Pertanyaan:
Jika terjadi pertentangan antara sunnah qauliyah (perkataan Nabi) dengan sunnah fi’liyyah (perbuatan Nabi) maka manakah yang lebih dikuatkan?
Syaikh Abdul Karim Al Khudhair menjawab:
Para ulama dalam kasus seperti ini mereka menetapkan bahwa sunnah qauliyah itu lebih didahulukan.
Karena perbuatan Nabi itu tidak bisa digeneralisasikan, ia memiliki
kemungkinan sebagai perbuatan yang khusus bagi Nabi. Adapun perkataan
Nabi, maka ia bersifat general. Maka ketika Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam memerintahkan
sesuatu atau melarang sesuatu namun beliau melakukan hal
yang berlawanan dengan itu, maka dimungkinkan ketika itu beliau
melakukan hal yang khusus bagi beliau sendiri.
Sunnah qauliyah ini kita dahulukan jika kita tidak bisa mengkompromikan antara perkataan dan perbuatan Nabi. Yaitu dengan membawa perkataan tersebut kepada hukum makruh atau mustahab,
sehingga perbuatan Nabi yang bertentangan dengan perkataan tersebut
menjadi faktor yang memalingkan hukum wajib menjadi hukum mustahab atau
memalingkan hukum haram menjadi makruh. Kita kompromikan jika memang
masih bisa, ketika ada perintah atau larangan. Atau jika tidak bisa,
kita katakan bahwa perbuatan tersebut khusus bagi Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam.
Terdapat larangan Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam untuk menghadap dan membelakangi kiblat ketika buang hajat atau buang air kecil. Lalu Ibnu Umar radhiallahu’anhuma mengatakan:
ارتقيت فوق ظهر بيت حفصة لبعض حاجتي، فرأيت رسول الله -صلى الله عليه وسلم- يقضي حاجته مستدبر القبلة، مستقبل الشأم
“Aku
memanjat dari balik dinding rumah Hafshah untuk suatu keperluan. Dan
aku melihat Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam sedang buang hajat
membelakangi kiblat, menghadap ke Syam” (HR. Al Bukhari no. 148).
Maka para ulama berbeda pendapat dalam mengkompromikan antara larangan menghadap dan membelakangi kiblat dengan perbuatan Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam. Sebagian ulama mengatakan hadits Ibnu Umar ini nasikh karena
ia lebih terakhir, sebagian ulama membawa kepada bahwa Nabi
melakukannya karena itu di dalam bangunan adapun larangan tersebut
berlaku di luar bangunan. Sebagian ulama juga mengatakan bahwa
perbuatan demikian khusus bagi Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam.
Namun pendapat ini tidak memiliki sisi argumen yang tepat, karena
mengagungkan arah kiblat itu berarti mengagungkan syiar-syiar Allah,
dan Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam orang
terdepan dalam hal ini. Karena mengagungkan arah kiblat adalah
kesempurnaan dan kesempurnaan itu dituntut dari semua umat, dan Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam yang
terdepan dalam hal ini. Maka pendapat yang menyatakan bolehnya hal ini
jika dilakukan di dalam bangunan, bukan di luar bangunan, ini pendapat
yang lebih tepat.
Diantaranya contohnya juga larangan minum sambil berdiri. Terdapat hadits shahih dari Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bahwa
beliau pernah minum sambil berdiri. Sebagian ulama mengatakan hadits
ini nasikh (penghapus) larangan minum sambil berdiri. Sebagian ulama
mengatakan bahwa hadits ini memalingkan hukum haram kepada hukum makruh.
Dan juga dalil-dalil lain yang ada dalam bab ini.
***
from= https://kangaswad.wordpress.com/2017/05/25/mengkompromikan-sunnah-filiyyah-dan-sunnah-qauliyah/