Artikel ini merupakan sambungan dari artikel di Blog ini yang berjudul : Memerangi Penguasa yang Fasiq atau Dhalim .
Para ulama telah mengambil dhahir hadits maa aqaamuu fiikumush-shalah atau maa shalluu sebagai dalil diperbolehkannya untuk keluar dari ketaatan pemimpin/penguasa jika ia tidak menegakkan shalat.
Al-Qadli ’Iyadl berkata :
Abul-’Abbas Al-Qurthubi (guru dari mufassir Abu ’Abdillah Al-Qurthubi) berkata tentang makna maa aqaamu fiikumush-shalah :
Al-Hafidh Ibnu Rajab Al-Hanbaly berkata :
Perhatikan, di sini Ibnu Rajab memaknai hadits tersebut dengan makna dhahir (yaitu mengerjakan/menegakkan shalat) dimana beliau menjadikannya sebagai tolok ukur kebolehan keluar dari ketaatan dari penguasa jika ia meninggalkan shalat.
Al-’Allamah ’Ali Al-Qary Al-Hanafy Al-Makky berkata ketika menjelaskan hadits di tersebut :
Asy-Syaukani berkata ketika menjelaskan hadits laa maa aqaamu fiikumush-shalah :
Syamsul-Haq Al-’Adhim ’Abadi berkata ketika menafsirkan hadits afalaa nuqaatiluuhum ? Qaala : Laa maa shalluu :
Al-Mubarakfury (Muhammad bin ’Abdirrahman Al-Mubarakfury) berkata ketika menafsirkan hadits afalaa nuqaatiluuhum ? Qaala : Laa maa shalluu :
Para ulama Ahlus-Sunnah telah menjelaskan bahwa makna shalat bagi pemimpin/penguasa di sini adalah sebagaimana dhahirnya, yaitu menegakkan shalat bagi dirinya dan juga kepada rakyatnya. Ia menampakkan syi’ar-syi’ar shalat di tengah rakyatnya dan tidak melarangnya. Hal itu disebabkan karena penekanan dalam hadits adalah dzat penegakan shalatnya itu sendiri yang dilakukan oleh pemimpin/penguasa yang dengan itu ia masih berstatus sebagai seorang muslim. Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam bersabda :
Dari Abdullah bin Syaqiq Al-‘Uqaili, ia berkata :
Jikalau pemimpin/penguasa tersebut meninggalkan shalat, maka ia dianggap kafir (menurut sebagian pendapat berdasarkan dua hadits di atas), atau hampir terjerumus pada kekafiran (menurut pendapat lain).
Melaksanakan seruan shalat tidak harus terimplementasi dalam wujud undang-undang. Adanya lembaga, haiah, atau orang khusus yang ditunjuk oleh pemimpin/penguasa yang mengatur dalam pelaksanaan shalat sudah merupakan bentuk pelaksanaan penegakan pelaksanaan shalat di tengah umat. Apalagi dengan bebas terdengarnya adzan yang berkumandang dimana-mana dalam setiap waktu shalat (dan pemimpin/penguasa tidak melarangnya – bahkan mendukungnya), maka hal itu sudah merupakan wujud pelaksanaan tanggung jawab dalam pelaksanaan seruan shalat kepada rakyatnya.
Hadits di atas menunjukkan bahwasannya adzan merupakan alat seruan untuk pelaksanaan shalat.
Hadits di atas menunjukkan bahwasannya adzan merupakan faktor penghalang tidak diserangnya sebuah negeri/penduduk. Hal itu dikarenakan bahwa negeri tersebut adalah negeri muslim yang ditegakkan shalat berjama’ah di dalamnya. Jika ada faktor pencegah untuk menyerang satu negeri/penduduk (yaitu terdengar dan dikumandangkannya adzan), maka hal itu berlaku pula untuk menahan serangan kepada penguasanya yang menegakkan syi’ar-syi’ar adzan dan shalat. Sudah merupakan konsekunsi logis dalam syari’at. Dan itulah makna penegakan shalat yang mencegah diangkatnya senjata dalam bahasan ini.
