Tanya : Saya baca dalam sebuah bulletin beberapa minggu lalu bahwasannya Khilafah Islam telah runtuh tanggal 3 Maret 1924. Maka konsekuensinya, seluruh dakwah Islam yang ada sekarang harus mempunyai orientasi/tujuan utama untuk mengembalikan kekhilafahan yang telah hilang. Bagaimana pendapat Saudara mengenai hal ini ?
Jawab :
1. Ada hal yang perlu
dikoreksi tentang pertanyaan Saudara. Khilafah Islamiyyah tidaklah runtuh pada
tanggal 3 Maret 1924. Betul bahwasannya segolongan orang memakai dan
mempopulerkan istilah ini. Namun sebaik-baik
istilah dan pemahaman adalah yang berasal dari Al-Qur’an dan As-Sunnah
Ash-Shahiihah. Akan kami bawakan beberapa riwayat yang terkait.
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :
الخلافة في أمتي
ثلاثون سنة ثم ملك بعد ذلك
”Kekhilafahan umatku selama 30 tahun,
kemudian setelah itu adalah masa kerajaan” [HR. Abu Dawud no.
4646,4647; At-Tirmidzi no. 2226, Ath-Thayalisi no. 1107; dan yang lainnya; shahih].
Menurut ahli
tarikh, masa 30 tahun setelah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi
wasallam ini masuk dalam kepemimpinan Al-Hasan bin ‘Ali sebelum beliau
menyerahkannya kepada Mu’awiyah bin Abi Sufyan pada Tahun Jama’ah (disebut
tahun jama’ah karena pada tahun tersebut kaum muslimin antara pihak ‘Ali bin
Abi Thalib/Al-Hasan bin ‘Ali dan Mu’awiyyah bin Abi Sufyan mengakhiri
perselisihan) [’Aunul-Ma’bud Syarh Sunan Abi Dawud 2/397-399]. Dalam
riwayat Ath-Thayalisi terdapat tambahan lafadh :
قلت فمعاوية قال كان
أول الملوك
”Aku (yaitu rawi :
Sa’id bin Jumhaan) bertanya : ’Bagaimana dengan Mu’awiyyah ?’. Maka Safiinah
menjawab : ‘Ia adalah raja pertama dari raja-raja (dalam sejarah Islam)”.
Mengenai kalimat
{ ثم ملك بعد ذلك} ”kemudian setelah itu adalah masa
kerajaan” ; maka berkata Al-Munawi : ”yaitu setelah berakhirnya masa
kekhilafahan nubuwwah, maka akan muncul kerajaan”. Dan bahkan secara tegas
Ath-Thibi yang disitir oleh Al-’Adhim ’Abadiy
dalam ’Aunul-Ma’bud (2/388) mengatakan bahwa masa setelah
’Ali radliyallaahu ’anhu adalah masa ’mulkan ’adluudlan’ (مُلْكاً عَضُوضاً = Kerajaan yang dhalim). Hal ini
sangat sesuai dengan sabda beliau shallallaahu ’alaihi wasallam yang
lain :
تكون النبوة فيكم ما
شاء الله أن تكون , ثم يرفعها الله إذا شاء أن يرفعها ثم تكون خلافة على منهاج
النبوة , فتكون ما شاء الله أن تكون , ثم يرفعها إذا شاء أن يرفعها , ثم تكون ملكا
عاضا فيكون ما شاء الله أن تكون , ثم يرفعها إذا شاء الله أن يرفعها , ثم تكون
ملكا جبريا فتكون ما شاء الله أن تكون ,
ثم يرفعها إذا شاء أن
يرفعها , ثم تكون خلافة على منهاج النبوة . ثم سكت
“Akan ada masa
kenabian pada kalian selama yang Allah kehendaki, Allah
mengangkat/menghilangkannya kalau Allah kehendaki. Lalu akan ada masa khilafah
di atas manhaj Nubuwwah selama yang Allah kehendaki. Kemudian Allah mengangkatnya
jika Allah menghendaki. Lalu ada masa kerajaan yang sangat kuat (ada
kedhaliman) selama yang Allah kehendaki, kemudian Allah mengangkatnya bila
Allah menghendaki. Lalu akan ada masa kerajaan (tirani) selama yang Allah
kehendaki, kemudian Allah mengangkatnya bila Allah menghendaki. Lalu akan ada
lagi masa kekhilafahan di atas manhaj Nubuwwah”. Kemudian beliau diam” [HR.
Ahmad 4/273, Ath-Thayalisi no. 438, dan Al-Bazzar no. 2796; dishahihkan oleh
Asy-Syaikh Al-Albani dalam Silsilah Ash-Shahiihah no. 5].
Akhir kalimat yang ingin disampaikan pada point ini adalah bahwa yang runtuh pada tanggal 3 Maret 1924 adalah Daulah ’Utsmaniyyah yang notabene bukan merupakan bentuk Khilafah Islamiyyah, tapi bentuk kerajaan (mulk).[1]
2. Tentang orientasi/tujuan utama dakwah yang harus dilakukan, maka tentu kitapun
harus mencontoh dakwah para Nabi dan Rasul sebagaimana dijelaskan dalam
Al-Qur’an dan As-Sunnah. Dakwah para Nabi dan Rasul adalah dakwah yang terbaik
yang merupakan implementasi dari
kehendak syar’iyyah Allah ta’ala. Dakwah mereka adalah sama.
