Oleh
Al-Ustadz Yazid bin ‘Abdul Qadir Jawas حفظه الله
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ دَعَا إِلَى هُدًى كَانَ لَهُ مِنَ اْلأَجْرِ مِثْلُ أُجُوْرِ مَنْ تَبِعَهُ لَا يَنْقُصُ ذَلِكَ
مِنْ أُجُوْرِهِمْ شَيْئًا، وَمَنْ دَعَا إِلَى ضَلَالَةٍ ، كَانَ
عَلَيْهِ مِنَ الْإِثْمِ مِثْلُ آثَامِ مَنْ تَبِعَهُ لَا يَنْقُصُ ذَلِكَ
مِنْ آثَامِهِمْ شَيْئًا
Barangsiapa
mengajak (manusia) kepada petunjuk, maka baginya pahala seperti pahala
orang yang mengikutinya tanpa mengurangi pahala mereka sedikit pun. Dan
barangsiapa mengajak (manusia) kepada kesesatan maka ia mendapatkan
dosa seperti dosa-dosa orang yang mengikutinya, tanpa mengurangi dosa
mereka sedikit pun
TAKHRIJ HADITS
Hadits ini shahih.
Diriwayatkan oleh Imam Muslim, no. 2674; Abu Dawud, no. 4611;
At-Tirmidzi, no. 2674; Ibnu Mâjah, no. 206; Ahmad, II/397; Ad-Dârimi,
I/130-131; Abu Ya’la, no. 6489) (649) tahqiq Husain Salim Asad; Ibnu Hibbân, no. 112-at-Ta’lîqâtul Hisân; Al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah, no. 109
KOSA KATA HADITS
- هُدًى : Petunjuk. Yaitu kebenaran dan kebaikan.
- ضَلَالَة : Kesesatan. Yaitu kebathilan dan kejelekan (keburukan).[1]
SYARAH HADITS
Hadits ini –dan juga hadits-hadits yang serupa dengannya- mengandung anjuran untuk berdakwah
yaitu mengajak manusia kepada petunjuk dan kebaikan, keutamaan da’i.
Hadits ini juga peringatan dari perbuatan mengajak manusia kepada
kesesatan dan penyimpangan, serta besarnya dosa penyeru (kepada
kejelekan) tersebut dan akibatnya.
Ada hadits yang serupa dengan hadits di atas, yaitu Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ سَنَّ فِـي الْإِسْلَامِ سُنَّةً حَسَنَةً، فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُوْرِهِمْ شَيْءٌ ، وَمَنْ سَنَّ فِـي الْإِسْلَامِ سُنَّةً سَيِـّئَةً ، كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ
Barangsiapa yang memberi teladan (contoh) perbuatan yang baik, ia akan mendapatkan pahala perbuatan tersebut serta pahala orang yang mengikutinya (sampai hari kiamat) tanpa mengurangi pahala mereka sedikit pun.
Dan barangsiapa yang memberikan contoh kejelekan, maka ia akan
mendapatkan dosa perbuatan tersebut serta dosa orang-orang yang mengikutinya (sampai hari kiamat) tanpa mengurangi dosa mereka sedikit pun.[2]
Imam
an-Nawawi rahimahullah mengatakan, “Kedua hadits di atas jelas
menunjukkan anjuran dan disukainya memberikan contoh perkara-perkara
yang baik dan haramnya memberikan contoh perkara-perkara yang buruk.
Orang yang memberi teladan perbuatan yang baik, maka ia akan
mendapatkan pahala perbuatan tersebut serta pahala orang yang
mengikutinya sampai hari kiamat.
Dan orang yang memberikan contoh kejelekan, maka ia akan mendapatkan
dosa perbuatan tersebut serta dosa orang-orang yang mengikutinya sampai hari kiamat. Begitu juga orang yang mengajak kepada petunjuk, ia mendapat pahala seperti pahala orang-orang yang mengikutinya,
atau mengajak kepada kesesatan maka ia mendapat dosa seperti dosa-dosa
pengikutnya, baik petunjuk atau kesesatan tersebut ia yang pertama kali
memulainya, atau sudah ada sebelumnya (yang melakukannya). Dan baik itu
dengan mengajarkan ilmu, atau ibadah, ataupun adab dan lainnya.
