Berikut adalah beberapa faidah yang kami kumpulkan berdasarkan keterbatasan ilmu yang ada pada kami.
Pertama
Kaum muslimin sepakat bahwa Al-Qur’an adalah mu’jizat terbesar Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, mu’jizat tersebut berupa keindahan bahasa dan balaghahnya sampai-sampai Allah ‘Azza wa Jalla menantang siapapun yang bisa mendatangkan semisal Al-Qur’an. Allah berfirman,
وَإِن كُنتُمْ فِي رَيْبٍ مِّمَّا نَزَّلْنَا عَلَى عَبْدِنَا فَأْتُواْ بِسُورَةٍ مِّن مِّثْلِهِ
وَادْعُواْ شُهَدَاءكُم مِّن دُونِ اللّهِ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ
“Dan
jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang Al Qur’an yang Kami
wahyukan kepada hamba Kami (Muhammad), buatlah satu surat (saja) yang
semisal Al Qur’an itu dan ajaklah penolong-penolongmu selain
Allah, jika kamu orang-orang yang benar.” (Al-Baqarah: 23)
Bahkan ditantang juga dengan mendatangkan kalimat saja semisal Al-Quran. Allah berfirman,
فَلْيَأْتُوا بِحَدِيثٍ مِّثْلِهِ إِن كَانُوا صَادِقِينَ
“Maka hendaklah mereka mendatangkan kalimat yang semisal Al Qur’an itu jika mereka orang-orang yang benar.” [Ath-Thuur: 34]
Maka sangatlah merugi seorang yang mengaku-ngaku muslim tetapi ia tidak bisa menikmati mu’jizat terbesar umat ini.
Kedua
Jika
ada seorang profesor Ahli dibidang kedokteran modern misalnya, ia
menjadi rujukan para dokter untuk berkonsultasi, akan tetapi ia tidak
bisa berbahasa Inggris, maka gelar profesor dan keahliannya diragukan
karena sebagian besar sumber ilmu kedokteran modern adalah negara barat
yang berbahasa Inggris, maka
bagaimana jika ada ustadz, Gus, Kiayi Haji, Tuan Guru Haji, Habib yang
mereka menjadi rujukan pertanyaan tentang agama kemudian meraka tidak
bisa berbahasa Arab?
Akan
tetapi kenyataan di masyarakat terutama di zaman ini, banyak orang yang
belum mempunyai ilmu agama yang mumpuni, langsung menjadi ustadz
dadakan dan menjadi rujukan pertanyaan agama. Padahal untuk
menjadi dai dan rujukan pertanyaan juga harus belajar yang lama
dan bertahun-tahun sebagaimana juga belajar ilmu umum. Ia juga harus
mengusai berbagai ilmu ushul sehingga tidak menyampaikan atau berfatwa
tanpa ilmu.
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ اللَّهَ لَا يَقْبِضُ الْعِلْمَ انْتِزَاعًا يَنْتَزِعُهُ مِنَ الْعِبَادِ وَلَكِنْ يَقْبِضُ الْعِلْمَ
بِقَبْضِ الْعُلَمَاءِ حَتَّى إِذَا لَمْ يُبْقِ عَالِمًا اتَّخَذَ النَّاسُ رُءُوسًا جُهَّالاً
فَسُئِلُوا فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ فَضَلُّوا وَأَضَلُّوا
“Sesungguhnya
Allah tidak akan mencabut ilmu dari hamba-hambaNya sekaligus, tetapi
Dia akan mencabut ilmu dengan mematikan para ulama’. Sehingga
ketika Allah tidak menyisakan seorang ‘alim-pun, orang-orang-pun
mengangkat pemimpin-pemimpin yang bodoh. Lalu para pemimpin itu
ditanya, kemudian mereka berfatwa tanpa ilmu, sehingga mereka menjadi
sesat dan menyesatkan orang lain.” (HR. Bukhari no:100)
Ketiga:
Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu adalah yang pertama kali mencetus ilmu Bahasa Arab, beliau menyusun pembagian kalimat, bab inna wa akhowatuha, idhofah, imalah, ta’ajjub, istifham dan lain-lain, kemudian memerintahkan kepada Abul Aswad Ad-Dualiy untuk mengembangkan sambil berkata,
انح هذا النجو
“Unhu hadzan nahwa!” (ikutilah yang semisal ini),
Maka istilah ilmu Nahwu diambil dari perkataan Ali bin Abi thalib (lihat Qowa’idul asasiyah lillughotil arobiyah hal 6, Sayyid Ahmad Al Hasyimi, Darul Kutub Al-‘Ilmiyah).
