Dalam tulisan ini, penulis ingin memberikan sedikit faedah tentang
kaidah ini, dan untuk lebih mudah memahaminya, penulis akan jabarkan
dalam beberapa poin berikut ini:
Pertama:
Dalam bahasa arab, ada banyak redaksi utk kaidah ini, diantaranya:
الضرر الأشد يزال بالضرر الأخف
– Mudharat yang lebih berat, harus dihilangkan dengan melakukan yang mudharat yang lebih ringan
يختار أخفَّ الضررين
– Yang harusnya dipilih adalah mudharat yang lebih ringan
يختار أهونَ الشرين
– Yang harusnya dipilih adalah keburukan yang lebih ringan
إذا اجتمع الضرران أسقط الأكبر للأصغر
– Jika ada dua mudharat yang berkumpul, maka yang lebih besar harus digugurkan, untuk melakukan yang lebih kecil.
تحتمل أخف المفسدتين لدفع أعظمهما
– Mafsadat yang lebih ringan harus dijalani untuk menolak mafsadat yang lebih besar.
إذا تعارض مفسدتان رُوعي أعظمُهما ضررًا بارتكاب أخفهما
– Apabila ada dua mafsadat bertentangan, maka yang harus ditinggalkan
adalah mafsadat yang mudharatnya lebih besar, dengan melakukan mudharat
yang lebih ringan.
إذا تزاحمت المفاسد، واضطر إلى فعل أحدها، قدم الأخف منها
– Jika ada banyak mafsadat berkumpul, dan terpaksa harus melakukan
salah satunya, maka yang didahulukan sebagai pilihan adalah mafsadat
yang paling ringan.
Kedua:
Kaidah ini adalah bukti nyata kesempurnaan Islam dan betapa besar
rahmat yang dibawa oleh Islam. Dalam masalah yang sulit seperti ini pun,
Islam masih memberikan solusi yang memudahkan manusia, dan tentunya
akan tetap mendatangkan pahala bila niatnya adalah untuk tunduk dan
patuh kepada syariat Allah yang menciptakan kita.
Ketiga:
Ada banyak dalil yang menunjukkan benarnya kaidah ini, diantaranya:
1. Firman Allah Ta’ala:
يَسْأَلُونَكَ
عَنِ الشَّهْرِ الْحَرَامِ قِتَالٍ فِيهِ قُلْ قِتَالٌ فِيهِ كَبِيرٌ
وَصَدٌّ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ وَكُفْرٌ بِهِ وَالْمَسْجِدِ الْحَرَامِ
وَإِخْرَاجُ أَهْلِهِ مِنْهُ أَكْبَرُ عِنْدَ اللَّهِ وَالْفِتْنَةُ
أَكْبَرُ مِنَ الْقَتْلِ
“Mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang berperang pada bulan
haram. Katakanlah: berperang dalam bulan itu adalah dosa besar. Tetapi
menghalangi orang dari jalan Allah, ingkar kepada-Nya, (menghalangi
orang masuk) masjidil haram, dan mengusir penduduknya darinya, itu lebih
besar dosanya dalam pendangan Allah. Dan tindakan² fitnah tersebut
lebih parah daripada pembunuhan”. [Al-Baqarah: 217].
Dalam ayat ini Allah menjelaskan bahwa mafsadat yang dilakukan oleh
kaum musyrikin berupa: tindakan kufur kepada Allah, menghalangi manusia
dari petunjuk Allah, mengusir kaum muslimin dari tanah mekah, ini semua
lebih berat dari tindakan kaum muslimin memerangi sebagian kaum
musyrikin di bulan haram itu.
Sehingga tindakan memerangi orang-orang kafir di bulan haram saat itu
menjadi boleh, karena mafsadatnya lebih ringan daripada mafsadat² yang
dilakukan kaum musyrikin terhadap kaum muslimin .. dan kaum muslimin
tidaklah melakukan hal itu kecuali agar mafsadat yang lebih besar dari
kaum musyrikin tidak terjadi.
