Oleh
Ustadz Abu Isma’il Muslim Al-Atsari
Ustadz Abu Isma’il Muslim Al-Atsari
Ada dua orang melakukan shalat, orang yang pertama meraih keridhaan
Allah Azza wa Jalla sehingga dosa-dosanya gugur, sedangkan orang yang
kedua mendapatkan kecelakaan dan kemurkaan Allah Azza wa Jalla karena
nifak dan riyâ’nya.
Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskan
keutamaan shalat yang menggugurkan dosa-dosa karena dilakukan dengan
ikhlas dan sempurna. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَا مِنْ امْرِئٍ مُسْلِمٍ تَحْضُرُهُ صَلاَةٌ مَكْتُوبَةٌ فَيُحْسِنُ
وُضُوءَهَا وَخُشُوعَهَا وَرُكُوعَهَا إِلاَّ كَانَتْ كَفَّارَةً لِمَا
قَبْلَهَا مِنْ الذُّنُوبِ مَا لَمْ يُؤْتِ كَبِيرَةً وَذَلِكَ الدَّهْرَ
كُلَّهُ
Tidak ada seorang muslim yang kedatangan (waktu) shalat wajib, lalu
dia melakukan shalat wajib itu dengan menyempurnakan wudhu’nya,
khusyu’nya dan ruku’nya, kecuali shalat itu merupakan penghapus
dosa-dosa sebelumnya, selama dia tidak melakukan dosa besar. Dan itu
untuk seluruh waktu. [HR. Muslim, no. 228]
Sebaliknya, beliau juga memperingatkan umat dari melakukan shalat
karena riya’, karena hal ini akan menggugurkan amal, sebagaimana hadits
berikut ini:
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ قَالَ خَرَجَ عَلَيْنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَنَحْنُ نَتَذَاكَرُ الْمَسِيحَ الدَّجَّالَ
فَقَالَ أَلاَ أُخْبِرُكُمْ بِمَا هُوَ أَخْوَفُ عَلَيْكُمْ عِنْدِي مِنْ
الْمَسِيحِ الدَّجَّالِ قَالَ قُلْنَا بَلَى فَقَالَ الشِّرْكُ الْخَفِيُّ
أَنْ يَقُومَ الرَّجُلُ يُصَلِّي فَيُزَيِّنُ صَلاَتَهُ لِمَا يَرَى مِنْ
نَظَرِ رَجُلٍ
Dari Abu Sa’îd, dia berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam mendatangi kami ketika kami sedang membicarakan Al-Masîhud
Dajjâl. Kemudian beliau bersabda: “Maukah aku beritahukan kepada kamu
sesuatu yang menurutku lebih aku takutkan terhadap kamu daripada
terhadap Al-Masîhud Dajjâl?” Maka kami menjawab: “Ya, wahai Rasulullah”.
