membimbing mereka kepada pengertian yang benar; bahwasannya dhulm (ظلم) dalam ayat tersebut maknanya adalah syirik. Niscaya kita tidak akan mengikuti kesalahan tersebut.
Akan tetapi Allah ta’ala melindungi kita dari yang demikian dengan keutamaan bimbingan dan Sunnah Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
Contoh yang kedua, kalaulah tidak ada hadits tersebut, minimal kita akan ragu dalam meng-qashar dalam safar dan waktu aman --- jika kita berpendapat kepada pensyaratan “takut” sebagaimana dhahir ayat --- sebagaimana timbul yang demikian pada sebagian shahabat. Jika mereka tidak melihat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam meng-qashar, dan mereka pun meng-qashar bersamanya dalam keadaan aman.
Dalam contoh yang ketiga, kalaulah tidak ada hadits tentu kita akan mengharamkan makanan-makanan yang baik yang dihalalkan bagi kita, yaitu belalang, ikan, hati, dan limpa.
Dalam contoh keempat, kalaulah tidak ada hadits yang sebagianya telah disebutkan niscaya kita akan menghalalkan apa yang diharamkan oleh Allahbagi kita melalui lisan Nabi-Nya shallallaahu ‘alaihi wa sallam seperti binatang buas, atau burung yang mempunyai kuku pencakar.
Demikian pula contoh yang kelima. Kalaulah tidak ada hadits, maka kita akan menghalalkan apa yang diharamkan Allah melalui lisan Nabi-Nya yaitu emas dan sutera bagi laki-laki. Oleh karena itu dari sinilah berkata sebagian salaf :
As-Sunnah itu menjelaskan Al-Kitab (menyampaikan pemahaman kepada Kitab)
Kesesatan Para Pengingkar Sunnah
Di antara hal yang memprihatinkan adalah ditemuinya sebagian mufassirin dan penulis-penulis sekarang ini yang berpendapat dengan membolehkan dua contoh terakhir di atas, yaitu membolehkan memakan binatang buas dan memakai emas serta sutera bagi laki-laki karena bersandar dengan Al-Qur’an semata.
Dewasa ini telah ditemukan satu kelompok yang menamakan qur’aniyyin yang menafsirkan Al-Qur’an dengan nafsu dan akal-akal mereka, tanpa meminta bantuan dengan As-Sunnah Ash-Shahiihah.
Bagi mereka As-Sunnah hanya sebagai pengikut hawa nafsu mereka. Jika sesuai dengan hawa nafsu mereka, maka mereka berpegang dengannya dan yang tidak sesuai mereka buang ke belakang punggung mereka.
Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam telah mengisyaratkan tentang mereka dalam hadits yang shahih :
“Salah seorang dari kalian betul-betul akan menjumpai seseorang yang sedang duduk di singgasananya, kemudian datang urusanku kepadanya dari apa yang aku perintahkan atau aku larang, maka dia berkata : ‘Aku tidak tahu! Semua yang kami dapatkan di dalam Kitabullah itulah yang kami ikuti” [Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi].
Dalam riwayat lain : Dia berkata : “Apa-apa yang kami jumpai (pada Al-Qur’an) sebagai sesuatu yang haram, maka kami mengharamkannya”. Berkata Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam :
“Ketahuilah, sesungguhnya aku diberi Al-Qur’an dan yang semisalnya (hadits) bersamanya”
Dan diriwayat yang lain lagi : Berkata (Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam) :
”Ketahuilah, sesungguhnya semua yang dilarang oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam adalah seperti apa yang dilarang oleh Allah”
Bahkan juga di antara yang memprihatinkan bahwa sebagian penulis yang menulis kitab-kitab dalam syari’at Islam dan aqidah Islam menyebutkan dalam muqaddimah-nya bahwa dia menyusun kitab tersebut tanpa rujukan selain Al-Qur’an.
Hadits shahih di atas menjelaskan secara tegas bahwa syari’at Islam bukan Al-Qur’an saja, melainkan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Barangsiapa berpegang dengan salah satunya, berarti dia tidak berpegang dengan yang lain. Padahal masing-masing dari keduanya memerintahkan untuk berpegang dengan yang lain seperti firman Allah :
”Barangsiapa mentaati Rasul berarti dia mentaati Allah” [QS. An-Nisaa’ : 80].
”Maka demi Rabbmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu sebagai hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya” [QS. An-Nisaa’ : 65].
”Dan tidak patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata” [QS. Al-Ahzab : 36].
