Islam Pedoman Hidup: Mengkompromikan Sunnah Fi’liyyah dan Sunnah Qauliyah

Sabtu, 27 Mei 2017

Mengkompromikan Sunnah Fi’liyyah dan Sunnah Qauliyah


Pertanyaan:
Jika terjadi pertentangan antara sunnah qauliyah (perkataan Nabi) dengan sunnah fi’liyyah (perbuatan Nabi) maka manakah yang lebih dikuatkan?
Syaikh Abdul Karim Al Khudhair menjawab:
Para ulama dalam kasus seperti ini mereka menetapkan bahwa sunnah qauliyah itu lebih didahulukan. Karena perbuatan Nabi itu tidak bisa digeneralisasikan, ia memiliki kemungkinan sebagai perbuatan yang khusus bagi Nabi. Adapun perkataan Nabi, maka ia bersifat general. Maka ketika Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam memerintahkan sesuatu atau melarang sesuatu namun beliau melakukan hal yang berlawanan dengan itu, maka dimungkinkan ketika itu beliau melakukan hal yang khusus bagi beliau sendiri.
Sunnah qauliyah ini kita dahulukan jika kita tidak bisa mengkompromikan antara perkataan dan perbuatan Nabi. Yaitu dengan membawa perkataan tersebut kepada hukum makruh atau mustahab, sehingga perbuatan Nabi yang bertentangan dengan perkataan tersebut menjadi faktor yang memalingkan hukum wajib menjadi hukum mustahab atau memalingkan hukum haram menjadi makruh. Kita kompromikan jika memang masih bisa, ketika ada perintah atau larangan. Atau jika tidak bisa, kita katakan bahwa perbuatan tersebut khusus bagi Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam.
Terdapat larangan Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam untuk menghadap dan membelakangi kiblat ketika buang hajat atau buang air kecil. Lalu Ibnu Umar radhiallahu’anhuma mengatakan:
ارتقيت فوق ظهر بيت حفصة لبعض حاجتي، فرأيت رسول الله -صلى الله عليه وسلم- يقضي حاجته مستدبر القبلة، مستقبل الشأم
Aku memanjat dari balik dinding rumah Hafshah untuk suatu keperluan. Dan aku melihat Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam sedang buang hajat membelakangi kiblat, menghadap ke Syam” (HR. Al Bukhari no. 148).
Maka para ulama berbeda pendapat dalam mengkompromikan antara larangan menghadap dan membelakangi kiblat dengan perbuatan Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam. Sebagian ulama mengatakan hadits Ibnu Umar ini nasikh karena ia lebih terakhir, sebagian ulama membawa kepada bahwa Nabi melakukannya karena itu di dalam bangunan adapun larangan tersebut berlaku di luar bangunan. Sebagian ulama juga mengatakan bahwa perbuatan demikian khusus bagi Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam. Namun pendapat ini tidak memiliki sisi argumen yang tepat, karena mengagungkan arah kiblat itu berarti mengagungkan syiar-syiar Allah, dan Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam orang terdepan dalam hal ini. Karena mengagungkan arah kiblat adalah kesempurnaan dan kesempurnaan itu dituntut dari semua umat, dan Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam yang terdepan dalam hal ini. Maka pendapat yang menyatakan bolehnya hal ini jika dilakukan di dalam bangunan, bukan di luar bangunan, ini pendapat yang lebih tepat.
Diantaranya contohnya juga larangan minum sambil berdiri. Terdapat hadits shahih dari Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bahwa beliau pernah minum sambil berdiri. Sebagian ulama mengatakan hadits ini nasikh (penghapus) larangan minum sambil berdiri. Sebagian ulama mengatakan bahwa hadits ini memalingkan hukum haram kepada hukum makruh.
Dan juga dalil-dalil lain yang ada dalam bab ini.
***
from= https://kangaswad.wordpress.com/2017/05/25/mengkompromikan-sunnah-filiyyah-dan-sunnah-qauliyah/