Taklid itu berarti mengikuti suatu pendapat tanpa mengenal dalil.
Melanjutkan masalah taklid, sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa
taklid itu dibolehkan bagi orang yang tidak bisa menelaah dalil padahal
darurat untuk menjalankan hukum.
Ada lima syarat yang diberikan oleh para ulama agar seseorang boleh untuk bertaklid:
1- Orang yang taklid itu jahil atau tidak berilmu, ia sulit untuk mengenal (memahami) hukum Allah dan Rasul-Nya.
Adapun orang yang mampu untuk berijtihad, yang tepat, ia pun masih
boleh bertaklid ketika ia tidak mampu berijtihad karena keterbatasan
dalil atau sempitnya waktu untuk berijtihad. Boleh jadi tidak ada dalil
yang nampak yang bisa dipakai.
Ketika seseorang tidak mampu berijtihad, maka ia beralih pada penggantinya yaitu taklid. Ibnu Taimiyah berkata,
فَإِنَّهُ
حَيْثُ عَجَزَ سَقَطَ عَنْهُ وُجُوبُ مَا عَجَزَ عَنْهُ وَانْتَقَلَ إلَى
بَدَلِهِ وَهُوَ التَّقْلِيدُ كَمَا لَوْ عَجَزَ عَنْ الطَّهَارَةِ
بِالْمَاءِ . وَكَذَلِكَ الْعَامِّيُّ إذَا أَمْكَنَهُ الِاجْتِهَادُ فِي
بَعْضِ الْمَسَائِلِ جَازَ لَهُ الِاجْتِهَادُ فَإِنَّ الِاجْتِهَادَ
مُنَصَّبٌ يَقْبَلُ التجزي وَالِانْقِسَامَ فَالْعِبْرَةُ بِالْقُدْرَةِ
وَالْعَجْزِ وَقَدْ يَكُونُ الرَّجُلُ قَادِرًا فِي بَعْضٍ عَاجِزًا فِي
بَعْضٍ
“Ketika seseorang tidak mampu berijtihad, maka kewajiban berijtihad
jadi gugur. Ketika itu beralihlah kepada taklid. Sebagaimana seseorang
yang tidak mampu bersuci dengan air, ia tentu beralih pada penggantinya.
Begitu pula orang awam ketika ia mampu berijtihad untuk sebagian
masalah, maka boleh ia berijtihad pada masalah tersebut. Ijtihad boleh
terbagi-bagi seperti itu. Pokoknya dilihat dari kemampuan dan
ketidakmampuan. Boleh jadi seseorang mampu berijtihad dalam suatu
masalah, dan masalah lain tidak demikian. ” (Majmu’ Al Fatawa, 20: 204)
2- Bertaklid pada orang yang diketahui keilmuannya.
Di halaman lainnya, Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,
وَأَمَّا
مَنْ كَانَ عَاجِزًا عَنْ مَعْرِفَةِ حُكْمِ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَقَدْ
اتَّبَعَ فِيهَا مَنْ هُوَ مِنْ أَهْلِ الْعِلْمِ وَالدِّينِ وَلَمْ
يَتَبَيَّنْ لَهُ أَنَّ قَوْلَ غَيْرِهِ أَرْجَحُ مِنْ قَوْلِهِ فَهُوَ
مَحْمُودٌ يُثَابُ لَا يُذَمُّ عَلَى ذَلِكَ وَلَا يُعَاقَبُ وَإِنْ كَانَ
قَادِرًا عَلَى الِاسْتِدْلَالِ وَمَعْرِفَةِ مَا هُوَ الرَّاجِحُ
“Adapun orang yang tidak mampu mengenal hukum Allah dan Rasul-Nya,
lalu ia cuma taklid pada orang yang berilmu dan memiliki agama yang
baik, tidak nampak baginya pendapat yang lebih baik dari pendapat
tersebut, maka orang yang taklid seperti itu tetap terpuji dan
mendapatkan pahala, tidak dicela, tidak boleh dihukum. Walaupun ia saat
itu mampu untuk mencari dan mengenal dalil yang lebih kuat.” (Majmu’ Al Fatawa, 20: 225).
3- Tidak nampak bagi orang yang taklid itu kebenaran
dan ia pun tidak mengetahui pendapat lainnya yang lebih kuat. Jadi
orang yang taklid hanyalah mengikuti orang yang ia ketahui jelas
benarnya.