Mereka memulai dan memprioritaskan dengan sesuatu yang paling utama (paling
penting). Prioritas tersebut
adalah mengajak umat untuk mentauhidkan Allah ta’ala dan tidak
mensyirikkan-Nya dengan sesuatu apapun selain-Nya.
Mari kita simak
orientasi dakwah yang dilakukan oleh Nabi Nuh ’alaihis-salaam :
إِنَّا أَرْسَلْنَا
نُوحًا إِلَى قَوْمِهِ أَنْ أَنْذِرْ قَوْمَكَ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَأْتِيَهُمْ
عَذَابٌ أَلِيمٌ * قَالَ يَا قَوْمِ إِنِّي لَكُمْ نَذِيرٌ مُبِينٌ * أَنِ
اعْبُدُوا اللَّهَ وَاتَّقُوهُ وَأَطِيعُونِ * يَغْفِرْ لَكُمْ مِنْ
ذُنُوبِكُمْ وَيُؤَخِّرْكُمْ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى إِنَّ أَجَلَ اللَّهِ إِذَا
جَاءَ لا يُؤَخَّرُ لَوْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ * قَالَ رَبِّ إِنِّي
دَعَوْتُ قَوْمِي لَيْلا وَنَهَارًا * فَلَمْ يَزِدْهُمْ دُعَائِي إِلا فِرَارًا *
وَإِنِّي كُلَّمَا دَعَوْتُهُمْ لِتَغْفِرَ لَهُمْ جَعَلُوا أَصَابِعَهُمْ فِي
آذَانِهِمْ وَاسْتَغْشَوْا ثِيَابَهُمْ وَأَصَرُّوا وَاسْتَكْبَرُوا اسْتِكْبَارًا
* ثُمَّ إِنِّي دَعَوْتُهُمْ جِهَارًا * ثُمَّ إِنِّي أَعْلَنْتُ لَهُمْ
وَأَسْرَرْتُ لَهُمْ إِسْرَارًا * فَقُلْتُ اسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ إِنَّهُ كَانَ
غَفَّارًا * يُرْسِلِ السَّمَاءَ عَلَيْكُمْ مِدْرَارًا * وَيُمْدِدْكُمْ
بِأَمْوَالٍ وَبَنِينَ وَيَجْعَلْ لَكُمْ جَنَّاتٍ وَيَجْعَلْ لَكُمْ أَنْهَارًا *
مَا لَكُمْ لا تَرْجُونَ لِلَّهِ وَقَارًا * وَقَدْ خَلَقَكُمْ أَطْوَارًا *
أَلَمْ تَرَوْا كَيْفَ خَلَقَ اللَّهُ سَبْعَ سَمَاوَاتٍ طِبَاقًا * وَجَعَلَ
الْقَمَرَ فِيهِنَّ نُورًا وَجَعَلَ الشَّمْسَ سِرَاجًا * وَاللَّهُ أَنْبَتَكُمْ
مِنَ الأرْضِ نَبَاتًا *
ثُمَّ يُعِيدُكُمْ
فِيهَا وَيُخْرِجُكُمْ إِخْرَاجًا * وَاللَّهُ جَعَلَ لَكُمُ الأرْضَ بِسَاطًا *
لِتَسْلُكُوا مِنْهَا سُبُلا فِجَاجًا * قَالَ نُوحٌ رَبِّ إِنَّهُمْ عَصَوْنِي
وَاتَّبَعُوا مَنْ لَمْ يَزِدْهُ مَالُهُ وَوَلَدُهُ إِلا خَسَارًا * وَمَكَرُوا
مَكْرًا كُبَّارًا * وَقَالُوا لا تَذَرُنَّ آلِهَتَكُمْ وَلا تَذَرُنَّ وَدًّا
وَلا سُوَاعًا وَلا يَغُوثَ وَيَعُوقَ وَنَسْرًا * وَقَدْ أَضَلُّوا كَثِيرًا وَلا
تَزِدِ الظَّالِمِينَ إِلا ضَلالا * مِمَّا خَطِيئَاتِهِمْ أُغْرِقُوا
فَأُدْخِلُوا نَارًا فَلَمْ يَجِدُوا لَهُمْ مِنْ دُونِ اللَّهِ أَنْصَارًا
Sesungguhnya
Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya (dengan memerintahkan): "Berilah
kaummu peringatan sebelum datang kepadanya azab yang pedih". Nuh berkata:
"Hai kaumku, sesungguhnya aku adalah pemberi peringatan yang menjelaskan
kepada kamu, (yaitu) sembahlah olehmu Allah,
bertakwalah kepada-Nya dan taatlah kepadaku, niscaya Allah akan mengampuni
sebagian dosa-dosamu dan menangguhkan kamu sampai kepada waktu yang ditentukan.