Keempat:
Abul Aswad Ad-Du’aliy rahimahullah dari bani kinanah disebut sebagai bapak bahasa Arab. Ialah
yang mengembangkan bahasa Arab atas perintah Ali bin Abi thalib karena
Islam berkembang berbagai negara dan orang ajam banyak yang salah
berbahasa Arab dan kesulitan memahami Al-Quran, serta masuknya orang
ajam ke negeri Islam dan mencampur bahasa mereka (lihat Qowa’idul asasiyah lillughotil arobiyah hal 5).
Dikisahkan bahwa yang membuat Abul Aswad Ad-Du’aliy semakin semangat mengembangkan bahasa Arab adalah suatu malam ia berjalan dengan putrinya, kemudian putrinya berkata,
ما أجمل السماء
“Maa ajmalus sama’i” (artinya: Apa yang paling Indah di langit?),
Kemudian Abul Aswad Ad-Du’aliy berkata,
نجومها
“nujumuha” (artinya: bintang-bintangnya).
Kemudian putrinya berkata, “saya bermaksud ta’ajjub/kagum”.
Maka Abul Aswad Ad-Du’aliy berkata membenarkan, katakanlah,
ما أجمل السماء
“Maa Ajmalas sama’a” (artinya: betapa indahnya langit).
NB: Tulisan font Arabnya sama, tetapi cara bacanya berbeda, karena berbeda arti
Anak
seorang pakar bahasa Arab saja seperti ini, apalagi masyarakatnya,
kemudian perhatikan juga hanya berbeda harokat sedikit saja sudah
membedakan artinya sangat jauh, masihkah kita tidak mau belajar
bahasa Arab untuk lebih memahami agama kita?
Kelima
Sebagaimana fiqh, bahasa Arab juga ada dua mazhab yaitu mazhab Kufiyah dan Bashriyah, karena bahasa Arab berkembang di dua kota besar Kufah dan Bashrah. (lihat Qowa’idul asasiyah lillughotil arobiyah hal 6)
Ulama dari Basrah yang terkenal adalah Sibawaih dengan nama lengkapnya ‘Amr ibn Utsman Ibn Qunbar dan Abdullah bin Abu Ishak. Sedangkan ulama dari kufah adalah Al-Kisa’i dengan nama lengkapnya Abu Hasan Ali ibn Hamzah dan Al-Fara’ nama lengkapnya Abu Zakariya Yahya ibn Ziyad ibn Abdullah ibn Marwan ad-Dailumiy.
Keenam:
Sering
kita mendengar bahwa bahasa penduduk surga adalah bahasa Arab akan
tetapi hadistnya lemah sehingga tidak bisa dijadikan sandaran, tidak
ada hadits shahih dari Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa sallam tentang masalah ini. Mengenai hadits,
أَحِبُّوا الْعَرَبَ لِثَلَاثٍ: لِأَنِّي عَرَبِيٌّ وَالْقُرْآنَ عَرَبِيٌّ وَكَلَامَ أَهْلِ الْجَنَّةِ عَرَبِيٌّ
“Cintailah
orang Arab karena tiga hal; Karena aku adalah orang Arab,
Al-Qur’an itu berbahasa Arab dan ucapan penduduk sorga adalah
Bahasa Arab”. (HR. Hakim, Thabarani dan Baihaqi)
Imam Dzahabi rahimaullahu mengatakan dalam ringkasan kitab al-Mustadrak : Saya kira hadits ini lemah”. Ibnu Al-Jauzi rahimaullahu menyebutkan hadits ini dalam kitab Al-Maudhu’at (kumpulan hadits-hadits palsu)
Meskipun demikian banyak atsar para salaf yang menguatkan bahwa bahasa penduduk surga adalah bahasa Arab. Jika tidak
bisa kita katakan bahwa “bahasa Arab adalah bahasa ahli
surga” tetapi bisa kita katakan “bahasa Arab adalah bahasa
pendamba ahli surga”.
