Bismillah walhamdulillah wash shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, amma ba’du :
Sikap yang benar setiap muslim dan muslimah di dalam meriwayatkan Hadits
Dalam artikel bagian pertama telah dijelaskan bahwa Ulama Ahlul Hadits rahimahumullah telah menjelaskan dua prinsip besar dalam ilmu Hadits,
1. Tidak bolehnya menerima Hadits dho’if sebagai dalil dalam Syari’at Islam dan tidak bolehnya mengamalkannya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,
لا يجوز أن يعتمد فى الشريعة على الأحاديث الضعيفة التى ليست صحيحة ولا حسنة
“Syari’at ini tidak boleh berlandaskan
kepada Hadits-Hadits dho’if (lemah),yaitu yang bukan kategori
shahih dan bukan pula hasan” . (Majmu’ al-Fatawa 1/250).
2. Tidak boleh meriwayatkan dan tidak boleh pula mengamalkan Hadits yang tidak diketahui shahih atau tidaknya.
Berkata Syaikh Muhammad Sholeh Al-‘Utsaimin rahimahullah
الأحاديث الضعيفة لا يُستدل بها ، ولا يجوز أن
تنسب إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم إلا على وجه يُبيَّن فيه أنها ضعيفة
، ومَن حدَّث عن رسول الله صلى الله عليه وسلم بحديث يُرى أنه كذب فهو أحد
الكاذبين ، وقد ثبت عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه قال : (من كذب عليّ
متعمداً فليتبوأ مقعده من النار) ، فلا يجوز العمل بالحديث الضعيف
“Tidak boleh berdalil dengan hadits-hadits yang
dha’if (lemah), tidak boleh pula hadits-hadits tersebut disandarkan
kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, kecuali jika dijelaskan bahwa hadits-hadits
tersebut dha’if. Barangsiapa yang menyampaikan dariku sebuah hadits,
(sedangkan) hadits tersebut nampaknya dusta, maka ia termasuk salah satu
dari dua golongan manusia yang berdusta. Dan telah benar hadits dari
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa beliau bersabda:
من كذب عليّ متعمداً فليتبوأ مقعده من النار
“Barangsiapa yang berdusta atas namaku dengan sengaja, maka hendaklah ia mengambil tempat duduknya dari Neraka” [HR. Al-Bukhari], jadi tidak boleh beramal dengan Hadits dho’if” (Islamqa.info/ar/131106).
Dengan demikian, haruslah seseorang yang akan menyampaikan Hadits mengetahui derajatnya; shahih atau tidaknya, sehingga :
- Jika Hadits itu dho’if (lemah), janganlah diamalkan, dan jika ada kebutuhan meriwayatkannya, maka haruslah dijelaskan kepada pendengar atau pembaca bahwa Hadits itu dho’if.
- Jika Hadits itu shahih, maka ia berarti telah membangun keyakinan atau amal sholeh dirinya dan orang lain di atas dasar yang benar, disamping itu, ia telah ikut andil dalam menjaga Syari’at Islam ini dari dalil-dalil yang lemah atau bahkan palsu.
Mungkin terbetik dalam benak Anda : “Bagaimana dengan mayoritas kaum muslimin yang tidak memiliki kemampuan menilai derajat sebuah Hadits?”. Untuk mengetahui jawabannya, silahkan ikuti penjelasan berikut ini :
Cara global mengetahui derajat Hadits
Penjelasan Imam Ahmad rahimahullah
Abdullah bin Ahmad bin Hambal rahimahullah berkata,
سألت أبي عن الرجل تكون له الكتب المصنفة فيها
قول رسول الله صلى الله عليه و سلم واختلاف الصحابة والتابعين ، وليس للرجل
بصر بالحديث الضعيف المتروك منها ، فيفتى به ويعمل به؟ قال: لا يعمل حتى
يسأل، ما يؤخذ به منها ؟ فيكون يعمل على أمر صحيح ، يسال عن ذلك أهل العلم
“Saya bertanya kepada ayahku (Imam Ahmad) mengenai
seorang yang memiliki berbagai kitab yang memuat sabda Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam, perselisihan pendapat para sahabat, dan tabi’in.