Sesungguhnya ketetapan Allah apabila telah datang tidak dapat ditangguhkan,
kalau kamu mengetahui". Nuh berkata: "Ya Tuhanku sesungguhnya aku telah
menyeru kaumku malam dan siang, maka seruanku itu hanyalah menambah mereka lari
(dari kebenaran). Dan sesungguhnya setiap kali aku menyeru mereka (kepada iman)
agar Engkau mengampuni mereka, mereka memasukkan anak jari mereka ke dalam
telinganya dan menutupkan bajunya (ke mukanya) dan mereka tetap (mengingkari)
dan menyombongkan diri dengan sangat. Kemudian sesungguhnya aku telah menyeru
mereka (kepada iman) dengan cara terang-terangan, kemudian sesungguhnya aku
(menyeru) mereka (lagi) dengan terang-terangan dan dengan diam-diam, maka aku
katakan kepada mereka: "Mohonlah ampun kepada Tuhanmu, sesungguhnya Dia
adalah Maha Pengampun, niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan
lebat, dan membanyakkan harta dan anak-anakmu, dan mengadakan untukmu kebun-kebun
dan mengadakan (pula di dalamnya) untukmu sungai-sungai. Mengapa kamu tidak
percaya akan kebesaran Allah? Padahal Dia sesungguhnya telah menciptakan kamu
dalam beberapa tingkatan kejadian. Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah
telah menciptakan tujuh langit bertingkat-tingkat? Dan Allah menciptakan
padanya bulan sebagai cahaya dan menjadikan matahari sebagai pelita? Dan Allah
menumbuhkan kamu dari tanah dengan sebaik-baiknya, kemudian Dia mengembalikan
kamu ke dalam tanah dan mengeluarkan kamu (daripadanya pada hari kiamat) dengan
sebenar-benarnya. Dan Allah menjadikan bumi untukmu sebagai hamparan, supaya
kamu menjalani jalan-jalan yang luas di bumi itu". Nuh berkata: "Ya
Tuhanku, sesungguhnya mereka telah mendurhakai-ku, dan telah mengikuti orang-orang
yang harta dan anak-anaknya tidak menambah kepadanya melainkan kerugian belaka,
dan melakukan tipu-daya yang amat besar". Dan mereka berkata: "Jangan
sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) tuhan-tuhan kamu dan jangan pula
sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) wadd, dan jangan pula suwaa',
yaghuts, ya'uq dan nasr". Dan sesudahnya mereka telah menyesatkan
kebanyakan (manusia); dan janganlah Engkau tambahkan bagi orang-orang yang
lalim itu selain kesesatan. Disebabkan kesalahan-kesalahan mereka, mereka
ditenggelamkan lalu dimasukkan ke neraka, maka mereka tidak mendapat
penolong-penolong bagi mereka selain dari Allah [QS. Nuh : 1-25].
Dan inilah
orientasi dakwah Nabi Ibrahim ’alaihis-salaam :
وَلَقَدْ آتَيْنَا إِبْرَاهِيمَ
رُشْدَهُ مِنْ قَبْلُ وَكُنَّا بِهِ عَالِمِينَ * إِذْ قَالَ لأبِيهِ
وَقَوْمِهِ مَا هَذِهِ التَّمَاثِيلُ الَّتِي أَنْتُمْ لَهَا عَاكِفُونَ * قَالُوا
وَجَدْنَا آبَاءَنَا لَهَا عَابِدِينَ * قَالَ لَقَدْ كُنْتُمْ أَنْتُمْ
وَآبَاؤُكُمْ فِي ضَلالٍ مُبِينٍ * قَالُوا أَجِئْتَنَا بِالْحَقِّ أَمْ أَنْتَ
مِنَ اللاعِبِينَ * قَالَ بَل رَبُّكُمْ رَبُّ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ الَّذِي
فَطَرَهُنَّ وَأَنَا عَلَى ذَلِكُمْ مِنَ الشَّاهِدِينَ * وَتَاللَّهِ لأكِيدَنَّ
أَصْنَامَكُمْ بَعْدَ أَنْ تُوَلُّوا مُدْبِرِينَ * فَجَعَلَهُمْ جُذَاذًا إِلا
كَبِيرًا لَهُمْ لَعَلَّهُمْ إِلَيْهِ يَرْجِعُونَ * قَالُوا مَنْ فَعَلَ هَذَا
بِآلِهَتِنَا إِنَّهُ لَمِنَ الظَّالِمِينَ * قَالُوا سَمِعْنَا فَتًى
يَذْكُرُهُمْ يُقَالُ لَهُ إِبْرَاهِيمُ * قَالُوا فَأْتُوا بِهِ عَلَى أَعْيُنِ
النَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَشْهَدُونَ * قَالُوا أَأَنْتَ فَعَلْتَ هَذَا بِآلِهَتِنَا
يَا إِبْرَاهِيمُ * قَالَ بَلْ فَعَلَهُ كَبِيرُهُمْ هَذَا فَاسْأَلُوهُمْ إِنْ
كَانُوا يَنْطِقُونَ * فَرَجَعُوا إِلَى أَنْفُسِهِمْ فَقَالُوا إِنَّكُمْ
أَنْتُمُ الظَّالِمُونَ * ثُمَّ نُكِسُوا عَلَى رُءُوسِهِمْ لَقَدْ عَلِمْتَ مَا
هَؤُلاءِ يَنْطِقُونَ * قَالَ أَفَتَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ مَا لا
يَنْفَعُكُمْ شَيْئًا وَلا يَضُرُّكُمْ * أُفٍّ لَكُمْ وَلِمَا تَعْبُدُونَ مِنْ
دُونِ اللَّهِ أَفَلا تَعْقِلُونَ * قَالُوا حَرِّقُوهُ وَانْصُرُوا آلِهَتَكُمْ
إِنْ كُنْتُمْ فَاعِلِينَ * قُلْنَا يَا نَارُ كُونِي بَرْدًا وَسَلامًا عَلَى
إِبْرَاهِيمَ * وَأَرَادُوا بِهِ كَيْدًا فَجَعَلْنَاهُمُ الأخْسَرِينَ
Dan sesungguhnya
telah Kami anugerahkan kepada Ibrahim hidayah kebenaran sebelum (Musa dan Harun),
dan adalah Kami mengetahui (keadaan) nya. (Ingatlah), ketika Ibrahim berkata
kepada bapaknya dan kaumnya: "Patung-patung apakah ini yang kamu tekun
beribadah kepadanya?". Mereka menjawab: "Kami mendapati bapak-bapak
kami menyembahnya". Ibrahim berkata: "Sesungguhnya kamu dan
bapak-bapakmu berada dalam kesesatan yang nyata". Mereka menjawab:
"Apakah kamu datang kepada kami dengan sungguh-sungguh ataukah kamu
termasuk orang-orang yang bermain-main?" Ibrahim berkata: "Sebenarnya
Tuhan kamu ialah Tuhan langit dan bumi yang telah menciptakannya; dan aku
termasuk orang-orang yang dapat memberikan bukti atas yang demikian itu".
