Terdapat sebuah syubhat, bahwa ulil amri yang wajib ditaati
hanyalah yang berhukum dengan Kitabullah, jika tidak, maka boleh melakukan
pemberontakan. Syubhat ini yang seringkali disebarkan oleh para pemberontak
terhadap ulil amri di setiap masa dan setiap tempat. Bagaimana jawaban terhadap
syubhat ini?
Terdapat sebuah syubhat sebagai berikut:
Salah satu dalil yg sering dijadikan acuan dalam menilai siapakah yg pantas dianggap sebagai ulil amri (waliyyul amri) adalah hadits shahih yg berbunyi :
إِنْ أُمِّرَ عَلَيْكُمْ عَبْدٌ مُجَدَّعٌ حَسِبْتُهَا قَالَتْ أَسْوَدُ يَقُودُكُمْ بِكِتَابِ اللَّهِ تَعَالَى فَاسْمَعُوا لَهُ وَأَطِيعُوا“Bila seorang budak yg buntung dan berkulit hitam diangkat sebagai pemimpin kalian, dan dia memimpin kalian dengan kitab Allah maka dengar dan ta’ati”.
Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Shahihnya dalam Bab Wujub Tha’at al Umara Fi Ghairi Ma’shiyah Wal Imam Junnah.Perlu dicatat, dalam Shahihnya Imam Muslim menuturkan beberapa hadits dengan ada sedikit perbedaaan redaksi. Tetapi pada intinya sama menggunakan kata-kata:يَقُودُكُمْ بِكِتَابِ اللَّهِ“Dia memimpin kalian dengan/berdasarkan Kitabullah“.
Dalam riwayat Tirmidzi menggunakan redaksiما أقام لكم كتاب الله“selama dia menegakan kitab Allah bagi kalian“.
Dalam kitab Tuhfah al Ahwadzi Syarh Sunan Tirmidzi disebutkan: “Maksudnya adalah selama menegakan hukumNya juga mencakup Sunah Nabi-Nya”.
Berangkat dari dhahir hadits ini, disimpulkan bahwa JIKA SI PEMIMPIN TIDAK MEMIMPIN DENGAN KITABULLAH, ATAU TIDAK MENEGAKKAN KITABULLAH PADA RAKYATNYA, MAKA JANGAN DIDENGAR DAN DITAATI.Lalu, dari kesimpulan (mafhum mukhalafah) ini, dibuatlah definisi bahwa waliyyul amri adalah pemimpin yang menegakkan kitabullah saja. Selain itu bukanlah waliyyul amri yang kita tidak dilarang untuk berontak kepadanya.
Benarkah pemahaman diatas??
Sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam,
يقودكم بكتاب الله … ما أقام فيكم كتاب الله
“Yang membimbing kalian dengan kitabullah… Selama ia menegakkan kitabullah bagi kalian”.
Itu i’rob-nya adalah sifat atau haal. Nah, sifat/haal itu sendiri tidak selamanya berarti muqayyidah (membatasi pengertian dari isim yg disifati/dijelaskan keadaannya), akan tetapi bisa pula berarti sifatun kaasyifah (sekedar menjelaskan tanpa bermaksud membatasi). Dan yang jenis kedua ini bisa dikenali bilamana fungsinya menjelaskan sifat yang biasa dijumpai pada isim tersebut.
Jika demikian kondisinya, maka sifat ini tidak punya mafhum mukhaalafah yang mu’tabar. Ini kaidah usul fiqih. Contohnya dalam ayat,
لا تأكلوا الربا أضعافا مضاعفة
“Janganlah kalian memakan riba yg berlipat ganda” (QS. Ali Imran : 130).
Tidak
berarti bahwa riba yang tidak berlipat ganda (seperti bunga bank) boleh
dimakan. Karena sifat/haal ‘berlipat ganda’ di sini bukan sifat/haal muqayyidah, tapi sifat/haal kaasyifah yang menjelaskan bahwa kebanyakan model riba yang ada saat ayat ini turun adalah riba berlipat ganda ala jahiliyyah.
Contoh lainnya pada ayat,
ولا تكرهوا فتياتكم على البغاء إن أردن تحصنا لتبتغوا عرض الحياة الدنيا
“Janganlah
kalian paksa budak-budak wanita kalian untuk melacur BILA MEREKA INGIN
MEMELIHARA KEHORMATANNYA, hanya karena kalian menginginkan materi
duniawi…”. (QS. An-Nur : 33)
Ini juga sifat/haal kaasyifah yang
tidak bisa difahami bahwa jika si budak memang tidak ingin memelihara
kehormatannya, maka boleh kita paksa melacur lalu uang hasil
pelacurannya kita makan. Sama sekali tidak. Ayat ini sekedar mensifati
atau menjelaskan keadaan orang-orang jahiliyyah yang kerap memaksa
budak-budak wanita mereka untuk melacur.