2. Firman Allah Ta’ala tentang kisah Nabi Khidir alaihissalam
yang melubangi kapal milik orang miskin dan membunuh anak kecil. Kedua
tindakan ini dilakukan oleh beliau untuk menghindari mudharat yang
lebih besar, yaitu: diambilnya kapal yang masih bagus oleh penguasa yang
zalim, dan kufurnya kedua orang tua anak tersebut karena terfitnah oleh
anaknya. [Lihat QS Al-Kahfi, ayat: 71-74, dan ayat 79-81, dan kitab Al-qawaid wal ushul A-ljamiah: 150]
3. Firman Allah Ta’ala tentang larangan mencela tuhannya kaum kafir, karena itu menyebabkan mereka mencela Allah Ta’ala [Al-An’am: 108]. Hal
ini disebabkan karena mafsadat dicelanya Allah secara zalim itu jauh
lebih besar daripada mafsadat tidak dicelanya tuhan-tuhan mereka yang
batil itu.
4. Diantara dalil yang menjadi dasar kaidah di atas adalah kisah
perjanjian Hudaibiyah, dimana ada beberapa sisi ketidak-adilan yang
tampak jelas dalam perjanjian itu. Akan tetapi hal itu tetap diterima
dan dipilih oleh Nabi kita shallallahu alaihi wasallam, karena
mafsadat tidak menerima perjanjian itu lebih besar, yaitu dengan
terancamnya kaum muslimin yang masih berada di mekah dari pembunuhan dan
penyiksaan. [Shahih Bukhari: 2731].
Dan terbukti setelah perjanjian itu, tidak hanya kaum muslimin yang
ada di makkah selamat, tapi lebih dari itu perkembangan dakwah beliau
semakin cepat dan menguat dimana-mana.
5. Dalil lain yang menunjukkan benarnya kaidah di atas adalah kisah seorang badui yang kencing di masjid Nabi shallallahu alaihi wasallam,
kemudian ada sebagian sahabat beliau yang ingin menghentikannya. Maka
beliau mengatakan kepada para sahabatnya, “Biarkan dia, dan jangan
kalian memutus (kencing)-nya!” Kemudian beliau meminta seember air, lalu
beliau menyiram (tempat bekas kencing)-nya. [HR. Muslim 284]
Ini menunjukkan bahwa beliau lebih memilih mudharat yang lebih
ringan. Jika orang badui itu dihardik dan dihentikan, maka air
kencingnya akan berhamburan di masjid beliau, tentu ini mafsadat yang
lebih besar. Oleh karena itu, beliau meninggalkan mafsadat tersebut
dengan cara membiarkan mafsadat yang lebih ringan, yaitu:kencing di
masjid beliau sampai selesai di satu tempat saja.
Keempat:
Sebagian orang mengatakan, bahwa “Kaidah ini hanya berlaku bila
keadaannya darurat, ketika keadaannya tidak darurat, maka kaidah ini
tidak boleh diterapkan”. Ini adalah kesimpulan yang prematur dan tidak
sesuai dengan praktik para ulama dalam menjelaskan kaidah ini.
Tapi yang menjadi syarat kaidah ini adalah “Ketika dua mudharat tidak
bisa dihindari semuanya, tapi masih bisa menghindari salah satunya dan
tahu mudharat yang lebih ringan, maka itulah yang harusnya dilakukan”.
Ada beberapa bukti yang menunjukkan hal ini, diantaranya:
a. Kenyataan bahwa contoh yang diberikan oleh para ulama dalam kaidah
“mengambil mudharat yang lebih ringan”, tidak semuanya sampai pada
keadaan darurat. Sehingga bisa kita pahami, bahwa kaidah itu tidak hanya
berlaku pada keadaan darurat saja, tapi juga bisa berlaku pada keadaan
lain.
b. Kenyataan bahwa kaidah “mengambil mudaharat yang lebih ringan”
sering disandingkan dengan kaidah “apabila maslahat dan mafsadat
berkumpul, dan maslahatnya lebih besar, maka yang didahulukan adalah
maslahatnya”. Karena kaidah ini tidak hanya berlaku ketika keadaan
darurat, maka kaidah yang sering disandingkan dengannya pun demikian,
tidak hanya berlaku pada keadaan darurat saja.
Di antara contohnya adalah berdakwah lewat video, ada maslahatnya,
ada juga mafsadatnya. Akan tetapi kalau kita bandingkan, maka kita akan
dapati lebih banyak maslahatnya, sehingga tetap boleh dilakukan.
c. Kenyataan bahwa mudharat atau mafsadah itu bisa terjadi meski
keadaannya tidak darurat. Apabila ada dua mudharat atau mafsadat yang
tidak bisa kita hindari semuanya, maka yang kita lakukan adalah memilih
mudharat atau mafsadat yang lebih ringan.