Demi Allah, sesungguhnya aku akan melakukan tipu daya terhadap
berhala-berhalamu sesudah kamu pergi meninggalkannya. Maka Ibrahim membuat
berhala-berhala itu hancur berpotong-potong, kecuali yang terbesar (induk) dari
patung-patung yang lain; agar mereka kembali (untuk bertanya) kepadanya. Mereka
berkata: "Siapakah yang melakukan perbuatan ini terhadap tuhan-tuhan kami,
sesungguhnya dia termasuk orang-orang yang lalim". Mereka berkata:
"Kami dengar ada seorang pemuda yang mencela berhala-berhala ini yang
bernama Ibrahim". Mereka berkata: "(Kalau demikian) bawalah dia
dengan cara yang dapat dilihat orang banyak, agar mereka menyaksikan".
Mereka bertanya: "Apakah kamu, yang melakukan perbuatan ini terhadap
tuhan-tuhan kami, hai Ibrahim?". Ibrahim menjawab: "Sebenarnya patung
yang besar itulah yang melakukannya, maka tanyakanlah kepada berhala itu, jika
mereka dapat berbicara". Maka mereka telah kembali kepada kesadaran mereka
dan lalu berkata: "Sesungguhnya kamu sekalian adalah orang-orang yang
menganiaya (diri sendiri)", kemudian kepala mereka jadi tertunduk (lalu
berkata): "Sesungguhnya kamu (hai Ibrahim) telah mengetahui bahwa
berhala-berhala itu tidak dapat berbicara". Ibrahim berkata: "Maka mengapakah kamu menyembah selain Allah sesuatu yang
tidak dapat memberi manfaat sedikit pun dan tidak (pula) memberi mudarat kepada
kamu?" Ah (celakalah) kamu dan apa yang kamu sembah selain Allah. Maka
apakah kamu tidak memahami?. Mereka berkata: "Bakarlah dia dan bantulah
tuhan-tuhan kamu, jika kamu benar-benar hendak bertindak". Kami berfirman:
"Hai api menjadi dinginlah, dan menjadi keselamatanlah bagi Ibrahim".
mereka hendak berbuat makar terhadap Ibrahim, maka Kami menjadikan mereka itu
orang-orang yang paling merugi. [QS. Al-Anbiyaa’ : 51-70].
Dan inilah
prioritas dakwah Nabi Musa ’alaihis-salaam yang ia lakukan kepada
Fir’aun, sang raja negara adidaya sekaligus poros kejahatan dan kedhaliman di
masanya :
فَأْتِيَا فِرْعَوْنَ فَقُولا إِنَّا رَسُولُ رَبِّ الْعَالَمِينَ * أَنْ أَرْسِلْ مَعَنَا بَنِي إِسْرَائِيلَ * قَالَ أَلَمْ نُرَبِّكَ فِينَا وَلِيدًا وَلَبِثْتَ فِينَا مِنْ عُمُرِكَ سِنِينَ * وَفَعَلْتَ فَعْلَتَكَ الَّتِي فَعَلْتَ وَأَنْتَ مِنَ الْكَافِرِينَ * قَالَ فَعَلْتُهَا إِذًا وَأَنَا مِنَ الضَّالِّينَ * فَفَرَرْتُ مِنْكُمْ لَمَّا خِفْتُكُمْ فَوَهَبَ لِي رَبِّي حُكْمًا وَجَعَلَنِي مِنَ الْمُرْسَلِينَ * وَتِلْكَ نِعْمَةٌ تَمُنُّهَا عَلَيَّ أَنْ عَبَّدْتَ بَنِي إِسْرَائِيلَ * قَالَ فِرْعَوْنُ وَمَا رَبُّ الْعَالَمِينَ * قَالَ رَبُّ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ وَمَا بَيْنَهُمَا إِنْ كُنْتُمْ مُوقِنِينَ * قَالَ لِمَنْ حَوْلَهُ أَلا تَسْتَمِعُونَ * قَالَ رَبُّكُمْ وَرَبُّ آبَائِكُمُ الأوَّلِينَ * قَالَ إِنَّ رَسُولَكُمُ الَّذِي أُرْسِلَ إِلَيْكُمْ لَمَجْنُونٌ * قَالَ رَبُّ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ وَمَا بَيْنَهُمَا إِنْ كُنْتُمْ تَعْقِلُونَ * قَالَ لَئِنِ اتَّخَذْتَ إِلَهًا غَيْرِي لأجْعَلَنَّكَ مِنَ الْمَسْجُونِينَ
Maka datanglah
kamu berdua kepada Firaun dan katakanlah olehmu: "Sesungguhnya kami adalah
Rasul Tuhan semesta alam, lepaskanlah Bani Israel (pergi) beserta kami".