Perkataan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam (مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ) ‘yang mengerjakannya setelahnya’, maknanya bahwa perbuatan teladan tersebut (diikuti oleh orang lain) baik semasa hidupnya ataupun setelah ia meninggal dunia. Wallâhu a’lam.”[3]
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan bahwa orang yang mengajak
kepada petunjuk dengan dakwahnya, ia mendapat ganjaran seperti ganjaran
orang yang mendapat petunjuk tersebut. Dan orang yang menyebabkan
kesesatan dengan seruannya, ia akan mendapat dosa seperti dosa orang
yang ia sesatkan tersebut. Karena orang yang pertama telah mencurahkan
kemampuannya untuk memberikan petunjuk kepada manusia, dan orang kedua
mencurahkan tenaganya untuk menyesatkan manusia. Maka masing-masing
dari keduanya berkedudukan seperti orang yang melakukan perbuatan
tersebut.
Ini adalah kaidah syari’at. Allâh Azza wa Jalla berfirman:
لِيَحْمِلُوا أَوْزَارَهُمْ كَامِلَةً يَوْمَ الْقِيَامَةِ ۙ وَمِنْ أَوْزَارِ الَّذِينَ يُضِلُّونَهُمْ بِغَيْرِ عِلْمٍ ۗ أَلَا سَاءَ مَا يَزِرُونَ
Mereka
pada hari kiamat memikul dosa-dosanya sendiri secara sempurna, dan
sebagian dosa-dosa orang yang mereka sesatkan yang tidak mengetahui
sedikit pun (bahwa mereka disesatkan). Ingatlah, alangkah buruknya
(dosa) yang mereka pikul itu. [An-Nahl/16 :25]
وَلَيَحْمِلُنَّ أَثْقَالَهُمْ وَأَثْقَالًا مَعَ أَثْقَالِهِمْ ۖ وَلَيُسْأَلُنَّ يَوْمَ الْقِيَامَةِ عَمَّا كَانُوا يَفْتَرُونَ
Dan
mereka benar-benar akan memikul dosa-dosa mereka sendiri, dan dosa-dosa
yang lain bersama dosa mereka dan pada hari Kiamat mereka pasti akan
ditanya tentang kebohongan yang selalu mereka ada-adakan.” [Al-‘Ankabût/29 :13]
Ini
menunjukkan bahwa orang yang mengajak manusia kepada selain sunnah
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka dialah musuh Beliau yang
sebenarnya. Karena ia memutus sampainya pahala orang yang mendapat
petunjuk dengan sunnah Beliau kepadanya. Dan ini merupakan sebesar
permusuhannya.”[4]
KEUTAMAAN BERDAKWAH MENGAJAK KEPADA KEBENARAN
Dakwah
di jalan Allâh Azza wa Jalla merupakan amal yang sangat mulia, ketaatan
yang besar dan ibadah yang tinggi kedudukannya di sisi Allâh Subhanahu
wa Ta’ala.
Allâh Azza wa Jalla berfirman:
وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ ۚ وَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
Dan
hendaklah di antara kamu ada segolongan orang yang menyeru kepada
kebajikan, menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang
mungkar. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung. [Ali ‘Imrân/3:104]
Juga firman-Nya:
وَمَنْ أَحْسَنُ قَوْلًا مِمَّنْ دَعَا إِلَى اللَّهِ وَعَمِلَ صَالِحًا وَقَالَ إِنَّنِي مِنَ الْمُسْلِمِينَ
Siapakah
yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allâh,
dan mengerjakan kebajikan dan berkata, ‘Sungguh aku termasuk
orang-orang Muslim (yang berserah diri).’ [Fushshilat/41:33]
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada ‘Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu anhu :
فَوَاللهِ، لَأَنْ يَهْدِيَ اللهُ بِكَ رَجُلاً وَاحِدًا خَيْرٌ لَكَ مِنْ حُمْرِ النَّعَمِ
Demi
Allâh, bila Allâh memberi petunjuk (hidayah) lewat dirimu kepada satu
orang saja, lebih baik (berharga) bagimu daripada unta-unta yang merah.[5]
Allâh Azza wa Jalla berfirman:
وَالْعَصْرِ ﴿١﴾ إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ ﴿٢﴾ إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ
Demi
masa! Sungguh, semua manusia berada dalam kerugian, kecuali orang-orang
yang beriman dan mengerjakan amal shalih (kebajikan) serta saling
menasihati untuk kebenaran dan saling menasihati untuk menetapi
kesabaran. [Al-‘Ashr/103:1-3]
Berdasarkan ayat-ayat al-Qur-an dan hadits ini, yang dimaksud dengan اَلْهُدَى adalah ilmu yang bermanfaat dan amal shalih.
Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
هُوَ الَّذِي أَرْسَلَ رَسُولَهُ بِالْهُدَىٰ وَدِينِ الْحَقِّ لِيُظْهِرَهُ عَلَى الدِّينِ كُلِّهِ ۚ وَكَفَىٰ بِاللَّهِ شَهِيدًا
Dialah
Yang mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang benar
agar dimenangkan-Nya terhadap semua agama. Dan cukuplah Allâh sebagai
saksi. [Al-Fath/48: 28]
Yang dimaksud dengan اَلْهُدَى (petunjuk) ialah ilmu yang bermanfaat, dan yang dimaksud dengan دِيْنُ الْحَقِّ (agama yang benar)
ialah amal shalih. Allâh Azza wa Jalla mengutus Nabi Muhammad
Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menjelaskan kebenaran dari
kebathilan, menjelaskan tentang Nama-Nama Allâh Azza wa Jalla,
Sifat-Sifat-Nya, perbuatan-perbuatan-Nya, hukum-hukum dan berita yang
datang dari-Nya, memerintahkan semua yang bermanfaat untuk hati, ruh
dan jasad. Beliau memerintahkan untuk mengikhlaskan ibadah semata-mata
karena Allâh Azza wa Jalla, mencintai-Nya, berakhlak dengan akhlak yang
mulia, beramal shalih, beradab dengan adab yang bermanfaat. Beliau
melarang perbuatan syirik, perilaku dan akhlak yang buruk yang
berbahaya untuk hati dan badan, dunia dan akhirat.[6]
Maka
setiap orang yang mengajarkan ilmu atau mengarahkan orang lain kepada
jalan yang bisa ditempuh untuk mendapatkan ilmu, maka dia disebut
sebagai penyeru kepada petunjuk. Dan setiap orang yang menyeru kepada
amal shalih yang berkaitan dengan hak Allâh atau hak makhluk secara
umum dan khusus, maka dia juga disebut sebagai penyeru kepada petunjuk.
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ دَلَّ عَلَى خَيْرٍ فَلَهُ مِثْلُ أَجْرِ فَاعِلِهِ
Barangsiapa menunjukkan (manusia) kepada kebaikan, maka ia memperoleh pahala seperti pahala orang yang melakukannya.[7]
Setiap
orang yang memberi nasehat berkaitan dengan agama atau dunia yang bisa
mengantarkannya kepada ajaran agama, maka orang itu adalah penyeru
kepada petunjuk.
Setiap
orang yang mendapat petunjuk dalam ilmu serta amalnya, lalu diikuti
oleh orang lain, maka dia adalah penyeru kepada petunjuk.
Dan
setiap orang yang membantu orang lain dalam amal kebaikan atau proyek
umum yang bermanfaat, maka dia masuk dalam kategori hadits ini, seperti
berdakwah, sedekah, membangun masjid, sekolah, pondok pesantren dan
lainnya.
Setiap orang yang menolong orang lain dalam kebaikan dan takwa, maka dia termasuk penyeru kepada petunjuk.
Sebaliknya, setiap orang yang menolong orang lain dalam dosa dan permusuhan, maka dia termasuk penyeru kepada kesesatan.
