Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir
Jawas حفظه الله
Dari
Ibnu ‘Abbâs Radhiyallahu anhuma, bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam
ketika mengutus Mu’adz Radhiyallahu anhu ke Yaman Beliau Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّكَ سَتَأْتِيْ قَوْمًا أَهْلَ كِتَابٍ ، فَلْيَكُنْ
أَوَّلَ مَا تَدْعُوْهُمْ إِلَىْهِ شَهَادَةُ أَنْ لَا إِلٰـهَ إِلَّا اللهُ
وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ– وَفِيْ رِوَايَةٍ – : إِلَى أَنْ يُوَحِّدُوا
اللهَ – فَإِنْ هُمْ أَطَاعُوْا لَكَ بِذٰلِكَ ، فَأَخْبِرْهُمْ أَنَّ اللهَ قَدْ
فَرَضَ عَلَيْهِمْ خَـمْسَ صَلَوَاتٍ فِيْ كُلِّ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ ، فَإِنْ هُمْ
أَطَاعُوْا لَكَ بِذٰلِكَ ، فَأَخْبِرْهُمْ أَنَّ اللهَ قَدْ فَرَضَ
عَلَيْهِمْ صَدَقَةً تُؤْخَذُ مِنْ أَغْنِيَائِهِمْ فَتُرَدُّ عَلَى فُقَرَائِهِمْ
، فَإِنْ هُمْ أَطَاعُوْا لَكَ بِذٰلِكَ ، فَإِيَّاكَ وَكَرَائِمَ
أَمْوَالِهِمْ ، وَاتَّقِ دَعْوَةَ الْـمَظْلُوْمِ ، فَإِنَّهُ لَيْسَ بَيْنَهُ
وَبَيْنَ اللهِ حِجَابٌ.
Sesungguhnya engkau akan mendatangi satu kaum Ahli
Kitab (Yahudi dan Nasrani), maka hendaklah pertama kali yang kamu
sampaikan kepada mereka ialah syahadat Lâ Ilâha Illallâh wa anna
Muhammadar Rasûlullâh -dalam riwayat lain disebutkan, ‘Sampai mereka
mentauhidkan Allâh.’- Jika mereka telah mentaatimu dalam hal itu, maka
sampaikanlah kepada mereka bahwa Allâh Azza wa Jalla mewajibkan kepada mereka
shalat lima waktu sehari semalam. Jika mereka telah mentaati hal itu, maka
sampaikanlah kepada mereka bahwa Allâh mewajibkan kepada mereka zakat yang
diambil dari orang-orang kaya di antara mereka untuk diberikan kepada
orang-orang fakir. Dan jika mereka telah mentaati hal itu, maka jauhkanlah
dirimu (jangan mengambil) dari harta terbaik mereka, dan lindungilah dirimu
dari do’a orang yang teraniaya karena sesungguhnya tidak satu penghalang pun
antara do’anya dan Allâh.”
TAKHRIJ HADITS.
Hadits ini shahih. Diriwayatkan
oleh Al-Bukhâri, no. 1395, 1496, 4347, 7372; Muslim, no. 19 [29]; At-Tirmidzi,
no. 625; Abu Dawud, no. 1584; An-Nasa-i, V/55; Ibnu Majah, no. 1783; Ad-Dârimi,
I/405; Ahmad, I/233, dan lainnya.
KOSA KATA HADITS.
قَوْمٌ : Pada asalnya bermakna sekumpulan laki-laki, tidak mencakup
perempuan. Tetapi dalam keumuman al-Qur’an, yang dimaksud dengan kata “kaum”
yaitu laki-laki dan perempuan semuanya.[1]
أَهْلُ
الْكِتَابِ : Mereka adalah
orang-orang yang diberi al-Kitab sebelum kita. Yang dimaksud yaitu kaum Yahudi
dan Nashrani. Walaupun di Yaman ada kelompok lain selain ahlul kitab, tetapi
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebut mereka karena mereka mayoritas dan
juga memberi perhatian ke mereka karena mereka adalah orang berilmu. Jadi
berbicara dengan mereka tidak seperti berbicara dengan para penyembah berhala.[2]
كَرَائِمُ : Jamak dari كَرِيْمَة,
yakni berupa barang-barang berharga.
SYARH (PENJELASAN)
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
ketika mengutus Mu’adz bin Jabal Radhiyallahu anhu ke daerah Yaman (pada tahun
10 Hijriyyah) untuk berdakwah kepada Allâh dan mengajar, Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam memberitahukan langkah-langkah yang harus ditempuh oleh
Mu’adz dalam dakwahnya. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan bahwa
dia akan menghadapi kaum Yahudi dan Nashrani yang berilmu dan pandai berdebat.
Pemberitahuan ini bertujuan agar Mu’adz Radhiyallahu anhu siap berdialog dan
membantah syubhat-syubhat mereka, kemudian juga memulai dakwah dengan perkara
terpenting lalu yang penting. Yang pertama kali adalah menyeru manusia untuk
memperbaiki akidahnya karena akidah merupakan pondasi. Jika mereka telah
menerima hal tersebut, mereka diperintahkan untuk menegakkan shalat karena
shalat adalah kewajiban yang paling agung setelah tauhid. Jika mereka telah
melaksanakannya, maka orang-orang kaya diperintahkan untuk membayar zakat
harta-harta mereka (yang dibagikan) kepada orang-orang fakir sebagai rasa
kebersamaan dan rasa syukur kepada Allâh Azza wa Jalla . Kemudian Beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam memperingatkan Mu’adz Radhiyallahu anhu agar
tidak mengambil harta terbaik dalam zakat karena yang wajib adalah harta yang
biasa.