”Apa-apa yang disampaikan Rasul kepadamu maka ambillah dan apa-apa yang dilarangnya, tinggalkanlah…” [QS. Al-Hasyr : 7].
Sehubungan dengan ayat terakhir ini (QS. Al-Hasyr : 7), ada kejadian yang menakjubkan dalam riwayat yang shahih dari Ibnu Mas’ud radliyallaahu ‘anhu yaitu bahwasannya ada seorang wanita yang datang kepadanya kemudian berkata kepadanya : “Kamukah yang berkata bahwa Allah melaknat namishaat ( = wanita yang mencabut rambut alis) dan mutanaamishaat ( = wanita yang dicabut rambut alisnya) danwaasyimaat ( = wanita yang membuat tato) ?”. Ibnu Mas’ud menjawab,”Ya, benar”. Perempuan tadi berkata,”Aku telah membaca Kitabullah dari awal sampai akhir tetapi aku tidak menemukan apa yang kamu katakan”. Maka Ibnu Mas’ud menjawab,”Jika kamu betul-betul membacanya, niscaya engkau akan menemukannya. Tidakkah engkau membaca :
”Apa-apa yang disampaikan Rasul kepadamu maka ambillah dan apa-apa yang dilarangnya, tinggalkanlah…” (QS. Al-Hasyr : 7).
Aku telah mendengar Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
”Allah melaknat An-Naamishaat…..” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim].
Tidak Cukup Pengertian Bahasa Saja untuk Memahami Al-Qur’an
Dari penjelasan di atas telah jelas dan terang bahwasannya tidak mungkin seorang memahami Al-Qur’an walaupun dia mahir dalam bahasa Arab dan sastra-sastranya jika tidak dibantu dengan Sunnah Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, baik qauliyyah maupunfi’liyyah. Karena dia tidak mungkin lebih alim atau lebih mahir dalam bahasa Arab daripada para shahabat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang Al-Qur’an turun dengan bahasa mereka dan pada waktu tersebut belum tercampur bahasa ‘ajam, awam, danlahn (kesalahan bahasa). Namun walaupun demikian, mereka para shahabat telah salah dalam memahami ayat-ayat yang telah lewat, ketika mereka hanya bersandar dengan bahasa mereka saja.
Atas dasar itu jelaslah bahwasannya seseorang jika semakin alim dalam sunnah, dia lebih pantas untuk memahami Al-Qur’an dan mengambil istinbath hukum darinya dibandingkan orang yang bodoh tentang sunnah. Lalu bagaimana dengan orang yang tidak menganggap sunnah dan tidak pula meliriknya sama sekali ? Oleh karena itu sudah merupakan suatu kaidah yang disepakati oleh ahli ilmu bahwasannya Al-Qur’an ditafsirkan dengan As-Sunnah[1], kemudian dengan perkataan shahabat…..dan seterusnya.
Dari sini jelas bagi kita sebab-sebab kesesatan tokoh-tokoh Ahli Kalam dulu dan sekarang serta perbedaan mereka dengan as-salafush-shalih radliyallaahu ‘anhumdalam keyakinan-keyakinan mereka terutama dalam hukum-hukum mereka, karena jauhnya ahlul-kalam dari Sunnah dan dangkalnya pengetahuan mereka tentang Sunnah dan mereka menghakimi ayat-ayat tentang shifat (Allah) dan yang lainnya dengan akal dan nafsu mereka.
Betapa indahnya perkataan dalam kitab Syarh Al-Aqidah Ath-Thahawiyyah halaman 212 cetakan ke-4 : “Bagaimana mungkin kita berbicara tentang pokok agama orang yang tidak menerima agamanya dari Al-Kitab (Al-Qur’an) dan As-Sunnah melainkan hanya menerima perkataan si fulan? Walaupun dia mengaku atau menganggap mengambil dari Kitabullah tetapi tidak menerima penafsiran Kitabullah dari hadits-hadits Rasul, tidak melihat hadits-hadits, tidak pula melihat perkataan para shahabat dan pengikut mereka yang mengikuti dengan baik (tabi’in) yang disampaikan kepada kita oleh orang yang terpercaya yang dipilih oleh para pakar. Karena para shahabat tidak hanya meriwayatkan matan Al-Qur’an saja tetapi juga menyampaikan maknanya. Mereka tidak belajar Al-Qur’an seperti anak kecil, tetapi mempelajarinya dengan makna-maknanya. Barangsiapa tidak menempuh jalan mereka berarti berbicara dengan pikirannya sendiri. Barangsiapa berbicara dengan pikirannya dan sangkaannya sendiri tentang agama Allah ini, serta tidak menerimanya dari Al-Kitab, dia berdosa walaupun kebetuln benar. Barangsiapa mengambil Kitab dan Sunnah, dia mendapatkan pahala walaupun salah (dalam berijtihad). Tetapi jika benar, akan dilipatkan pahalanya”.
