Persatuan dan kesatuan
adalah salah satu perkara yang diwajibkan oleh Allah Ta’ala dan Rasul-Nya,
sebagaimana firman Allah:
واعتصموا بحبل الله جميعا ولا تفرقوا
“Dan berpegang
teguhlah kamu dengan tali (agama) Allah, dan jangan sekali-kali kamu bercerai
berai.” (QS. Ali Imran:
102)
Allah Ta’ala juga
berfirman:
ولا تكونوا كالذين تفرقوا واختلفوا من بعد ما جاءهم البينات وألئك لهم عذاب عظيم يوم تبيض وجوه وتسود وجوه
“Dan janganlah kamu
menyerupai orang-orang yang bercerai berai dan berselisih sesudah datang kepada
mereka keterangan yang jelas. Mereka itulah orang-orang yang mendapat siksa
yang berat pada hari yang diwaktu itu ada muka yang putih berseri dan ada pula
muka yang hitam muram.” (QS.
Ali Imran: 104-105)
Sahabat Ibnu Abbas dan
Ibnu Umar –radliallahu ‘anhum– berkata: “Wajah-wajah Ahlis
Sunnah wal Jama’ah lah yang akan menjadi putih berseri dan wajah-wajah ahli
bid’ah dan perpecahanlah yang akan hitam lagi muram.”
Persatuan dan
berpegang teguh dengan tali (agama) Allah Ta’ala adalah salah satu prinsip terbesar
dalam agama islam, yang senantiasa diwasiatkan oleh Allah dan Rasul-Nya kepada
seluruh manusia. Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam banyak
kesempatan senantiasa mengingatkan ummatnya akan pentingnya hal ini,
sebagaimana yang beliau lakukan disaat khutbah hari arafah, tatkala beliau
bersabda:
وقد تركت فيكم ما إن تمسكتم به لن تضلوا بعده إن اعتصمتم به كتاب الله
“Sungguh aku telah
meninggalkan ditengah-tengah kalian, satu hal yang bila kalian berpegang teguh
dengannya, niscaya selama-lamanya kalian tidak akan tersesat, bila kalian
benar-benar berpegang tegunh dengannya, yaitu kitab Allah (Al Qur’an).” (Hadits ini diriwayatkan oleh sahabat
Jabir bin Abdillah, dan hadts beliau ini diriwayatkan oleh imam Muslim, dalam
kitab shahihnya 2/886/1218)
Dan diantara metode
yang ditempuh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam
memperingatkan umatnya dari perpecahan adalah dengan cara menjelaskan kepada
mereka fakta yang akan menimpa mereka, yang berupa terjadinya petaka perpecahan
dan perselisihan. Hingga akhirnya ummat ini terpecah belah menjadi berbagai
kelompok dan golongan. Dan ini adalah taqdir dari Allah Ta’ala yang pasti
terjadi, dan telah terjadi.
Bila kita membaca
kitab-kitab hadits, seperti kutubus sittah, niscaya kita akan dapatkan banyak
hadits yang menjadi bukti akan hal ini. Pada kesempatan ini akan saya sebutkan
beberapa hadits, sebagai contoh untuk kita semua:
Hadits Pertama:
عن أبي سعيد الخدري رضي الله عنه قال قال رسول الله صلى الله عليه و سلم : (لتتبعن سنن الذين من قبلكم شبرا بشبر وذراعا بذراع حتى لو دخلوا في حجر ضب لاتبعتموهم. قلنا: يا رسول الله: آليهود والنصارى؟ قال: فمن؟!
“Dari sahabat Abu
Sa’id Al Khudri radhiallahu’ anhu, beliau berkata: Rasulullah shallallahu’
alaihi wa sallam bersabda: “Sunguh-sungguh kamu akan mengikuti/mencontoh
tradisi orang-orang sebelum kalian, sejengkal demi sejengkal, dan sehasta demi
sehasta, hingga seandainya mereka masuk kedalam lubang dlob, niscaya kamu akan
meniru/mencontoh mereka. Kami pun bertanya: Apakah (yang engkau maksud adalah)
kaum Yahudi dan Nasrani? Beliau menjawab: Siapa lagi?” (HRS Muttafaqun ‘Alaih)
Hadits Kedua:
عن أبي هريرة رضي الله عنه عن النبي صلى الله عليه و سلم قال : (لا تقوم الساعة حتى تأخذ أمتي مأخذ القرون قبلها شبرا بشبر وذراعا بذراع. فقيل: يا رسول الله، كفارس والروم؟ فقال: ومن الناس إلا أولئك؟!
“Dari sahabat Abu
Hurairah radhiallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam beliau
bersabda: “Tidaklah kiamat akan bangkit, hingga ummatku benar-benar telah
meniru perilaku umat-umat sebelum mereka, sejengkal demi sejengkal, sehasta
demi sehasta. Maka dikatakan kepada beliau: (maksudmu) Seperti orang-orang
Persia dan Romawi? Maka beliaupun menjawab: Apakah ada orang lain selain
mereka?” (HRS Al Bukhari)
Syeikhul Islam Ibnu
Taimiyyah –rahimahullah– berkata: “Beliau mengabarkan bahwa akan ada
dari umatnya orang-orang yang meniru orang-orang Yahudi dan Nasrani, yang
mereka adalah ahlul kitab, dan diantara mereka ada yang meniru bangsa Persia
dan Romawi, yang keduanya adalah orang-orang non arab.” (Iqtidlo’ Sirathil
Mustaqim 6)
Hadits ketiga:
عن أبي هريرة رضي الله عنه قال قال رسول الله صلى الله عليه و سلم : (تفرقت اليهود على إحدى وسبعين أو اثنتين وسبعين فرقة والنصارى مثل ذلك وتفترق أمتي على ثلاث وسبعين فرقة.)