Jika kemudian ada sebagian orang/kelompok menginginkan makna maa aqaamuu fiikumush-shalah adalah penegakan hukum secara keseluruhan (karena dianggap sebagai kinayah), maka ini jelas pendapat yang sangat lemah dan tidak berdasar. Cabang bahasan kinayah adalah cabang bahasan majaz [1]. Sesuai dengan kaidah yang ada, satu lafadh pada asalnya harus dibawa kepada makna hakikat/dhahir (al-ashlu fil-kalaami al-haqiiqatu). Ibnul-Qayyim telah menjelaskan bahwa makna majaz dan ta’wil tidak termasuk dalamal-manshush, akan tetapi masuk ke dalam lafadh yang dhahir muhtamal (mengandung kemungkinan/ambignuitas). Selagi satu lafadh masih bisa dibawa kepada makna hakikat/dhahir, maka tidak boleh dibawa kepada makna majaz, kecuali setelah memenuhi beberapa persyaratan yang dikenal dalam ilmu Ushul Fiqh.
Jika ada orang yang beralasan : Lafadh ”Kitabullah” dalam hadits : “Seandainya yang memerintah kalian seorang budak Habsyi berdasarkan Kitabullah, maka dengar dan taatilah” [HR. Muslim no. 1838] menunjukkan makna induk dari lafadh ”shalat”.
Kita jawab : Pertama, sesuai dengan kaidah sebelumnya, satu lafadh harus kita pahami sesuai dengan hakikatnya. Kedua, Lafadh “Kitabulah” dalam hadits tersebut adalah lafadh yang muthlaq (yaitu lafadh yang mengandung pengertian umum pada jenisnya). Menegakkan Kitabullah itu secara dhahir mengandung makna menegakkan seluruh dari apa yang termaktub di dalamnya baik dalam masalah aqidah, hukum, akhlaq, dan yang lainnya. Dan hal ini tidaklah mungkin ada/terlaksana secara sempurna kecuali pada diri Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam dan era Khulafaur-Rasyidin. Adapun setelah itu, maka hukum Islam tidaklah ditegakkan secara sempurna sampai dengan hari ini. Dan memang, bukanlah makna ini yang dimaui oleh syari’at. Makna menegakkan Kitabullah itu di-taqyid (dibatasi pengertiannya) dengan kata “shalat” (Taqyid Munfashil). Jika ada dalil muthlaq dan muqayyad tentang satu hal yang mempunyai kesamaan sebab dan hukum, maka dalil muthlaq harus dibawa kepada dalil muqayyad (hamlul-muthlaq ‘alal-muqayyad wajibun) [silakan lihat kaidah ini dalam kitab Irsyaadul-Fuhuul oleh Imam Asy-Syaukani hal. 213-214; Maktabah Sahab].
Catatan kaki :
[1] Yaitu jenis majaz mursal juz’iyyah (menyebut sebagian, namun yang dimaksudkan adalah seluruh bagian).
Bersambung insya Allah............
from= http://abul-jauzaa.blogspot.fr/2008/09/bilamana-penguasa-tidak-menegakkan.html
Para ulama telah mengambil dhahir hadits maa aqaamuu fiikumush-shalah atau maa shalluu sebagai dalil diperbolehkannya untuk keluar dari ketaatan pemimpin/penguasa jika ia tidak menegakkan shalat.