Setelah itu, Mu’adz dianjurkan untuk
berbuat adil dan meninggalkan kezhaliman supaya ia tidak terkena doa orang yang
terzhalimi, karena doa orang tersebut akan Allâh Azza wa Jalla kabulkan.[4]
Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam :
إِنَّكَ
سَتَأْتِيْ قَوْمًا أَهْلَ كِتَابٍ
Sesungguhnya engkau akan
mendatangi satu kaum Ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani)
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
mengabarkan keadaan mereka kepada Mu’adz Radhiyallahu anhu agar ia siap
menghadapi mereka. Karena orang yang berdebat dengan ahlul Kitab harus memiliki
hujjah yang lebih banyak dan lebih kuat daripada orang yang berdebat dengan
orang-orang musyrik penyembah berhala. Karena orang musyrik itu bodoh,
sedangkan mereka yang diberikan al-Kitab memiliki ilmu. Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam juga memberitahu keadaan mereka agar Mu’adz Radhiyallahu anhu
menyesuaikan diri dengan keadaan mereka, sehingga bisa mendebat mereka dengan
cara yang lebih baik, mendakwahkan {mungkin mendakwahi=dass} ahlul Kitab, dan mengajak mereka kepada
tauhid. Allâh Azza wa Jalla berfirman:
قُلْ
يَا أَهْلَ الْكِتَابِ تَعَالَوْا إِلَىٰ كَلِمَةٍ سَوَاءٍ بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمْ
أَلَّا نَعْبُدَ إِلَّا اللَّهَ وَلَا نُشْرِكَ بِهِ شَيْئًا وَلَا يَتَّخِذَ
بَعْضُنَا بَعْضًا أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ ۚ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَقُولُوا اشْهَدُوا بِأَنَّا
Katakanlah (Muhammad), “Wahai Ahli
Kitab! Marilah (kita) menuju kepada satu kalimat (pegangan) yang sama antara
kami dan kamu, bahwa kita tidak beribadah kepada selain Allâh dan kita tidak
mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun, dan bahwa kita tidak menjadikan satu
sama lain tuhan-tuhan selain Allâh. Jika mereka berpaling maka katakanlah
(kepada mereka), “Saksikanlah, bahwa kami adalah orang Muslim.” [Ali ‘Imrân/3:64]
Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam :
فَلْيَكُنْ
أَوَّلَ مَا تَدْعُوْهُمْ إِلَيهِ شَهَادَةُ أَنْ لَا إِلٰـهَ إِلَّا اللهُ
وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ
maka hendaklah pertama kali yang
kamu sampaikan kepada mereka ialah syahadat Lâ Ilâha Illallâh wa anna
Muhammadar Rasûlullâh
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan pengarahan
kepada Mu’adz Radhiyallahu anhu bahwa hal yang pertama kali harus diserukan
kepada mereka yaitu tauhid dan kerasulan.
Makna yang benar dari kalimat
Tauhid لَا إِلٰـهَ إِلَّا اللهُ adalah:
لَا
مَعْبُوْدَ بِـحَقٍّ إِلَّا اللهُ
Tidak ada sesembahan yang berhak
diibadahi dengan benar kecuali Allâh
Lafazh لَا إِلٰـهَ (lâ ilâha) adalah
penafian terhadap semua yang disembah selain Allâh, dan lafazh إِلَّا اللهُ (illallâh) adalah penetapan segala
bentuk ibadah yang ditujukan hanya kepada Allâh semata, tidak ada sekutu
bagi-Nya dalam peribadatan kepada-Nya, sebagaimana tidak ada sekutu bagi Allâh
dalam kekuasaan-Nya.[6]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah
rahimahullah berkata, “Apabila seseorang bersaksi bahwa tidak ada ilâh yang
berhak diibadahi kecuali Dia, maka ia telah memberitakan, menjelaskan, dan
mengabarkan bahwa selain-Nya bukan ilah yang berhak diibadahi,
dan Allâh satu-satunya yang berhak diibadahi.”[7]
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah
berkata, “Ini merupakan kalimat yang paling agung yang mengandung peniadaan
peribadatan kepada selain Allâh dan menetapkan peribadatan hanya kepada-Nya
dengan segala sifat yang istimewa. Penunjukan kalimat ini akan penetapan bahwa
tiada illah yang berhak diibadahi selain Allâh, lebih besar daripada sekedar
perkataan kita Allâh adalah Ilâh, dan tidak ada satupun yang
meragukan ini.”[8]
Sesungguhnya sesembahan-sesembahan
yang disembah selain Allâh dinamakan آلِهَة (tuhan-tuhan)
karena mereka memang disembah oleh manusia, meskipun pada hakikatnya mereka
tidak berhak diibadahi tetap saja namanya tuhan. Akan tetapi, semua itu adalah
tuhan yang bathil. Jadi, penyematan nama إِلٰـهٌ (ilâh)
untuk sesembahan selain Allâh diakui dari satu segi dan dinafikan dari segi
yang lain. Diakui dari sisi kenyataan yang ada dan ditiadakan dari sisi
keberhakan untuk diibadahi.[9]
Rukun-Rukun Kalimat لَا إِلٰـهَ إِلَّا اللهُ
Kalimat syahadat lâ ilâha
illallâh memiliki dua rukun: yaitu al-itsbât (penetapan)
dan an-nafyu (peniadaan).