Namun, dia tidak mampu untuk mengetahui Hadits yang lemah, yang harus
ditinggalkan dari kitab tersebut. Lalu apakah dia boleh berfatwa
dengannya dan mengamalkannya? Ayahku menjawab, “Dia tidak boleh
mengamalkannya sampai dia bertanya: Hadits mana saja yang boleh
diamalkan dari kitab-kitab tersebut?, sehingga dia beramal dengan dasar
yang benar, dan (hendaknya) dia bertanya kepada ulama mengenai hal
tersebut”. [Masailul Imam Ahamad ibni Hanbal, riwayah ibnihi Abdillah ibni Ahmad, hal. 438, no.1584 (PDF)].
Penjelasan An-Nawawi rahimahullah
Tentang penjelasan An-Nawawi rahimahullah, disebutkan dalam kitab Tamamul Minnah sebagai berikut,
وقد صرح النووي بأن من لا يعرف ضعف الحديث لا
يحل له أن يهجم على الاحتجاج به من غير بحث عليه بالتفتيش عنه إن كان عارفا
، أو بسؤال أهل العلم إن لم يكن عارفا. وراجع (التمهيد) في مقدمة الضعيفة [ص 10-12]
“Dan An-Nawawi menyatakan dengan jelas bahwa orang
yang tidak mengetahui kelemahan sebuah Hadits, maka tidak boleh baginya
berdalil dengannya, tanpa membahasnya dengan cara memeriksanya – jika ia orang yang memiliki ilmu (memeriksa derajat Hadits)- atau dengan cara bertanya kepada ulama, jika ia orang yang tidak memiliki ilmu (memeriksa derajat Hadits). Silahkan lihat kitab At-Tamhid dalam muqoddimah kitab Adh-Dha’ifah, hal. 10-12“ (Tamamul Minnah, hal. 34).
Penjelasan Al-Allamah Zakariya Al-Anshari rahimahullah
Al-Allamah Zakariya Al-Anshari rahimahullah berkata,
من أراد الاحتجاج بحديث من السنن أو المسانيد إن
كان متأهلا لمعرفة ما يحتج به من غيره فلا يحتج به حتى ينظر في اتصال
إسناده وأصول رواته ، وإلا فإن وجد أحدا من الأئمة صححه أو حسنه فله تقليده
، وإلا فلا يحتج به
“Seorang yang ingin berdalil dengan suatu Hadits yang terdapat dalam kitab Sunan atau Musnad, (maka terdapat dua keadaan).
Jika dia seorang yang mampu mengetahui Hadits yang boleh
dijadikan dalil dan mana yang tidak boleh, maka dia tidak boleh berdalil
dengannya hingga dia meneliti ketersambungan sanad Hadits dan kredibilitas para perawinya.
Namun jika dia tidak mampu, maka, apabila ia menemui salah
seorang imam yang menilai Hadits tersebut berderajat shahih atau hasan,
dia boleh taqlid kepadanya (mengikuti pendapatnya).
Sedangkan,jika ia tidak menemui seorang imam yang
menshahihkan atau menyatakan hasan Hadits tersebut, maka dia tidak boleh
berdalil dengan Hadits tersebut.” (Fath Al-Baqi fi Syarh Alfiyah Al-‘Iraqi, dinukil dari: Islamqa.info/ar/112086).
Penjelasan Syaikh Al-Albani rahimahullah
Syaikh Al-Albani rahimahullah mengatakan,
“Memeriksa derajat Hadits itu ada dua cara:
Pertama: Seseorang pencari derajat Hadits
memeriksa sanad, para perowi, dan menentukan derajat Hadits tersebut
sesuai dengan tuntutan kaedah-kaedah Ilmu Hadits dan Ushulnya,berupa
shahih atau dho’if, tanpa taqlid kepada imam tertentu, baik dalam
menyatakan shahih atau lemahnya Hadits tersebut. Dan cara seperti ini adalah cara yang langka di zaman ini,
tidak ada yang mampu melakukannya kecuali beberapa orang saja,sungguh
sangat disayangkan.