Firaun menjawab: "Bukankah kami telah mengasuhmu di antara (keluarga)
kami, waktu kamu masih kanak-kanak dan kamu tinggal bersama kami beberapa tahun
dari umurmu. dan kamu telah berbuat suatu perbuatan yang telah kamu lakukan itu
dan kamu termasuk golongan orang-orang yang tidak membalas guna". Berkata
Musa: "Aku telah melakukannya, sedang aku di waktu itu termasuk
orang-orang yang khilaf. Lalu aku lari meninggalkan kamu ketika aku takut
kepadamu, kemudian Tuhanku memberikan kepadaku ilmu serta Dia menjadikanku
salah seorang di antara rasul-rasul. Budi yang kamu limpahkan kepadaku itu
adalah (disebabkan) kamu telah memperbudak Bani Israel". Firaun bertanya:
"Siapa Tuhan semesta alam itu?". Musa menjawab: "Tuhan Pencipta
langit dan bumi dan apa-apa yang di antara keduanya. (Itulah Tuhanmu), jika
kamu sekalian (orang-orang) mempercayai-Nya". Berkata Firaun kepada
orang-orang sekelilingnya: "Apakah kamu tidak mendengarkan?". Musa berkata
(pula): "Tuhan kamu dan Tuhan nenek-nenek moyang kamu yang dahulu".
Firaun berkata: "Sesungguhnya Rasulmu yang diutus kepada kamu sekalian
benar-benar orang gila". Musa berkata: "Tuhan yang menguasai timur
dan barat dan apa yang ada di antara keduanya: (Itulah Tuhanmu) jika kamu
mempergunakan akal". Firaun berkata: "Sungguh jika kamu menyembah
Tuhan selain aku, benar-benar aku akan menjadikan kamu salah seorang yang
dipenjarakan" [QS.
Asy-Syu’araa’ : 16-29].
Dan inilah
orientasi dakwah yang dilakukan Nabi kita Muhammad shallallaahu ’alaihi
wasallam :
قُلْ إِنِّي أُمِرْتُ أَنْ أَعْبُدَ اللَّهَ مُخْلِصًا لَهُ الدِّينَ * وَأُمِرْتُ لأنْ أَكُونَ أَوَّلَ الْمُسْلِمِينَ * قُلْ إِنِّي أَخَافُ إِنْ عَصَيْتُ رَبِّي عَذَابَ يَوْمٍ عَظِيمٍ * قُلِ اللَّهَ أَعْبُدُ مُخْلِصًا لَهُ دِينِي
Katakanlah:
"Sesungguhnya aku diperintahkan supaya
menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan)
agama. Dan aku diperintahkan supaya menjadi orang yang pertama-tama berserah
diri". Katakanlah: "Sesungguhnya aku takut akan siksaan hari
yang besar jika aku durhaka kepada Tuhanku". Katakanlah: "Hanya Allah
saja Yang aku sembah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan)
agamaku" [QS.
Az-Zumar : 11-14].
قُلْ يَا أَيُّهَا
النَّاسُ إِنِّي رَسُولُ اللَّهِ إِلَيْكُمْ جَمِيعًا الَّذِي لَهُ مُلْكُ
السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ لا إِلَهَ إِلا هُوَ يُحْيِي وَيُمِيتُ فَآمِنُوا
بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ النَّبِيِّ الأمِّيِّ الَّذِي يُؤْمِنُ بِاللَّهِ
وَكَلِمَاتِهِ وَاتَّبِعُوهُ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ
Katakanlah:
"Hai manusia sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu semua, yaitu
Allah yang mempunyai kerajaan langit dan bumi; tidak ada Tuhan (yang berhak
disembah) selain Dia, Yang menghidupkan dan mematikan, maka berimanlah kamu
kepada Allah dan Rasul Nya, Nabi yang umi yang beriman kepada Allah dan kepada
kalimat-kalimat-Nya (kitab-kitab-Nya) dan ikutilah dia, supaya kamu mendapat
petunjuk" [QS.
Al-A’raf : 158].
Inilah dakwah para
Nabi dan Rasul, dan ini pulalah misi utama diutusnya mereka semua kepada umat
manusia. Allah berfirman :
وَمَا أَرْسَلْنَا
مِن قَبْلِكَ مِن رَّسُولٍ إِلَّا نُوحِي إِلَيْهِ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا
أَنَا فَاعْبُدُونِ
“Dan Kami tidak
mengutus seorang Rasul-pun sebelum kamu, melainkan Kami wahyukan kepadanya : Bahwasannya tidak ada Tuhan (yang haq) melainkan Aku,
maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku” [QS. Al-Anbiyaa’ : 25].
وَلَقَدْ بَعَثْنَا
فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَّسُولاً أَنِ اعْبُدُواْ اللّهَ وَاجْتَنِبُواْ الطَّاغُوتَ
فَمِنْهُم مَّنْ هَدَى اللّهُ وَمِنْهُم مَّنْ حَقَّتْ عَلَيْهِ الضَّلالَةُ
فَسِيرُواْ فِي الأَرْضِ فَانظُرُواْ كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الْمُكَذِّبِينَ
Dan sesungguhnya
Kami telah mengutus rasul untuk tiap-tiap umat (untuk menyerukan) : “Sembahlah Allah (saja) dan jauhilah thaghut itu”.
