Sudah
kita ketahui bersama bahwa Al Fatihah adalah surat yang agung yang
dibaca setiap Muslim dalam shalatnya. Pada artikel kali ini akan
dibahas bagaimana hukum membaca Al Fatihah dalam shalat dan tata
caranya.
Hukum Membaca Al Fatihah
Jumhur
ulama menyatakan membaca Al Fatihah adalah termasuk rukun shalat. Tidak
sah shalat tanpa membaca Al Fatihah. Diantara dalilnya adalah sabda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam
لا صلاةَ لمن لم يقرأْ بفاتحةِ الكتابِ
“tidak ada shalat bagi orang yang tidak membaca Faatihatul Kitaab” (HR. Al Bukhari 756, Muslim 394)
didukung juga sabda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam:
كلُّ صلاةٍ لا يُقرَأُ فيها بأمِّ الكتابِ ، فَهيَ خِداجٌ ، فَهيَ خِداجٌ
“setiap shalat yang di dalamnya tidak dibaca Faatihatul Kitaab, maka ia cacat, maka ia cacat” (HR. Ibnu Majah 693, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Ibni Majah).
Jadi, membaca Al Fatihah adalah rukun shalat dan inilah yang benar insya Allah.
Adapun
Abu Hanifah, beliau berpendapat bahwa membaca Al Fatihah itu bukan
rukun shalat, tidak wajib membacanya. Beliau berdalil dengan ayat:
فَاقْرَءُوا مَا تَيَسَّرَ مِنَ الْقُرْآنِ
“maka bacalah ayat-ayat yang mudah dari Al Qur’an” (QS. Al Muzammil: 20)
Jawabannya, kata فَاقْرَءُو (bacalah) di sini adalah lafadz muthlaq, sedangkan terdapat qayd-nya
dalam hadits-hadits Nabi yang sudah disebutkan bahwa di sana dinyatakan
bacaan Al Qur’an yang wajib di baca dalam shalat adalah Al Fatihah.
Sesuai kaidah ushul fiqh, yajibu taqyidul muthlaq bil muqayyad, wajib membawa makna lafadz yang muthlaq kepada yang muqayyad.
Al Fatihah wajib di baca pada setiap raka’at. Berdasarkan penjelasan Abu Hurairah radhiallahu’anhu berikut:
في
كلِّ صلاةٍ قراءةٌ ، فما أَسْمَعَنَا النبيُّ صلى الله عليه وسلم
أَسْمَعْناكم ، وما أخفى منا أَخْفَيْناه منكم ، ومَن قرَأَ بأمِّ الكتابِ
فقد أَجْزَأَتْ عنه ، ومَن زادَ فهو أفضلُ
“dalam
setiap raka’at ada bacaan (Al Fatihah). Bacaan yang diperdengarkan
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam kepada kami, telah kami
perdengarkan kepada kalian. Bacaan yang Rasulullah lirihkan telah kami
contohkan kepada kalian untuk dilirihkan. Barangsiapa yang membaca
Ummul Kitab (Al Fatihah) maka itu mencukupinya. Barangsiapa yang
menambah bacaan lain, itu lebih afdhal” (HR. Muslim 396)
Syaikh Shalih Al Fauzan mengatakan: “membaca Al Fatihah adalah rukun di setiap rakaat, dan telah shahih dari Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bahwa beliau membacanya di setiap raka’at” (Al Mulakhash Al Fiqhi, 1/127).
Hukum Membaca Al Fatihah Bagi Makmum
Apakah
status rukun dan hukum wajib membaca Al Fatihah itu berlaku untuk semua
orang yang shalat? Para ulama sepakat wajibnya membaca Al Fatihah bagi
imam dan orang yang shalat sendirian (munfarid). Namun bagi makmum, hukumnya di perselisihkan oleh para ulama. Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin dalam Majmu’ Fatawa war Rasail (13/119) mengatakan: “para ulama berbeda pendapat mengenai hukum membaca Al Fatihah menjadi beberapa pendapat:
- Pendapat pertama: Al Fatihah tidak wajib baik bagi imam, maupun makmum, ataupun munfarid. Baik shalat sirriyyah1 maupun jahriyyah2. Yang wajib adalah membaca Al Qur’an yang mudah dibaca. Yang berpendapat demikian berdalil dengan ayat (yang artinya) “maka bacalah ayat-ayat yang mudah dari Al Qur’an” (QS. Al Muzammil: 20) dan juga dengan sabda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam kepada seseorang: ‘bacalah apa yang mudah bagimu dari Al Qur’an‘” (HR. Al Bukhari 757, Muslim 397).
- Pendapat kedua: membaca Al Fatihah adalah rukun bagi imam, makmum, maupun munfarid. Baik shalat sirriyah maupun jahriyyah. Juga bagi orang yang ikut shalat jama’ah sejak awal.