DEFENISI DAKWAH
Dakwah
(mengajak manusia ke jalan Allâh), yaitu mengajak manusia untuk beriman
kepada Allâh Azza wa Jalla, mengimani apa yang dibawa para Rasul-Nya,
dengan membenarkan apa yang mereka kabarkan kepada manusia, mentaati
mereka, mengucapkan dua kalimat syahadat, mendirikan shalat,
mengeluarkan zakat, puasa di bulan Ramadhan, haji ke Baitullah,
mengajak manusia untuk beriman kepada Allâh Azza wa Jalla,
Malaikat-Malaikat-Nya, Kitab-Kitab-Nya, Rasul-Rasul-Nya, beriman kepada
hari akhir (dibangkitkannya manusia sesudah mati), iman kepada qadar
yang baik dan buruk, dan mengajak manusia untuk beribadah hanya kepada
Allâh saja seolah-olah ia melihat-Nya.[8]
Jadi,
yang dikatakan dakwah adalah mengajak manusia kepada Rukun Islam, Rukun
Iman, dan melaksanakan syari’at Islam, taat kepada Allâh dan Rasul-Nya,
mengajak manusia untuk mentauhidkan Allâh Azza wa Jalla, melarang
perbuatan syirik, mengajak umat untuk ittiba’ (meneladani
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam ) dan melarang dari berbuat
bid’ah. Mengajak manusia ke jalan yang benar agar selamat di dunia dan
di akhirat dengan mengikuti Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam
dan para Sahabat.
Dakwah
di jalan Allâh merupakan sebesar-besar ketaatan kepada Allâh Azza wa
Jalla. Dan perkataan yang paling baik adalah mengajak manusia ke jalan
Allâh dan beramal shalih.
Allâh Azza wa Jalla berfirman:
وَمَنْ أَحْسَنُ قَوْلًا مِمَّنْ دَعَا إِلَى اللَّهِ وَعَمِلَ صَالِحًا وَقَالَ إِنَّنِي مِنَ الْمُسْلِمِينَ
Siapakah
yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allâh,
dan mengerjakan kebajikan dan berkata, ‘Sungguh aku termasuk
orang-orang Muslim (yang berserah diri).’ [Fushshilat/41:33]
RUKUN DAKWAH
Orang
yang berdakwah di jalan Allâh Azza wa Jalla harus mengetahui fikih
dakwah serta pokok-pokoknya agar dakwahnya berjalan di atas bashirah (ilmu dan keyakinan). Maka di antara rukun dakwah, yaitu:
Rukun pertama, maudhu’ (tema) dakwah, yaitu agama Islam.
Allâh Azza wa Jalla berfirman:
إِنَّ الدِّينَ عِنْدَ اللَّهِ الْإِسْلَامُ
Sesungguhnya agama di sisi Allâh ialah Islam [Ali ‘Imrân/3:19]
Allâh Azza wa Jalla juga berfirman:
وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الْآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ
Dan barangsiapa mencari agama selain Islam, dia tidak akan diterima, dan di akhirat dia termasuk orang yang rugi. [Ali ‘Imrân/3:85]
Rukun kedua, da’i (penyeru) yaitu orang yang mengajak kepada kebenaran dan kebaikan.
Seorang
da’i hendaknya mengetahui bekal seorang da’i dan senjatanya, apa
tugasnya, bagaimana seharusnya akhlak seorang da’i, dan memahami itu
semua merupakan hal paling penting bagi seorang da’i.
Di antara bekal yang harus dimiliki oleh seorang da’i yaitu:
- Pemahaman yang mendalam yang dibangun di atas ilmu sebelum beramal. Yaitu memahami aqidah dengan pemahaman yang benar dengan dalil-dalil dari al-Quran, hadits, serta ijma’ para Ulama ahlus sunnah. Juga memahami tujuannya dalam hidup ini dan perannya di antara manusia, senantiasa terikat dengan akhirat dan tidak tertipu dengan kehidupan dunia.
- Iman yang mendalam dan berbuah cinta kepada Allâh Azza wa Jalla, takut kepada Allâh Azza wa Jalla, berharap hanya kepada-Nya, bertawakkal, beristighatsah kepada-Nya, ikhlas semata-mata karena-Nya, dan jujur dalam setiap perkataan dan perbuatan.
Rukun ketiga, mad’u (orang yang diseru).
Seorang
da’i harus mengetahui bahwa dakwah Islam ini bersifat umum kepada
seluruh manusia, bahkan untuk jin dan manusia seluruhnya, di setiap
waktu dan tempat sampai hari Kiamat.
Allâh Azza wa Jalla berfirman:
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ
Dan tidaklah Kami mengutusmu melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam. [Al-Anbiyâ’/21:107]
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا كَافَّةً لِلنَّاسِ بَشِيرًا وَنَذِيرًا وَلَٰكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ
Dan Kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada seluruh ummat manusia, sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahui. [Saba’/34:28]
Dan seorang da’i harus mengetahui bahwa keadaan ummat yang diseru ini bermacam-macam.
