Islam Pedoman Hidup: Sebab-Sebab Yang Menjadikan Dosa Kecil Dihukumi Sebagai Dosa Besar (3)

Senin, 02 Mei 2016

Sebab-Sebab Yang Menjadikan Dosa Kecil Dihukumi Sebagai Dosa Besar (3)


Sebab ke empat: Melakukan dosa secara terang-terangan (al-mujaharah)

Terang-terangan dalam melakukan perbuatan dosa akan menyebabkan dosa kecil bisa dihukumi sebagai dosa besar. Orang yang terang-terangan berbuat dosa, maka dia akan menyebabkan orang lain untuk ikut-ikutan dan mendorong mereka untuk meniru perbuatan dosa tersebut. Selain itu, orang tersebut juga akan menghias-hiasi perbuatan dosa tersebut(sehingga tampak indah dan menyenangkan di mata manusia) dan pada akhirnya mereka menganggap dosa tersebut sebagai perbuatan yang baik. Oleh karena itu, orang yang melakukan dosa secara terang-terangan akan mendapatkan hukuman dan adzab yang pedih dari Allah Ta’ala.
Allah Ta’ala berfirman,
لَا يُحِبُّ اللَّهُ الْجَهْرَ بِالسُّوءِ مِنَ الْقَوْلِ
Allah tidak menyukai ucapan buruk, (yang diucapkan) dengan terus terang.” (QS. An-Nisa [4]: 148).
Dalam ayat di atas, tidak adanya kecintaan dari Allah Ta’ala menunjukkan adanya murka AllahTa’ala. Kemurkaan Allah Ta’ala atas orang-orang yang melakukan perbuatan buruk secara terang-terangan menunjukkan besarnya perbuatan dosa yang dilakukan.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
كُلُّ أُمَّتِي مُعَافًى إِلَّا المُجَاهِرِينَ، وَإِنَّ مِنَ المُجَاهَرَةِ أَنْ يَعْمَلَ الرَّجُلُ بِاللَّيْلِ عَمَلًا، ثُمَّ يُصْبِحَ وَقَدْ سَتَرَهُ اللَّهُ عَلَيْهِ، فَيَقُولَ: يَا فُلاَنُ، عَمِلْتُ البَارِحَةَ كَذَا وَكَذَا، وَقَدْ بَاتَ يَسْتُرُهُ رَبُّهُ، وَيُصْبِحُ يَكْشِفُ سِتْرَ اللَّهِ عَنْهُ
Seluruh umatku akan dimaafkan, kecuali yang berbuat dosa secara terang-terangan.Sesungguhnya, yang termasuk dalam berbuat dosa secara terang-terangan adalah seseorang yang melakukan suatu perbuatan (dosa) di malam hari, kemudian pada pagi harinya Allah tutupi dosa tersebut (Allah tidak tampakkan pada pandangan manusia, pen.). Orang tersebut kemudian berkata, ‘Wahai fulan, semalam aku berbuat demikian dan demikian.’ Padahal sungguh di malam harinya, Rabb-nya telah menutupi dosa yang dia lakukan, namun di pagi harinya dia sendiri yang membuka tutup Allah tersebut.” (HR. Bukhari no. 6069).
Hadits ini menunjukkan tidak adanya ampunan Allah Ta’ala bagi orang yang berbuat dosa secara terang-terangan. Dan juga menunjukkan besarnya dosa yang menyebabkan datangnya hukuman yang sangat keras tersebut.

