(Pendalilan Bid’ah
Hasanah dengan Kisah Bilal)
———-
Ust.
H. Abdul Somad, Lc., MA. –semoga Allah selalu menjaga dan membimbing beliau—
dalam bukunya yang berjudul “37 Masalah Populer” pada halaman yang
ke-42, membawakan kisah tentang Bilal radhiallahu ‘anhu. Kisah ini
beliau jadikan sebagai dalil atau argumentasi yang menyokong apa yang beliau
sebut sebagai bid’ah mahmudah atau bidah hasanah.
Beliau
mengatakan: “Ada
beberapa perbuatan yang tidak dilakukan oleh Rasulullah ﷺ tidak pernah beliau ucapkan dan tidak pernah beliau ajarkan.
Tapi dilakukan oleh sahabat, Rasulullah ﷺ membenarkannya.”
Kemudian
beliau membawakan riwayat dari Abu Hurairah yang diriwayatkan oleh al-Imam
al-Bukhari dalam shahihnya (no. 1149) dan juga diriwayatkan oleh Imam Muslim
dalam shahihnya (no. 2458).
Disebutkan
bahwasanya Rasulullah ﷺ bertanya kepada Bilal:
يا
بلال حدثني بأرجى عمل عملته في الإسلام فإني سمعت دف نعليك في الجنة
“Wahai
Bilal, kabarkan kepadaku amalan yang paling engkau harapkan dalam Islam ini.
Karena aku mendengar suara terompahmu dihadapanku di surga".
قال:
ما عملت عملا أرجى عندي أني لم أتطهر طهورا في ساعتي ليلا ونهارا إلا صليت بذلك
الطهور
Bilal
menjawab: “tidak ada amalan yang paling aku harapkan di sisiku melainkan jika
aku berwudhu baik di waktu malam maupun di siang hari melainkan pasti aku
melakukan shalat setelahnya sesuai dengan apa yang telah ditetapkan Allah untukku dari
shalat tersebut”
Setelah
membawakan hadits ini, Ust. Abdul Somad memberikan kesimpulan:“Apakah
Rasulullah Saw pernah melaksanakan shalat sunnat setelah wudhu’? tentu tidak pernah, karena tidak ada hadits menyebut Rasulullah Saw pernah
melakukan, mengucapkan atau mengajarkan shalat sunnat dua rakaat setelah
wudhu’. Jika demikian maka shalat sunnat setelah wudhu’ itu bid’ah,
karena Rasulullah Saw tidak pernah melakukannya. Ini menunjukkan bahwa shalat
sunnat dua rakaat setelah wudhu’ itu bid’ah hasanah..
Jika
ada yang mengatakan bahwa ini sunnah taqririyyah, memang benar. Tapi ia menjadi sunnah taqririyyah setelah Rasulullah Saw membenarkannya.
Sebelum Rasulullah ﷺ membenarkannya, ia tetaplah bid’ah, amal yang
dibuat-buat oleh Bilal. Mengapa Bilal tidak merasa berat
melakukannya? Mengapa Bilal tidak mengkonsultasikannya kepada Rasulullah
Saw sebelum melakukanya? Andai Rasulullah Saw tidak bertanya kepada
Bilal, tentulah Bilal melakukannya seumur hidupnya tanpa mengetahui apa pendapat Rasulullah Saw tentang shalat dua
rakaat setelah wudhu’ itu. Maka jelaslah bahwa shalat setelah wudhu’ itu
bid’ah hasanah sebelum diakui Rasulullah Saw. Setelah mendapatkan
pengakuan Rasulullah Saw, maka ia berubah menjadi Sunnah taqririyyah.
Fahamilah dengan baik!” (37
Masalah Populer, hal: 42-43)
Tanggapan
dan Kritikan:
Pertama: Jika
kita memperhatikan dengan seksama, redaksi hadits ini sama sekali tidak
mengandung indikasi sedikitpun bahwasanya Bilal membuat atau mengada-ada ibadah
yang baru. Rasulullah ﷺ hanya sekedar bertanya kepada Bilal tentang amalan apa
yang paling beliau harapkan, karena Rasulullah ﷺ mendengarkan suara terompah
beliau di surga. Ini tidak menunjukan bahwasanya Bilal mengada-ada amalan
baru.