Rukun keempat, uslub (cara) berdakwah dan menyampaikannya.
Seorang
da’i harus memahami cara berdakwah dan menyampaikannya, agar ia mampu
menyampaikan dakwah dengan bijaksana, sempurna dan di atas bashirah (ilmu dan keyakinan).[9]
Allâh Azza wa Jalla berfirman:
ادْعُ إِلَىٰ سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ ۖ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ ۚ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيلِهِ ۖ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ
Serulah (manusia) kepada jalan Rabb-mu dengan hikmah dan pengajaran yang baik, dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.
Sesungguhnya Rabb-mu, Dia-lah yang lebih mengetahui siapa yang sesat
dari jalan-Nya dan Dia-lah yang lebih mengetahui siapa yang mendapat
petunjuk. [An-Nahl/16:125]
Sesungguhnya
orang yang memperhatikan perjalanan para Ulama ahli hadits pada
masa-masa yang telah lewat, dia akan melihat bahwa mereka mengikuti
metode yang sama dalam berdakwah menuju Allâh di atas cahaya dan bashîrah (ilmu dan keyakinan).
Allâh Azza wa Jalla berfirman:
قُلْ هَٰذِهِ سَبِيلِي أَدْعُو إِلَى اللَّهِ ۚ عَلَىٰ بَصِيرَةٍ أَنَا وَمَنِ اتَّبَعَنِي ۖ وَسُبْحَانَ اللَّهِ وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِينَ
Katakanlah
(Muhammad): ‘Inilah jalan (agama)ku, aku dan orang-orang yang
mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allâh dengan yakin, Mahasuci Allâh,
dan aku tidak termasuk orang-orang musyrik. [Yûsuf/12:108]
Yaitu
metode yang meliputi ilmu, belajar dan mengajar. Karena sesungguhnya
apabila dakwah menuju Allâh merupakan kedudukan yang paling mulia dan
utama bagi seorang hamba, maka hal itu tidak akan terjadi kecuali
dengan ilmu. Dengan ilmu seseorang dapat berdakwah, dan kepada ilmu ia
berdakwah. Bahkan demi sempurnanya dakwah, haruslah ilmu itu dicapai
sampai batas usaha yang maksimal.
Syarat
seseorang berdakwah harus berilmu dan paham tentang ilmu syar’i.
Dengannya ia dapat mengajak ummat kepada agama Islam yang benar.
Metode ilmiah ini dibangun di atas tiga dasar:
- Al-‘Ilmu, yaitu mengetahui al-haq (kebenaran).
- Dakwah menuju al-haq (mengajak manusia kepada kebenaran).
- Teguh dan Istiqamah di atas kebenaran.
Berdakwah
atau mengajak manusia kepada Islam yang benar, yaitu mengajak manusia
kepada cara beragama yang benar, baik tentang ‘aqidah, manhaj, ibadah,
akhlak, dan yang lainnya menurut pemahaman as-salafush shalih. Dakwah ini harus memenuhi tiga syarat:
Pertama: Akidahnya Benar (سَلاَمَةُ الْمُعْتَقَدِ)
Maksudnya seseorang yang berdakwah harus meyakini kebenaran akidah Salaf tentang tauhid Rubûbiyyah, Ulûhiyyah, Asma’ dan Shifat, serta semua yang berkaitan dengan masalah akidah dan iman.
Kedua: Manhajnya Benar (سَلاَمَةُ الْمَنْهَجِ)
Yaitu
memahami al-Qur-an dan as-Sunnah sesuai dengan pemahaman as-Salafush
Shalih. Mengikuti prinsip dan kaidah yang telah ditetapkan oleh para
Ulama Salaf.
Ketiga: Beramal dengan Benar (سَلاَمَةُ الْعَمَلِ)
Seorang
yang berdakwah, mengajak umat kepada Islam yang benar, maka ia harus
beramal dengan benar yaitu beramal semata-mata ikhlas karena Allâh dan ittiba’ (mengikuti) contoh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidak mengadakan bid’ah, baik i’tiqad (keyakinan), perbuatan atau perkataan.