Maka beliau bersabda: “Syirik yang tersembunyi. Yaitu seseorang
melakukan shalat, lalu dia membaguskan shalatnya karena dia melihat
pandangan orang lain”. [Hadits Hasan Riwayat Ibnu Mâjah, no; 4204]
Ini merupakan contoh nyata tentang pentingnya niat dan mengikhlaskan
niat di dalam seluruh amalan. Oleh karena itu banyak sekali Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingatkan hal ini di dalam
hadits-hadits beliau. Antara lain, sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa
sallam :
إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى
Sesungguhnya semua amalan itu terjadi dengan niat, dan setiap orang
mendapatkan apa yang dia niatkan. [HR. Bukhâri, no. 1; Muslim, no. 1907;
dari Umar bin al-Khaththâb Radhiyallahu anhu]
Sesungguhnya suatu perbuatan akan diterima oleh Allah Azza wa Jalla
jika memenuhi dua syarat, yaitu niat ikhlas dan mengikuti Sunnah. Oleh
karena itu Allah Azza wa Jalla akan melihat hati manusia, apakah ia
ikhlas; dan melihat amalnya, apakah sesuai dengan tuntunan Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Beliau Shallallahu alaihi wa sallam
bersabda:
إِنَّ اللَّهَ لاَ يَنْظُرُ إِلَى صُوَرِكُمْ وَأَمْوَالِكُمْ وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوبِكُمْ وَأَعْمَالِكُمْ
Sesungguhnya Allah tidak melihat bentuk kamu dan harta kamu, tetapi Dia melihat hati kamu dan amal kamu. [HR. Muslim, no. 2564]
Oleh karena itulah mengikhlaskan niat merupakan perintah Allah Azza wa Jalla kepada seluruh manusia, sebagaimana firman-Nya:
وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ
حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلَاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ ۚ وَذَٰلِكَ
دِينُ الْقَيِّمَةِ
Padahal mereka tidak disuruh, kecuali supaya menyembah Allah dengan
memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan
supaya mereka mendirikan shalat dan meunaikan zakat; dan yang demikian
itulah agama yang lurus. [al-Bayyinah/98:5]
NIAT DALAM KEBAIKAN
Di antara rahmat dan anugerah Allah Azza wa Jalla adalah bahwa Dia
menulis kebaikan hamba-Nya hanya karena keinginan untuk berbuat
kebaikan, sedangkan keinginan berbuat keburukan belum ditulis. Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan hal ini di dalam hadits
sebagai berikut:
إِنَّ اللَّهَ كَتَبَ الْحَسَنَاتِ وَالسَّيِّئَاتِ ثُمَّ بَيَّنَ
ذَلِكَ فَمَنْ هَمَّ بِحَسَنَةٍ فَلَمْ يَعْمَلْهَا كَتَبَهَا اللَّهُ لَهُ
عِنْدَهُ حَسَنَةً كَامِلَةً فَإِنْ هُوَ هَمَّ بِهَا فَعَمِلَهَا
كَتَبَهَا اللَّهُ لَهُ عِنْدَهُ عَشْرَ حَسَنَاتٍ إِلَى سَبْعِ مِائَةِ
ضِعْفٍ إِلَى أَضْعَافٍ كَثِيرَةٍ وَمَنْ هَمَّ بِسَيِّئَةٍ فَلَمْ
يَعْمَلْهَا كَتَبَهَا اللَّهُ لَهُ عِنْدَهُ حَسَنَةً كَامِلَةً فَإِنْ
هُوَ هَمَّ بِهَا فَعَمِلَهَا كَتَبَهَا اللَّهُ لَهُ سَيِّئَةً وَاحِدَةً
Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla menulis semua kebaikan dan
keburukan. Barangsiapa berkeinginan berbuat kebaikan, lalu dia tidak
melakukannya, Allah Azza wa Jalla menulis di sisi-Nya pahala satu
kebaikan sempurna untuknya. Jika dia berkeinginan berbuat kebaikan, lalu
dia melakukannya, Allah menulis pahala sepuluh kebaikan sampai 700
kali, sampai berkali lipat banyaknya. Barangsiapa berkeinginan berbuat
keburukan, lalu dia tidak melakukannya, Allah Azza wa Jalla menulis di
sisi-Nya pahala satu kebaikan sempurna untuknya. Jika dia berkeinginan
berbuat keburukan, lalu dia melakukannya, Allah Azza wa Jalla menulis
satu keburukan saja.[HR. Bukhâri, no. 6491; Muslim, no. 131]
NIAT DALAM KEBURUKAN
Keinginan yang melintas di dalam hati untuk berbuat keburukan belum
ditulis dosa oleh Allah Azza wa Jalla. Namun, jika keinginan itu sudah
menjadi tekad dan niat, apalagi sudah diusahakan, walaupun tidak
terjadi, maka pelakunya sudah mendapatkan balasan karenanya. Dalam hal
ini Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا الْتَقَى الْمُسْلِمَانِ بِسَيْفَيْهِمَا فَالْقَاتِلُ
وَالْمَقْتُولُ فِي النَّارِ فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ هَذَا
الْقَاتِلُ فَمَا بَالُ الْمَقْتُولِ قَالَ إِنَّهُ كَانَ حَرِيصًا عَلَى
قَتْلِ صَاحِبِهِ
Jika dua orang muslim bertemu dengan pedang masing-masing (berkelahi;
berperang), maka pembunuh dan orang yang terbunuh di dalam neraka. Aku
(Abu Bakrah) bertanya: ”Wahai Rasulullah, si pembunuh (kami
memahami-pent), namun bagaimana dengan orang yang terbunuh. Beliau
menjawab: “Sesungguhnya dia juga sangat ingin membunuh kawannya itu”.