“Dari sahabat Abu
Hurairah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau berkata:
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Umat Yahudi telah
berpecah belah menjadi tujuh puluh satu atau tujuh puluh dua golongan, dan umat
nasrani berpecah belah seperti itu pula, sedangkan umatku akan berpecah belah
menjadi tujuh puluh tiga golongan.” (HRS Ahmad, Abu Dawud, At Tirmizy, Ibnu Majah, Ibnu Hibban, Al Hakim,
Ibnu Abi ‘Ashim, dan dishohihkan oleh Al Albani)
Dalam riwayat lain
disebutkan:
(عن معاوية بن أبي سفيان رضي الله عنه عن النبي صلى الله عليه و سلم قال: (وإن هذه الملة ستفترق على ثلاث وسبعين ثنتان وسبعون في النار وواحدة في الجنة وهي الجماعة)
“Dari sahabat
Mu’awiyah bin Abi Sufyan radhiallahu ‘anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam, beliau bersabda: “Dan (pemeluk) agama ini akan berpecah belah
menjadi tujuh puluh tiga golongan, tujuh puluh dua golongan akan masuk neraka,
dan (hanya) satu golongan yang masuk surga, yaitu Al Jama’ah.” (HRS Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Abi ‘Ashim
dan Al Hakim, dan dishohihkan oleh Al Albani)
Dalam riwayat lain
disebutkan:
عن عبد الله بن عمرو رضي الله عنه قال قال رسول الله صلى الله عليه و سلم : تفترق أمتي على ثلاث وسبعين ملة كلهم في النار إلا ملة واحدة قالوا: ومن هي يا رسول الله؟ قال: ما أنا عليه وأصحابي
“Dari sahabat
Abdullah bin Amer rqdhiallahu’ anhu ia berkata: Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda: “Umatku akan berpecah belah menjadi tujuh
puluh tiga golongan, seluruhnya akan masuk neraka, kecuali satu golongan. Para
sahabat bertanya: Siapakah mereka itu, wahai Rasulullah? Beliau menjawab: yang
berpegang teguh dengan ajaran yang aku dan para sahabatku jalankan sekarang
ini.” (Riwayat At Tirmizy
dan Al Hakim)
Dari hadits-hadits di
atas, kita dapat menyimpulkan beberapa hal berikut:
1. Perpecahan ummat
islam pasti terjadi sebagaimana yang dikabarkan dalam hadits-hadits di atas.
Hal ini merupakan takdir yang telah Allah Ta’ala tentukan akan menimpa umat
ini.
2. Perpecahan dan
perselisihan adalah satu hal yang tercela, dan harus ditanggulangi, yaitu
dengan cara merealisasikan kriteria golongan selamat pada diri setiap orang
muslim. Hanya dengan cara inilah persatuan dan kesatuan umat akan tercapai, dan
saat itulah mereka menerima anugrah gelar (Al Jama’ah). [Golongan
selamat digelari dengan Al Jama’ah, karena mereka senantiasa berada
diatas kebenaran, dan tidak mungkin untuk bersepakat melakukan kesalahan,
sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam].
3. Dari sekian banyak
golongan umat islam yang ada, hanya satu golongan yang selamat, yaitu golongan
yang dijuluki oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan Al
Jama’ah.