Dalam
hadits di atas juga disebutkan tentang orang yang mengajak manusia
kepada kesesatan, dia akan mendapat dosa seperti dosa-dosa orang yang
ia sesatkan. Mengajak manusia kepada kesesatan dosanya besar sekali.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan bahwa mereka, yaitu para
da’i, ustadz, kyai, tuan guru, habib atau ulama yang mengajak manusia
kepada kesesatan, kesyirikan, bid’ah, dan maksiat, maka mereka adalah
penyeru manusia ke neraka Jahannam.
Diriwayatkan dari Hudzaifah bin al-Yaman Radhiyallahu anhu, ia berkata:
كَانَ النَّـاسُ يَسْأَلُوْنَ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ
الْـخَيْرِ ، وَكُنْتُ أَسْأَلُهُ عَنِ الشَّرِّ مَخَافَةَ أَنْ
يُدْرِكَنِـيْ. فَقُلْتُ : يَا رَسُوْلَ اللهِ إِنَّ كُنَّا فِـيْ
جَاهِلِيَّةٍ وَشَرٍّ ، فَجَاءَنَا اللهُ بِهٰذَا الْـخَيْرِ ، فَهَلْ
بَعْدَ هـٰذَا الْـخَيْرِ شَرٌّ؟ قَالَ: نَعَمْ. فَقُلْتُ: هَلْ بَعْدَ
ذٰلِكَ الشَّرِّ مِنْ خَيْرٍ؟ قَالَ: نَعَمْ، وَفِيْهِ دَخَنٌ. قُلْتُ:
وَمَا دَخَنُهُ؟ قَالَ: قَوْمٌ يَسْتَنُّوْنَ بِغَيْرِ سُنَّتِـيْ
وَيَهْدُوْنَ بِغَيْرِ هَدْيِـيْ، تَعْرِفُ مِنْهُمْ وَتُنْكِرُ.
فَقُلْتُ: هَلْ بَعْدَ ذٰلِكَ الْـخَيْرِ مِنْ شَرٍّ؟ قَالَ: نَعَمْ،
دُعَاةٌ عَلَى أَبْوَابِ جَهَنَّمَ، مَنْ أَجَابَهُمْ إِلَيْهَا
قَذَفُوْهُ فِيْهَا. فَقُلْتُ : يَا رَسُوْلَ اللهِ ، صِفْهُمْ لَنَا ،
قَالَ: نَعَمْ ، قَوْمٌ مِنْ جِلْدَتِنَا وَيَتَكَلَّمُوْنَ
بِأَلْسِنَتِنَا. قُلْتُ: يَا رَسُوْلَ اللهِ ، فَمَا تَـرَى إِنْ
أَدْرَكَنِـيْ ذٰلِكَ؟ قَالَ: تَلْزَمُ جَمَاعَةَ الْمُسْلِمِيْنَ
وَإِمَامَهُمْ. فَقُلْتُ: فَإِنْ لَمْ تَكُنْ لَهُمْ جَمَاعَةٌ وَلَا
إِمَامٌ؟ قَالَ: فَاعْتَزِلْ تِلْكَ الْفِرَقَ كُلَّهَا ، وَلَوْ أَنْ
تَعَضَّ عَلَى أَصْلِ شَجَرَةٍ حَتَّى يُدْرِكَكَ الْمَوْتُ وَأَنْتَ
عَلَى ذٰلِكَ.
Orang-orang
bertanya kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang
kebaikan, namun aku justru bertanya kepada Beliau tentang keburukan
karena aku takut terjerumus kepadanya. Maka aku berkata, ‘Wahai
Rasûlullâh! Sesungguhnya kami dahulu berada di masa Jahiliyyah dan masa
penuh kejahatan (kejelekan), lalu Allâh mendatangkan kepada kami
kebaikan ini (Islam). Apakah setelah kebaikan ini akan datang keburukan
lagi?’
Beliau menjawab, ‘Ya.’
Aku bertanya lagi, ‘Apakah setelah keburukan itu akan datang lagi kebaikan?
Beliau menjawab, ‘Ya, tetapi kebaikan itu terselimuti kabut.’