Al-Qadli ’Iyadl berkata :
أجمع العلماء على أن الإمامة لا تنعقد لكافر ، وعلى أنه لو طرأ عليه الكفر انعزل . قال : وكذا لو ترك إقامة الصلوات والدعاء إليها
”Para ulama telah bersepakat bahwasannya imamah tidak bisa diserahkan kepada orang kafir, apabila secara tiba-tiba kekufuran (yang nyata) terjadi padanya, maka ia diberhentikan (sebagai imam)”. Dan ia berkata pula : ”Begitu pula apabila ia meninggalkan penegakan shalat dan seruan kepadanya (untuk melaksanakan shalat)” [Syarh Shahih Muslim juz 12 hal. 229].Abul-’Abbas Al-Qurthubi (guru dari mufassir Abu ’Abdillah Al-Qurthubi) berkata tentang makna maa aqaamu fiikumush-shalah :
ظاهره : ما حافظوا على الصلوات المعهودة بحدودها ، وأحكامها ، وداموا على ذلك ، وأظهروه . وقيل معناه : ما داموا على كلمة الاسلام ؛ كما قد عبَّر بالمصلين عن المسلمين ؛ كما قال ـ صلى الله عليه وسلم ـ : (( نهيتُ عن قتل المصلين )) ؛ أي : المسلمين . والأوَّل أظهر
Dhahir maknanya adalah : selama mereka (penguasa) menjaga shalat-shalat yang diwajibkan dengan segala ketentuan dan hukum-hukumnya, senantiasa melakukannya, dan menampakkannya (di tengah masyarakat). Ada pula yang mengatakan maknanya adalah : selama mereka melangsungkan kalimat Islam (secara luas) sebagaimana al-mushalliin ditafsirkan sebagai al-muslimin, sebagaimana sabda Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam : ”Aku melarang kalian untuk membunuh al-mushalliin (orang-orang yang melakukan shalat)” , yaitu : al-muslimin (orang-orang muslim). Akan tetapi, makna yang pertamalah yang lebih terang (pada kebenaran)” [Al-Mufhim limaa Asykala min Talkhiishi Kitaabi Muslim juz 3 hal. 287-288; Maktabah Al-Misykah].Al-Hafidh Ibnu Rajab Al-Hanbaly berkata :
ويستدل أيضا على القتال على ترك الصلاة بما في صحيح مسلم عن أم سلمة عن النبي صلى الله عليه وسلم قال يستعمل عليكم أمراء فتعرفون وتنكرون فمن أنكر فقد برئ ومن كره فقد سلم ولكن من رضي وتابع فقالوا يا رسول الله ألا نقاتلهم قال لا ما صلوا
”Dalil lain tentang dibolehkannya memerangi orang-orang yang meninggalkan shalat adalah hadits dalam Shahih Muslim dari Ummu Salamah radliyallaahu ’anhu, dari Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam yang bersabda : ”Akan diangkat penguasa untuk kalian. Lalu engkau mengenalinya dan kemudian engkau ingkari. Barangsiapa yang mengingkarinya, ia telah berlepas tangan. Barangsiapa yang benci, sungguh ia telah selamat. Akan tetapi, lain halnya dengan orang yang ridla dan patuh terhadap pemimpin tersebut”. Para shahabat bertanya : ”Wahai Rasulullah, apakah kami boleh memeranginya ?”. Beliau menjawab : ”Tidak, selama mereka mengerjakan shalat” [selesai – Jami’ul-’Ulum wal-Hikaam hal. 112; Cet. 1424 H; Daarul-Hadits, Mesir].Perhatikan, di sini Ibnu Rajab memaknai hadits tersebut dengan makna dhahir (yaitu mengerjakan/menegakkan shalat) dimana beliau menjadikannya sebagai tolok ukur kebolehan keluar dari ketaatan dari penguasa jika ia meninggalkan shalat.
Al-’Allamah ’Ali Al-Qary Al-Hanafy Al-Makky berkata ketika menjelaskan hadits di tersebut :
إقامتهم الصلاة فيما بينكم لأنها علامة اجتماع الكلمة في الأمة قال الطيبي فيه إشعار بتعظيم أمر الصلاة وإن تركها موجب لنزع اليد عن الطاعة
”Mereka menegakkan shalat di antara kalian, karena hal itu merupakan tanda persatuan kalimat bagi ummat. Telah berkata Ath-Thiibi : ’Di hadits tersebut terdapat pemberitahuan tentang pengagungan perkara shalat yang apabila ditinggalkan mempunyai konsekuensi pelepasan tangan dari ketaatan.” [Mirqaatul-Mafaatih Syarh Misykaatil-Mashaabih juz 4 hal. 112; Maktabah Al-Misykah].Asy-Syaukani berkata ketika menjelaskan hadits laa maa aqaamu fiikumush-shalah :