[HR. Bukhâri, no. 31, 7083; Muslim, no. 2888; dari Abu Bakrah]
Dalam hadits yang lain, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
memperingatkan bahaya niat buruk di dalam hubungan antar hamba. Beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَيُّمَا رَجُلٍ يَدِينُ دَيْنًا وَهُوَ مُجْمِعٌ أَنْ لاَ يُوَفِّيَهُ إِيَّاهُ لَقِيَ اللَّهَ سَارِقًا
Siapa saja berhutang dengan niat tidak akan membayar hutang kepada
pemiliknya, dia akan bertemu Allah sebagai pencuri. [HR. Ibnu Mâjah, no.
2410; Syaikh al-Albâni berkata: “Hasan Shahîh”]
PAHALA DAN SIKSA KARENA NIAT
Kedudukan niat yang sangat penting juga dapat dilihat dari akibat yang
dihasilkannya. Yaitu bahwa sekedar niat, seseorang sudah mendapatkan
pahala atau siksa. Hal ini diberitakan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam di dalam hadits berikut ini:
عَنْ أَبِي كَبْشَةَ الأَنَّمَارِيُّ أَنَّهُ سَمِعَ رَسُولَ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: إِنَّمَا الدُّنْيَا
ِلأَرْبَعَةِ نَفَرٍ: عَبْدٍ رَزَقَهُ اللَّهُ مَالاً وَعِلْمًا فَهُوَ
يَتَّقِي فِيهِ رَبَّهُ وَيَصِلُ فِيهِ رَحِمَهُ وَيَعْلَمُ لِلَّهِ فِيهِ
حَقًّا فَهَذَا بِأَفْضَلِ الْمَنَازِلِ وَعَبْدٍ رَزَقَهُ اللَّهُ عِلْمًا
وَلَمْ يَرْزُقْهُ مَالاً فَهُوَ صَادِقُ النِّيَّةِ يَقُولُ لَوْ أَنَّ
لِي مَالاً لَعَمِلْتُ بِعَمَلِ فُلاَنٍ فَهُوَ بِنِيَّتِهِ فَأَجْرُهُمَا
سَوَاءٌ وَعَبْدٍ رَزَقَهُ اللَّهُ مَالاً وَلَمْ يَرْزُقْهُ عِلْمًا
فَهُوَ يَخْبِطُ فِي مَالِهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ لاَ يَتَّقِي فِيهِ رَبَّهُ
وَلاَ يَصِلُ فِيهِ رَحِمَهُ وَلاَ يَعْلَمُ لِلَّهِ فِيهِ حَقًّا فَهَذَا
بِأَخْبَثِ الْمَنَازِلِ وَعَبْدٍ لَمْ يَرْزُقْهُ اللَّهُ مَالاً وَلاَ
عِلْمًا فَهُوَ يَقُولُ لَوْ أَنَّ لِي مَالاً لَعَمِلْتُ فِيهِ بِعَمَلِ
فُلاَنٍ فَهُوَ بِنِيَّتِهِ فَوِزْرُهُمَا سَوَاءٌ
Dari Abu Kabsyah al-Anmâri Radhiyallahu anhu, bahwa dia mendengar
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya dunia
itu untuk 4 orang: Hamba yang Allah Azza wa Jalla berikan rizqi
kepadanya berupa harta (dari jalan yang halal) dan ilmu (agama Islam),
kemudian dia bertaqwa kepada Rabbnya pada rizqi itu (harta dan ilmu),
dia berbuat baik kepada kerabatnya dengan rizqinya, dan dia mengetahui
hak bagi Allah Azza wa Jalla padanya. Maka hamba ini berada pada
kedudukan yang paling utama (di sisi Allah Azza wa Jalla ). Hamba yang
Allah Azza wa Jalla berikan rizqi kepadanya berupa ilmu, namun Dia tidak
memberikan rizqi berupa harta, dia memiliki niat yang baik. Dia
mengatakan: “Seandainya aku memiliki harta aku akan berbuat seperti
perbuatan si fulân (orang pertama yang melakukan kebaikan itu)”. Maka
dia (dibalas) dengan niatnya (yang baik), pahala keduanya (orang pertama