Aku bertanya, ‘Bagaimana wujud kabut itu?’ Beliau menjawab, ‘Adanya
sekelompok orang yang menjalani sunnah yang bukan sunnahku, mengambil
petunjuk juga bukan dari petunjukku. Kalian mengenali mereka, tetapi
kalian mengingkari mereka.’
Aku bertanya lagi, ‘Apakah setelah kebaikan (berkabut) itu akan datang lagi keburukan lain?’
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, ‘Ya, adanya para da’i yang mengajak ke pintu-pintu Neraka Jahannam. Barangsiapa yang menjawab panggilan mereka, pasti mereka akan mencampakkannya ke Neraka Jahannam tersebut.’
Aku bertanya, ‘Wahai Rasûlullâh! Gambarkanlah ciri-ciri mereka kepada kami.’
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, ‘Baiklah. Mereka adalah orang-orang yang kulitnya sama dengan kita (berasal dari negeri kita), berbicara juga dengan bahasa kita.’
Aku bertanya, ‘Wahai Rasûlullâh! Apa pendapatmu jika kami mendapati zaman tersebut?’
Beliau menjawab, ‘Hendaklah engkau bersatu dengan jama’ah dan imamnya kaum Muslimin.’ Aku berkata, ‘Jika mereka sudah tidak memiliki jama’ah dan imam lagi?’
Beliau menjawab, ‘Jauhilah semua kelompok tersebut, meskipun harus mengigit akar pohon hingga engkau mati dalam keadaan seperti itu.’[10]
Yang
paling Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam khawatirkan atas ummat Islam
yaitu da’i-da’i yang mengajak kepada kesesatan, yang mengajak kepada
syirik, bid’ah, dan maksiat. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,
إِنَّـمَـا أَخَافُ عَلَى أُمَّتِيْ الْأَئِمَّةَ الْـمُضِلِّيْنَ
Sesungguhnya yang paling aku takutkan atas umatku adalah para pemimpin yang menyesatkan.[11]
Pada hadits tersebut Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengkhawatirkan atas ummat dari bahaya pemimpin dan ulama
yang sesat dan menyesatkan, karena manusia akan mengikuti mereka dalam
kesesatan mereka. Dan orang yang mengajak manusia kepada kesesatan dan
kebathilan, maka ia akan menanggung dosa orang-orang yang ia sesatkan.
Allâh Azza wa Jalla berfirman:
لِيَحْمِلُوا أَوْزَارَهُمْ كَامِلَةً يَوْمَ الْقِيَامَةِ ۙ وَمِنْ أَوْزَارِ الَّذِينَ يُضِلُّونَهُمْ بِغَيْرِ عِلْمٍ ۗ أَلَا سَاءَ مَا يَزِرُونَ
Mereka
pada hari Kiamat memikul dosa-dosanya sendiri secara sempurna, dan
sebagian dosa-dosa orang yang mereka sesatkan yang tidak mengetahui
sedikit pun (bahwa mereka disesatkan). Ingatlah, alangkah buruknya
(dosa) yang mereka pikul itu. [An-Nahl/16 :25]
FAWA-ID
- Wajib berdakwah menyeru manusia kepada kebenaran (kebaikan) dan petunjuk.
- Wajib berdakwah menyeru manusia dengan dasar ilmu dan keyakinan.
- Dakwah wajib dilakukan dengan ikhlas karena Allâh dan ittiba’ kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam .
- Dakwah adalah mengajak manusia kepada agama Islam yang benar agar ummat paham tentang Iman, prinsip-prinsip akidah Islam dan ibadah lainnya.
- Wajib mengajak manusia ke jalan Allâh Azza wa Jalla, kepada agama Islam yang benar berdasarkan al-Qur’an dan as-Sunnah menurut pemahaman assalafush shalih.
- Seorang Muslim harus benar-benar memperhatikan akhir dari segala sesuatu (yang dijalaninya) dan nilai-nilai amalnya, sehingga dia akan selalu berusaha berbuat kebaikan agar menjadi teladan yang baik.
- Orang yang mengajak kepada kebaikan dan petunjuk akan memperoleh pahala yang berlipat ganda.
- Orang yang paling baik perkataannya adalah orang yang berdakwah di jalan Allâh dan dia beramal shalih dengan ikhlas.