فيه دليل على أنه لا يجوز منابذة الأئمة بالسيف مهما كانوا مقيمين للصلاة ويدل ذلك بمفهومه على جواز المنابذة عند تركهم للصلاة
”Di dalamnya terdapat dalil tentang tidak bolehnya menentang/memerangi pemimpin dengan menggunakan pedang selama mereka masih menegakkan shalat. Dan hadits itu juga menunjukkan dengan mafhumnya atas bolehnya menentang/memerangi bila mereka meninggalkan shalat” [Nailul-Authaar juz 7 hal. 197].Syamsul-Haq Al-’Adhim ’Abadi berkata ketika menafsirkan hadits afalaa nuqaatiluuhum ? Qaala : Laa maa shalluu :
أي ما داموا يصلون
”Yaitu : selama mereka senantiasa melaksanakan shalat” [’Aunul-Ma’bud Syarh Sunan Abi Dawud Kitaabus-Sunnah, Bab Fii Qatlil-Khawaarij syarah hadits no. 4760].Al-Mubarakfury (Muhammad bin ’Abdirrahman Al-Mubarakfury) berkata ketika menafsirkan hadits afalaa nuqaatiluuhum ? Qaala : Laa maa shalluu :
إنما منع عن مقاتلتهم ما داموا يقيمون الصلاة التي هي عنوان الإسلام حذراً من هيج الفتن
”Hanya saja hal itu terlarang untuk memerangi mereka selama mereka senantiasa menegakkan shalat dimana hal itu merupakan simbol/nama Islam, dan juga sebagai peringatan atas munculnya api fitnah (karena menentang penguasa)” [Tuhfatul-Ahwadzi Syarh Sunan At-Tirmidzi juz 6 hal. 413 no. 2302; Maktabah Al-Misykah].Para ulama Ahlus-Sunnah telah menjelaskan bahwa makna shalat bagi pemimpin/penguasa di sini adalah sebagaimana dhahirnya, yaitu menegakkan shalat bagi dirinya dan juga kepada rakyatnya. Ia menampakkan syi’ar-syi’ar shalat di tengah rakyatnya dan tidak melarangnya. Hal itu disebabkan karena penekanan dalam hadits adalah dzat penegakan shalatnya itu sendiri yang dilakukan oleh pemimpin/penguasa yang dengan itu ia masih berstatus sebagai seorang muslim. Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam bersabda :
إِنَّ بَيْنَ الرَّجُلِ وَبَيْنَ الشِرْكِ وَالكُفرِ تَرْكَ الصَّلاة
“Sesungguhnya batas antara seseorang dengan kesyirikan dan kekufuran adalah meninggalkan shalat” [HR. Muslim nomor 82].Dari Abdullah bin Syaqiq Al-‘Uqaili, ia berkata :
كَانَ أَصْحَابُ مُحَمَّدٍ صلى الله عليه وسلم لا يَرَوْنَ شَيْئًا مِنَ اْلأَعْمَالِ تَرْكَهُ كُفْرٌ غَيْرَ الصَّلاة
“Dahulu para shahabat Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam tidak melihat sesuatu amal yang jika ditinggalkan menyebabkan kufur kecuali shalat” [HR. At-Tirmidzi nomor 2622; shahih].Jikalau pemimpin/penguasa tersebut meninggalkan shalat, maka ia dianggap kafir (menurut sebagian pendapat berdasarkan dua hadits di atas), atau hampir terjerumus pada kekafiran (menurut pendapat lain).
Melaksanakan seruan shalat tidak harus terimplementasi dalam wujud undang-undang. Adanya lembaga, haiah, atau orang khusus yang ditunjuk oleh pemimpin/penguasa yang mengatur dalam pelaksanaan shalat sudah merupakan bentuk pelaksanaan penegakan pelaksanaan shalat di tengah umat. Apalagi dengan bebas terdengarnya adzan yang berkumandang dimana-mana dalam setiap waktu shalat (dan pemimpin/penguasa tidak melarangnya – bahkan mendukungnya), maka hal itu sudah merupakan wujud pelaksanaan tanggung jawab dalam pelaksanaan seruan shalat kepada rakyatnya.
عن مالك بن الحويرث قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم ........فإذا حضرت الصلاة فليؤذن لكم
Dari Malik bin Al-Huwairits radliyallaahu ’anhu ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam : ”....Apabila waktu shalat telah tiba, hendaklah salah seorang dari kalian mengumandangkan adzan” [HR. Muslim no. 674].Hadits di atas menunjukkan bahwasannya adzan merupakan alat seruan untuk pelaksanaan shalat.
