Sesungguhnya Allâh Azza wa Jalla menciptakan manusia di atas fitrah, sebagaimana tertuang dalam firman-Nya:
فِطْرَتَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا
(Sesuai) fitrah Allâh disebabkan Dia telah menciptakan manusia menurut (fitrah) itu. [Ar-Ruum/30:30]
Dan di antara fitrah bawaan pada diri manusia adalah mencintai al-haq (kebenaran) dan menginginkannya.
Syaikhul Islam rahimahullah mengatakan, “Hati itu mencintai kebenaran, menginginkan dan mencarinya”. [1]
Di tempat lain, Syaikhul Islam rahimahullah bahkan mengatakan, “Sesungguhnya
al-haq itu dicintai oleh fitrah (manusia). Ia amat dicintai dan
diagungkan oleh fitrah manusia, serta lebih nikmat dibandingkan dengan
kebatilan yang sebenarnya tidak memiliki kenyataan. fitrah manusia
tidak menyukainya (kebatilan)”. [2]
Karena
itu, jiwa-jiwa manusia jika masih berada dalam fitrahnya, maka tidaklah
ingin mencari kecuali kebenaran. Dan kebenaran itu amatlah jelas, tidak
samar sekali.
Al-Haq (kebenaran) itu amat jelas lagi terang. Allâh Azza wa Jalla berfirman:
وَلَقَدْ يَسَّرْنَا الْقُرْآنَ لِلذِّكْرِ فَهَلْ مِنْ مُدَّكِرٍ
“Dan sesungguhnya telah Kami mudahkan Al-Quran untuk pelajaran, maka adakah orang yang mengambil pelajaran?“ [Al-Qamar/54:17].
Allâh memudahkan lafazhnya untuk dibaca dan memudahkan maknanya untuk dipahami.
Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
الْحَلَالُ بَيِّنٌ وَالْحَرَامُ بَيِّنٌ وَبَيْنَهُمَا أُمُوْرٌ مُشْتَبِهَاتٌ
Sesungguhnya
perkara halal itu sudah jelas dan perkara haram itu sudah jelas. Dan di
antara keduanya ada perkara-perkara yang samar.[3]
Dan ijma’ Ulama telah terbentuk untuk menguatkan prinsip ini. [4]
Muadz bin Jabal Radhiyallahu anhu berkata:
فَإِنَّ عَلَى الْحَقِّ نُوْرًا
Sesungguhnya ada cahaya pada kebenaran itu.[5]
Oleh
karena itu, kebatilan hanya laku pada orang yang tidak memiliki ilmu
dan ma’rifah sama sekali, dan tidak memiliki perhatian terhadap
nash-nash al-Qur`an dan Sunnah serta ucapan-ucapan Sahabat dan Tabi’in.
Imam Ahmad rahimahullah berkata, “Sesungguhnya
muncul penentangan orang yang menentang, dikarenakan kedangkalan ilmu
mereka terhadap ajaran yang dibawa oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam”. [6]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata, “Al-Haq
(kebenaran) itu diketahui oleh setiap orang. Sesungguhnya kebenaran
yang Allâh mengutus para rasul untuk membawanya tidak samar dengan
perkara lain bagi orang yang tahu, sebagaimana emas murni tidak samar
dengan emas palsu bagi tukang emas”. [7]
Beliau rahimahullah juga berkata, “Sesungguhnya asy-Syari’ (penentu
syariat) telah menyampaikan untuk seluruh hal yang melindungi
(manusia) dari berbagai kebinasaan, nash-nash yang mematahkan seluruh
alasan”.[8]
Beliau rahimahullah juga bertutur, “Dan
sering kali kebenaran terbengkalai di tengah orang-orang jahil lagi
buta huruf, di tengah orang-orang yang suka merubah-rubah teks yang
pada diri mereka ada cabang kemunafikan”. [9]
Ideologi
Syi’ah yang digulirkan oleh Abdullah bin Saba` yang asli Yahudi, yang
merupakan keyakinan yang paling sesat, hanya laku di tengah sebagian
kaum Muslimin dikarenakan kebodohan terhadap agama.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Sesungguhnya orang yang mengada-adakan ideologi Syiah, adalah seorang zindiq (kafir), mulhid lagi
musuh Islam dan umat Islam, bukan termasuk penganut bid’ah yang
mentakwil nash-nash, seperti Khawarij dan Qadariyah. Kendatipun
pemikiran Syi’ah diterima setelah itu oleh kaum yang ada pada diri
mereka keimanan, karena kebodohan mereka yang parah”.[10]
Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Faktor-faktor
penghalang dari menerima kebenaran banyak sekali. Di antaranya adalah
al-jahl (ketidaktahuan, kebodohan). Faktor inilah yang dominan pada
kebanyakan manusia. Sesungguhnya orang yang tidak mengenal sesuatu, ia
akan menentangnya dan menentang orang-orang yang melakukannya”. [11]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah mengatakan:
وَلَا
تَجِدُ أَحَدًا وَقَعَ فِيْ بِدْعَةٍ إِلَّا لِنَقْصِ اتِّبَاعِهِ
لِلسُّنَّةِ عِلْمًا وَعَمَلًا. وَإِلَّا فَمَنْ كَانَ بِهَا عاَلِمًا
وَلَهَا مُتَّبِعًا, لَمْ يَكُنْ عِنْدَهُ دَاعٍ إِلَى الْبِدْعَةِ.