Kemudian berkata di halaman 217 : “Maka wajib menyempurnakan kepatuhan kepada Rasul shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan tunduk kepada perintahnya dan menerima khabarnya dengan perkataan dan keyakinan, tidak menentangnya dengan khayalan yang bathil yang dinamakan ma’qul (logis), atau menganggap sebagai syubhat (samar) atau meragukannya atau mendahulukan pendapat-pendapat manusia dan sampah-sampah pikiran mereka di atasnya. Kita menyendirikan beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallamdalam berhukum, patuh, tunduk, sebagaimana kita mentauhidkan Allah subhaanahu wa ta’ala dalam ibadah, ketundukan. Kehinaan, inabah, dan tawakal.
Kesimpulannya : Sesungguhnya wajib atas semua muslim untuk tidak membedakan Al-Qur’an dengan As-Sunnah dari sisi kewajiban mengambil dan berpegang dengan keduanya serta menegakkan syari’at di atas keduanya bersama-sama. Karena ini adalah penjamin mereka agar tidak berpaling ke kiri dan ke kanan. Agar mereka tidak mundur dengan kesesatan sebagaimana Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskan :
”Aku tingalkan pada kalian dua perkara yang kalian tidak akan sesat selama kalian berpegang teguh dengan keduanya, yaitu Kitabullah dan Sunnahku. Keduanya tidak akan berselisih sampai keduanya mendatangiku di telaga Haudl” [Diriwayatkan oleh Malik dan Al-Hakim, dengan sanad hasan].
Peringatan
Suatu hal penting yang ingin saya (Asy-Syaikh Al-Albani) kemukakan adalah bahwa Sunnah yang begitu pentingnya dalam syari’at hanyalah Sunnah yang shahih dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dengan cara-cara ilmiah dan sanad yang shahih yang dikenal oleh ahlul-‘ilmi tentang hadits dan rawi-rawinya. Bukanlah yang dimaksud seperti yang terdapat dalam kitab-kitab yang beraneka ragam baik dalam masalah tafsir, fiqh, targhib dan tarhib, raqaaiq, nasihat-nasihat, dan lain-lain. Karena dalam kitab-kitab tersebut banyak hadits-hadits yang dla’if, munkar, dan maudlu’, sebagian lagi tidak diterima dalam Islam seperti hadits Harut dan Marut, serta kisah Gharaaniq. Aku (Asy-Syaikh Al-Albani) mempunyai risalah khusus dalam menolak kisah ini[2]. Dan telah aku bawakan pula sebagian besarnya dalam Silsilah Al-Ahaadits Adl-Dla’iifah wal-Maudluu’ah wa Atsaruhas-Sayyi-il-Ummah yang jumlahnya sampai saat ini mencakup 4000 hadits mencakup hadits dla’if dan maudlu’ dimana sampai saat ini baru dicetak 500 hadits saja ( - pada saat itu, akan tetapi sekarang telah tercetak lengkap – Pent. ).
Wajib atas semua ahlul-‘ilmi terutama yang menyebarkan kepada manusia pemahaman dan fatwa-fatwa agar jangan berhujjah dengan hadits-hadits kecuali setelah meyakini keshahihannya karena biasanya kitab-kitab fiqih yang dijadikan tempat rujukan penun dengan hadits-hadits yang lemah, munkar, serta tidak ada asal-usulnya sebagaimana dikenal di kalangan para ulama.
Kelemahan Hadits Mu’adz tentang Ra’yu dan Apa-Apa yang Diingkari Darinya
Sebelum mengakhiri uraian ini, aku (Asy-Syaikh Al-Albani) memandang perlu memalingkan perhatian ikhwan sekalian kepada hadits yang masyhur yang sering dibawakan dalam kitab ushul-fiqh, yaitu berkisar tentang dla’ifnya hadits tersebut dari sisi sanadnya dan karena bertentangan dengan larangan membedakan antara Al-Kitab dan As-Sunnah (dalam syari’at) serta wajibnya berpegang dengan keduanya secara bersama, yaitu hadits Mu’adz bin Jabal radliyallaahu ‘anhu bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam berkata kepadanya ketika mengutusnya ke Yaman :
”Dengan apa kamu akan berhukum?”. Mu’adz berkata,”Dengan Kitabullah”. Rasulullah berkata,”Jika tidak engkau dapati dalam Kitabullah?”. Mu’adz menjawab,”Dengan Sunnah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa salam”. Rasulullah berkata,”Jika engkau tidak menemui dalam Sunnah ?”. Mu’adz menjawab,”Aku akan berijtihad dengan ra’yu dan aku akan berusaha keras”. Maka Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallambersabda,”Alhamdulillaah, segala puji bagi Allah yang telah membimbing utusan Rasulullah kepada perkara yang dicintainya”.