Demikian pula dalam hadits,
من أحدث في أمرنا هذا ما ليس منه فهو رد
“Siapa yg membikin perkara baru dalam urusan kami ini (agama) yg bukan bagian dari agama, maka perkara tersebut tertolak“. (HR. Bukhari & Muslim)
Perkataan Nabi shallallahu alaihi wa sallam,
ما ليس منه
“yang bukan bagian darinya“.
Tidak bisa difahami bahwa bila perkara muhdats (baru) tersebut adalah bagian dari agama, maka ia tidak tertolak. Namun menjelaskan bahwa semua perkara muhdats (yang baru dalam agama) adalah bukan bagian dari agama, dan ia tertolak.
Demikian pula dalam hadits yang difahami secara terbalik tersebut. Rasulullah mengatakan,
يقودكم بكتاب الله… ما أٌقام فيكم كتاب الله
“Yang membimbing kalian dengan kitabullah… Selama ia menegakkan kitabullah bagi kalian”.
bukanlah sifat/haal muqayyidah, karena kita memiliki qarinah (indikasi)
kuat berupa realita mayoritas umara’ dari masa Nabi hingga menjelang
runtuhnya khilafah, semuanya berhukum dengan kitabullah.
Jadi, jelaslah bahwa kata-kata tersebut tidak memiliki mafhum mukhalafah yang mu’tabar. Alias tidak bisa difahami bahwa bila yang bersangkutan tidak menggiring rakyatnya berdasarkan kitabullah kita suruh berontak.
Bukti
lainnya ialah sikap Imam Ahmad, Imam Ahlussunnah wal Jama’ah, dalam
menghadapi para khalifah yg memaksakan kekafiran kepada para ulama (Al
Ma’mun, Al Mu’tashim, dan Al Watsiq). Beliau mengkafirkan ucapan “Al Qur’an itu makhluk”.
Bahkan menurut Al Khollal, beliau mengkafirkan Al Ma’mun secara
personal. Namun tetap melarang angkat senjata. Bahkan setelah Khalifah
Al Watsiq menyembelih sahabat imam Ahmad bernama Ahmad bin Nashr Al
Khuza’iy, beliau tetap melarang para tokoh masyarakat dan ulama untuk
berontak, demi menghindari pertumpahan darah. Beliau hanya menyuruh
agar bersabar sampai orang-orang yang baik istirahat, atau
diistirahatkan dari si bejat.
Ketika
Imam Ahmad ditanya mengapa beliau tidak mengizinkan untuk berontak
dengan senjata? Jawab beliau: “Aku khawatir timbul fitnah”.
Mereka
pun balik bertanya: “Lho, bukankah saat ini kita sudah terkena fitnah”
(karena dipaksa mengatakan bahwa Al Qur’an itu makhluk, padahal ini
perkataan yg disepakati sebagai kekafiran akbar).
Maka kata Imam Ahmad, “Iya
benar, namun fitnah saat ini sifatnya terbatas pada para ulama. Dan
bila terjadi pemberontakan, maka fitnah ini akan melanda siapa saja”.
Artinya,
saat itu hanyalah para ulama yg ditindas oleh penguasa dan dipaksa
mengatakan kata-kata kufur tersebut, sedangkan masyarakat secara umum
tidak mendapat tekanan. Akan tetapi bila terjadi pemberontakan, maka
semuanya akan merasakan dampak buruknya.
Kesimpulannya:
Pemimpin yang tidak menegakkan kitabullah, tidak lantas diabaikan statusnya sebagai pemimpin.
Sebab menegakkan Kitabullah pun sifatnya nisbi, Al Ma’mun, Al
Mu’tashim, dan Al Watsiq pernah melakukan dan memaksakan sesuatu yang
diyakini oleh Ahlussunnah sebagai kekufuran, yang konsekuensinya mereka
telah mengganti ajaran Kitabullah dengan ajaran bid’ah/kufur. Namun itu
tidak cukup dijadikan alasan untuk melengserkan mereka. Alasannya,
karena mereka masih punya penghalang untuk dikafirkan, atau karena
pemberontakan tersebut akan menimbulkan mafsadat yang lebih besar.
Wallaahu ta’ala A’lam.
***
Diambil dr tulisan Dr. Sufyan Baswedan hafizhahullah dengan pengurangan dan penambahan
Penyusun: Ust. Abu Yahya Badrusalam, Lc.
Artikel Muslim.or.id
Sumber: http://muslim.or.id/29260-apakah-ulil-amri-yang-wajib-ditaati-hanya-yang-berhukum-dengan-kitabullah.html