Maka diantara umat itu ada orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah dan ada
pula diantaranya orang-orang yang telah pasti kesesatan baginya. Maka
berjalanlah kamu di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang
yang mendustakan (rasul-rasul)” [QS. An-Nahl : 36].
Rasulullah shallallaahu
’alaihi wasallam terus menegakkan panji-panji ketauhidan, baik pada
periode Makkah maupun Madinah, hingga beliau diwafatkan
Allah ta’ala pada tahun 13 H. Contoh-contoh kongkrit pelaksanaan
dakwah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam dapat kita temukan
dalam banyak hadits. Diantaranya adalah perkataan beliau ketika mengutus Mu’adz
bin Jabal radliyallaahu 'anhu untuk berdakwah kepada penduduk negeri
Yaman :
إنك تقدم على قوم من
أهل الكتاب فليكن أول ما تدعوهم إلى أن يوحدوا الله تعالى فإذا عرفوا ذلك فأخبرهم
أن الله فرض عليهم خمس صلوات في يومهم وليلتهم فإذا صلوا فأخبرهم أن الله افترض
عليهم زكاة في أموالهم تؤخذ من غنيهم فترد على فقيرهم فإذا أقروا بذلك فخذ منهم
وتوق كرائم أموال الناس
"Sesungguhnya
kamu mendatangi suatu kaum dari Ahli Kitab. Maka jadikanlah awal dari seruanmu
kepada mereka adalah untuk mentauhidkan Allah ta’ala. Apabila mereka telah
mengetahuinya, maka khabarkanlah kepada bahwa Allah telah mewajibkan atas
mereka shalat lima waktu sehari semalam. Apabila mereka telah mengerjakannya,
maka khabarkanlah kepada mereka bahwasannya Allah telah mewajibkan atas mereka
zakat yang diambil dari orang-orang kaya di antara mereka dan dikembalikan
kepada orang-orang faqir di antara mereka. Apabila mereka telah mengikrarkannya
(untuk mentaatinya), maka jagalah dirimu dari kemuliaan harta-harta
mereka.” [HR. Al-Bukhari no. 7372].
Juga saat
beliau shallallaahu ’alaihi wasallam mengambil baiat manusia, maka
yang pertama kali beliau minta adalah ketaatan mereka untuk mentauhidkan
Allah ta’ala (tanpa mensyirikkan-Nya dengan sesuatupun juga).
عن عبادة بن الصامت
قال: كان رسول الله صلى الله عليه وسلم في مجلس، فقال: بايعوني على أن لا
تشركوا بالله شيئا ولا تسرقوا ولا تزنوا ولا تقتلوا أولادكم ولا تأتوا ببهتان
تفترونه بين أيديكم وأرجلكم ولا تعصوا في معروف فمن وفي منكم فأجره على الله ومن
أصاب من ذلك شيئا فعوقب في الدنيا فهو كفارة له ومن أصاب من ذلك شيئا ثم ستره الله
فهو إلى الله إن شاء عفا عنه وإن شاء عاقبه فبايعناه على ذلك
Dari ’Ubadah bin
Ash-Shaamit radliyallaahu ’anhu ia berkata : Ketika
Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam berada di dalam sebuah
majelis, beliau bersabda: ”Berbaiatlah kamu sekalian kepadaku untuk tidak
menyekutukan Allah dengan sesuatupun juga, tidak mencuri, tidak berzina, tidak
membunuh anak-anak kalian, tidak berkata dusta, dan tidak berhenti menganjurkan
kebaikan. Barangsiapa di antara kalian memenuhi janjinya dalam hal tersebut,
maka Allah lah yang menanggung pahalanya. Barangsiapa yang berdosa (dengan
melanggar perjanjian tersebut), lalu ia disiksa di dunia, maka siksanya itu
sebagai pelebur dosanya. Dan barangsiapa yang berdosa (dengan melanggar
perjanjian tersebut), kemudian Allah menutupi dosanya di dunia, maka kelak di
akhirat terserah kepada Allah. Jika Allah berkehendak, maka Allah akan
memaafkannya; dan jika Allah berkehendak, maka Allah akan menyiksanya”. ’Ubadah
berkata : ”Maka kami pun berbaiat kepada beliau shallallaahu ’alaihi
wasallam atas hal tersebut” [HR. Al-Bukhari no. 18].
Bahkan, penerimaan
dakwah tauhid ini menjadi tolok ukur diperangi atau tidaknya satu kaum
sebagaimana sabda beliau shallallaahu ’alaihi wasallam :
أمرت أن أقاتل النـاس
حتى يقولــوا: لا إلـه إلا الله، فمــن قــال: لا إله إلا الله، عصم مني ماله
ونفسه إلا بحقه، وحسابه على الله
”Aku diperintahkan
(Allah) untuk memerangi manusia hingga mereka mengatakan : ‘Tidak ada tuhan
yang berhak untuk disembah kecuali Allah’. Barangsiapa yang mengatakan ‘Tidak
ada tuhan yang berhak untuk disembah kecuali Allah’, maka harta dan jiwanya
terlindungi dariku kecuali karena haknya; dan oleh Allah lah hisab baginya”.