Perlu diketahui, bahwa keadaan darurat adalah “Sesuatu yang harus ada
untuk terciptanya maslahat agama dan dunia. Sehingga bila tidak ada,
maka maslahat dunia akan rusak, keadaan kacau, dan terjadi kematian.
Sedang di akhirat mendatangkan kerugian nyata dengan tidak mendapatkan
surga dan kenikmatan”. [Al-Muwafaqat: 2/8]
Atau lebih simpelnya keadaan darurat adalah “Keadaan yang apabila
seseorang tidak melakukan larangan, dia akan mati atau mendekati
kematian”. [Al-Mantsur fil Qawaid liz zarkasyi 2/319] atau “Kebutuhan mendesak yang memaksa seseorang melakukan sesuatu yang diharamkan syariat”. [Haqiqatud Dharuratisy Syar’iyyah, lil jizani, hal: 25]
Kelima:
Ada banyak contoh yang disebutkan oleh para ulama dalam penerapan
kaidah ini. Kalau kita renungkan, kita akan mendapati bahwa kaidah itu
bisa diterapkan pada semua keadaan, baik keadaannya darurat maupun
tidak. Yang penting dua mudharat itu tidak bisa dihindari semuanya, dan
hanya bisa menghindar dari salah satunya.
Berikut sebagian contoh kaidah ini:
1. Bolehnya mendiamkan kemungkaran, apabila ditakutkan timbul
kemungkaran yang lebih besar dengan mengingkarinya, karena mafsadat
adanya kemungkaran yang sedang terjadi = lebih ringan daripada mafsadat
kemungkaran yang dikhawatirkan. [Alqawaid Alkubra, hal: 532]
2. Apabila cincin berharga seseorang dimakan oleh ayam ternak
tetangganya, maka pemilik cincin itu berhak memiliki ayam tersebut
dengan membelinya, lalu menyembelihnya untuk mendapatkan kembali
cincinnya, karena mafsadat matinya ayam ternak lebih ringan, daripada
mafsadat hilangnya cincin berharga. [Alqawaid Alkubra, hal: 532]
3. Seandainya ada orang yang shalat, dia tidak mampu menutup auratnya
ketika berdiri. Tetapi bila dia duduk auratnya bisa tertutupi, maka
dia diperintahkan untuk shalat duduk, karena mafsadat tidak berdiri
lebih ringan daripada mafsadat tidak menutup aurat dalam shalat. [Alqawaid Alkubra, hal: 532]
4. Boleh bagi produsen atau pemerintah membatasi harga jual suatu
produk, padahal membatasi harga jual pada asalnya dilarang dan itu bisa
mendatangkan mudharat kepada penjual. Tetapi hal itu menjadi boleh,
karena mudharat mahalnya harga yang harus dialami oleh masyarakat umum =
lebih besar dan lebih luas efeknya, daripada mudharat yang harus
dialami oleh penjual.
