Asuransi Pengiriman Barang
Oleh ustadz Ammi Nur Baits
Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,
Asuransi
pertama kali muncul di abad ke-14 masehi di Italiyah. Mereka
menyebutnya Saukarah, dalam bahasa latin yang artinya asuransi.
Transaksi ini mereka buat untuk memberikan jaminan keamanan bagi para
pedagang yang mengantar barang melalui jalur laut untuk distribusi
barang di selat Giblatar atau di sepanjang laut Albora.
Selama
beberapa tahun, asuransi hanya mereka terapkan untuk menjamin resiko
bahaya laut. Hingga akhirnya terjadi kebakaran besar di London, tahun
1666 M, yang melenyapkan lebih dari 30.000 rumah. Setelah itu, mereka
membuat asuransi untuk resiko di darat. (Aqdu at-Ta’min wa Mauqif as-Syariah al-Islamiyah, Musthofa az-Zarqa’, hlm. 34).
Ketika
kasus Saukarah ini disampaikan kepada ulama besar bermadzhab hanafiyah,
Imam Ibnu Abidin (w. 1252 H), beliau memberikan komentar,
والذى يظهر لى أنه لا يحل للتاجر أخذ بدل الهالك، لأن هذا التزام ما لا يلزم
Yang
benar baginya, tidak halal bagi pedagang untuk mengambil ganti senilai
barangnya yang hilang. Karena ini mewajibkan (orang untuk membayar)
sesuatu yang bukan kewajibannya. (Hasyiyah Ibnu Abidin, 4/170)
Artinya,
ketika pedagang itu membayar premi senilai 10 dinar, dan dia mengirim
barang senilai 10.000 dinar, kemudian barangnya hilang atau rusak, dia
tidak boleh meminta ganti rugi saukarah sebesar 10.000 dinar. Karena
ini mewajibkan pihak asuransi untuk membayar uang yang bukan
kewajibannya.
Lalu berapa yang boleh dia ambil?
Jawabannya, senilai premi yang pernah dia bayarkan.
Asuransi Pengiriman Barang
Praktek
yang terjadi pada asuransi pengiriman barang, pihak ekspedisi meminta
sejumlah uang sebagai premi asuransi pengiriman barang, terutama untuk
barang elektronik atau barang yang beresiko tinggi. Kemudian pihak
ekspedisi menjanjikan, jika barang rusak atau hilang akan diganti
dengan uang senilai harga barang.
Jika kita lihat lebih dekat, ketika konsumen membayar sejumlah uang ke pihak ekspedisi, apa yang dia dapatkan?
Dia
mendapatkan jaminan resiko. Dan ini tidak terukur. Karena tidak ada
yang tahu apakah akan terjadi resiko terhadap barang ataukah tidak.
Sehingga hekakatnya, pihak konsumen membeli sesuatu yang tidak jelas.
Belum bisa dipastikan apakah ada atau tidak. Itulah yang dimaksud transaksi gharar.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau mengatakan,
نَهَى رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَنْ بَيْعِ الْغَرَرِ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang jual beli gharar.” (HR. Muslim 3881)
Karena itu, pada prinsipnya, transaksi ini tidak diperbolehkan.
Asuransi yang Hanya Mengikuti
Yang menjadi pertanyaan, bagaimana jika itu diharuskan? Dalam arti, pihak ekspedisi tidak mau mengirim barang jika pelanggan tidak membayar asuransi.
Sebelumnya
ada yang perlu untuk kita bedakan terkait transaksi yang didampingi
transaksi lain. Seperti mengirim barang via ekspedisi yang disitu
disyaratkan harus ikut asuransi. Atau membeli tiket pesawat yang
disyaratkan harus ikut asuransi.
Disana ada transaksi utama, dan ada transaksi kedua yang mengikuti. Transaksi utama merupakan tujuan utama akad. Sementara transaksi kedua tidak akan ada ketika transaksi utama tidak ada.
Dalam transaksi pengiriman barang yang mewajibkan adanya asuransi, kita memahami, bahwa asuransi di sini sifatnya mengikuti dan bukan tujuan utama transaksi. Karena akad utamanya adalah ijarah, dalam bentuk jual beli jasa dan layanan antar-barang sampai di tujuan. Asuransi tidak akan ada, jika orang tidak mengirim barang.
Dan kita bisa menilai,
Untuk akad pertama, pengiriman barang, hukumnya mubah. Sementara akad kedua, asuransi, adalah akad bermasalah. Karena transaksi gharar.
Yang
menjadi pertanyaan adalah apakah keberadaan akad kedua yang bermasalah,
menyebabkan batalnya akad pertama yang hukumnya mubah?.
Terdapat kaidah dalam masalah fiqh. Kaidah ini disampaikan al-Kurkhi – ulama Hanafiyah – (w. 340 H),
الأصل أنه قد يثبت الشيء تبعاً وحكماً وإن كان يبطل قصداً
Hukum asalnya, terkadang ada sesuatu diboleh-kan karena mengikuti, meskipun batal jika jadi tujuan utama. (al-Wajiz fi Idhah Qawaid Fiqh, hlm. 340).
Karena itu, yang diperhitungkan adalah transaksi utamanya dan bukan transaksi yang mengikuti.
Sehingga
dalam hal ini, pelanggan tetap dibolehkan mengirim barang via
ekspedisi, dan jika tidak bisa menghidari syarat asuransi, dia bisa
bayarkan. Yang menanggung kesalahan adalah pihak ekspedisi.
Allahu a’lam.
from= http://pengusahamuslim.com/5614-hukum-asuransi-pengiriman-barang.html