dan kedua) sama. Hamba yang Allah Azza wa Jalla berikan rizqi kepadanya
berupa harta, namun Dia tidak memberikan rizqi kepadanya berupa ilmu,
kemudian dia berbuat sembarangan dengan hartanya dengan tanpa ilmu. Dia
tidak bertaqwa kepada Rabbnya padanya, dia tidak berbuat baik kepada
kerabatnya dengan hartanya, dan dia tidak mengetahui hak bagi Allah Azza
wa Jalla padanya. Maka hamba ini berada pada kedudukan yang paling
buruk (di sisi Allah Azza wa Jalla ). Hamba yang Allah Azza wa Jalla
tidak memberikan rizqi kepadanya berupa harta dan ilmu, kemudian dia
mengatakan: “Seandainya aku memiliki harta aku akan berbuat seperti
perbuatan si fulân (dengan orang ketiga yang melakukan keburukan itu)”.
Maka dia (dibalas) dengan niatnya, dosa keduanya sama.[1]
Syaikh Salim al-Hilâli hafizhahullâh berkata menjelaskan di antara
fiqih dari hadits ini: “Seseorang itu akan diberi pahala atau dihukum
karena keinginan yang tetap/kuat (di dalam hatinya-pen) walaupun dia
tidak mampu melaksanakannya. Karena walaupun dia tidak mampu
melakukannya, namun dia mampu mengharapkan dan menginginkan”.[2]
Semua keterangan ini menunjukkan pentingnya kedudukan niat. Oleh karena
itu seorang Muslim yang baik selalu membangun seluruh amalannya di atas
niat yang baik, yaitu ikhlas karena Allah Azza wa Jalla. Demikian juga
seorang muslim akan selalu berusaha beramal berdasarkan Sunnah Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena hal ini sebagai kelengkapan niat
yang baik.
Karena semata-mata niat yang baik tidak bisa merubah kemaksiatan
menjadi ketaatan. Seperti seseorang bershadaqah dengan uang curian atau
korupsi. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَ تُقْبَلُ صَلاَةٌ بِغَيْرِ طُهُورٍ وَلاَ صَدَقَةٌ مِنْ غُلُوْلٍ
Tidak akan diterima shalat dengan tanpa bersuci dan tidak akan
diterima shadaqah dari (hasil) ghulul (khianat). [HR. Muslim, no. 224]
Jadi, walaupun suatu amalan itu merupakan kebaikan secara lahiriyah,
dan dilakukan dengan niat yang baik, seperti shalat atau shadaqah, namun
jika tidak memenuhi syarat-syarat di dalam agama, maka niat yang baik
itu tidak dapat merubahnya sebagai amalan ketaatan.
Oleh karena itu seorang Sahabat yang mulia, `Abdullah bin Mas’ûd
Radhiyallahu anhu pernah mendatangi jama’ah dzikir yang
berkelompok-kelompok memegang kerikil. Setiap kelompok dipimpin satu
orang. Pemimpin itu memerintahkan: “Bertakbir 100 kali”, mereka pun
melakukannya. Dia juga memerintahkan agar jama’ah bertahlil 100 kali dan
bertasbih 100 kali, mereka juga melakukannya. Maka `Abdullah bin Mas’ûd
Radhiyallahu anhu berkata kepada mereka: “Apakah ini -yang aku lihat
kamu lakukan-?” Mereka menjawab: “Wahai Abu Abdurrahmân, ini kerikil.