- Pendapat ketiga: membaca Al Fatihah itu rukun bagi imam dan munfarid, namun tidak wajib bagi makmum secara mutlak, baik dalam shalat sirriyyah maupun jahriyyah.
- Pendapat keempat: membaca Al Fatihah adalah rukun bagi imam dan munfarid dalam shalat sirriyyah dan jahriyyah. Namun rukun bagi makmum dalam shalat sirriyyah saja, jahriyyah tidak.” [selesai nukilan]
Ada beberapa pendapat lain dalam masalah ini, namun khilafiyah dalam masalah ini berporos pada 3 hal:
Pertama: Adanya perintah untuk membaca Al Fatihah serta penafian shalat jika tidak membacanya
Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin berkata, “membaca
Al Fatihah adalah rukun bagi semua orang yang shalat, tidak ada
seorangpun yang dikecualikan, kecuali makmum masbuq yang mendapati imam
sudah ruku’, atau mendapat imam masih berdiri namun sudah tidak sempat
membaca Al Fatihah bersama imam. Dalilnya adalah sabda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam
لا صلاةَ لمن لم يقرأْ بفاتحةِ الكتابِ
“tidak ada shalat bagi orang yang tidak membaca Faatihatul Kitaab”
sabda beliau ‘tidak ada shalat‘ merupakan penafian. Asal penafian adalah menafikan wujud (keberadaan), jika tidak mungkin dimaknai penafian wujud maka maknanya penafian keabsahan.
Dan penafian keabsahan itu artinya penafian wujud secara syar’i. Jika
tidak mungkin dimaknai penafian keabsahan maka maknya penafian
kesempurnaan. Inilah tingkatan penafian” (Syarhul Mumthi, 3/296).
Syaikh Al Utsaimin melanjutkan, “sabda Nabi ‘tidak ada shalat bagi orang yang tidak membaca Faatihatul Kitaab‘
jika kita terapkan pada tiga jenis penafian tadi, maka kita dapati ada
orang yang shalat tanpa membaca Al Fatihah. Sehingga tidak mungkin
maksudnya penafian wujud (keberadaan). Sehingga jika ada orang yang
shalat tanpa membaca Al Fatihah, maka shalatnya tidak sah, karena
tingkatan penafian yang kedua adalah penafian keabsahan, sehingga tidak
sah shalatnya, Dan hadits ini umum, tidak dikecualikan oleh apapun.
Maka pada asalnya, nash yang umum tetap pada keumumannya. Tidak bisa
dikhususkan kecuali dengan dalil syar’i, yaitu nash lain, ijma, atau
qiyas yang shahih. Dan tidak ditemukan satu dari 3 macam dalil ini yang
mengkhususkan keumuman hadits ‘tidak ada shalat bagi orang yang tidak membaca Faatihatul Kitaab‘” (Syarhul Mumthi, 3/297).
Kedua: Adanya perintah untuk diam ketika mendengarkan bacaan Al Qur’an
Diantaranya firman Allah Ta’ala:
وَإِذَا قُرِىءَ الْقُرْآنُ فَاسْتَمِعُوا لَهُ وَأَنْصِتُوا لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ
“Dan apabila dibacakan Al Qur’an, maka dengarkanlah baik-baik, dan diamlah agar kamu mendapat rahmat” (QS. Al A’raf: 204).
Imam Ahmad mengomentari ayat ini, beliau berkata: “para ulama ijma bahwa perintah yang ada dalam ini maksudnya di dalam shalat” (Syarhul Mumthi, 3/297).
Juga sabda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam, dari sahabat Abu Hurairah Radhiallahu’anhu:
إنما جُعل الإمامُ ليؤتمَّ به ، فلا تَختلفوا عليه ، فإذا كبَّر فكبِّروا ، وإذا قرَأ فأنصِتوا
“sesungguhnya
dijadikan seorang imam dalam shalat adalah untuk diikuti, maka jangan
menyelisihinya. Jika ia bertakbir, maka bertakbirlah, jika ia membaca
ayat, maka diamlah” (HR. An Nasa-i 981, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Sunan An Nasa-i, ashl hadits ini terdapat dalam Shahihain)
Tambahan وإذا قرَأ فأنصِتوا (jika ia membaca ayat, maka diamlah), diperselisihkan oleh para ulama. Sebagian ulama mengatakan ini adalah tambahan yang syadz, Abu Daud berkata: “tambahan ini ‘jika ia membaca ayat, maka diamlah‘ adalah tambahan yang tidak mahfuzh, yang masih wahm (samar) bagi saya adalah Abu Khalid”. Sebagian ulama mengatakan tambahan tersebut adalah tambahan yang tsabit (shahih). Yang rajih, tambahan tersebut tsabit, karena
- Abu Khalid perawi hadits tersebut adalah Sulaiman bin Hayyan Al Ja’fari, ia statusnya shaduq. Abu Hatim berkata: “ia shaduq”, Ibnu Hajar berkata “shaduq yukhthi’”.
