Pernikahan adalah tali perekat terkuat yang menyatukan
antara dua insan yang saling mencintai. Begitu kuatnya, sampai-sampai
menjadikan dua insan yang berbeda seakan menyatu. Menyatu dalam urusan
rasa, duka, suka, cita-cita, harta dan lainnya. Begitu eratnya hubungan
mereka sampai-sampai berbagai batasan personal antara mereka seakan
sirna. Mereka bahu-membahu membangun bahtera rumah tangga yang sakinah,
mawaddah dan rahmah.
Kebahagian suami adalah kebahagian istri, dan sebaliknyapun juga demikian, kebahagiaan istri adalah sumber kebanggaan suami.
Eratnya hubungan antara suami istri ini mengaburkan berbagai
batasan hak-hak antara mereka. Akibatnya, dalam banyak kasus, anda
kesulitan untuk memisahkan antara harta milik suami dari hak milik
istri. Masalah menjadi muncul ke permukaan, tatkala salah satu dari
mereka meninggal dunia atau mereka bercerai.
Untuk menyelesaikan masalah ini, biasanya masyarakat kita
menempuh tradisi gono-gini, yaitu membagi sama rata seluruh harta yang
dimiliki sejak awal pernikahan.
⚉ Mengenal Harta Gono-gini.
Yang dimaksud dengan ‘harta gono-gini (harta bersama)’
yaitu semua harta yang diperoleh selama pernikahan. Dengan demikian,
semua harta yang diperoleh atas jerih payah suami bersama istri atau
oleh suami seorang diri secara hukum positif dihukumi sebagai harta
bersama. Demikianlah penjabaran harta bersama yang termaktub pada pasal
35, dari UU Perkawinan No 1, thn 1974. Karena harta tersebut dianggap milik bersama maka konsekwensinya :
A) suami atau istri tidak dapat menjual, atau menggadaikan
atau menghibahkan harta ini semaunya sendiri, tanpa restu dari pihak
kedua, sebagaimana termaktub pada pasal 36 dari Undang-undang
Perkawinan.
B) Apabila tali perkawinan antara mereka putus karena
perceraian, maka menurut Undang-Undang ini, harta bersama diatur menurut
hukumnya masing-masing, sebagaimana ditegaskan ada pasal 37. Dan pada
penjelasan pasal 37, disebutkan bahwa yang dimaksud dengan “hukumnya masing-masing”
mencakup hukum agama, adat dan lainnya. Pada kenyataannya, banyak dari
kaum muslimin yang memilih hukum adat untuk menyelesaikannya.
⚉ Tinjauan Syari’at Harta Gono-gini.
Harta gono-gini adalah istilah baru yang belum pernah disebut
dalam literatur klasik Islam. Bahkan sebaliknya, berbagai data yang ada
mengisyaratkan tiadanya harta gono-gini. Berikut beberapa hukum
syari’at yang dapat menjadi petunjuk kuat bahwa Islam tidak mengenal
istilah “harta bersama/gono-gini” .
1. Mas kawin sepenuhnya milik istri.
Dengan tegas Al Qur’an menjelaskan bahwa mas kawin adalah
sepenuhnya milik istri dan tidak halal bagi suami untuk mengambilnya
kecuali atas kerelaan istrinya.
(وَآتُواْ النَّسَاء صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً فَإِن طِبْنَ لَكُمْ عَن شَيْءٍ مِّنْهُ نَفْسًا فَكُلُوهُ هَنِيئًا مَّرِيئًا)
“Berikanlah maskawin
(mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh
kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari
maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu
(sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.” [An Nisa’ 4]
Al Qur’an juga mengharamkan atas suami untuk mengambil
kembali mas kawin yang telah ia berikan kepada istrinya, walau keduanya
telah berpisah dengan perceraian:
)وَإِنْ أَرَدتُّمُ اسْتِبْدَالَ
زَوْجٍ مَّكَانَ زَوْجٍ وَآتَيْتُمْ إِحْدَاهُنَّ قِنطَارًا فَلاَ
تَأْخُذُواْ مِنْهُ شَيْئًا أَتَأْخُذُونَهُ بُهْتَاناً وَإِثْماً
مُّبِيناً(
“Dan jika kamu ingin
mengganti istrimu dengan istri yang lain, sedang kamu telah memberikan
kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, maka janganlah kamu
mengambil kembali daripadanya barang sedikit pun. Apakah kamu akan
mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang dusta dan dengan
(menanggung) dosa yang nyata ?” [An Nisa’ 20]
2. Kewajiban nafkah atas suami.
Diantara bukti nyata bahwa secara syari’at harta istri
terpisah dari harta suami ialah kewajiban nafkah atas suami terhadap
istrinya.