Kedua: Shalat dua rakaat yang dilakukan oleh Bilal setelah berwudhu’
sudah memiliki dasar nash yang tegas dan jelas (bukan bid’ah yang dilakukan
Bilal sebagaimana anggapan Ust. Abdul Somad). Di antara nash tersebut adalah:
Hadits
shahih yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam shahihnya (no. 234),
bahwasanya Rasulullah ﷺ bersabda:
مَا
مِنْ أَحَدٍ يَتَوَضَّأُ فَيُحْسِنُ الْوُضُوءَ وَيُصَلِّي رَكْعَتَيْنِ يُقْبِلُ
بِقَلْبِهِ وَوَجْهِهِ عَلَيْهِمَا إِلَّا وَجَبَتْ لَهُ الْجَنَّةُ
“Tidaklah
seseorang melakukan wudhu dengan wudhu yang baik, kemudian dia melakukan shalat
2 rakaat dengan sepenuh hati dan jiwa melainkan pasti dia akan mendapatkan
surga”
Hadits
ini dengan tegas sekali menyebutkan bahwa shalat 2 rakaat setelah berwudhu
adalah perkara yang disunnahkan.
Di
antara dalilnya juga adalah, hadits shahih yang diriwayatkan oleh Imam
al-Bukhari no 160 dan Imam Muslim no 22 tentang ‘Utsman bin ‘Affan radhiallahu’anhu,
ketika beliau mengajarkan tata cara wudhu Rasulullah ﷺ. Di akhir hadits
tersebut ‘Utsman membawakan sabda Rasulullah ﷺ:
من
توضأ نحو وضوئي هذا ثم صلى ركعتين لا يحدث فيهما نفسه غفر الله له ما تقدم من ذنبه
“Barang
siapa berwudhu seperti wudhu’ku ini kemudian ia bangkit melakukan shalat 2
rakaat dengan hati yang khusyu’ (hatinya
tidak berbisik tentang perkara-perkara duniawi yang tidak layak dalam shalat
-pent), maka dosa-dosanya
yang telah lalu akan diampuni”
Kedua
hadits di atas dengan sangat tegas menyatakan bahwa shalat 2 rakaat setelah
wudhu’ yang dilakukan oleh Bilal memiliki dasar yang kuat di dalam syari’at.
Kedua
hadits tersebut sekaligus menyanggah anggapan Ust. Abdul Somad yang mengatakan: “…tidak
ada hadits menyebut Rasulullah pernah melakukan, mengucapkan atau mengajarkan
shalat sunnah dua rakaat setelah wudhu…”
Alhasil,
kita bisa mengambil kesimpulan bahwa Bilal sama sekali tidak mengada-ada ibadah
yang baru.
Jika
ada yang berkata: “boleh jadi (ada ihtimal atau kemungkinan) Bilal melakukan
ibadah tersebut sebelum beliau mengetahui kedua hadist ini”
Kita
pun bisa mengatakan:
“Boleh
jadi (ada ihtimal atau kemungkinan) sebaliknya; Bilal melakukan ibadah tersebut
setelah beliau mengetahui kedua hadits ini”
Karena
adanya ihtimal (kemungkinan) ini dan itu, maka sebagaimana yang dikatakan oleh
Ust. Abdul Somad sendiri dalam bukunya di hal. 41:
ما
دخله الاحتمال سقط به الاستدلال
“Jika
dalil itu mengandung kemungkinan atau ketidakpastian maka tidak layak dijadikan
sebagai dalil”
Maka
berdasarkan kaidah yang dibawakan Ust. Abdul Somad sendiri, sungguh aneh
rasanya beliau berdalil dengan kisah Bilal untuk sampai pada kesimpulan Bid’ah
Hasanah yang diinginkannya, karena kisah Bilal —sekali lagi— mengandung ihtimal.