5. Apabila ada orang terpaksa harus makan, dan di depannya hanya ada
dua bangkai, yang satu bangkai kambing, dan yang satu bangkai anjing,
maka yang harus dia pilih adalah bangkai kambing, karena mudharatnya
lebih ringan. [Alqawaid Wal Ushul Aljamiah: 86]
6. Barangsiapa terpaksa harus menjimak salah satu dari dua isterinya,
tapi yang satunya sedang haid dan yang satunya lagi puasa wajib. Maka
yang harus dia pilih adalah isteri yang sedang puasa wajib, karena itu
yang mudharatnya lebih ringan, karena puasa wajib boleh dibatalkan untuk
kebutuhan orang lain yang mendesak, seperti: karena menyusui, khawatir
dengan kesehatan janin, menyelamatkan seseorang dari kebakaran, dst. [Al-qawaid Wal Ushul Al-jamiah: 86]
7. Boleh merusak rumah seseorang yang berada di samping rumah orang
lain yang sedang terbakar dengan pertimbangan agar kebakaran tidak
menjalar ke banyak rumah yang lainnya, karena rusaknya satu rumah adalah
mudharat yang lebih ringan, daripada terbakar dan rusaknya banyak rumah
yang lainnya. [Al-qawaid Wal Ushul Al-jamiah, ta’liq Syeikh Utsaimin: 151]
8. Boleh untuk tidak taat kepada kedua orang tua ketika melarang
anaknya menunaikan ibadah haji wajib, meskipun itu menjadikan mereka
marah, karena mudharat tidak menunaikan kewajiban ibadah haji lebih
besar daripada mudharat tidak taat kepada kedua orang tua. Karena
mudharat bermaksiat kepada Allah lebih besar daripada mudharat
bermaksiat kepada kedua orang tua, maka ada sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam yang artinya: “Tidak boleh taat kepada makhluk, dalam hal bermaksiat kepada sang Khaliq” [Alqawaid Wal Ushul Aljamiah, ta’liq syeikh Utsaimin: 151]
9. Apabila seorang yang sedang ihram terpaksa harus makan, dan di
depannya hanya ada dua pilihan, hewan buruan atau bangkai kambing. Maka
yang menjadi pilihan adalah hewan buruan, karena memakan hewan buruan
bagi dia, mudharatnya lebih ringan. Karena haramnya bangkai itu
berkaitan dengan dzatnya, sedangkan haramnya hewan buruan itu bukan
karena dzatnya, tapi karena keadaan dia yang sedang ihram. [Alqawaid Wal Ushul Aljamiah, ta’liq syeikh Utsaimin: 152]
10. Boleh berdusta antara suami isteri untuk menjaga keharmonisan dan
rasa cinta antara keduanya. Karena mudharat dusta untuk menguatkan tali
pernikahan = lebih ringan daripada rusaknya tali suci pernikahan. [Hadits At-Tirmidzi No. 1939, Hadist shahih]
11. Boleh berdusta untuk mendamaikan dua insan yang sama-sama muslim
yang sedang tidak rukun. Karena mudharat berdusta untuk mendamaikan
keduanya = lebih ringan daripada rusaknya persaudaraan sesama muslim. [Hadits At-Tirmidzi No. 1939, Hadist shahih]
12. Boleh membuka perut ibu hamil yang sudah meninggal, bila
diperkirakan janinnya bisa diselamatkan dengan cara itu. Karena mudharat
dilukainya tubuh mayit lebih ringan daripada mudharat matinya janin
yang ada di rahimnya. [Al-wajiz fil qawaidil fiqhiyyah 261]
13. Seseorang yang dimintai keterangan tentang wanita yang akan
dipinang, dia boleh membuka aib wanita itu kepada orang yang ingin
meminangnya. Karena mudharat membuka aibnya dalam kondisi seperti ini
lebih ringan daripada mudharat salah pilih istri yang akan dialami oleh
orang tersebut.
14. Boleh menyebut orang dengan aib yang ada pada jasadnya, jika
memang dengan itu kita mudah mengenalkannya kepada orang lain, selama
tidak ada niat merendahkan. Padahal itu sebenarnya masuk dalam kategori
ghibah, tapi ini dibolehkan, karena memang mudharatnya lebih ringan
daripada mudharat sulitnya mengenalkan orang tersebut.
Makanya ada beberapa ulama yang masyhur dengan sebutan yang
menunjukkan aib pada tubuhnya, seperti: Al-A’masy (yang matanya kabur),
Al-A’raj (yang pincang), Al-Ashamm (yang tuli), Al-A’ma (yang buta),
Al-Ahwal (yang juling), dst.
15. Orang yang memamerkan kemaksiatannya, boleh disebarkan aibnya
yang berhubungan dengan kemaksiatan tersebut. Karena mudharat
meng-ghibah dia dalam kondisi seperti itu lebih ringan daripada mudharat
tertipunya masyarakat umum dengan keadaan dia.
16. Boleh memajang gambar hewan bernyawa seperti burung tertentu atau
foto figur tertentu, bila memang tanpa itu keberlangsungan lembaga
pendidikan akan terkendala. Karena mudharat memajang gambar hewan
bernyawa lebih ringan daripada mudharat terkendalanya kehidupan lembaga
pendidikan.