Orientasi dakwah
inilah yang harus kita jalankan di masa sekarang. Adapun Daulah/Khilafah, maka
itu merupakan janji/anugrah Allah yang akan Allah tunaikan jikalau kaum
muslimin merealisasikan tujuan mereka diciptakan; yaitu beribadah kepada-Nya
semata dan meninggalkan aneka macam kesyirikan, serta beramal shalih sesuai
dengan tuntunan Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam.
Allah ta’ala telah berfirman :
وَعَدَ اللّهُ
الّذِينَ آمَنُواْ مِنْكُمْ وَعَمِلُواْ الصّالِحَاتِ لَيَسْتَخْلِفَنّهُمْ فِي
الأرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الّذِينَ مِن قَبْلِهِمْ وَلَيُمَكّنَنّ لَهُمْ
دِينَهُمُ الّذِي ارْتَضَىَ لَهُمْ وَلَيُبَدّلَنّهُمْ مّن بَعْدِ خَوْفِهِمْ
أَمْناً يَعْبُدُونَنِي لاَ يُشْرِكُونَ بِي شَيْئاً وَمَن كَفَرَ بَعْدَ ذَلِكَ
فَأُوْلَـَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ
”Dan Allah
telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara
kamu dan mengerjakan amal-amal yang shalih bahwa Dia sungguh-sungguh
akan menjadikan mereka berkuasa di muka bumi, sebagaimana Dia telah
menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan
bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar
akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman
sentausa. Mereka tetap menyembah-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu
apapun dengan Aku. Dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka
mereka itulah orang-orang yang fasik." [QS. An-Nuur : 55].
Dicabutnya
kekuasaan kaum muslimin oleh Allah dengan keruntuhan Daulah ’Utsmaniyyah pada tahun
1924 adalah merupakan musibah yang diakibatkan oleh kesalahan kaum muslimin
sendiri ketika mereka mulai jauh dari syari’at Allah. Allah berfirman :
وَمَآ أَصَابَكُمْ
مّن مّصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُواْ عَن كَثِيرٍ
“Dan apa saja
musibah yang menimpa kamu, maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu
sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari
kesalahan-kesalahanmu)” [QS. Asy-Syuuraa : 30].
Bisa kita lihat di
masa itu (bahkan hingga sekarang) aneka kesyirikan dan bid’ah merajalela.
Budaya taqlid terhadap kuffar sudah bukan hal yang aneh jadi pemandangan.
Oleh karena itu,
sangat ironis jika ada sekelompok orang yang mendengung-dengungkan pengembalian
khilafah sementara di kanan-kiri dan depan-belakang mereka orang-orang ramai
melakukan praktek penyembahan kubur, perdukunan, sihir (juga : sulap), mengundi
nasib, ber-zodiak ria, sinetron-sinetron mistik, dan yang semisal tanpa ada
pengingkaran yang berarti. Bagaimana mungkin khilafah bisa ditegakkan dalam keadaan
kondisi ini ? Diperparah lagi dengan kondisi banyaknya kaum muslimin yang
meninggalkan shalat, zakat, puasa, dan haji yang notabene menjadi kewajiban
pokok ’amaliy mereka. Jadi, janganlah heran jika penolakan konsepsi
syar’i Khilafah Islamiyyah itu justru datang dari kaum muslimin sendiri.
Ya,.... kaum muslimin yang fasiq nan bodoh.
Jika kita (kaum
muslimin) ingin mendapatkan kembali kekuasaan di muka bumi, maka kita harus
mulai dengan apa yang dimulai oleh Rasulullah shallallaahu ’alaihi
wasallam sebagaimana yang telah disampaikan di atas. Memulai dari yang paling
dasar, paling pokok, paling penting, dan paling mendesak (urgen) untuk
dilaksanakan. Tentu saja tanpa menafikkan hal-hal lain yang merupakan bagian
dari syari’at Islam. Jika kita telah menempuh sarana yang dipersyaratkan oleh
Allah – sebagaimana tertera dalam QS. An-Nuur : 55 (yaitu ketauhidan, keimanan,
dan amal shalih) – maka bukan mustahil kekhilafahan itu dikembalikan ke tangan
kaum muslimin. Dan kalau pun misalnya kita dalam menegakkan dakwah tauhid ini
Allah belum mentaqdirkan kita merasakan masa kekhilafahan Islam sebagaimana
yang dijanjikan, maka kita tidak perlu putus asa
dan isti’jal (tergesa-gesa) dalam berdakwah. Kita harus yakin bahwa
janji Allah itu akan tiba jika kita melaksanakan apa yang telah diperintahkan
oleh Allah dan Rasul-Nya.
Kesimpulan
: Orientasi yang harus dilakukan oleh semua komponen dakwah Islam adalah menegakkan Dakwah Tauhid dan juga dakwah kepada
(Al-Qur’an dan) As-Sunnah. Di sini kami tidak mengatakan bahwa penegakan
khilafah tidak penting.[2] Segala sesuatu hendaknya diletakkan
secara proporsional, sehingga melahirkan pemahaman dan pengamalan sesuai yang
diinginkan syari’at. Wallaahu a’lam.
________________
Abul-Jauzaa' -
Dzulqa'dah 1429 [ditulis di Perum Ciomas Permai].