4- Taklid tidak menyelisihi dalil dan ijma’ (kata sepakat ulama).
Ibnu Taimiyah berkata,
إذَا
أَفْتَى الْمُسْتَفْتِيَ بِمَا لَمْ يَعْلَمْ الْمُسْتَفْتِي أَنَّهُ
مُخَالِفٌ لِأَمْرِ اللَّهِ فَلَا يَكُونُ الْمُطِيعُ لِهَؤُلَاءِ عَاصِيًا
وَأَمَّا إذَا عَلِمَ أَنَّهُ مُخَالِفٌ لِأَمْرِ اللَّهِ فَطَاعَتُهُ فِي
ذَلِكَ مَعْصِيَةٌ لِلَّهِ
“Jika seorang ahli fatwa mengeluarkan fatwa di mana ia tidak
mengetahui kalau ia menyelisihi aturan Allah, maka orang yang mengikuti
(mentaati) pendapat tersebut tidak disebut bermaksiat. Adapun jika ada
yang mengetahui orang yang diikuti itu menyelisihi aturan Allah, maka
mengikutinya berarti bermaksiat pada Allah.” (Majmu’ Al Fatawa, 19: 261).
Coba perhatikan baik-baik perkataan Ibnu Taimiyah berikut,
وَإِذَا
كَانَ الرَّجُلُ مُتَّبِعًا لِأَبِي حَنِيفَةَ أَوْ مَالِكٍ أَوْ
الشَّافِعِيِّ أَوْ أَحْمَد : وَرَأَى فِي بَعْضِ الْمَسَائِلِ أَنَّ
مَذْهَبَ غَيْرِهِ أَقْوَى فَاتَّبَعَهُ كَانَ قَدْ أَحْسَنَ فِي ذَلِكَ
وَلَمْ يَقْدَحْ ذَلِكَ فِي دِينِهِ . وَلَا عَدَالَتِهِ بِلَا نِزَاعٍ ؛
بَلْ هَذَا أَوْلَى بِالْحَقِّ وَأَحَبُّ إلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِمَّنْ يَتَعَصَّبُ لِوَاحِدِ مُعَيَّنٍ
غَيْرِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَمَنْ يَتَعَصَّبُ
لِمَالِكِ أَوْ الشَّافِعِيِّ أَوْ أَحْمَد أَوْ أَبِي حَنِيفَةَ وَيَرَى
أَنَّ قَوْلَ هَذَا الْمُعَيَّنِ هُوَ الصَّوَابُ الَّذِي يَنْبَغِي
اتِّبَاعُهُ دُونَ قَوْلِ الْإِمَامِ الَّذِي خَالَفَهُ .
“Jika seseorang mengikuti mengikuti pendapat Imam Abu Hanifah atau
Imam Malik atau Imam Syafi’i atau Imam Ahmad, lalu ia melihat pendapat
lainnya ternyata lebih kuat dari pendapat tersebut, maka hendaklah ia
mengikutinya. Itu lebih baik dan tidak mencacati agamanya, juga tidak
membuatnya dianggap jelek (tidak ‘adel) tanpa ada khilaf dari para ulama
akan hal ini. Bahkan mengikuti pendapat yang benar itulah yang lebih
dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya daripada ta’ashub (fanatik) pada salah
satu pendapat selain Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Seperti ada
yang bersikap fanatik pada Malik, Syafi’i, Ahmad atau Abu Hanifah lalu
menilai pendapat imamnya-lah yang paling benar, pendapat lain yang
menyelisihi tak pantas diikuti.” (Majmu’ Al Fatawa, 22: 248).
Semoga Allah memberikan hidayah. Wallahu waliyyut taufiq.
Referensi:
Ma’alim Ushulil Fiqh ‘inda Ahlis Sunnah, Muhammad bin Husain bin Hasan Al Jizaniy, terbitan Dar Ibnul Jauzi, cetakan kesembilan, tahun 1431 H.Majmu’atul Fatawa, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, terbitan Darul Wafa’ dan Dar Ibnu Hazm, cetakan keempat, tahun 1432 H.
—
10.30 AM di Darush Sholihin, 22 Jumadal Ula 1436 H
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel Muslim.Or.Id