Lafazh lâ ilâha berarti
peniadaan atau penolakan (an-nafyu) terhadap segala ilah (sesembahan)
selain Allâh.
Dan lafazh illallâh berarti
penetapan (al-itsbât) bahwa segala bentuk ibadah (penghambaan) itu hanya
bagi Allâh Azza wa Jalla semata, tidak ada sesuatu apa pun yang boleh dijadikan
sebagai sekutu dalam peribadahan kepada-Nya.
Hal ini ditopang dengan dalil-dalil
yang sangat banyak, di antaranya, firman Allâh Azza wa Jalla :
فَمَنْ
يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِنْ بِاللَّهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَىٰ
لَا انْفِصَامَ لَهَا ۗ وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
Barangsiapa yang ingkar kepada
thaghut dan beriman kepada Allâh, maka sungguh ia telah berpegang pada
tali yang sangat kuat. Allâh Maha Mendengar, Maha Mengetahui.” [Al-Baqarah/2:256]
Rukun an-nafyu pada
ayat ini adalah lafazh,
فَمَنْ
يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ
Barangsiapa
yang ingkar kepada thaghut
Imam Malik rahimahullah mengatakan,
“Thaghut adalah semua yang diibadahi selain Allâh Azza wa Jalla .”[10]
Dan rukun al-itsbaat pada
ayat ini adalah lafazh,
وَيُؤْمِنْ
بِاللَّهِ
Dan beriman kepada Allâh
Allâh Azza wa Jalla berfirman:
ذَٰلِكَ
بِأَنَّ اللَّهَ هُوَ الْحَقُّ وَأَنَّ مَا يَدْعُونَ مِنْ دُونِهِ هُوَ
الْبَاطِلُ وَأَنَّ اللَّهَ هُوَ الْعَلِيُّ الْكَبِيرُ
Demikianlah (kebesaran Allâh)
karena Allâh, Dia-lah (Tuhan) Yang Haqq (untuk diibadahi). Dan apa
saja yang mereka ibadahi selain Dia, itulah yang bathil. Dan sungguh
Allâh, Dia-lah Yang Mahatinggi, Mahabesar.” [Al-Hajj/22:62]
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda:
مَنْ
قَالَ لَا إِلٰـهَ إِلَّا اللهُ وَكَفَرَ بِمَا يُعْبَدُ مِنْ دُوْنِ اللهِ
حَرُمَ مَالُهُ وَدَمُهُ، وَحِسَابُهُ عَلَى اللهِ عَزَّ وَجَلَّ.
Barangsiapa yang mengucapkan
lâ ilâha illallâh (tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar
selain Allâh) dan mengingkari (sesembahan-sesembahan) selain Allâh,
maka haramlah harta dan darahnya, dan hisab (perhitungan amal)nya
diserahkan kepada Allâh Azza wa Jalla.[11]
Konsekuensi dari rukun لَا إِلٰـهَ إِلَّا اللهُ, yaitu seorang Muslim
yang sudah jelas mengucapkan kalimat tauhid ini, maka ia wajib menolak dan
mengingkari semua yang diibadahi selain Allâh Azza wa Jalla . Semua yang
diibadahi selain Allâh adalah bathil. Dan ia pun wajib menetapkan bahwa
satu-satunya yang benar dan yang wajib diibadahi hanya Allâh saja. Kita wajib
beribadah hanya kepada Allâh Azza wa Jalla dan tidak boleh kepada selain-Nya.
Adapun ucapan syahadat:
أَشْهَدُ
أَنَّ مُـحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ
Aku bersaksi
bahwasanya Muhammad adalah Rasul (utusan) Allâh
Maka konsekuensi dari ucapan
tersebut adalah:
- Wajib beriman kepada Rasûlullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
Allâh Azza wa Jalla berfirman:
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَآمِنُوا بِرَسُولِهِ يُؤْتِكُمْ كِفْلَيْنِ
مِنْ رَحْمَتِهِ وَيَجْعَلْ لَكُمْ نُورًا تَمْشُونَ بِهِ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ۚ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ
Wahai orang-orang yang beriman!
Bertakwalah kepada Allâh dan berimanlah kepada Rasul-Nya (Muhammad),
niscaya Allâh memberikan rahmat-Nya kepada dua bagian, dan
menjadikan cahaya untukmu yang dengan cahaya itu kamu dapat
berjalan serta Dia mengampuni kamu. Dan Allâh Maha Pengampun, Maha
Penyayang.” [Al-Hadîd/57:28]
- Mentaati Perintah Beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam
Allâh Azza wa Jalla berfirman:
تِلْكَ
حُدُودُ اللَّهِ ۚ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ يُدْخِلْهُ جَنَّاتٍ
تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا ۚ وَذَٰلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ
Itulah batas-batas (hukum) Allâh.
Barangsiapa taat kepada Allâh dan Rasul-Nya, Dia akan memasukkannya ke dalam
surga-surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya.