17. Boleh memberikan jalan kepada kelompok-kelompok tertentu untuk
mengadakan kajian di masjid fasum, bila tanpa itu kajian ahlussunnah
malah akan distop oleh mereka yang mayoritas. Karena mudharat adanya
kajian mereka lebih ringan, daripada mudharat distopnya kajian
ahlussunnah di masjid fasum tersebut.
18. Boleh menggunakan keberadaan preman, untuk melindungi kegiatan²
dakwah, bila tanpa itu kegiatan dakwah tidak bisa berlangsung dengan
baik, aman, dan lancar .. karena mafsadat hidupnya preman tersebut yang
dibarengi dengan aman dan lancarnya kegiatan dakwah = lebih ringan
daripada terhentinya kegiatan dakwah di daerah tersebut.
19. Boleh memandang wanita yang bukan mahram ketika ada niat kuat
untuk menikahinya (yakni: dalam syariat nazhar). Karena mudharat melihat
wanita yang bukan mahram dalam kondisi seperti itu lebih ringan,
daripada mudharat terganggunya akad nikah di kemudian hari apabila dia
kurang puas dengan keadaan lahir pasangannya karena tidak nazhar sebelum
melakukan akad.
20. Apabila dalam suatu keadaan, kita tidak bisa menghindar dari 2
pilihan buruk, mengorbankan kalung emas 50 gram, atau mengorbankan uang
di dompet 5 juta. Maka tentunya kita akan memilih mengorbankan uang 5
juta di dompet, karena mudharatnya lebih ringan daripada mudharat
kehilangan kalung emas 50 gram. [Qowaidul Ahkam 1/74]
21. Boleh ikut menyumbangkan suara di pemilu, karena mudharat ikut
memilih calon yang lebih baik untuk Islam dan kaum muslimin = lebih
ringan daripada mudharat dikuasainya kaum muslimin oleh mereka yang
tidak perhatian kepada Islam dan kaum muslimin atau bahkan memusuhi
Islam dan kaum muslimin.
Dan masih banyak contoh-contoh yang lainnya. Coba kita renungkan
contoh-contoh di atas, apakah semuanya masuk dalam keadaan darurat.
Orang yang obyektif dan insaf, akan mengatakan tidak semuanya masuk
dalam keadaan darurat, yang ada adalah adanya dua mafsadat atau
kemudharatan yang tidak memberikan pilihan kecuali mengambil salah
satunya.
Keenam:
Apakah penerapan kaidah “mengambil yang lebih ringan mudharatnya”
dalam masalah bolehnya mengikuti pemilu, sudah tepat dan memenuhi
syarat?
Kita katakan, bahwa penerapan kaidah itu dalam masalah pemilu sudah tepat dan memenuhi syarat, karena dua alasan:
a. Alasan pertama. Karena banyak Syeikh kibar ketika berfatwa tentang
bolehnya ikut memilih dalam pemilu menyebutkan kaidah ini dalam
penjelasannya. Jika penerapan kaidah ini dalam masalah pemilu tidak
memenuhi syarat, tentunya mereka tidak akan menyebutkannya. [sebagiannya
bisa dilihat di link ini: Tentang Memberikan Suara di PEMILU
b. Alasan kedua. Karena sistem demokrasi ini adalah keburukan yang
dipaksakan kepada kita. Mau tidak mau kita harus mengikuti dan
menjalaninya. Memilih atau tidak memilih, dua-duanya adalah pilihan yang
diberikan oleh sistem demokrasi. Sehingga sebenarnya apapun keadaan
kita, memilih atau tidak, tetap saja kita masih dalam sistem demokrasi,
ini tidak bisa kita hindari selama kita masih hidup di negara demokrasi
dan kita ikut memilih atau tidak ikut memilih, sistem itu akan tetap
berjalan, dan efeknya akan mempengaruhi Islam dan kaum muslimin.
Jika keadaannya demikian, tidak diragukan lagi, bahwa menyumbangkan
suara dalam pemilu untuk memilih calon pemimpin yang lebih ringan
keburukannya bagi Islam dan kaum muslimin mudharatnya lebih ringan
daripada mudharat tidak ikut menyumbangkan suara di pemilu, bila
akhirnya akan berakibat buruk terhadap Islam dan kaum muslimin.
