Janganlah ini di salah pahami sebagai larangan ziarah kubur… janganlah dulu panas hati dan pikiran karena yang disampaikan ini adalah sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam… ini bukanlah larangan ziarah kubur TAPI larangan ziarah Kubur KHUSUS KARENA HARI ‘ID …
Harus
dibedakan antara keduanya… Kami hanya mengingatkan bahwa ada larangan
tersebut dan sekali lagi yang melarang itu adalah Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wasallam Nabi yang kita semua cintai (Allahumma
shollii’alaa Muhammad)…
Benar,
Ziarah kubur itu adalah sebuah amalan yang disyari’atkan, sebagaimana
terdapat dalam hadits dari Buraidah Ibnul Hushaib radhiyallahu ‘anhu,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
كنت نهيتكم عن زيارة القبور، فزوروها
“Dahulu aku melarang kalian berziarah kubur, maka (sekarang) berziarahlah” (HR Musim)
Namun
itu berlaku kapan saja dan oleh sebab itu janganlah kita
meng-KHUSUS-kan ziarah kubur dengan hari raya apalagi ada dalil yang
melarangnya….
Lalu jika
tidak mengkhususkannya bagaimana ?…. dalam hal ini mungkin tetap kita
tunda saja ziarah kubur di hari-hari lain agar tidak melanggar larangan
ini dan agar kita tidak ‘terjebak’ dalam suatu amalan (ziarah kubur
khusus di masa hari raya) yang dilarang… ‘terjebak’ ini maksudnya
adalah ikut men-syiarkan, ikut meramaikan amalan ini. (*)
Allah Ta’ala berfirman,
Allah Ta’ala berfirman,
وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
“Dan
jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan
bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.” (QS. Al Maidah: 2). Ayat ini menunjukkan bahwa terlarang saling tolong menolong dalam maksiat.
Dalam hadits juga disebutkan,
وَمَنْ
سَنَّ فِى الإِسْلاَمِ سُنَّةً سَيِّئَةً كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا
وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ
أَوْزَارِهِمْ شَىْءٌ
“Barangsiapa
yang memberi petunjuk pada kejelekan, maka ia akan mendapatkan dosa
dari perbuatan jelek tersebut dan juga dosa dari orang yang
mengamalkannya setelah itu tanpa mengurangi dosa mereka sedikit pun
juga.” (HR. Muslim no. 1017).
Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Barangsiapa
yang memberi petunjuk pada kebaikan, maka ia akan mendapatkan pahala
seperti orang yang mengikutinya. Sedangkan barangsiapa yang memberi
petunjuk pada kesesatan, maka ia akan mendapatkan dosa seperti orang
yang mengikutinya. Aliran pahala atau dosa tadi didapati baik yang
memberi petunjuk pada kebaikan atau kesesatan tersebut yang
mengawalinya atau ada yang sudah mencontoh sebelumnya. Begitu pula
aliran pahala atau dosa tersebut didapati dari mengajarkan ilmu,
ibadah, adab dan lainnya.”
Sedangkan sabda Rasul –shallallahu ‘alaihi wa sallam-, “Lalu diamalkan oleh orang setelah itu“,
maka maksudnya adalah ia telah memberi petunjuk (kebaikan atau
kesesatan) lalu diamalkan oleh orang lain setelah itu ketika yang
contohkan masih hidup atau sudah meninggal dunia. Demikian penjelasan
Imam Nawawi rahimahullah dalam Syarh Shahih Muslim ketika menjelaskan
hadits di atas.
Intinya,
dua dalil di atas menunjukkan dengan jelas bahwa siapa saja yang
memberi petunjuk pada kejelekan, dosa atau maksiat, maka ia akan
mendapatkan aliran dosa dari orang yang mengikutinya. Ini sudah jadi
cukup bukti dari kaedah yang dibahas kali ini, yaitu siapa yang
menolong dalam maksiat, maka terhitung pula bermaksiat…(*)
Na’udzubillah…
Mari kita
jadikan Syawwal ini momentum untuk HIJRAH… Hijrah seutuhnya dari segala
bentuk perbuatan yang tidak sejalan dengan perintah ALLAH dan
Rasul-Nya…
Mari kita semua membuka hati dan pikiran kita dan menerima dan mematuhi semua perintah dan larangan ALLAH dan Rasul-Nya….
Ingatlah saudaraku, kebiasaan itu belum tentu benar… KEBENARAN itulah yang harus DIBIASAKAN… semoga dapat dipahami….
______________
(*) paragraf diantara 2 bintang ini dari artikel di https://rumaysho.com/3555-menolong-dalam-maksiat-dihitung-maksiat.html.