Dan itulah kemenangan yang agung.” [An-Nisâ’/4:13]
Dan firman Allâh Subhanahu wa Ta’ala
:
مَنْ
يُطِعِ الرَّسُولَ فَقَدْ أَطَاعَ اللَّهَ ۖ وَمَنْ تَوَلَّىٰ فَمَا أَرْسَلْنَاكَ عَلَيْهِمْ حَفِيظًا
Barangsiapa menaati Rasul
(Muhammad), maka sesungguhnya dia telah menaati Allâh. Dan barangsiapa
berpaling (dari ketaatan itu), maka (ketahuilah) Kami tidak
mengutusmu (Muhammad) untuk menjadi pemelihara mereka.” [An-Nisâ’/4:80]
- Membenarkan apa-apa yang Beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam sampaikan
Allâh Azza wa Jalla berfirman:
وَالَّذِي
جَاءَ بِالصِّدْقِ وَصَدَّقَ بِهِ ۙ أُولَٰئِكَ هُمُ الْمُتَّقُونَ
Dan orang yang membawa kebenaran
(Muhammad) dan orang yang membenarkannya, mereka itulah orang yang
bertakwa. [Az-Zumar/39: 33]
Dan firman Allâh Azza wa Jalla :
وَمَا
يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَىٰ ﴿٣﴾ إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُوحَىٰ
Dan tidaklah yang diucapkannya itu
(al-Qur`an) menurut keinginannya. Tidak lain (al-Qur`an itu) adalah wahyu yang
diwahyukan (kepadanya).” [An-Najm/53:3-4]
- Menjauhkan diri dari apa-apa yang
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam larang
Allâh Azza wa Jalla berfirman:
وَمَا
آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۖ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
Dan apa yang diberikan Rasul
kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka
tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allâh. Sesungguhnya Allâh amat keras
hukuman-Nya.” [Al-Hasyr/59:7]
- Tidak beribadah kepada Allâh Azza wa
Jalla kecuali dengan cara yang telah disyariatkan
Artinya, kita wajib beribadah kepada
Allâh menurut apa yang disyari’atkan dan dicontohkan oleh Nabi Muhammad
Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kita wajib ittibâ’ kepada Beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Allâh Azza wa Jalla berfirman:
قُلْ
إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ
لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ ۗ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ
Katakanlah (wahai Muhammad), ‘Jika
kamu (benar-benar) mencintai Allâh, ikutilah aku, niscaya Allâh mengasihi dan
mengampuni dosa-dosamu.’ Allâh itu Mahapengampun lagi Mahapenyayang.” [Ali ‘Imrân/3:31][12]
Sesungguhnya Rasûlullâh Shallallahu
‘alaihi wa sallam diutus oleh Allâh Azza wa Jalla kepada golongan jin dan
manusia, dan kita diperintahkan untuk beriman kepada Rasûlullâh Shallallahu
‘alaihi wa sallam dan ittiba’ kepada Beliau Shallallahu
‘alaihi wa sallam . Diutusnya Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam
merupakan nikmat yang besar dan agung bagi kaum Mukminin, sebagaimana Allâh
Azza wa Jalla berfirman:
لَقَدْ
مَنَّ اللَّهُ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ إِذْ بَعَثَ فِيهِمْ رَسُولًا مِنْ
أَنْفُسِهِمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ
الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَإِنْ كَانُوا مِنْ قَبْلُ لَفِي ضَلَالٍ مُبِينٍ
Sungguh Allâh telah memberi karunia
kepada orang-orang yang beriman ketika Allâh mengutus di antara mereka seorang
Rasul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat
Allâh, membersihkan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka al-Kitab
(al-Qur`an) dan al-Hikmah (as-Sunnah). Dan sesungguhnya sebelum (kedatangan
Nabi) itu, mereka adalah benar-benar dalam kesesatan yang nyata. [Ali ‘Imrân/3:164]
Sungguh, nikmat paling besar yang
Allâh Azza wa Jalla karuniakan kepada para hamba-Nya adalah diutusnya Rasul
yang mulia. Dengan diutusnya Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , Allâh
Azza wa Jalla selamatkan manusia dari kesesatan dan Allâh Azza wa Jalla menjaga
mereka dari kebinasaan.[13]
Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam:
فَإِنْ
هُمْ أَطَاعُوْا لَكَ بِذٰلِكَ
Jika mereka telah mentaati hal itu
Yaitu jika mereka telah bersaksi
bahwasanya tidak ada illah yang berhak diibadahi dengan benar kecuali Allâh dan
bahwasanya Muhammad adalah Rasûlullâh, maka:
فَأَخْبِرْهُمْ
أَنَّ اللهَ قَدْ فَرَضَ عَلَيْهِمْ خَـمْسَ صَلَوَاتٍ فِيْ كُلِّ يَوْمٍ
وَلَيْلَةٍ
Maka sampaikanlah kepada mereka
bahwa Allâh mewajibkan kepada mereka shalat lima waktu sehari semalam.
Yaitu shalat wajib yang lima waktu,
yaitu Zhuhur, Ashar, Maghrib, Isya, dan Shubuh. Selain kelima shalat tersebut,
tidak termasuk dalam shalat wajib. Adapun shalat-shalat sunnah rawatib, shalat
witir, shalat dhuha, semua itu tidak wajib.
Allâh Azza wa Jalla berfirman:
حَافِظُوا
عَلَى الصَّلَوَاتِ وَالصَّلَاةِ الْوُسْطَىٰ وَقُومُوا لِلَّهِ قَانِتِينَ
Peliharalah semua shalatmu, dan
peliharalah shalat wustha’. Dan berdirilah karena Allâh (dalam
shalatmu) dengan khusyu’.” [Al-Baqarah/2:238]
Allâh Azza wa Jalla berfirman:
إِنَّ
الصَّلَاةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَابًا مَوْقُوتًا
Sesungguhnya shalat itu adalah
kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman. [An-Nisâ’/4:103]
Dalam Islam, shalat memiliki
kedudukan yang tidak bisa ditandingi oleh ibadah lainnya. Sebab, ia merupakan
tiang agama, tidak akan tegak agama ini kecuali dengannya.
Rasûlullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
رَأْسُ
الْأَمْرِ الْإِسْلَامُ ، وَعَمُوْدُهُ الصَّلَاةُ ، وَذِرْوَةُ سَنَامِهِ
الْجِهَادُ فِـيْ سَبِيْلِ اللهِ
Pokok segala urusan adalah Islam,
tiangnya adalah shalat, dan puncaknya adalah jihad di jalan Allâh [14]
Shalat adalah sebaik-baik amal
seorang Muslim, dan merupakan amal yang pertama kali akan dihisab. Rasûlullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
سَدِّدُوْا
وَقَارِبُوْا، وَاعْمَلُوْا وَخَيِّـرُوْا، وَاعْلَمُوْا أَنَّ خَيْرَ
أَعْمَالِكُمُ الصَّلَاةُ، وَلَا يُحَافِظُ عَلَى الْوُضُوْءِ إِلَّا مُؤْمِنٌ
Luruslah dalam beragama (sesuai
dengan contohku) dan mendekatlah dalam beragama, beramallah dan pilihlah
(yang terbaik). Dan ketahuilah bahwa sebaik-baik amal kalian adalah
shalat. Dan tidaklah menjaga wudhu’, melainkan seorang Mukmin [15]
Ada juga diriwayatkan dengan lafazh
yang lain,
اِسْتَقِيْمُوْا
وَلَنْ تُحْصُوْا، وَاعْلَمُوْا أَنَّ خَيْرَ أَعْمَالِكُمُ
الصَّلَاةُ، وَلَا يُحَافِظُ عَلَى الْوُضُوْءِ إِلَّا مُؤْمِنٌ
Istiqamahlah kalian dan kalian pasti
tidak akan mampu. Ketahuilah, sesungguhnya sebaik-baik amalan kalian
adalah shalat. Dan tidak ada yang senantiasa
menjaga wudhu’nya melainkan seorang Mukmin.[16]
Di samping itu, shalat adalah wasiat
terakhir Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada ummatnya. Beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
اَلصَّلَاةَ ،
وَمَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ
Kerjakanlah shalat, dan tunaikan
kewajiban kalian terhadap hamba sahaya yang kalian miliki.[17]
Shalat merupakan perkara yang
pertama kali akan dihisab pada hari Kiamat. Sebagaimana sabda Rasûlullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
أَوَّلُ
مَا يُـحَاسَبُ بِهِ الْعَبْدُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ الصَّلَاةُ ، فَإِنْ صَلَحَتْ
صَلَحَ لَهُ سَائِرُ عَمَلِهِ ، وَإِنْ فَسَدَتْ فَسَدَ سَائِرُ عَمَلِهِ.
Perkara yang pertama kali dihisab
dari seorang hamba pada hari Kiamat adalah shalat. Apabila shalatnya
baik, maka seluruh amalnya pun baik. Apabila shalatnya buruk, maka seluruh
amalnya pun buruk.[18]
Orang yang meninggalkan shalat telah
berbuat dosa besar yang paling besar, lebih besar dosanya di sisi
Allâh daripada membunuh jiwa, mengambil harta orang lain. Lebih besar dosanya
daripada dosa zina, mencuri dan minum khamr. Orang yang
meninggalkan shalat akan mendapatkan hukuman dan kemurkaan Allâh di dunia dan
di akhirat.[19]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah
rahimahullah mengatakan, “Orang yang enggan mengerjakan shalat fardhu maka ia
berhak mendapatkan hukuman yang keras (berat) berdasarkan kesepakatan para Imam
kaum Muslimin, bahkan menurut jumhur ummat, seperti Imam Mâlik, asy-Syâfi’i,
Ahmad, dan selain mereka, ia wajib untuk disuruh bertaubat, jika ia bertaubat
(maka ia terbebas dari hukuman) dan jika tidak maka ia dibunuh.
Bahkan orang yang meninggalkan
shalat lebih jelek daripada pencuri, pezina, peminum khamr, dan penghisap
ganja.”[20]
Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam :
فَإِنْ
هُمْ أَطَاعُوْا لَكَ بِذٰلِكَ فَأَخْبِرْهُمْ أَنَّ اللهَ قَدْ فَرَضَ عَلَيْهِمْ
صَدَقَةً تُؤْخَذُ مِنْ أَغْنِيَائِهِمْ فَتُرَدُّ عَلَى فُقَرَائِهِمْ
Jika mereka telah mentaati hal itu,
maka sampaikanlah kepada mereka bahwa Allâh mewajibkan kepada mereka zakat yang
diambil dari orang-orang kaya di antara mereka untuk diberikan kepada
orang-orang fakir.
Jika mereka telah melaksanakan
shalat wajib yang lima waktu, maka perintahkan kepada mereka untuk menunaikan
zakat.
Zakat yaitu sedekah wajib yang
diambil dari orang kaya dan diberikan kepada orang fakir. Orang kaya yang
dimaksud di sini yaitu yang memiliki harta dan sudah mencapai nishab zakat,
meskipun ia tidak memiliki harta banyak. Jika seseorang hanya memiliki satu
nishab, maka dia dikatakan kaya.