4. Untuk menentukan
golongan yang selamat, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah
memberikan sebuah pedoman yang jelas. Tatkala beliau ditanya: Siapakah mereka
(golongan selamat) itu? Beliau menjawab dengan menyebutkan kriterianya, bukan dengan
menyebutkan personalianya, yaitu golongan yang memiliki kriteria:senantiasa
mengikuti dan ittiba’ sunnah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam,
ajaran yang telah beliau dan para sahabatnya amalkan. Inilah ciri khas
golongan yang selamat (Al jama’ah), senantiasa menjalankan as sunnah,
dan menjauhi segala yang bertentangan dengannya, yaitu al bid’ah. Sehingga
siapapun orangnya yang memiliki kriteria ini, maka dia termasuk kedalam
golongan selamat. (Lihat Al I’tishom oleh As Syathiby 2/443)
5. Dalam menghadapi
fenomena perpecahan ummat ini, kita diharuskan untuk senantiasa meniti jalan
yang ditempuh oleh golongan selamat (Al Jama’ah), dan menjauhi
jalan-jalan yang ditempuh oleh golongan-golongan lain, karena jalan-jalan
mereka akan menghantarkan ke dalam neraka. Hal ini sebagaimana yang diwasiatkan
oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada sahabat
Huzaifah bin Yaman radhiallahu ‘anhu:
(الزم جماعة المسلمين وإمامهم. قلت: فإن لم يكن لهم جماعة ولا إمام؟ قال: فاعتزل تلك الفرق كلها ولو أن تعض بأصل شجرة حتى يدركك الموت وأنت على ذلك)
“Berpegang teguhlah
engkau dengan jama’atul muslimin dan pemimpin (imam/kholifah) mereka. Akupun
bertanya: Seandainya tidak ada jama’atul muslimin, juga tidak ada pemimpin
(imam/kholifah)? Beliaupun menjawab: Tinggalkanlah seluruh kelompok-kelompok
tersebut, walaupun engkau harus menggigit batang pepohonan, hingga datang
ajalmu, dan engkau dalam keadaan demikian itu.” (HRS Bukhari dan Muslim)
Wasiat ini sangat
bertentangan dengan metode yang didengung-dengungkan oleh sebagian orang, yaitu
metode yang dikenal dalam bahasa arab:
نتعاون فيما اتفقنا ويعذر بعضنا بعضا فيما اختلفنا
“Kita saling
bekerja-sama dalam hal persamaan kita, dan saling toleransi dalam segala
perbedaan kita.” (Sepintas
metode ini bagus sekali, akan tetapi bila kita sedikit berfikir saja, niscaya
kita akan terkejut, terlebih-lebih bila kita memperhatikan fenomena
penerapannya. Hal ini dikarenakan metode ini terlalu luas dan tidak ada
batasannya, sehingga konsekwensinya kita harus toleransi kepada setiap orang,
dengan berbagai aliran dan pemahamannya, karena setiap kelompok dan aliran yang
ada di agama islam, syi’ah, jahmiyah, qadariyah, ahmadiyah dll, memiliki
persamaan dengan kita, yaitu sama-sama mengaku sebagai kaum muslimin. Kalau
demikian lantas akan kemana kita menyembunyikan prinsip-prinsip akidah kita?!)
6. Nabi mengabarkan
bahwa diantara sebab terjadinya perpecahan dan perselisihan di tengah-tengah
umat islam adalah sikap meniru dan mencontoh umat-umat non islam, baik Yahudi,
atau Nasrani, atau Persia, atau Romawi, atau yang lainnya. Dan inilah yang
terjadi, pada setiap masa dan di setiap negri. Bila kita mengamati kesesatan
dan penyelewengan kelompok-kelompok sesat yang ada di tengah-tengah masyarakat
islam, niscaya kita akan mendapatkan bukti nyata bagi kabar ini. Sebagai
contoh, kelompok syi’ah atau rofidhoh, didapatkan bahwa banyak prinsip dan
simbol-simbol keagamaan yang ada pada mereka dijiplak dari orang-orang Yahudi.
(Untuk lebih jelasnya, silahkan baca kitab “Bazlul majhud Fi Itsbat
Musyabahat Ar Rofidloh Lil Yahud, oleh Syeikh Abdullah Al Jumaily). Dan
kelompok Sufi dengan berbagai aliran tarikatnya, bila kita amati, niscaya akan
kita dapatkan banyak keserupaan dengan yang ada di agama Hindu. (Seorang
Mahasiswa di Islamic University of Madinah, mengajukan disertasi Doktoralnya
dengan judul Al Hindusiyah Wa Taatsur Ba’dli Al Firaq Biha)
7. Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam memperingatkan umatnya dari perpecahan sebagai salah
satu usaha untuk menjaga umatnya dari kebinasaan, sebagaimana yang telah
menimpa umat sebelum mereka. Umat-umat sebelum umat islam telah berpecah belah,
sehingga menjadikan mereka ditimpa kebinasaan dan keruntuhan, sebagaimana yang
beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam kabarkan:
(لا تختلفوا فإن من كان قبلكم اختلفوا فهلكوا).
“Janganlah kamu
saling berselisih, karena umat sebelummu telah berselisih, sehingga mereka
binasa/ runtuh.” (HRS
Muslim)
عن سعد بن أبي وقاص رضي الله عنه أن رسول الله صلى الله عليه و سلم قال: (سألت ربي ثلاثا، فأعطاني ثنتين ومنعني واحدة: سألت ربي أن لا يهلك أمتي بالسنة، فأعطانيه، وسألته أن لا يهلك أمتي بالغرق، فأعطانيها، وسألته أن لا يجعل بأسهم بينهم فمنعنيها).
رواه مسلم
“Dari sahabat Sa’ad
bin Abi Waqqas radhiallahu’anhu, bahwasannya Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda: Aku memohon tiga hal kepada Tuhanku (Allah),
maka Ia mengkabulkan dua hal dan menolak satu hal: Aku memohon agar Ia tidak
membinasakan umatku dengan paceklik (kekeringan), maka Ia mengkabulkannya, dan
aku memohon agar Ia tidak membinasakan umatku dengan ditenggelamkan (banjir),
maka Ia mengkabulkannya, dan aku memohon agar Ia tidak menjadikan kekuatan
mereka menimpa sesama mereka (perpecahan), maka Ia tidak mengkabulkannya.” (HRS Muslim)
Dan inilah yang
terjadi, dan ini pulalah sebab keruntuhan berbagai dinasti islam (khilafah
islamiyyah). Bila kita sedikit menengok ke belakang, mengkaji ulang sejarah
umat islam, kita akan dapatkan banyak bukti, sebagai contoh:
Tatkala kaum muslimin
telah berhasil menggulingkan dua negara adi daya kala itu (Persia dan Romawi),
dan tidak ada lagi kekuatan musuh yang mampu menghadang laju perluasan dan
penebaran agama islam, mulailah musuh-musuh islam menyusup dan menebarkan
isu-isu bohong, guna menimbulkan perpecahan di tengah-tengah umat islam. Dan
ternyata mereka berhasil menjalankan tipu muslihat mereka ini, sehingga
timbullah fitnah pada zaman Khalifah Utsman bin Affan, yang berbuntut
terbunuhnya sang Khalifah, dan berkepanjangan dengan timbulnya perang saudara
antara sahabat Ali bin Abi Tholib dengan sahabat Mu’awiyyah bin Abi Sufyan.