=============
Catatan kaki :
[1] Namun, boleh memutlakkan nama khalifah
setelah era Khulafaur-Rasyidin dan Al-Hasan bin ’Ali ketika tidak ada tuntutan
pembedaan dengan istilah malik (raja) atau mulk (kerajaan),
seperti menyebut Khalifah Mu’awiyyah bin Abi Sufyan, Khalifah ‘Umar bin
‘Abdil-‘Aziz, Khalifah Harun Al-Rasyid, dan sebagainya. Berkata Syaikhul-Islam
Ibnu Taimiyyah :
ويجوز تسمية من بعد الخلفاء
الراشدين [خلفاء] وإن كانوا ملوكا، ولم يكونوا خلفاء الأنبياء بدليل ما رواه
البخاري ومسلم في صحيحيهما عن أبي هريرة رضي الله عنه عن رسول الله صلى الله عليه
وسلم قال: (كانت بنو إسرائيل يسوسهم الأنبياء كلما هلك نبي خلفه نبي وإنه لا
نبي بعدي وستكون خلفاء فتكثر، قالوا فما تأمرنا ؟ قال: فوا ببيعةالأول فالأول،
ثم أعطوهم حقهم، فإن الله سائلهم عما استرعاهم). فقوله:(فتكثر) دليل على
من سوى الراشدين فإنهم لم يكونوا كثيرا. وأيضا قوله:(فوا ببيعة الأول
فالأول) دل على أنهم يختلفون، والراشدون لم يختلفوا
”Bolehnya menyebut
khalifah terhadap orang-orang yang memimpin setelah era
Khulafaur-Rasyidin, walaupun mereka sebenarnya adalah raja dan bukan
pula sebagai pengganti para Nabi. Hal itu berdasarkan hadits yang diriwayatkan
oleh Al-Bukhari dan Muslim dalam kitab Shahih mereka dari Abi
Hurairah radliyallaahu ’anhu, dari Rasulullah shallallaahu ’alaihi
wasallam bahwasannya beliau bersabda : <<”Adalah Bani Israail
dibimbing oleh banyak nabi. Setiap kali seorang Nabi meninggal, maka digantikan
oleh Nabi yang lain. Tidak ada Nabi lagi setelahku. Dan kelak akan ada beberapa
khalifah yang kemudian menjadi banyak”. Mereka (para shahabat) bertanya : ”Apa
yang engkau perintahkan kepada kami ?”. Beliau shallallaahu ’alaihi
wasallam menjawab : ”Patuhilah khalifah yang mendapatkan baiat yang
pertama, dan penuhilah hak mereka. Karena Allah kelak akan meminta
pertangungjawaban atas kepemimpinan mereka”>>. Sabda
Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam : fataktsuru (فتكثر) adalah sebagai dalil bahwasannya yang beliau
maksudkan adalah selain Al-Khulafaur-Rasyidin, sebab Al-Khulafaaur-Raasyidiin
tidaklah banyak jumlahnya. Dan juga sabda Nabi shallallaahu ’alaihi
wasallam : fuu bi-bai’atil-ula fal-ulaa (فوا ببيعة الأول
فالأول); menunjukkan bahwasannya
mereka berselisih, padahal Khulafaur-Rasyidin itu tidaklah berselisih” [selesai
perkataan Ibnu Taimiyyah – Lihat Majmu’ Al-Fataawaa 35/20].
[2] Daulah/Khilafah hanya merupakan wasilah
untuk melaksanakan kesempurnaan sebagian syari’at Allah. Seandainya ada orang
yang berpendapat bahwa penegakan Daulah/Khilafah ini adalah wajib sebagaimana
kaidah fiqhiyyah : Maa laa yatimmul-waajibu illaa bihi fahuwa
waajib (Apa-apa yang tidak sempurna suatu kewajiban melainkan dengan
sesuatu, maka sesuatu itu menjadi wajib); maka kewajiban ini tidaklah
menunjukkan prioritas (utama). Sebagaimana telah ma’ruf bagi orang
yang berilmu bahwa tidak setiap kewajiban berada dalam kedudukan yang sama,
sebagaimana kita pahami dalam hadits Mu’adz bin Jabal. Dalam hadits Mu’adz
dijelaskan kedudukan masing-masing kewajiban yang terkait dalam rukun Islam.
Dan penegakan khilafah tidak termasuk dalam rukun Islam, apalagi rukun iman.
Oleh karena itu, kaidah fiqhiyyah tersebut juga dipahami bersama kaidah lain
yang menyatakan bahwa kewajiban itu dilaksanakan menurut kemampuan (al-wujuub
yata’allaqu bil-istitha’ah – kaidah ke-4, Al-Qawaaidu
wal-Ushuulul-Jaami’ah karya ’Abdurrahman bin Nashir
As-Sa’diy, ta’liq : Ibnu ’Utsaimin) yang didasarkan oleh firman
Allah ta’ala :
فَاتَّقُوا اللَّهَ
مَا اسْتَطَعْتُمْ
”Bertaqwallah
kalian kepada Allah semampu kalian” [QS. At-Taghaabun : 16].
Juga sabda
Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam :
إذا أمرتكم بأمر
فائتوا منه ما استطعتم
”Apabila aku
memerintah kalian dengan sesuatu, maka kerjakanlah ia semampu kalian” [HR.
Al-Bukhari no. 7288 dan Muslim no. 1337].
from= http://abul-jauzaa.blogspot.co.id/2008/11/khilafah-kerajaan-dan-orientasi-utama.html