Kami menghitung takbîr, tahlîl, dan tasbîh dengannya. Beliau berkata:
“Hitung saja keburukan-keburukan kamu! aku menjamin kebaikan-kebaikan
kamu tidak akan disia-siakan sedikit pun (sehingga perlu dihitung).
Kasihan kamu, wahai umat Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
alangkah cepatnya kebinasaan kamu! Ini lah para sahabat Nabi kamu masih
banyak. Ini lah pakaian beliau belum usang, dan bejana-bejana beliau
belum pecah. Demi Allah Azza wa Jalla yang jiwaku di tangan-Nya,
sesungguhnya kamu berada di atas agama yang lebih baik dari agama
Muhammad, atau kamu adalah orang-orang yang membuka pintu kesesatan”.
Mereka berkata: “Demi Allah Azza wa Jalla, wahai Abu Abdurrahmân, kami
tidak menghendaki kecuali kebaikan”. Beliau menjawab: “Alangkah banyak
orang yang menghendaki kebaikan tidak mendapatkannya”. Sesungguhnya
Rasululluh Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberitakan kepada kami:
أَنَّ قَوْمًا يَقْرَءُونَ الْقُرْآنَ لاَ يُجَاوِزُ تَرَاقِيَهُمْ
“Bahwa ada sekelompok orang, mereka membaca al-Qur’ân, namun al-Qur’ân itu tidak melewati tenggorokan mereka”.
Demi Allah Azza wa Jalla, aku tidak tahu, kemungkinan kebanyakan
mereka itu adalah dari kamu”. Kemudian beliau meninggalkan mereka.[3]
Marilah kita perhatikan jawaban beliau di atas: “Alangkah banyak
orang yang menghendaki kebaikan tidak mendapatkannya”. Yaitu banyak
orang menghendaki kebaikan, memiliki niat yang baik, namun karena tidak
melewati jalan yang harus dilalui, maka dia tidak mendapatkan apa yang
dia niatkan.
Dan perlu diketahui, bahwa niat bukanlah kalimat yang diucapkan, namun tekad di dalam hati yang membangkitkan amalan.
Kesimpulannya, hendaklah kita selalu memiliki niat yang baik, ikhlas
di dalam seluruh amalan, lahir dan batin. Demikian juga amalan itu harus
berdasarkan tuntunan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Semoga Allah Azza wa Jalla selalu memberikan pertolongan kepada kita
untuk meraih keridhaan-Nya. Alhamdulillâhi rabbil ‘âlamîn.
1. Shahîh Bukhâri
2. Shahîh Muslim
3. Kitab-kitab Sunan
4. Minhâjul Muslim, karya Syaikh Abu Bakar Jâbir al-Jazâiri
5. Bahjatun Nâzhirîn Syarah Riyâdhus Shâlihîn, karya Syaikh Sâlim al-Hilâli
6. Ilmu Ushûl Bida’, karya Syaikh ‘Ali al-Halâbi
7. Dan lain-lain
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 04/Tahun XIII/1430H/2009M.
Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8
Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______Footnote
[1]. Hadits Shahîh Riwayat Tirmidzi, no: 2325; Ahmad 4/230-231, no: 17570; Ibnu Mâjah, no: 4228; dan lainnya. Dishahîhkan Syaikh al-Albâni di dalam Shahîh Sunan Ibni Mâjah, no: 3406. Lihat juga: Al-Ilmu Fadhluhu Wa Syarafuhu, hal: 252-253
[2]. Bahjatun Nâzhirin Syarah Riyadhus Shâlihin 1/608, syarah hadits no: 557
[3]. Hadits Shahîh Riwayat Dârimi di dalam Sunan, juz 1, hlm. 68-69, no. 206; dan Bahsyal di dalam Târîkh Wasîth, hlm. 198-199. Lihat: Al-Bid’ah, hlm. 43-44; Ilmu Ushul Bida’, hlm. 92