(Untuk lebih lengkapnya, silahkan baca buku-buku sejarah dan tarikh,
seperti: Al Bidayah Wa An Nihayah, oleh Ibnu Katsir, dll)
Bukankah runtuhnya
dinasti Umawiyyah, akibat pemberontakan yang dilakukan oleh Bani Abbasiyyah?
Berapa banyak jumlah kaum muslimin yang tertumpah darahnya akibat pemberontakan
tersebut?!
Bukankah jatuhnya kota
Baghdad ke tangan orang-orang Tatar pada thn 656 H akibat pengkhianatan seorang
Syi’ah yang bernama Al Wazir Muhammad bin Ahmad Al ‘Alqamy? Pengkhianat ini
tatkala menjabat sebagai Wazir (perdana mentri) pada zaman Khalifah Al
Musta’shim Billah, ia berusaha mengurangi jumlah pasukan khilafah, dari seratus
ribu pasukan, hingga menjadi sepuluh ribu pasukan. Dan dia pulalah yang
membujuk orang-orang Tatar agar membunuh sang Kholifah beserta keluarganya.
(Untuk lebih lengkapnya, silahkan baca buku-buku sejarah dan tarikh,
seperti: Al Bidayah Wa An Nihayah, oleh Ibnu Katsir, dll)
Sepanjang sejarah,
tidak ada orang Yahudi atau Nasrani yang berani menyentuh kehormatan Ka’bah,
apalagi sampai merusaknya. Akan tetapi kejahatan ini pernah dilakukan oleh satu
kelompok yang mengaku sebagai umat islam, yaitu oleh (Qaramithoh) salah satu
sekte aliran kebatinan. Pada tanggal 8 Dzul Hijjah tahun 317 H, mereka menyerbu
kota mekkah, dan membantai beribu-ribu jama’ah haji, dan kemudian membuang
mayat-mayat mereka ke dalam sumur Zam-zam. Ditambah lagi mereka memukul hajar
Aswad hingga terbelah, dan kemudian mencongkelnya dan dibawa pulang ke negri
mereka Hajer di daerah Bahrain. (Untuk lebih lengkap, silahkan simak kisah
kejahatan mereka di Al Bidayah wa An Nihayah 11/171)
Perlu diketahui, bahwa
kelompok Qoromithoh ini adalah kepanjangan tangan dari kelompok fathimiyyah,
yang pernah menguasai negri Mesir satu abad lamanya. (Untuk lebih mengenal
tentang siapa itu Qoromithoh, silahkan baca kitab: Al Aqoid Al
Bathiniyyah wa Hukmul Islam Fiha, oleh Dr. Shobir Thu’aimah)
Setelah kita
mengetahui dengan yakin bahwa perpecahan pasti melanda umat islam, dan hanya
satu kelompok saja yang akan selamat, yaitu yang disebut dengan Al
Firqoh An Najiyah atau Ahlis Sunnah wal Jama’ah, alangkah baiknya bila
kita mengetahui beberapa kriteria utama yang membedakan antara Al
Firqoh An Najiyahdengan firqoh-firqoh lainnya:
1. Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya adalah suri teladan.
Adalah wajib hukumnya
atas setiap muslim yang telah bersaksi bahwa tiada Tuhan yang berhak diibadahi
kecuali Allah, dan Muhammad adalah Rasulullah, untuk menjadikan tujuan
(prinsip) utama dalam kehidupannya adalah mengesakan peribadatan hanya kepada
Allah semata, dan mengesakan ketaatan hanya kepada Rasul-Nya. Kemudian ia
senantiasa konsekwensi dengan prinsip ini, dan menjalankannya dalam segala
situasi dan kondisi. Dia juga harus meyakini bahwa manusia paling utama setelah
para nabi adalah para sahabat –radliallahu ‘anhum-. Dengan demikian ia
tidaklah fanatis secara mutlak kepada seseorang kecuali kepada Rasulullahshallallahu
‘alaihi wa sallam, dan tidak fanatis secara mutlak kepada suatu golongan
kecuali kepada para sahabat –radliallahu ‘anhum-.