Lantas dari mana bisa disimpulkan bahwasanya Bilal melakukan ibadah shalat
setelah wudhu tanpa mengetahui pendapat Rasulullah ﷺ dalam masalah ini…?
yang kemudian membawa Ust. Abdul
Somad pada kesimpulan bahwa apa yang dilakukan Bilal adalah Bid’ah Hasanah…??
[Lihat al-Haqul Ablaj, hal. 128, Syaikh Dr. Abdul Aziz ar-Rays]
Bahkan
ihtimal yang kedua jauh lebih memungkinkan dan lebih dekat pada kebenaran.
Bahwasanya Bilal melakukan shalat sunnah wudhu tersebut atas dasar pengetahuan
sebelumnya bahwa shalat tersebut memang telah disunnahkan oleh Rasulullah ﷺ.
Karena dengan demikian, kita telah ber-husnuz-zhaan kepada salah seorang
Sahabat yang mulia (Bilal).
Dengan
mengambil ihtimal (kemungkinan) yang kedua, kita juga bisa mengkompromikan
nash-nash umum yang keras melarang perbuatan mengada-ada dalam syariat dengan
atsar perbuatan Sahabat yang mengesankan mereka beribadah atas dasar kreasi
pribadi. Sebab jika tidak demikian, kita justru telah su’uz-zhaan atau
berprasangka buruk terhadap Sahabat dengan mengatakannya telah berbuat bid’ah
sebelum ada taqriir dari Nabi, padahal para Sahabat dikenal sangat
perhatian dalam upaya mereka menyesuaikan setiap amalan mereka dengan petunjuk
Rasulullah ﷺ. Mengatakan Bilal telah berbuat bid’ah dan mengada-ada (terkait
shalat sunnah setelah wudhu) adalah bentuk sikap kurang adab terhadap seorang
Sahabat yang mulia lagi berilmu.
Ketiga: Kalaupun
kita menerima anggapan bahwa Bilal telah melakukan suatu ibadah shalat sebelum
mengetahui dalil-dalil khusus tentang Shalat setelah wudhu, maka tetap saja
Bilal tidak bisa dikatakan telah membuat-buat perkara baru dalam agama. Karena
Bilal mengamalkan apa yang beliau pahami dari firman Allah dan sabda Rasulullah
yang berisi anjuran melakukan atau memperbanyak shalat-shalat sunnah secara
mutlak. Adapun shalat yang beliau lakukan setiap selesai berwudhu, karena
memang seseorang jika ingin melakukan shalat maka dia harus berwudhu terlebih dahulu.
Dan sebaik-baik amalan saat dalam keadaan suci —di antaranya— adalah shalat.
Maka tidak heran jika Bilal segera shalat setelah suci dengan berwudhu.
Di
antara dalil umum yang jadi pegangan Bilal dalam hal ini adalah, firman Allah:
واستعينوا
بالصبر والصلاة
“Mohonlah
pertolongan dengan kesabaran dan shalat.”
Ini
adalah dalil umum yang menunjukan bahwasanya melakukan shalat sunnah secara
mutlak —di waktu yang dibolehkan melakukan shalat Sunnah— sangatlah dianjurkan
dan tentu saja sebelum melakukannya harus berwudhu.
Diriwayatkan
dari hadits Rabi’ah bin Ka’ab al-Aslami, sebagaimana dalam Shahih Muslim (no.
489); bahwa suatu ketika Rabi’ah meminta kepada Rasulullah ﷺ agar di akhirat
nanti bisa dekat dengan beliau di surga maka Rasul berkata kepada beliau:
فأعني
على نفسك بكثرة السجود
“Wahai
Rabi’ah, kalau begitu perbanyaklah sujud”
Imam
an-Nawawi menjelaskan dalam Syarah Shahih Muslim (jilid 4 hal. 206):
“Yang
dimaksud memperbanyak sujud di sini adalah sujud dalam shalat”
Ini
adalah dalil umum yang memotivasi kita untuk banyak melakukan shalat Sunnah
yang sifatnya mutlak (tidak terikat).