- Tambahan tersebut memiliki jalan lain dari Abu Musa Al Asy’ari Radhiallahu’anhu yang menguatkannya.
- Tambahan pada matan bisa menjadi syadz jika matannya menyelisihi periwayatan lain yang lebih banyak dan lebih tsiqah. Adapun tambahan tersebut tidak mengandung penyelisihan atau pertentangan terhadap periwayatan lain yang lebih tsiqah.
Sehingga menurut dalil-dalil ini, sebagian ulama mengatakan bahwa makmum wajib diam mendengarkan imam membaca Al Fatihah dan ayat Al Qur’an.
Ketiga: Dalam shalat sirriyyah makmum wajib membaca Al Fatihah
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani menyatakan, “adapun dalam shalat sirriyyah, para sahabat telah menetapkan bahwa mereka biasa membaca Al Qur’an ketika itu. Jabir radhiallahu’anhu berkata:
كنا نقرأ في الظهر والعصر خلف الإمام في الركعتين الأوليين بفاتحة الكتاب وسورة وفي الأخريين بفاتحة الكتاب
“kami
biasa membaca ayat Al Qur’an dalam shalat zhuhur dan ashar di belakang
imam di dua rakaat pertama bersama dengan Al Fatihah, dan di dua ayat
terakhir biasa membaca Al Fatihah (saja)” (HR. Ibnu Maajah dengan sanad shahih dan terdapat dalam Al Irwa’ (506))” (Ikhtiyarat Fiqhiyyah Imam Al Albani, 120).
Sehingga dalam shalat sirriyyah makmum tetap wajib membaca Al Fatihah secara lirih dan dalam hal ini masuk dalam keumuman hadits :
لا صلاةَ لمن لم يقرأْ بفاتحةِ الكتابِ
“tidak ada shalat bagi orang yang tidak membaca Faatihatul Kitaab” (HR. Al Bukhari 756, Muslim 394)
Tarjih Pendapat
Syaikh Al Albani memaparkan masalah ini dengan penjelasan yang bagus. Beliau mengatakan, “awalnya, Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam membolehkan makmum untuk membaca Al Fatihah di belakang imam dalam shalat jahriyyah.
Suatu ketika saat mereka shalat subuh, para sahabat membaca ayat Al
Qur’an dalam shalat hingga mereka merasa kesulitan. Ketika selesai
shalat subuh Nabi bersabda:
لعلَّكم
تقرؤُون خلفَ إمامِكم ، قلنا: نعم يا رسولَ اللهِ ، قال : فلا تفعلوا
إلَّا بفاتحةِ الكتابِ فإنَّه لا صلاةَ لمن لم يقرأْ بها
“mungkin
diantara kalian ada yang membaca Al Qu’ran dibelakangku? Ubadah bin
Shamit menjawab: iya, saya wahai Rasulullah. Nabi bersabda: jangan kau
lakukan hal itu, kecuali Al Fatihah. Karena tidak ada shalat bagi orang
yang tidak membacanya“ (HR. Al Bukhari dalam Juz-nya, Abu Daud, Ahmad, dihasankan oleh At Tirmidzi dan Ad Daruquthni)
Namun kemudian Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam melarang mereka membaca semua ayat Al Qur’an dalam shalat jahriyyah. Hal ini sebagaimana suatu ketika mereka selesai mengerjakan shalat jahriyyah (dalam suatu riwayat disebutkan itu adalah shalat shubuh), Nabi bersabda:
هل
قرأَ معي منكم أحد آنفًا ؟ فقالَ رجلٌ : نعم أَنَا يا رسولَ اللَّه . قالَ
: إنِّي أقولُ : ما لي أنازعُ ؟ قالَ أبو هريرة : فانتهى النَّاسُ عنِ
القراءةِ مَعَ رسولِ اللهِ صلَّى اللَّهُ عليهِ وسلَّمَ فيما جهرَ فيهِ
رسولُ اللَّهِ صلَّى اللهُ عليهِ وسلَّمَ بالقراءةِ حينَ سمعوا ذلكَ مِن
رسولِ اللَّهِ صلَّى اللَّهُ عليه وسلَّمَ ، وقرَؤوا فِي أنفسِهمْ سرًّا
فيما لم يجهَرْ فيهِ الإمامُ
“apakah
diantara kalian ada yang membaca Al Qur’an bersamaku dalam shalat
barusan? Seorang sahabat berkata: iya, saya wahai Rasulullah. Nabi
bersabda: saya bertanya kepadamu, mengapa bacaanku diselingi?”