Allâh Azza wa Jalla berfirman:
وَأَقِيمُوا
الصَّلَاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ وَارْكَعُوا مَعَ الرَّاكِعِينَ
Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah
zakat, dan ruku’lah bersama orang-orang yang ruku’ [Al-Baqarah/2:43]
خُذْ
مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا وَصَلِّ
عَلَيْهِمْ ۖ إِنَّ صَلَاتَكَ سَكَنٌ لَهُمْ ۗ وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
Ambillah zakat dari harta mereka,
guna membersihkan dan menyucikan mereka, dan berdoalah untuk mereka.
Sesungguhnya doamu itu (menumbuhkan) ketenteraman jiwa bagi mereka. Allâh
Maha Mendengar, Maha Mengetahui. [At-Taubah/9 :103]
وَفِي
أَمْوَالِهِمْ حَقٌّ لِلسَّائِلِ وَالْمَحْرُومِ
Dan pada harta benda mereka ada hak
untuk orang miskin yang meminta, dan orang miskin yang tidak meminta. [Adz-Dzâriyât/51:19]
Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam, “diberikan kepada orang-orang fakir di antara mereka.” Yaitu
orang-orang fakir di negeri mereka, karena mereka lebih berhak untuk diberi
sedekah oleh penduduk (yang kaya) di negeri tersebut. Mustahiq (orang
yang berhak menerima) zakat ada delapan, Allâh Azza wa Jalla berfirman:
إِنَّمَا
الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا
وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ
اللَّهِ وَابْنِ السَّبِيلِ ۖ فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ ۗ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ
Sesungguhnya zakat itu hanyalah
untuk orang-orang fakir, orang miskin, amil zakat, yang dilunakkan hatinya
(mualaf), untuk (memerdekakan) hamba sahaya, untuk (membebaskan) orang yang
berutang, untuk jalan Allâh dan untuk orang yang sedang dalam perjalanan,
sebagai kewajiban dari Allâh. Allâh Maha Mengetahui, Mahabijaksana. [At-Taubah/9:60]
Disebut orang fakir dalam hadits,
karena jumlah mereka lebih banyak dibanding yang lain. Artinya orang fakir
miskin jumlahnya banyak di masyarakat dan mereka sangat membutuhkan harta dan
bantuan dari kaum Muslimin.
Karena inilah, salah jika
orang-orang kaya mengirim sedekah mereka ke negeri yang jauh, padahal di negeri
mereka banyak yang membutuhkan. Orang-orang terdekat lebih utama untuk
berbuat baik kepada mereka, karena mereka mengetahui harta yang dimiliki oleh
orang kaya di sekitarnya. Jika mereka tidak mendapat manfaat dari harta
tersebut, maka akan timbul rasa tidak suka dan benci kepada orang kaya
tersebut. Jika mereka melihat orang kaya mengirim sedekahnya ke negeri yang
jauh padahal mereka juga membutuhkan, maka bisa jadi mereka akan memusuhi dan
merusak harta-harta orang kaya. Karena inilah, termasuk dari hikmah yaitu
selama ada dalam penduduk negeri itu yang membutuhkan maka jangan memberi
sedekah kepada yang lain yang lebih jauh.
Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam :
فَإِنْ
هُمْ أَطَاعُوْا لَكَ بِذٰلِكَ فَإِيَّاكَ وَكَرَائِمَ أَمْوَالِهِم
Dan jika mereka telah mentaati hal
itu, maka jauhkanlah dirimu (jangan mengambil) dari harta terbaik mereka.
Jika mereka telah tunduk dan sepakat
dalam menunaikan zakat, maka janganlah mengambil harta-harta terbaik mereka.
Tetapi ambillah yang pertengahan, jangan menzhalimi mereka.
Maksud Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam melarang mengambil harta terbaik dan berharga yaitu agar hati
orang-orang kaya tidak dendam kepada orang fakir karena mengambil dan menerima
harta-harta yang berharga dari mereka. Dan juga agar tidak timbul rasa hasad
(iri, dengki) dan kebencian di antara individu masyarakat, serta agar seorang
Muslim memberikan zakat hartanya dengan hati yang ridha, tangan terbuka yang
menginginkan kebaikan dan berbuat baik untuk semua orang.
Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam :
وَاتَّقِ
دَعْوَةَ الْـمَظْلُوْمِ
Dan lindungilah dirimu dari do’a
orang yang teraniaya
Yakni jika engkau mengambil harta
berharga mereka, maka engkau berbuat zhalim kepada mereka. Bisa jadi mereka
mendo’akan keburukan padamu, maka takutlah terhadap do’a mereka.
Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam :
فَإِنَّهُ
لَيْسَ بَيْنَهُ وَبَيْنَ اللهِ حِجَابٌ
Karena sesungguhnya tidak satu
penghalang pun antara do’anya dan Allâh
Yaitu do’a mereka naik ke sisi
Allâh, lalu Allâh Azza wa Jalla mengabulkannya. Oleh karena itu, hindarilah
kezhaliman agar engkau tidak dido’akan keburukan oleh orang yang dizhalimi.
Sebab, do’a orang yang dizhalimi pasti dikabulkan oleh Allâh meskipun diucapkan
oleh seorang kafir atau fajir (suka berbuat jahat).