Sebab ke lima: Tertipu ketika Allah Ta’ala menutupi dosa yang dilakukan

Ketika seseorang merasa tertipu ketika Allah Ta’ala menutupi dosa yang kita lakukan dan juga tertipu dengan kasih sayang Allah Ta’ala kepada hamba-Nya, maka hal ini akan mendatangkan hukuman yang besar.
Az-Zubaidi rahimahullah berkata,”Tertipu ketika Allah menutup dosa (seorang hamba) dan meremehkan kasih sayang Allah Ta’ala, meskipun dia (melakukan) dosa kecil, akan tetapi bisa menjadi (dosa) besar. Hal ini karena akan menyebabkan seseorang merasa aman dari makar Allah, yang merupakan dosa besar.” (Ittihaf As-Saddah Al-Muttaqin, 8/572).
Dan sungguh Allah Ta’ala telah mengancam adanya kerugian bagi orang-orang yang merasa aman dari makar (tipu daya) Allah Ta’ala. Allah Ta’ala berfirman,
أَفَأَمِنُوا مَكْرَ اللَّهِ فَلَا يَأْمَنُ مَكْرَ اللَّهِ إِلَّا الْقَوْمُ الْخَاسِرُونَ
Maka apakah mereka merasa aman dari azab Allah (yang tidak terduga-duga)? Tiada yang merasa aman dari azab Allah kecuali orang-orang yang merugi.” (QS. Al-A’raf [7]: 99).
Kasih sayang atau berbagai nikmat yang diberikan kepada pelaku maksiat inilah yang disebut dengan istidroj. Bentuknya, Allah Ta’ala membukakan pintu-pintu kenikmatan duniawi kepada orang yang banyak mengerjakan maksiat. Akhirnya, dia pun tertipu dan terperdaya. Orang tersebut merasa bahwa dia tidak berbuat dosa, sehingga dia pun terus tenggelam dalam kemaksiatannya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا رَأَيْتَ اللَّهَ يُعْطِى الْعَبْدَ مِنَ الدُّنْيَا عَلَى مَعَاصِيهِ مَا يُحِبُّ فَإِنَّمَا هُوَ اسْتِدْرَاجٌ …
Jika Allah memberikan kenikmatan kepada seorang hamba padahal dia tetap dengan maksiat yang dikerjakannya, maka sesungguhnya itu adalah istidroj …” (HR. Ahmad dalamAl-Musnad (IV/145) no. 17349. Dinilai shahih oleh Syaikh Albani dalam Silsilah Ash-Shahihahno. 413).
Allah Ta’ala berfirman,
فَلَمَّا نَسُوا مَا ذُكِّرُوا بِهِ فَتَحْنَا عَلَيْهِمْ أَبْوَابَ كُلِّ شَىْءٍ حَتَّى إِذَا فَرِحُوا بِمَا أُوتُوا أَخَذْنَاهُمْ بَغْتَةً فَإِذَا هُمْ مُبْلِسُونَ
Maka ketika mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kami pun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka. Sehingga apabila mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong. Maka ketika itu mereka terdiam berputus asa.” (QS. Al-An’am [6]: 44).

Sebab ke enam: Dosa kecil yang dilakukan oleh ulama atau ustadz yang dijadikan sebagai teladan

Seorang ulama, jika berbuat dosa kecil, maka dosa tersebut bisa dihukumi sebagaimana dosa besar. Hal ini karena ulama tersebut memiliki kedudukan di masyarakat sebagai teladan atau dijadikan sebagai panutan dalam praktek beramal dalam rangka mengikuti perintah AllahTa’ala. Jika perbuatan tersebut diikuti oleh orang-orang awam, maka dosa kecil tersebut bisa dihukumi sebagaimana dosa besar.
Al-Ghazali rahimahullah berkata,”Jika dosa kecil muncul dari seorang ulama yang diteladani (amalnya), maka hal itu adalah perkara yang besar, karena akan kekal setelah kematiannya.”(Al-Arba’in fi Ushuulid Diin, hal. 226).
Tidak hanya dihukumi sebagai dosa besar setelah ulama tersebut meninggal saja, namun juga ketika ulama tersebut masih hidup. Karena ketika itu, perbuatan dosa tersebut akan diikuti oleh orang-orang awam dan menjadi tersebar luas di masyarakat.
Semoga Allah Ta’ala memberikan hidayah-Nya kepada kita semua.
[Selesai]
***
Selesai disusun di pagi hari yang cerah, Sint-Jobskade Rotterdam NL, 8 Rajab 1436
Yang senantiasa membutuhkan rahmat dan ampunan Rabb-nya,
Penulis: M. Saifudin Hakim
Catatan kaki:
[1] Disarikan dengan beberapa penambahan seperlunya dari kitab At-Taubah, fii Dhau’il Qur’anil Kariim, Dr. Amaal binti Shalih Naashir, Daar Andalus Khadhra’, cetakan pertama, tahun 1419, hal. 140142.
Artikel Muslim.Or.Id