Dan yang kedua: Seseorang mengambil
referensi dari kitab yang penulisnya mengkhususkan Hadits-Hadits shahih
saja (di dalamnya), seperti kitab Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim
dan yang semisal keduanya, atau berdasarkan
atas keterangan para peniliti dari kalangan Ahlul Hadits, seperti Imam
Ahmad, Ibnu Ma’in, Abu Hatim Ar-Raazi, dan para ulama peneliti derajat
Hadits zaman dahulu yang lainnya.
Demikian juga An-Nawawi, Adz-Dzahabi, Az-Zaila’i,
Al-Asqalani, dan semisal mereka dari kalangan para ulama zaman
sesudahnya (muta`akhkhirin).
Inilah cara yang mudah, bagi setiap orang yang mencintai
kebenaran, akan tetapi sedikit membutuhkan kerja keras dalam membaca
kembali dan mencari (derajat) sebuah Hadits” (http://www.alalbany.net/4935).
Jadi kesimpulannya, penerapannya pada zaman sekarang, jika seseorang yang tidak memiliki kemampuan
menilai derajat sebuah Hadits lalu hendak meriwayatkannya atau
mengamalkannya, maka bisa melakukan salah satu dari beberapa cara
berikut ini:
- Cukup menukil hadits dari kitab-kitab Ulama yang dikhususkan penyebutan hadits-hadits yang shahih saja di dalamnya, seperti : Shahih Al-Bukhori, Shahih Muslim dan As-Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah. Contoh: “Hadits ini diriwayatkan Imam Al-Bukhori dalam shahihnya”.
- Membawakan ucapan Ulama yang mampu menilai derajat sebuah Hadits, misalnya: “HR. Abu Dawud, dishahihkan oleh Al-Albani”.
- Meminta fatwa atau bertanya kepada ulama tentang derajat sebuah Hadits.
- Mencari derajat sebuah Hadits dalam software-software yang terpercaya, yang menyediakan fasilitas pencarian derajat sebuah Hadits dan penilaian ulama tentang derajatnya.
- Mencari di buku-buku yang terpercaya dalam berbagai disiplin ilmu Syar’i, dalam berbagai bahasa, yang disitu penulisnya menukilkan dari ulama tentang keterangan derajat setiap Hadits yang menjadi dalil dalam sebuah masalah.
Jadi sebenarnya solusi bagi orang awam –Alhamdulillah– cukup mudah, yaitu kembali kepada firman Allah Ta’ala,
{ فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ }
“Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan (ulama) jika kalian tidak mengetahui” (An-Nahl : 43)
Renungan
Sudahkah kita memilih kajian-kajian, majelis ta’lim dan
buku-buku bacaan yang memiliki perhatian yang baik dalam menukilkan
Hadits-Hadits yang Shahih?
Sudahkah semua para da’i, khathib dan penulis artikel Islam memperhatikan keshahihan setiap Hadits yang disampaikannya?
Semua itu sangat perlu dilakukan, agar kita semua membangun ilmu dan amal shaleh kita di atas sumber dalil yang valid.
Semoga tulisan singkat ini bisa bermanfa’at besar bagi
kita semuanya, dan semoga Allah menjadikan kita termasuk kedalam
golongan orang-orang yang dimaksud dalam firman-Nya,
{الَّذِينَ يَسْتَمِعُونَ الْقَوْلَ فَيَتَّبِعُونَ أَحْسَنَهُ}
“Yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya” (Az Zumar: 18).
Wa billahit Taufiq.
***
Referensi
- Masailul Imam Ahamad ibni Hanbal (PDF)
- Majmu’ul Fatawa Ibnu Taimiyyah
- http://www.alalbany.net/4935
- Islamqa.info/ar/112086
- Islamqa.info/ar/131106
- Qowa’idut Tahdits
Penulis: Ust. Sa’id Abu Ukasyah
Artikel Muslim.or.id
_________
Share Ulang:
- Cisaat, Ciwidey: 28 Ramadhan 1440
- Sumber: https://muslim.or.id/25681-bolehkah-menyampaikan-atau-mengamalkan-hadits-yang-tidak-diketahui-derajatnya-3.html