- Haramnya berdakwah atau mengajak manusia kepada kesesatan dan kebathilan.
- Orang yang menjadi penyebab dilakukannya suatu perbuatan dan orang yang melakukan perbuatan tersebut diberi nilai yang sama, baik dalam hal siksaan maupun pahala.
- Hendaklah setiap Muslim menghindari seruan palsu dan teman yang buruk, sebab dia ikut bertanggung jawab atas apa yang dikerjakannya.
- Orang yang mengajak kepada kesesatan, kesyirikan, bid’ah, dan kebathilan akan memperoleh siksaan yang berlipat ganda dan akan meikul dosa-dosa orang yang ia sesatkan.
- Peringatan dari para penguasa, ulama, ahli ibadah dan da’i-da’i yang sesat.
- Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat mengkhawatirkan adanya da’i-da’i yang sesat yang mengajak kepada kesyirikan, bid’ah, dan maksiat.
- Setiap Muslim wajib berusaha menjadi pelopor dalam kebaikan, menjadi pintu-pintu kebaikan dan menutup jalan-jalan keburukan.
MARAAJI’
- Kutubus sittah dan kitab hadits lainnya.
- Shahîh Muslim bi Syarh an-Nawawi.
- Majmû’ Fatâwâ Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah.
- Miftâh Dâris Sa’âdah, Ibnul Qayyim.
- Taisîrul Karîmir Rahmân fii Tafsîr Kalâmil Mannân, Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di
- Bahjatu Qulûbil Abrâr fii Syarh Jawâmi’il Akhbâr, Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di
- Bahjatun Nâzhirîn Syarh Riyâdhish Shâlihîn, Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali.
- Muqawwimât ad-Dâ’iyatin Nâjih fii Dhau-il Kitâb was Sunnah, karya Sa’id bin ‘Ali bin Wahf al-Qahthani
- Dan lainnya.
[Disalin
dari majalah As-Sunnah Edisi 06/Tahun XIX/1437H/2016M. Diterbitkan
Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton
Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak
Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
[2] Shahih: HR.
Ahmad, IV/357, 358-359, 360, 361, 362; Muslim, no. 1017 [15];
an-Nasa-I, V/76-77; ad-Dârimi, I/130, 131; Ibnu Mâjah, no. 203; Ibnu Hibbân, no. 3297-at-Ta’lîqâtul Hisân ‘ala Shahîh Ibni Hibbân; Ath-Thahawi dalam Musykilul Âtsâr, no. 243; Ath-Thayâlisi, no. 705 dan al-Baihaqi, IV/175-176 dari Sahabat Jarir bin ‘Abdillah Radhiyallahu anhu
[3] Shahîh Muslim bi Syarh an-Nawawi, XVI/226-227
[4] Miftâh Dâris Sa’âdah, I/250-251, tahqiq Syaikh Ali Hasan.
[5] Shahih: HR. Al-Bukhâri, no. 2942, 3701 dan Muslim, no. 2406 dari Sahl bin Sa’d Radhiyallahu anhu
[6] Lihat Taisîrul Karîmir Rahmân fii Tafsîr Kalâmil Mannân oleh Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di , hlm. 795, cet. Darus Sunnah.
[7] Shahih: HR. Muslim, no. 1893 dari Abu Mas’ud al-Anshari Radhiyallahu anhu
[8] Majmû’ Fatâwâ, XV/157-158 karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah.
[9] Muqawwimât ad-Dâ’iyatin Nâjih fii Dhau-il Kitâb was Sunnah, karya Sa’id bin ‘Ali bin Wahf al-Qahthani, hlm. 82-92, dengan ringkas.
[10] Shahih: HR. Al-Bukhâri, no. 3606, 7084 dan Muslim, no. 1847, dan ini lafazh dalam riwayat Imam Muslim
[11] Shahih: HR.
Ahmad, V/278; At-Tirmidzi, no. 2229 dan ad-Dârimi, I/70 dan II/311,
dari Sahabat Tsaubân z . Hadits ini dihukumi shahih oleh Syaikh
al-Albani dalam Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah, IV/109-111, no. 1582
Sumber: https://almanhaj.or.id/6354-wajib-berdakwah-mengajak-manusia-kepada-kebaikan-danharam-berdakwah-mengajak-kepada-kesesatan.html