Hal ini dikarenakan
kebenaran dan hidayah senantiasa ada bersama Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam kapanpun
dan dimanapun beliau berada, dan juga senantiasa ada bersama sahabat beliau,
kapanpun dan dimanapun mereka berada. Sehingga seandainya mereka bersepakat
tentang sesuatu, mustahil untuk salah. Beda halnya dengan sahabat atau
murid-murid selain beliau shollallahu’alaihiwasallam, siapapun
orangnya. Sehingga seandainya mereka mengadakan kesepakatan, sangat
dimungkinkan kesepakatan tersebut merupakan kesalahan belaka. Karena agama
islam ini bukalah hak prerogratif seseorang, kecuali Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam. (Lihat Minhajus Sunnah 5/261-262)
Allah Ta’ala telah
menjadikan hal ini sebagai tolok ukur kebenaran iman seseorang:
قل إن كنتم تحبون الله فاتبعوني يحببكم الله ويغفر لكم ذنوبكم
“Katakanlah: Jika
kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mencintai dan
mengampuni dosa-dosamu.” (QS.
Ali Imran: 31)
Al Hasan Al Basri
berkata: “Ada sebagian orang yang mengaku bahwasannya mereka mencintai Allah,
maka Allah menguji (kebenaran pengakuannya) dengan ayat ini.”
Ibnu Katsir –rahimahullah–
berkata: “Ayat ini merupakan hakim bagi setiap orang yang mengaku mencintai
Allah, padahal ia tidak meniti jalan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi
wa sallam, sehingga dengannya terbukti kepalsuan pengakuannya.
(Pengakuannya dikatakan benar bila ) Ia menjalankan syari’at Nabi Muhammadshallallahu
‘alaihi wa sallam dalam segala ucapan dan perilakunya.” (Tafsir
ibnu Katsir 1/358)
Sahabat Ibnu
mas’ud radhiallahu ‘anhu berkata: “Barang siapa dari kamu yang
hendak mencontoh seseorang, maka hendaknya ia mencontoh sahabat-sahabat nabi
Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena sesungguhnya mereka
adalah orang yang hatinya paling baik dari umat ini, ilmu paling mendalam,
paling sedikit bersikap takalluf (berlebih-lebihan), paling
lurus petunjuknya, dan paling bagus keadaannya. Mereka adalah satu kaum yang
telah Allah seleksi untuk menjadi sahabat nabi-Nya shallallahu ‘alaihi
wa sallam, penegak agama-Nya. Oleh karena itu hendaknya kamu senantiasa
mengenang jasa, dan mencontoh mereka, karena sesungguhnya mereka senantiasa
berada di atas jalan yang lurus.” (Lihat Hilyatul Auliya’ 1/305,
dan Jami’ Bayanil ‘Ilmi Wa Fadllih 2/97)
Kemudian sepeninggal
sahabat, maka yang menjadi sauri teladan adalah murid-murid mereka, yaitu
para tabi’in, dan kemudian sepeninggal mereka adalah tabi’it
tabi’in, dan demikian seterusnya. Karena mereka semua ini senantiasa meniti
jalan dan metode yang ditempuh oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam dan para sahabatnya.
Inilah metode yang
ditempuh oleh golongan selamat, yaitu konsisten dengan Al Qur’an dan As Sunnah,
dan mencontoh ulama’ terdahulu, dari kalangan sahabat Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam dan murid-murid mereka.
Berbeda halnya dengan
yang dilakukan oleh ahlil bid’ah dengan berbagai alirannya, mereka menjadikan
celaan terhadap sahabat Nabi sebagai aktifitas dan prinsip hidup, sebagaimana
yang dilakukan oleh orang-orang syi’ah, atau menyampingkan pendapat mereka
dengan berbagai alasan, sebagaimana perkataan sebagian mereka tatkala mensifati
pemahaman para sahabat: Bagaikan ayam, bila ia mengeluarkan telor, maka kita
ambil, dan bila yang dikeluarkan adalah kotoran, maka kita tinggalkan, wal
‘iyazubillah min al khuzlan.
2. Sumber agama
mereka hanyalah Al Qur’an, As Sunnah, dan Ijma’.
Ahlus Sunnah wal
Jama’ah berkeyakinan bahwa sumber agama islam hanyalah Al Qur’an, Sunnah
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan Ijma’, sedangkan selain
ketiga hal ini adalah bathil, karena dengan meninggalnya Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam, maka telah terputuslah wahyu, dan Allah telah
menyempurnakan agama islam ini.
اليوم أكملت لكم دينكم وأتممت عليكم نعمتي ورضيت لكم الإسلام دينا
“Pada hari ini
telah Aku sempurnakan untukmu agamamu, dan telah Aku cukupkan kepadamu
nikmat-Ku, dan telah Aku ridlai islam sebagai agama bagimu.” (QS. Al Maidah: 3)
Agama islam ini
berdiri tegak diatas prinsip berserah diri kepada Allah Ta’ala, dan membenarkan
serta mencontoh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
(من أحدث في أمرنا هذا ما ليس منه فهو رد)
“Barang siapa yang
mengadakan dalam urusan kami ini (agama) sesuatu hal yang tidak ada darinya
(tidak ada dalilnya), maka hal itu tertolak.” (HRS Bukhari dan Muslim)
Oleh karena itu,
seluruh bagian agama ini, baik itu akidah, suluk, siyasah, manhaj, tidaklah
diambil selain dari wahyu, yaitu Al Qur’an dan As Sunnah.