عن أنس بن مالك قال كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يغير إذا طلع الفجر وكان يستمع الأذان فإن سمع أذانا أمسك وإلا أغار
Dari Anas bin Malik radliyallaahu ’anhu ia berkata : ”Adalah Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam apabila hendak menyerang satu daerah ketika terbit fajar. Beliau menunggu suara adzan, jika beliau mendengar suara adzan maka beliau menahan diri. Namun jika beliau tidak mendengar, maka beliau menyerang” [HR. Muslim no. 382].Hadits di atas menunjukkan bahwasannya adzan merupakan faktor penghalang tidak diserangnya sebuah negeri/penduduk. Hal itu dikarenakan bahwa negeri tersebut adalah negeri muslim yang ditegakkan shalat berjama’ah di dalamnya. Jika ada faktor pencegah untuk menyerang satu negeri/penduduk (yaitu terdengar dan dikumandangkannya adzan), maka hal itu berlaku pula untuk menahan serangan kepada penguasanya yang menegakkan syi’ar-syi’ar adzan dan shalat. Sudah merupakan konsekunsi logis dalam syari’at. Dan itulah makna penegakan shalat yang mencegah diangkatnya senjata dalam bahasan ini.
Jika kemudian ada sebagian orang/kelompok menginginkan makna maa aqaamuu fiikumush-shalah adalah penegakan hukum secara keseluruhan (karena dianggap sebagai kinayah), maka ini jelas pendapat yang sangat lemah dan tidak berdasar. Cabang bahasan kinayah adalah cabang bahasan majaz [1]. Sesuai dengan kaidah yang ada, satu lafadh pada asalnya harus dibawa kepada makna hakikat/dhahir (al-ashlu fil-kalaami al-haqiiqatu). Ibnul-Qayyim telah menjelaskan bahwa makna majaz dan ta’wil tidak termasuk dalamal-manshush, akan tetapi masuk ke dalam lafadh yang dhahir muhtamal (mengandung kemungkinan/ambignuitas). Selagi satu lafadh masih bisa dibawa kepada makna hakikat/dhahir, maka tidak boleh dibawa kepada makna majaz, kecuali setelah memenuhi beberapa persyaratan yang dikenal dalam ilmu Ushul Fiqh.
Jika ada orang yang beralasan : Lafadh ”Kitabullah” dalam hadits : “Seandainya yang memerintah kalian seorang budak Habsyi berdasarkan Kitabullah, maka dengar dan taatilah” [HR. Muslim no. 1838] menunjukkan makna induk dari lafadh ”shalat”.
Kita jawab : Pertama, sesuai dengan kaidah sebelumnya, satu lafadh harus kita pahami sesuai dengan hakikatnya. Kedua, Lafadh “Kitabulah” dalam hadits tersebut adalah lafadh yang muthlaq (yaitu lafadh yang mengandung pengertian umum pada jenisnya). Menegakkan Kitabullah itu secara dhahir mengandung makna menegakkan seluruh dari apa yang termaktub di dalamnya baik dalam masalah aqidah, hukum, akhlaq, dan yang lainnya. Dan hal ini tidaklah mungkin ada/terlaksana secara sempurna kecuali pada diri Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam dan era Khulafaur-Rasyidin. Adapun setelah itu, maka hukum Islam tidaklah ditegakkan secara sempurna sampai dengan hari ini. Dan memang, bukanlah makna ini yang dimaui oleh syari’at. Makna menegakkan Kitabullah itu di-taqyid (dibatasi pengertiannya) dengan kata “shalat” (Taqyid Munfashil). Jika ada dalil muthlaq dan muqayyad tentang satu hal yang mempunyai kesamaan sebab dan hukum, maka dalil muthlaq harus dibawa kepada dalil muqayyad (hamlul-muthlaq ‘alal-muqayyad wajibun) [silakan lihat kaidah ini dalam kitab Irsyaadul-Fuhuul oleh Imam Asy-Syaukani hal. 213-214; Maktabah Sahab].
Catatan kaki :
[1] Yaitu jenis majaz mursal juz’iyyah (menyebut sebagian, namun yang dimaksudkan adalah seluruh bagian).
Bersambung insya Allah............
from= http://abul-jauzaa.blogspot.fr/2008/09/bilamana-penguasa-tidak-menegakkan.html