Lagi
pula jika kita merujuk penjelasan ulama, shalat Sunnah setelah wudhu adalah
jenis ibadah yang bersifat
“ghairu maqshuudah bi-dzaatihaa”, dalam artian; dia bukanlah jenis
shalat yang bersifat khusus semisal shalat fardhu. Dia mirip dengan shalat Tahiyyatul
Masjid, yang penting shalat dulu ketika masuk masjid sebelum duduk, shalat
apa saja, sudah terhitung Tahiyyatul Masjid. Demikian pula, jika ada
orang melakukan shalat Sunnah Qabliyah Zhuhur langsung setelah ia
berwudhu, maka ia sudah terhitung melakukan shalat Sunnah wudhu. Karena yang
terpenting adalah; dia shalat setelah wudhu, shalat apa saja. Demikian pendapat
Syaikh Nawawi al-Bantani (wafat: 1898-M) dalam kitabnya Nihaayatu az-Zain
(hal. 104), beliau menuliskan:
ومنه
صلاة سنة الوضوء عقب الفراغ منه وقبل طول الفصل والإعراض ، وتحصل بما تحصل به تحية
المسجد ؛ فلو أتى بصلاة غيرها عقب الوضوء من فرض أو نفل ففيها ما تقدم في تحية
المسجد من جهة حصول الثواب وسقوط الطلب
Ini
juga yang menjadi pendapat ulama al-Lajnah ad-Da-imah (7/248-249).
Termasuk juga pendapat Syaikh Ibnu Utsaimin (Liqo’ al-Bab al-Maftuh:
25/20).
Berarti
shalat Sunnah mutlak yang dilakukan setelah wudhu, termasuk dalam cakupan makna
hadits Bilal di atas. Sehingga semua dalil-dalil yang berisi anjuran
memperbanyak shalat secara mutlak, berlaku juga bagi orang yang shalat setelah wudhu. Dengan demikian, tak lagi bisa
diterima alasan yang menyebut Bilal telah melakukan ibadah tanpa dalil, atau
sebelum ia mengetahui dalilnya.
Keempat: Ibadah yang dilakukan
oleh Bilal ini resmi menjadi sunnah setelah mendapatkan taqriir atau
pengakuan dari Nabi. Kita menyebutnya sebagai sunnah taqririyyah, yaitu
sunnah yang telah mendapat legitimasi dan pengakuan dari Nabi. Jadi ibadah
tersebut menjadi bagian dari syari’at karena taqriir Nabi, bukan
semata-mata karena dipelopori oleh Sahabat atau ulama tertentu.
Adapun
di zaman ini, Sunnah Taqriiriyyah sudah tak ada lagi
sepeninggal Rasulullah ﷺ. Sehingga tak ada alasan bagi kita untuk
mengada-ada atau menambah-nambah perkara baru dalam hal ibadah.
Jika
dikatakan; bukankah perbuatan Bilal tersebut sebelum mendapat taqrir
dari Nabi adalah bid’ah..??, sebagaimana yang disimpulkan oleh Ust. Abdul Somad
pada hal. 43.
Jawabannya; berdasarkan penjelasan sebelumnya, kita bisa menilai itu adalah
anggapan yang sangat jauh dari kebenaran. Namun anggaplah kita sepakat dengan
Ust. Abdul Somad bahwa tindakan Bilal adalah bid’ah sebelum mendapat taqriir
Nabi. Maka kita katakan; bahwasanya para Sahabat punya kekhususan dalam masalah
ini. Karena mereka hidup di zaman turunnya wahyu. Tidak bisa disamakan apa yang
dilakukan oleh para sahabat semasa hidup Nabi dengan apa yang dilakukan oleh orang-orang
pada zaman ini.