Orang yang
mengada-adakan suatu amalan atau ucapan bid’ah, misalnya dengan mengatakan:
Dalam urusan ibadah kita mengikuti manhaj Ahlus Sunnah (ulama salaf), tapi
dalam urusan politik, atau perdagangan atau metode pendidikan, kita ambil dari
orang lain (orang-orang barat, atau para ilmuwan masa kini), maka seakan-akan
ia mengatakan bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam telah
berkhianat dalam menyampaikan agama islam ini, karena Allah telah mengkalim
bahwa agama ini telah sempurna.
Adapun firqoh-firqoh lain,
maka metode mereka beraneka ragam, ada yang pedomannya adalah mimpi-mimpi, atau
perkataan pendiri kelompoknya, atau analisa-analisa koran dan majalah, atau
perasaan, atau akal manusia, filsafat dll. Akan tetapi semua firqoh-firqoh itu
sepakat dalam sikap menduakan Al Qur’an dan As Sunnah. (Sebagaimana yang
dinyatakan oleh Ibnul Qayyim dalam kitamnya: As Showa’iq Al Munazzalah
‘Ala At thoifah Al Jahmiyyah Al Mu’atthilah 2/379-380)
3. Ahlus Sunnah wal
Jama’ah tidap pernah berbeda pendapat dalam prinsip-prinsip agama.
Salah satu kriteria
Ahlis Sunnah adalah mereka senantiasa sepakat dan tidak pernah berselisih
pendapat dalam hal-hal yang merupakan pokok-pokok agama, rukun-rukun islam dan
iman dan segala perkara yang disebutkan dalam ayat atau hadits shohih, baik
berupa amalan atau ucapan, dan juga perkara-perkara gaib. (Lihat Dar’u
Ta’arud Al ‘Aqel wa An Naqel 1/263). Oleh karena itu kita dapatkan penjelasan
ulama salaf tentang rukun-rukun iman, islam, asma’ dan sifat, kehidupan alam
barzakh, kehidupan akhirat dll, sama tidak ada perbedaan, padahal tempat
tinggal dan perguruan mereka berbeda.
Persamaan ini
dikarenakan beberapan hal berikut:
Mereka semua berpegang
teguh dengan agama Allah.
Sumber ilmu agama
mereka hanya Al Qur’an dan As Sunnah.
Aqidah mereka didasari
oleh sikap pasrah dan mempercayai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam dalam segala berita.
Mereka mendapatkan
ilmu agama mereka dengan metode ittiba’ dan melalui jalur
riwayat dari para ulama yang terpercaya.
Mereka tidak
memaksakan diri dengan berusaha mencari tahu hal-hal yang gaib, dan tidak
memperdebatkan tentangnya.
Beda halnya dengan
ahlul bid’ah, kita sering mendengar seruan dari sebagian mereka untuk
meninggalkan dan mendustakan taqdir Allah, atau seruan untuk menepikan
pembahasan masalah asma’ dan sifat Allah dengan berbagai alasan yang mereka
rekayasa. Dan masih banyak lagi usaha-usaha dan seruan-seruan untuk mengkaji
ulang hal-hal prinsip dan pokok dalam agama islam. Wallahul musta’an.
4. Ahlus sunnah
tidak mengkafirkan setiap orang yang menyelisihi mereka tanpa dalil atau bukti.
Syeikhul Islam Ibnu
Taimiyyah berkata: “Orang-orang khowarij senantiasa mengkafirkan Ahlus sunnah
wal Jama’ah, demikian juga halnya dengan orang-orang mu’tazilah, mereka
senantiasa mengkafirkan setiap orang yang menyelisihinya. Demikian juga halnya
dengan orang-orang rofidloh (Syi’ah). Kalaupun tidak mengkafirkan, minimal
mereka menganggap orang selain mereka sebagai orang fasik. Dan demikian juga
halnya dengan kebanyakan orang yang menganut pendapat bid’ah dan yang orang
yang mengkafirkan setiap yang menyelisihinya. Adapun Ahlus sunnah, mereka
senantiasa mengikuti kebenaran yang datang dari Allah Ta’ala yang diturunkan
melalui lisan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan mereka
tidak mengkafirkan setiap orang yang menyelisihinya. Bahkan mereka adalah
orang-orang yang paling mengetahui tentang kebenaran dan paling menyayangi
sesama manusia.” (Minhajus Sunnah 5/158)
Inilah salah satu
petaka yang sedang melanda umat islam pada zaman kita ini, peledakan-peledakan
yang terjadi di berbagai negri islam, termasuk di negri tempat kita belajar ini
Kerajaan Saudi Arabia, tidak luput dari petakan ini. Bukan hanya pemerintahnya
yang dikafirkan tapi juga ulama dan seluruh orang yang tidak setuju dengan ulah
dan kejahatan mereka. (Untuk lebih mengetahi lebih detail tentang kejadian dan
fatwa para ulama’ Ahlis Sunnah tentang hal ini silahkan baca buku Fatawa
Al A’immah Fi An Nawazil Al Mudlahimmah, oleh Muhammad Husain Al Qohthoni)
Di negri Algeria (Al
Jazair) berapa banyak kaum muslimin yang tak berdosa dibantai oleh kelompok
bersenjata yang mengaku berjuang demi tegaknya negara islam. (Untuk lebih
mengetahui tentang kenyataan yang terjadi di Algeria, silahkan baca kitab “Fatawa
Al Ulama Al Akabir Fima Uhdira Min Dima’ Fi Al jazair”, oleh Abdul Malik
bin Ahmad Al jazairy)
Semua tragedi pilu ini
terjadi akibat aqidah sesat yang tertanam dalam jiwa para pelaku tindak keji
ini. Mereka telah mengkafirkan masyarakat, pemerintah dan ulama yang ada,
bahkan mereka telah menganggap seluruh masyarakat islam yang ada di dunia
sekarang ini sebagai masyarakat jahiliyyah, tak ubahnya masyarakat jahiliyyah
yang ada pada zaman Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Setelah kita
mengetahui beberapa kriteria Ahlis Sunnah dan Ahlil Bid’ah, pada akhir
pembahasan ini, akan saya tutup dengan menyebutkan dua pintu besar bagi
timbulnya bid’ah:
A. Kesalahan ulama
Ahlis sunnah wal
jama’ah berkeyakinan bahwa setiap manusia, walau seberapa luas ilmunya, pasti
memiliki kesalahan, kecuali Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
hanya beliaulah yang terlindung (ma’shum) dari kesalahan, sebagaimana
yang difirmankan Allah Ta’ala:
وما ينطق عن الهوى إن هو إلا وحي يوحى
“Dan ia tidaklah
mengucapkan menurut hawa nafsunya, ucapannya tiada lain hanyalah wahyu yang
diwahyukan (kepadanya).” (QS.