فَإِنَّ الْبِدْعَةَ يَقَعُ فِيْهَا الْجُهّاَلُ بِالسُّنَّةِ
Dan
tidaklah kamu mendapati seseorang yang terjerumus dalam bid’ah kecuali
karena ia kurang mengikuti petunjuk Sunnah dalam aspek pengetahuan dan
pengamalannya. Sebab, orang yang mengetahui petunjuk Sunnah, dan
mengikutinya, maka tidaklah ada pada dirinya pemicu kepada bid’ah.
Sesungguhnya hanya orang-orang bodoh terhadap petunjuk Sunnah saja
yang terjerumus di dalam bid’ah”. [12]
Dengan
demikian, sudah sewajibnya setiap Muslim dan Muslimah mempelajari
agamanya, agar dapat mengenal kebenaran yang datang dari Allâh Azza wa
Jalla dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan baik dan
kemudian mengamalkannya.
Barang
siapa kurang semangat untuk menyingkirkan kebodohan dari dirinya, orang
seperti ini kebodohannya tidak dapat ditoleransi.
Ibnu Taimiyyah mengatakan, “Celaan
akan melekat pada orang yang telah jelas baginya kebenaran lalu ia
meninggalkannya, atau orang yang kurang semangat dalam mencarinya,
sehingga kebenaran tidak menjadi jelas baginya, atau orang yang
berpaling untuk mencari ilmu tentang kebenaran, gara-gara hawa nafsu,
kemalasan atau hal-hal serupa lainnya”. [13]
Al-Allamah Muhammad ash-Shalih al-Utsaimin rahimaullah berkata, “Bisa
juga seseorang tidak dimaafkan karena kebodohannya. Hal ini ketika ia
masih memungkinkan untuk belajar, namun ia tidak melakukannya, padahal
ada syubhat yang mengitari dirinya. Seperti seseorang yang dikatakan
kepadanya, “Ini perkara haram”, dan sebelumnya ia meyakini
kehalalannya, maka sedikit banyak akan terjadi syubhat pada dirinya.
Saat itulah ia wajib belajar (ilmu agama), agar ia dapat mencapai hukum
(sebenarnya) dengan yakin”.
Manusia
dengan keadaan seperti ini, mungkin saja tidak kita toleransi
kebodohannya, karena ia memandang belajar agama dengan sebelah mata.
Sikap tafrith tidaklah
menggugurkan udzur (alasan). Akan tetapi, orang yang jahil (tidak
tahu), kemudian tidak ada syubhat apapun pada dirinya dan ia meyakini
bahwa keadaan yang ia pegangi adalah kebenaran atau ia mengatakannya
karena menganggap itu adalah kebenaran, maka tidak diragukan lagi
bahwa ia tidaklah hendak menentang (kebenaran) dan tidak ingin berbuat
maksiat dan kekufuran. Karenanya, tidak mungkin kita mengkafirkannya,
meski ia buta terhadap salah satu prinsip agama (ushuluddin)”. [14] WAllâhu a’lam.
(Diringkas dari ash-Shawârifu ‘anil Haqq, Hamd bin Ibraahiim al-Utsmaan, ad-Daarul Atsariyyah tanpa tahun, halaman. 5-11.)
[Disalin
dari majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun XX/1437H/2016M. Diterbitkan
Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton
Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak
Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
Footnote
[1] Majmû al-Fatâwâ 10/88.
[2] Majmû al-Fatâwâ 16/338.
[3] Muttafaqun ‘alaih dari hadits an-Nu’man bin Basyir Radhiyallahu anhu
[4] Taudhîhul Kafiyati asy-Syafiyah, hlm.79.
[5] Diriwayatkan oleh Al-Haakim dalam al-Mustadrak 4/460. Al-Hâkim berkata, “Sesuai syarat Syaikhain”, dan disepakati oleh adz-Dzahabi.
[6] I’lâmul Muwaqqi’in 1/44.
[7] Majmû al-Fatâwâ 27/315-316.
[8] Dar`u Ta’ârudhil Aqli wan Naqli 1/73.
[9] Majmû al-Fatâwâ 25/129.
[10] Minhaju as-Sunnah 4/363.
[11] Hidâyatul Huyara fi Ajwibati al-Yahudi wan Nashara hlm. 18.
[12] Syarhu Hadîts ‘Lâ Yazni az-Zani’ hlm.35.
[13] Iqtidhâ ash-Shirâthil Mustaqim 2/85, cetakan Al-Ifta yang ketujuh.
[14] Asy-Syarhul Mumti’ 6/193-194.
Sumber: https://almanhaj.or.id/6976-yang-bodoh-terhadap-agama-rentan-dengan-kesesatan.html