Tentang kelemahan sanadnya, tidak layak untuk dibahas sekarang. Aku telah menjelaskannya dengan penjelasan yang cukup dan mungkin belum ada yang mendahului saya dalam pembahasan itu dalam kitab As-Silsilah yang telah disebutkan sebelumnya[3]. Cukup bagiku dalam kesempatan ini untuk menyebutkan bahwa Amiirul-Mukminiin dalam masalah hadits, yaitu Al-Imam Al-Bukhari rahimahullah, berkata tentang hadits ini,”Hadits munkar”. Setelah itu layak bagiku untuk mulai menjelaskan pertentangan yang telah aku sebutkan tadi.
Maka aku (Asy-Syaikh Al-Albani) katakan : “Hadits Mu’adz ini memberikan manhaj bagi seorang hakim dalam berhukum dengan tiga marhalah ( = yaitu Al-Qur’an, As-Sunnah, dan ra’yu). Tidak boleh mencari hukum dengan ra’yu kecuali setelah hukum itu tidak ditemukan dalam As-Sunnah, dan tidak boleh pula mencari hukum suatu hukum dari As-Sunnah kecuali jika tidak ditemui dalam Al-Qur’an. Manhaj ini jika dilihat dari sisi ra’yuadalah benar menurut seluruh ulama’. Mereka berkata juga,”Jika telah ada atsar, maka batallah nadhar (penyelidikan)”. Tetapi (manhaj ini) jika dilihat dari sisi As-Sunnah, tidaklah benar. Karena As-Sunnah adalah hakim atas Al-Qur’an. Maka wajib membahas/mencari hukum dalam As-Sunnah walaupun disangka ada hukum tersebut dalam Al-Qur’an. Tidaklah kedudukan Al-Qur’an dengan As-Sunnah seperti kedudukan ra’yu dengan As-Sunnah. Tidak, sekali lagi tidak !! Tetapi wajib menganggap Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagai suatu sumber yang tidak dapat dipisahkan selamanya sebagaimana yang telah diisyaratkan oleh sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam :
”Ketahuilah, aku diberi Al-Qur’an dan yang semisalnya bersamanya”, yaitu As-Sunnah.
Dan sabdanya yang lain :
”Keduanya tidak akan berpisah sampai keduanya mendatangiku di Haudl (telaga)”
Pengelompokan antara Al-Qur’an dan As-Sunnah tidaklah benar karena mengharuskan pemisahan antara keduanya dan hal ini adalah bathil, seperti telah disebutkan penjelasannya. Inilah yang ingin aku ingatkan. Jika benar itu datangnya dari Allah dan jika salah itu dari diriku sendiri. Kepada Allah aku meminta agar menjagaku dan Anda sekalian dari kesalahan-kesalahan dan segala sesuatu yang tidak diridlai-Nya. Dan penutup doa kita : Alhamdulillaahi rabbil-‘aalamiin.
[Abul-Jauzaa’ – Senayan, Jakarta].
[1] (Berkata Syaikh Al-Albani) : “Kami tidak mengatakan seperti yang sudah masyhur di kalangan sebagian besar ahlul-ilmi, dimana mereka menafsirkan Al-Qur’an dengan Al-Qur’an, kemudian baru dengan Sunnah seperti yang akan datang penjelasan di akhir tulisan dalam pembahasan ini dalam hadits Mu’adz bin Jabal radliyallaahu ‘anhu”.
[2] Namanya Nashbul-Majaaniq fii Nisfi Qishshatil-Gharaaniq cetakan Al-Maktab Al-Islami.
[3] Terdapat pada nomor 885 dari kitab As-Silsilah yang telah disebutkan – Silsilah Al-AhaditsAdl-Dla’iifah wal-Maudluu’ah (dan kami berharap agar proses pencetakan dan pembukuannya dapat segera terwujud dalam waktu dekat, insyaAllah).
from= http://abul-jauzaa.blogspot.fr/2009/01/kedudukan-as-sunnah-dalam-islam.html