Ketujuh:
“Afwan jiddan akhi”.
Kata ini sering diucapkan oleh orang awam bahkan aktivis dakwah, padahal bentuk ini salah secara kaidah, karena “afwan” dan “jiddan” keduanya adalah maf’ul mutlaq yang bertujuan untuk menta’kid (menegaskan), “afwan” tidak perlu ditambahkan “jiddan” lagi untuk menta’kid serta tidak boleh menyusun dua maf’ul mutlaq berturut-turut. (lihat pelajaran maf’ul mutlaq, Mulahkhas Qowa’idil Lughatil Arabiyah hal 69, fu’ad Ni’mah, Darul Tsaqafah Islamiyah)
Kedelapan:
Nama Nabi yang disebutkan dalam Al-Qur’an dan Sunnah hanya empat orang saja yang memakai nama Arab asli yaitu Muhammad Shallallahu ’alaihi wa sallam, Syu’aib, Shalih dan Hud ‘Alaihimussalam. Hal ini dapat diketahui dengan kaidah bahasa Arab bahwa nama asing termasuk golongan “mamnu’ minas sorf” yang tidak boleh di tanwin, sehingga anggapan sebagian orang bahwa sebagian besar nabi dari bangsa Arab asli kurang tepat, yang benar beberapa daerah timur tengah dulunya tidak diduduki oleh orang Arab seperti Mesir dan Syam.
Kesembilan:
Bangsa Arab punya kebiasaan menitipkan anak mereka kepada suku-suku pedalaman untuk disusui, termasuk Rasul kita Shallallahu ’alaihi wa sallam,
tentu kita bertanya-tanya untuk apa hal ini dilakukan? Tidak khawatir
anak kita dididik oleh orang kampung yang tidak dikenal? Ternyata salah satu hikmahnya adalah agar anak-anak mereka fasih berbahasa Arab yang masih murni, karena bahasa di kota sudah bercampur baur.
Begitu
juga kita tidak akan mendapatkan bahasa jawa kromo/halus di kota-kota
tetapi ada di desa-desa terpencil. Karena bagi orang Arab kesalahan
berbahasa sangat fatal dan bangsa Arab sangat memuliakan syair dan
keindahan bahasa.
Khalifah Abdul Malik bin Marwan berkata,
اللحن في الكلام أقبح من الجذري في الوجه
“Lahn (kesalahan) dalam berbicara lebih jelek dari cacar di wajah.”
Dari
sulaiman bin Ali bin Abdullah bin Abbas dari Al-Abbas berkata, saya
bertanya kepada Rشsululloh apakah keindahan pada seseorang?”,
beliau menjawab, “kefasihan lisannya”. Dan dikisahkan bahwa
Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa sallam paling fasih mengucapkan huruf “dhad” yang paling sulit pelafazannya. (lihat Qowa’idul asasiyah lillughotil arobiyah hal 4,)
Kesepuluh:
Bahasa Arab adalah bahasa yang paling sesuai dengan logika manusia,
Misalnya kalimat, “ana masrurun bimuqobalatik” (saya disenangkan [senang] karena bertemu denganmu).
Maka bahasa Arab menggunakan “masrurun”, dalam bentuk maf’ul (objek penderita), bukan “saarrun” (fa’il/pelaku).
karena ada sesuatu yang membuatnya senang yaitu bertemu, tidak mungkin
ia senang sendiri jika tidak ada yang menbuatnya senang.
Bandingkan dengan bahasa indonesia, “saya merasa senang” dan bandingkan pula dengan kalimat “ana qoodimun” (saya datang) menggunakan bentuk fa’il (pelaku) karena memang ia melakukannya. (Faidah ini saya dapat dari guru kami Aris Munandar, SS. MA. Hafidzahullahu)
Alhamdulillahilladzi
bi ni’matihi tatimmush sholihaat, wa shallallahu ‘ala
nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi wa sallam.
Disempurnakan di Lombok, Pulau seribu Masjid
22 Shafar 1433 H
Penyusun: Raehanul Bahraen
Artikel www.muslimafiyah.com