Cobalah kita bayangkan bila kaum muslimin yang baik-baik tidak ikut
memilih dalam pemilu? Apakah dengan begitu sistem demokrasi akan
berhenti? Tentunya tidak, sistem ini akan tetap berjalan selama masih
ada banyak pemilih yang menyumbangkan suaranya.
Lalu jika kaum muslimin yang baik-baik tidak ikut memilih pemimpin,
siapa yang akan memilih pemimpin? Tidak lain adalah kaum muslimin yang
tidak baik, dan mereka yang non muslim (kafir).
Jika yang memilih pemimpin adalah orang-orang yang tidak baik, lalu
apakah mereka akan memilih pemimpin yang memperjuangkan kebaikan untuk
Islam dan kaum muslimin? Tentunya tidak, karena jawaban “iya” sangat
jauh kemungkinannya.
Lalu jika yang dipilih oleh mereka adalah pemimpin yang tidak
memperjuangkan Islam dan kaum muslimin, bukankah efeknya akan sangat
buruk bagi Islam dan kaum muslimin? Tentunya iya, itulah jawaban sangat
logis.
Ketujuh:
Sebagian orang menganggap, bahwa paparan yang disebutkan di akhir
poin keenam, adalah jalan pemikiran kelompok haroki, sehingga harusnya
sangat tabu disampaikan oleh seorang yang bermanhaj salaf.
Kita katakan, sungguh itu adalah tuduhan yang zhalim. Tuduhan yang
keluar karena tidak punya jawaban yang logis untuk mematahkan dalil yang
disampaikan.
Sungguh dalil logis di atas telah disampaikan oleh Syeikh Utsaimin rahimahullah sejak dahulu, coba simak perkataan beliau berikut ini:
أنا أرى أن
الانتخابات واجبة ، يجب أن نعين من نرى أن فيه خيراً ، لأنه إذا تقاعس أهل
الخير ، مَنْ يحل محلهم ؟ سيحل محلهم أهل الشر ، أو الناس السلبيون الذين
ما عندهم خير ولا شر ، أتباع كل ناعق ، فلابد أن نختار من نراه صالحاً
فإذا قال قائل : اخترنا واحداً لكن أغلب
المجلس على خلاف ذلك . قلنا : لا مانع ، هذا الواحد إذا جعل الله فيه
البركة وألقى كلمة الحق في هذا المجلس سيكون لها تأثير ولا بد ، لكن الذي
ينقصنا الصدق مع الله ، نعتمد على الأمور المادية الحسية ولا ننظر إلى كلمة
الله عز وجل …. رَشِّحْ مَنْ ترى خيّرا ، وتوكل على الله
“Saya melihat (ikut memilih dalam) pemilu itu WAJIB,
kita wajib memilih orang yang kita lihat ada kebaikan pada dirinya,
karena apabila orang-orang baik tidak ikut berpartisipasi, siapa yang
akan mengisi tempat mereka? Yang akan mengisi tempat mereka tentunya
orang-orang buruk, atau orang-orang pasif (lemah) yang tidak punya
kebaikan dan keburukan, bisanya hanya mengekor orang lain.
Oleh karenanya kita harus memilih orang yang kita lihat shalih (baik).
Apabila ada yang berkata: kita kan hanya memilih satu orang saja,
padahal mayoritas orang yang di majlis tidak baik seperti dia. Kita
jawab: tidak masalah, satu orang yang baik ini, apabila Allah menjadikan
keberkahan padanya, dan dia sampaikan kebenaran di majlis itu, pastinya
akan memiliki pengaruh baik.
Tapi memang kita itu kurang percaya kepada Allah, kita biasa
bersandar pada perkara-perkara yang kasat mata saja, dan kita tidak
melihat kalimat Allah ‘azza wa jalla. Maka, pilihlah orang yang engkau lihat baik, dan bertawakkallah kepada Allah”. [Liqa babil maftuh 211/13]
Inilah penjelasan yang sangat gamblang dari Syeikh Utsaimin rahimahullah dalam masalah ini, semoga bisa dipahami dengan baik. Demikian tulisan ini, semoga bermanfaat dan Allah berkahi. Aamiin…
وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد، وعلى آله وصحبه ومن تبعهم بإحسان إلى يوم الدين، والحمد لله رب العالمين
Penulis: Dr. Musyaffa Addariny, Lc., M.A.
Artikel: Muslim.or.id