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda:
اِتَّقُوْا
دَعْوَةَ الْمَظْلُوْمِ وَإِنْ كَانَ كَافِرًا فَإِنَّهُ لَيْسَ دُوْنَهَا حِجَابٌ
Lindungilah dirimu dari doa orang
yang terzhalimi, walaupun dia kafir. Karena sesungguhnya tidak ada penghalang
doanya tersebut.[21]
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa
sallam juga bersabda:
دَعْوَةُ
الْمَظْلُوْمِ مُسْتَجَابَةٌ وَإِنْ كَانَ فَاجِرًا فَفُجُوْرُهُ عَلَى نَفْسِهِ
Doa orang yang terzhalimi itu
terkabul walaupun dia seorang fajir (jahat), adapun kejahatannya itu ditanggung
dirinya sendiri.[22]
FAWA-ID (FAEDAH-FAEDAH)
·
Pentingnya dakwah dalam Islam yaitu pentingnya mengajak
manusia ke jalan Allâh, kepada agama Islam yang benar berdasarkan al-Qur`an dan
as-Sunnah menurut pemahaman salafush shalih.
·
Dakwah merupakan perkataan yang paling baik.
·
Disyari’atkannya mengutus para da’i yang mengajak manusia ke
jalan Allâh Azza wa Jalla .
·
Keutamaan Muadz bin Jabal Radhiyallahu anhu
·
Syahadat Lâ Ilâha Illallâh merupakan
kewajiban pertama dan materi dakwah yang pertama kali disampaikan kepada
manusia.
·
Tadarruj (bertahap) dalam berdakwah, dengan memulai dari yang paling
penting kemudian yang penting, dan seterusnya.
·
Makna Lâ Ilâha Illallâh adalah
mentauhidkan Allâh Azza wa Jalla dengan mengikhlaskan ibadah hanya kepada Allâh
Azza wa Jalla dan meninggalkan peribadahan kepada selain-Nya.
·
Seorang kafir tidak dihukumi menjadi Muslim kecuali dengan
mengucapkan dua kalimat syahadat
·
Kadang seorang itu berilmu, akan tetapi tidak mengetahui
makna Lâ Ilâha Illallâh, atau mengenal maknanya akan tetapi
tidak mengamalkannya
·
Berbicara dengan orang berilmu tidak sama dengan berbicara
dengan orang bodoh. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Mu’adz
Radhiyallahu anhu, ‘Kamu akan mendatangi kaum Ahlul Kitab’. Karena Ahlul Kitab
secara umum adalah orang-orang yang berilmu sehingga berbicara dengan mereka
tidak bisa disamakan dengan berbicara dengan orang-orang bodoh dari para
penyembah berhala.
·
Hendaknya seorang (khususnya da’i) berada di atas bashîrah (ilmu)
tentang agamanya agar terbebas dari syubhat[23] yang diberikan
oleh orang-orang yang menyimpang. Oleh karena itu dia wajib menuntut ilmu
syar’i.
·
Shalat wajib lima waktu sehari semalam merupakan kewajiban
terbesar setelah dua kalimat syahadat
·
Sebaik-baik amal adalah shalat dan shalat yang pertama kali
dihisab pada hari Kiamat
·
Setiap Muslim wajib mengajak shalat lima waktu dalam keadaan
bagaimanapun dan dimanapun dia berada
·
Orang yang meninggalkan shalat wajib lima waktu, maka ia
berdosa dengan dosa besar yang paling besar
·
Bagi laki-laki wajib mengerjakan shalat lima waktu
berjama’ah di masjid
·
Shalat wajib dikerjakan sesuai dengan contoh Rasûlullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan wajib shalat dengan thuma`ninah dan
khusyu’
·
Zakat diambil dari orang-orang Muslim dan dibagikan kepada
kaum Muslimin
·
Zakat adalah rukun Islam terbesar setelah shalat
·
Penjelasan salah satu mustahiq (orang yang
berhak menerima zakat) yaitu orang-orang miskin dan boleh mencukupkan kepada
mereka saja tanpa ashnaf (golongan) yang lain
·
Tidak boleh bagi amil zakat untuk mengambil zakat dari harta
yang terbaik kecuali dengan ridha pemiliknya
·
Peringatan dari berbuat zhalim
·
Do’a orang yang terzhalimi adalah mustajab,
walaupun orang yang terzhalimi tersebut merupakan ahli maksiat
·
Diterimanya khabar ahad (hadits ahad) yang shahih dan wajib
mengamalkannya
·
Menggunakan bahasa dan cara yang sesuai dalam mendakwahkan
manusia
·
Wajibnya saling menyayangi di antara individu masyarakat
Islam
·
Wajib saling tolong menolong dan membantu sesama kaum
Muslimin, salah satunya dengan sedekah dan zakat
·
Wajibnya seorang dai atau ustadz memiliki ilmu syar’i, paham
tentang agama, terutama berkaitan dengan aqidah yang benar, manhaj yang benar
dan hukum-hukum fiqih sebelum dia berdakwah
MARAAJI’
·
Kutubus sittah dan kitab hadits lainnya.
·
Musnad Imam Ahmad bin Hanbal.
·
Majmû’ Fatâwâ Syaikhil Islam Ibni Taimiyyah.
·
Ash-Shalâh wa Hukmu Târikiha, karya Ibnu Qayyim al-Jauziyyah.
·
Badâ`i’ul Fawâ`id, tahqiq Basyir Muhammad ‘Uyun, cet. Maktabah Daril Bayan.