An Najem: 3-4)
Kesalahan seorang
ulama sangat berbahaya akibatnya, karena ia adalah teladan dan panutan banyak orang.
Sehingga kalau ia melakukan atau mengatakan perkataan yang salah, akan ada yang
meniru dan mengikutinya. Oleh karena itu merupakan kewajiban ulama lain untuk
menjelaskan kesalahan tersebut, tanpa mengurangi sikap hormat terhadap ulama
yang melakukan kesalahan itu.
Bila kita membaca
biografi para ulama, niscaya kita akan mendapatkan banyak ulama Ahlis Sunnah
yang pernah mengatakan atau melakukan perbuatan bid’ah, tanpa ada unsur
kesengajaan untuk berbuat kesalahan atau meninggalkan As Sunnah.
Sebagai contoh: Ibnu
Abbas radhiallahu ‘anhu pernah berfatwa membolehkan nikah
mut’ah, dan kemudian ia menarik kembali fatwa tersebut, setelah terbukti
baginya dengan hadits-hadits yang shohih, bahwa nikah mut’ah telah dihapuskan.
(Lihat Kitab Al Mughni oleh Ibnu Qudamah 10/48)
Al Mujahid pernah
menafsirkan ayat:
عسى ان يبعثك ربك مقاما محمودا
“Agar Tuhan-mu
mengangkatmu ke tempat yang terpuji.” (QS. Al Isra’: 79). Bahwa yang dimaksud dengan tempat terpuji adalah:
Nabi akan didudukkan disebelah Allah Ta’ala di atas Arsy-Nya. (Lihat Tafsir
At Thobary 15/145, dan At Tamhid 7/157-158)
Imam Abu Hanifah –rahimahullah–
menganut pendapat murji’ah.
Abdur Razzaq As Shon’ani –rahimahullah– terpengaruh dengan pendapat syi’ah,
dan masih banyak lagi contoh-contoh serupa.
Walau demikian, Ahlus
Sunnah tetap menghormati para ulama tersebut, tapi tidak mengikuti kesalahan
mereka, atau menjadikan mereka sebagai alasan (dalil) dalam melakukan kesalahan
itu. Hal ini sebagaimana yang dinyatakan oleh Ibnu Abdil bar tatkala
mengkisahkan pendapat Mujahid di atas: “Tidaklah ada seorang ulama-pun kecuali
pendapatnya bisa diterima dan bisa ditolak, kecuali Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam. Dan Mujahid, walaupun dia adalah salah seorang yang
ulama yang diakui akan kepandaiannya dalam ilmu tafsir Al Qur’an, akan tetapi
ia memiliki dua pendapat yang ditinggalkan oleh para ulama, dan dijauhi, salah
satunya adalah ini.” (Lihat At Tamhid 7/157)
Sebagian ulama
menyimpulkan bahwa tidaklah ada orang yang berusaha mengumpulkan dan mengikuti
kesalahan-kesalahan ulama, kecuali salah satu dari ketiga macam orang berikut:
Orang bodoh lagi
terperdaya, yang bermaksud mencari sensasi (ketenaran) dengan cara membantah
para ulama.
Penganut hawa nafsu
yang ingin memisahkan antara ulama dan masyarakat.
Penganut bid’ah yang
ingin mencari alasan atau dalih atas perbuatan bid’ahnya, melalui
kesalahan-kesalahan para ulama, sebagaimana perilaku orang-orang yang
membolehkan pemberontakan atau menentang pemerintah dengan berdalihkan bahwa
Sa’id bin Jubair pernah melakukan pemberontakan.
B. Kelalaian Ahli
Ibadah. [Agar lebih jelas silahkan baca kitab Al I’tishom Oleh
As Syathiby 1/153 dst].