Jika
ada amalan Sahabat yang tidak diridhai secara syar’i di era turunnya wahyu dan
pensyariatan, niscaya Allah akan menurunkan teguran melalui Nabi-Nya, dan
menjelaskan jalan ibadah yang sesuai dengan keridhaan-Nya. Namun yang demikian
ini tidak berlaku bagi mereka yang hidup tidak di zaman turunnya wahyu. Ibnu
al-Qayyim mengatakan:
أن
علم الرب تعالى بما يفعلون في زمن شرع الشرائع ونزول الوحي وإقراره لهم عليه دليل
على عفوه عنه
“Ilmu
Rabb ta’ala atas apa-apa yang diamalkan (oleh para Sahabat) di zaman
pensyariatan, atau di era turunnya wahyu, lantas Allah men-taqriir-nya
(atau mendiamkannya), adalah bukti bahwa Allah tidak mempermasalahkan amalan
mereka tersebut.” [al-Qawa’id
al-Fiqhiyyah al-Mustakhrajah min I’lamil Muwaqqi’in: 292, Abdurrahman
al-Jazairi, Taqdim: Syaikh Dr. Bakr Abu Zaid]
Adapun
pada zaman ini, Rasul sudah tiada, wahyu sudah terputus dan agama sudah
disempurnakan. Wahyu mana yang akan menjamin keabsahan setiap ide atau kreasi
orang dalam ibadah..? Sementara itu amalan yang dilakukan oleh Bilal adalah
amalan yang dilakukan pada waktu Rasul masih hidup, dan belum diturunkan ayat
tentang kesempurnaan Islam:
اليوم
أكملت لكم دينكم
“Pada
hari ini telah Aku sempurnakan agama Kalian”
Sehingga
tidak bisa disamakan kasus yang terjadi di zaman para sahabat dengan apa yang
terjadi di zaman ini.
Ibadah
yang diada-adakan pada zaman ini tidak ada jaminan legitimasi dari Allah dan
Rasulullah ﷺ. Karena agama ini sudah disempurnakan, Rasulullah ﷺ sudah wafat
dan wahyu telah terputus. Di sisi yang lain, Rasulullah ﷺ telah menutup peluang
bagi orang-orang belakangan untuk berkreasi dalam ibadah, melalui sabdanya:
كل
بدعة ضلالة
“Semua bid’ah itu
sesat”
Para
sahabat seperti Ibnu ‘Umar, menafsirkan sabda Rasulullah ini dengan ucapannya;
كل
بدعة ضلالة وإن رآها الناس حسنة
“Setiap
kebidahan adalah kesesatan sekalipun manusia memandangnya hasanah (baik)”
Kelima;
jangankan di zaman ini, di era Nabi masih hidup saja, tidak semua ide Sahabat
dalam hal ibadah di-taqriir oleh Nabi. Ada yang bahkan diingkari dengan
keras.
Seperti
kisah 3 orang yang ingin beribadah lebih —yang diriwayatkan oleh al-Bukhari
(no. 5063)–. Di antara mereka ada yang ingin membujang selamanya agar fokus
beribadah, ada yang ingin berpuasa sepanjang tahun (dahr), dan ada yang hendak
shalat malam tanpa tidur. Rasulullah ﷺ mengingkari ide mereka tersebut,
sekalipun niat mereka baik.
Juga
kisah al-Baraa’ bin ‘Aazib yang mengganti lafaz “wabi-nabiyyika…”
menjadi “wabi-rasuulika…” dalam doa sebelum tidur yang diajarkan Nabi
pada beliau. Tindakan al-Baraa’ ini langsung mendapat teguran dari Nabi (lihat
Shahih al-Bukhari no. 6311).
Nah,
jika Sahabat saja ada yang diingkari oleh Nabi ide atau tindakan mereka dalam
hal ibadah, maka apalagi ide baru orang-orang zaman sekarang…??
***
Kesimpulannya;
perbuatan Bilal tersebut tidak bisa dijadikan dalil untuk menyokong adanya bid’ah
mahmudah/hasanah dalam ranah ritual ibadah sehingga seseorang bisa bebas
melakukan atau membuat ibadah-ibadah baru (seperti ritual perayaan Maulid).
____________________________
Share
Ulang
- · Citramas, Cinunuk.
- · from= http://www.alhujjah.com/2017/12/04/tanggapan-atas-tulisan-ust-h-abdul-somad-lc-ma-bag-1/