·
Fat-hul Bâri Syarh Shahîh
al-Bukhâri, al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani.
·
Al-Ushûl ats-Tsalâtsah, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab.
·
Fat-hul Majiid Syarh Kitâbit Tauhîd, Syaikh ‘Abdurrahman bin Hasan Aalu Syaikh.
·
Al-Mulakhkhash fii Syarh Kitâbit
Tauhîd, Syaikh Shalih al-Fauzan.
·
Bahjatun Nâzhirîn Syarh Riyâdhish
Shâojlihîn, Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilaly.
·
Syarh Riyâdhis Shâlihîn, Syaikh Muhammojad bin Shalih al-‘Utsaimin.
·
Syahâdatu an Lâ Ilâha
Illallâh, Syaikh DR. Sojhalih bin Abdul Aziz
‘Utsman as-Sindy.
·
Manhajud Da’wati Ilallâh ‘ala Dhau`i
Washiyyaojtin Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam li Mab’ûtsihi Ilal Yaman -Mu’adz
bin Jabal I, Abdurrahim bin
Muhammad al-Maghdzawi.
·
Dan lainnya.
[Disalin dari majalah As-Sunnah
Edisi 05/Tahun XIX/1436H/2015. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta,
Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197
Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961,
Redaksi 08122589079 ]
_______
Footnote
[1] Al-Mufradât fii Gharibil Qur`ân, hlm. 418
Footnote
[1] Al-Mufradât fii Gharibil Qur`ân, hlm. 418
[5] Dinukil dari Al-Ushûl
Ats-Tsalâtsah karya Syaikh Al-Mujaddid Muhammad bin ‘Abdul Wahhab,
Fat-hul Majîd Syarh Kitâbit Tauhîd karya Syaikh ‘Abdurrahman bin Hasan
Alusy Syaikh, Taisîr ‘Azîzil Hamîd karya Syaikh Sulaiman bin
‘Abdillah Alusy Syaikh, Al-Qaulul Mufîd ‘ala Kitâbit Tauhîd karya
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin, ‘Aqiidatut Tauhîd karya
Syaikh DR. Shalih bin Fauzan Al-Fauzan , serta Syahâdatu
an Lâ Ilâha illallâh karya Syaikh DR. Shalih bin ‘Abdil ‘Aziz
‘Utsman As-Sindy, dan kitab-kitab lainnya.
[10] Fat-hul Majîd Syarh Kitâbut
Tauhîd (I/88), tahqiq DR. Al-Waalid bin ‘Abdurrahman
bin Muhammad Aalu Furayyan.
[11] Shahih: HR. Muslim (no. 23
(37)), dari Abu Mâlik, dari ayahnya, yaitu Thariq bin Asy-yam Radhiyallahu anhu
[12] Lihat Syarh Ushûl
Ats-Tsalâtsah oleh Syaikh Muhammad bin Shâlih Al-‘Utsaimin, hlm. 75
dan Al-Qaulul Mufîd fii Adillatit Tauhîd, hlm. 36-39
[14] Shahih: HR. Ahmad (V/231, 237,
245-246), at-Tirmidzi, no. 2616; dan Ibnu Mâjah, no. 3973. Dari Shahabat Muadz
bin Jabal Radhiyallahu anhu.
[15] Shahih: HR. Ahmad (V/282) dari
Sahabat Tsaubân Radhiyallahu anhu. Diriwayatkan juga oleh ad-Dârimi
(I/168) dan Ibnu Hibban (no. 164-Mawaariduzh Zham-aan) dari Sahabat
al-Walid Radhiyallahu anhu . Lihat Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah,
no. 115
[16] Shahih: HR. Ahmad (V/277) dan Ibnu
Majah, no. 277. Hadits ini dinilai shahih oleh syaikh Al-Albâni dalam Irwâ`ul
Ghalîl, no. 412
[17] Shahih: HR. Ahmad (III/117)
dari Anas bin Malik z dan Ibnu Mâjah, no. 1625 dari Ummu Salamah Radhiyallahu
anhuma
[18] Shahih: HR. Ath-Thabrani
dalam al-Mu’jamul Ausath (II/512, no. 1880) dari Sahabat Anas
bin Malik Radhiyallahu anhu. Hadits ini dinyatakan shahih oleh Syaikh al-Albani
dalam Shahîh al-Jâmi’ish Shaghîr, no. 2573 dan Silsilah al-Ahâdîts
ash-Shahîhah, no. 1358
[19] Lihat kitab ash-Shalâh wa Hukmu
Târikihâ, hlm. 29 karya Imam Ibnul Qayyim. Lihat juga Majmû’ Fatâwâ Syaikhil
Islam Ibni Taimiyyah (XXII/50).
[21] Hasan: HR. Ahmad (III/153), dari Anas bin
Malik t . Hadits ini dinilai hasan oleh Syaikh al-Albani dalam Silsilah
al-Ahâdîts ash-Shahîhah, no. 767
[22] Hasan: HR. Ahmad, II/367 dan ath-Thayalisi,
no. 2450 dan lainnya dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu. Hadits ini dinilai
hasan oleh al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Fat-hul Bâri (III/360)
dan Syaikh al-Albani dalam Shahîh al-Jâmi’ish Shaghîr, no. 3382
dan Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah, no. 767
[23] Syubhat adalah penyakit
hati yang menyerang keilmuan seeorang sehingga menjadi rusak dan pengetahuannya
terhadap agama menjadi rancu.