Lalu Abu Hurairah mengatakan: “semenjak itu orang-orang berhenti membaca Al Qur’an bersama Nabi Shallallahu’alahi Wasallam dalam shalat yang beliau Shallallahu’alaihi Wasallam mengeraskan bacaannya, yaitu ketika para makmum mendengarkan bacaan dari Nabi tersebut. Dan mereka juga membaca secara sirr (samar) pada shalat yang imam tidak mengeraskan bacaannya”” (HR Malik, Al Humaidi, Al Bukhari dalam Juz-nya,
Abu Daud, Ahmad, dan Al Mahamili, dihasankan oleh At Tirmidzi dan
dishahihkan oleh Abu Hatim Ar Razi dan Ibnu Hibban dan Ibnul Qayyim)
Beliau Shallallahu’alahi Wasallam menjadikan sikap diam mendengarkan bacaan imam sebagai bentuk i’timam yang sempurna terhadap imam. Beliau Shallallahu’alahi Wasallam bersabda:
إنما جُعل الإمامُ ليؤتمَّ به ، فلا تَختلفوا عليه ، فإذا كبَّر فكبِّروا ، وإذا قرَأ فأنصِتوا
“sesungguhnya
dijadikan seorang imam dalam shalat adalah untuk diikuti, maka jangan
menyelisihinya. Jika ia bertakbir, maka bertakbirlah, jika ia membaca
ayat, maka diamlah” (HR. Ibnu Abi Syaibah, Abu Daud, Muslim, Abu ‘Awanah, Ar Ruyani dalam Musnad-nya)
Sebagaimana Nabi Shallallahu’alahi Wasallam juga menganggap istima‘ (mendengarkan bacaan imam) itu sudah mencukupi tanpa perlu membaca. Sebagaimana sabdanya:
مَن كان له إمامٌ فقراءةُ الإمامِ له قراءةٌ
“barangsiapa yang memiliki imam, maka bacaan imam itu adalah bacaan baginya” (HR.
Ibnu Abi Syaibah, Ad Daruquthni, Ibnu Majah, Ath Thahawi, Ahmad, dari
jalan yang banyak secara musnad maupun mursal. Ibnu Taimiyah menganggap
hadits ini kuat dalam kitab Al Furu‘ karya Ibnu ‘Abdil Hadi, dan hadits ini dishahihkan sebagian jalannya oleh Al Bushiri)”
(selesai nukilan perkataan Al Albani, dinukil dari Ikhtiyarat Fiqhiyyah Imam Al Albani, 119-120).
Maka, pendapat ke empat adalah yang nampaknya lebih kuat. Membaca Al Fatihah adalah rukun bagi imam dan munfarid dalam shalat sirriyyah dan jahriyyah, namun rukun bagi makmum dalam shalat sirriyyah saja, jahriyyah tidak. Dalam shalat jahriyyah, makmum cukup diam mendengarkan bacaan imam.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan: “dalam masalah apakah makmum membaca bacaan shalat (ketika imam sedang membaca secara jahr), pendapat yang paling pertengahan adalah: jika makmum mendengar imam sedang membaca (secara jahr),
maka ia wajib mendengarkan dan diam. Makmum tidak membaca Al Fatihah
ataupun bacaan lain. Jika makmum tidak mendengarkan imam membaca
(karena dibaca secara sirr),
maka ia wajib membaca Al Fatihah dan bacaan tambahan lainnya. Inilah
pendapat jumhur salaf dan khalaf. Ini juga merupakan pendapat Imam
Malik dan murid-muridnya, Imam Ahmad bin Hambal dan mayoritas muridnya,
juga salah satu pendapat dari Imam Asy Syafi’i yang dikuatkan oleh
sebagian muhaqqiq dari kalangan murid-murid beliau, juga pendapat Muhammad bin Al Hasan serta murid-murid Imam Abu Hanifah yang lainnya” (Majmu’ Fatawa, 18/20).
Namun perlu kami tekankan bahwa ini adalah masalah khilafiyah ijtihadiyyah yang seharusnya kita mengormati pendapat yang menyatakan bahwa makmum tetap wajib membaca Al Fatihah dalam semua shalat.
Adapun pendapat yang menyatakan bahwa membaca Al Fatihah hukumnya tidak
wajib sama sekali secara mutlak atau bahkan makruh bagi makmum, maka
ini pendapat yang bertentangan dengan banyak dalil yang ada, sehingga
tidak bisa kita toleransi.
(bersambung insya Allah)
—
1 Shalat yang bacaannya dilirihkan, yaitu shalat zhuhur dan ashar
2 Shalat yang bacaannya dikeraskan, yaitu shalat shubuh, maghrib dan isya
Penulis: Yulian Purnama
Artikel Muslim.Or.Id
Sumber: http://muslim.or.id/20283-membaca-al-fatihah-dalam-shalat-1.html