Setelah diamati,
didapatkan bahwa banyak kesesatan orang-orang sufi ahli thariqat, asal-usulnya
adalah sebagian kelalaian ahli ibadah zaman dahulu, walaupun ahli ibadah itu
bertujuan baik. Dan demikianlah lazimnya setiap bid’ah, diawali dari kesalahan
dan kelalaian seseorang, kemudian terus berkembang dan akhirnya berubah menjadi
amalan bid’ah yang telah dilengkapi dengan metode-metode dan
keyakinan-keyakinan (khurofat) tertentu. Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam telah memperingatkan umatnya dari keslahan dan
kelalaian para ahli ibadah:
“Sahabat Anas bin
Malik radhiallahu ‘anhu mengisahkan bahwa ada tiga orang sahabat yang
mendatangi rumah istri-istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, mereka
bertanya tentang ibadah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan tatkala
mereka telah dikabari, mereka merasa bahwa ibadah beliau sedikit sekali,
akhirnya mereka berkata: Mana mungkin kita bisa sama dengan
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena beliau telah diampuni
dosa-dosanya, baik yang terdahulu atau yang akan datang. Maka salah seorang
dari mereka berkata: Adapun aku, maka akan senantiasa sholat malam, dan yang
lain berkata: Aku akan puasa terus menerus dan tidak akan berhenti, dan yang
lain berkata: Aku akan menjauhi wanita, sehingga aku tidak akan menikah.
Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam datang, dan beliau bersabda:
Apakah kalian yang berkata demikian, demikian? Kemudian beliau bersabda:
ketahuilah bahwa aku -demi Allah- adalah orang yang paling takut dan bertaqwa
kepada Allah, akan tetapi aku berpuasa dan juga makan (berhenti berpuasa), aku
sholat (malam) dan juga tidur, dan aku juga menikahi wanita, maka barang siapa
yang tidak suka dengan sunnah (cara/jalan/metode)-ku, berarti ia bukan dari
golonganku.” (HRS
Bukhari)
Pada kisah ini
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan contoh kepada
ummatnya untuk mengingkari kesalahan ahli ibadah, dan tidak membiarkannya
berjalan terus menerus. Dan inilah yang dilakukan oleh para sahabat beliau dan
ulama Ahlis Sunnah wal Jama’ah.
Tatkala sahabat
Abdullah bin Mas’ud melihat sekelompok orang berkumpul-kumpul di masjid Kufah,
dan masing-masing menggenggam krikil sambil berzikir dengan dipimpin oleh salah
satu dari mereka (Zikir Berjama’ah). Kemudian pemimpin itu mengatakan:
bertakbirlah 100 kali, bertahlillah 100 kali, dan bertasbihlah 100 kali, maka
sepontan Ibnu Mas’ud berkata kepada mereka: “Betapa cepatnya kebinasaan kalian
wahai ummat Muhammad! Lihatlah para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam masih banyak jumlahnya, ini pakaian beliau (Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam) belum usang, dan bejana beliau belum pecah. Sungguh demi
Dzat yang jiwaku ada di Tangan-Nya, kalian adalah satu dari dua kemungkinan
berikut: Kalian mendapat petunjuk yang lebih baik dibanding agama Nabi Muhammad
atau orang-orang yang sedang membuka pintu-pintu kesesatan. Maka mereka menyanggah
dengan berkata: Wahai Abu Abdir rahman! Kami tidaklah menginginkan (dari
perbuatan ini) melainkan kebaikan. Maka Ibnu Mas’ud menjawab: betapa banyak
orang yang menginginkan kebaikan, akan tetapi tidak mendapatkannya. Kemudian
perowi kisah ini berkata: Dan setelah itu, kami melihat kebanyak dari mereka
memerangi kami bersama orang-orang khowarij di daerah Nahrowan.” (Diriwayatkan oleh Imam Ad Darimy)
Asma’ binti Abi Bakar,
Abdullah bin Az Zubair dan Ibnu Sirin mengingkari orang-orang yang pingsan
karena mendengar bacaan Al Qur’an. Ibnu Sirin berkata: Sebagai bukti kebenaran
mereka mari kita uji dengan cara membacakan Al Qur’an kepada orang-orang itu,
sedangkan mereka berada di atas pagar, kalau ia tetap pingsan berarti ia benar,
(dan bila tidak berarti itu hanya pura-pura). (Lihat Majmu’ Fatawa Ibnu
Taimiyyah 11/7-8)
Nah orang-orang sufi
menjadikan kelalaian ahli ibadah ini sebagai amal ibadah rutin dan sebagai
thariqat, dengan anggapan bahwa ini semua ada contohnya dari ulama salaf. Dan
tidak jarang kisah-kisah ini tidak benar adanya, dan tak lebih hanya cerita
bohong dari sebagian orang, sebagaimana halnya kisah-kisah tentang Syeikh Abdul
Qadir Al Jaelani, bahwa beliau bisa terbang, menghidupkan orang yang sudah
mati, dan masih banyak lagi dongeng tentang beliau. Waallahul Musta’aan.
Semoga sekelumit
ulasan tentang hadits-hadits iftiraqul ummah ini bermanfaat
bagi kita, dan menjadi pilar bagi kita dalam perjuangan menuju ke Al
Firqoh An Najiyah. Amiin, wallahu a’lam bis Showaab.
***
Penulis: Muhammad Arifin
bin Badri, M.A.
Artikel www.muslim.or.id
Artikel www.muslim.or.id