Pada suatu hari sahabat Mu’awiyah Al Qusyairi bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam: ‘Ya Rasulullah, apakah hak-hak istri yang kita tunaikan ?’ Beliau menjawab:
(أَنْ تُطْعِمَهَا إِذَا طَعِمْتَ
وَتَكْسُوَهَا إِذَا اكْتَسَيْتَ وَلاَ تَضْرِبِ الْوَجْهَ وَلاَ تُقَبِّحْ
وَلاَ تَهْجُرْ إِلاَّ فِى الْبَيْتِ(
Engkau memberinya makan
bila engkau memiliki makanan, memberiya pakaian bila engkau memiliki
pakaian. Dan janganlah engkau memukul wajahnya, mencelanya dengan
mengatakan: ‘semoga Allah menjelekkan wajahmu’, dan janganlah engkau mengucilkannya kecuali di dalam rumahmu sendiri.” [Riwayat Abu Dawud]
Anggapan bahwa seluruh harta yang diperoleh selama masa
pernikahan adalah milik berdua sama rata, bertentangan dengan kewajiban
nafkah atas suami.
3. Istri berhak mengajukan gugatan hukum atas nafkahnya yang tertunda.
Hak istri atas nafkah dari suaminya telah jelas, bahkan bila
suami tidak patuh hukum sehingga menelantarkan istrinya, maka istri
berhak mengajukan gugatan hukum terhadap suaminya, baik gugatan cerai
atau atau gugatan agar suaminya patuh hukum dengan memberi nafkah
kepadanya tanpa syarat.
Suatu hari Hindun binti ‘Utbah istri Abu Sufyan
mengadu kepada Rosulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam. Ia
berkata: ‘Wahai
Rosulullah, sejatinya Abu Sufyan adalah lelaki pelit. Ia tidak
memberiku nafkah yang mencukupi kebutuhanku dan kebutuhan anak-anakku,
kecuali bila aku secara sembunyi-sebunyi dan tanpa sepengetahuannya
mengambil sebagian hartanya. Apakah aku berdosa melakukan yang demikian
itu ? Rosulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam menjawab :
خُذِى مِنْ مَالِهِ بِالْمَعْرُوفِ مَا يَكْفِيكِ وَيَكْفِى بَنِيكِ.
“Silahkan
engkau mengambil dari hartanya dalam jumlah yang sewajarnya sesuai
dengan kebutuhanmu dan kebutuhah anak-anakmu.” [Muttafaqun ‘Alaih]
Dengan jelas, Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam menyebut
harta Abu Sufyan adalah miliknya dan bukan milik bersama. Andai ada
status harta gono-gini, niscaya Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam
menyebutkan bahwa harta Abu Sufyan adalah harta milik Hindun juga.
4. Suami miskin, berhak menerima zakat istrinya.
Dikisahkah bahwa Zaenab istri sahabat Abdullah bin Mas’ud
bertanya kepada Rosulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam tentang
rencananya menyalurkan sedekah wajibnya kepada suaminya yang miskin.
Menanggapi pertanyaan ini, Rosulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda:
( نعم لها أجران أجر القرابة وأجر الصدقة ) متفق عليه
“Iya, itu dapat dapat menggugurkan kewajibannya, dan ia mendapat dua pahala; pahala kekerabatan dan pahala sedekah.” [Muttafaqun ‘alaih]
Berdasarkan hadits ini, mayoritas ulama’ menyatakan bahwa
seorang istri yang kaya dapat menyalurkan zakatnya kepada suaminya yang
miskin. (Al Mughni oleh Ibnu Qudamah 2/545 & Subulus Salam oleh As Shan’any 2/143).
Andai ada system gono-gini pada hubungan suami dan istri,
niscaya suami secara otomatis turut menjadi kaya, bila istri kaya, dan
demikian pula sebaliknya.
5. Adanya hukum waris antara suami istri
Allah ‘Azza wa Jala menegaskan hal ini pada ayat berikut:
(وَلَكُمْ نِصْفُ مَا تَرَكَ
أَزْوَاجُكُمْ إِن لَّمْ يَكُن لَّهُنَّ وَلَدٌ فَإِن كَانَ لَهُنَّ وَلَدٌ
فَلَكُمُ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْنَ مِن بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِينَ بِهَا
أَوْ دَيْنٍ وَلَهُنَّ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْتُمْ إِن لَّمْ يَكُن
لَّكُمْ وَلَدٌ فَإِن كَانَ لَكُمْ وَلَدٌ فَلَهُنَّ الثُّمُنُ مِمَّا
تَرَكْتُم مِّن بَعْدِ وَصِيَّةٍ تُوصُونَ بِهَا أَوْ دَيْنٍ)
“Dan bagimu (suami-suami)
seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh istri-istrimu, jika mereka
tidak mempunyai anak. Jika istri-istrimu itu mempunyai anak, maka kamu
mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi
wasiat yang mereka buat atau (dan) sesudah dibayar utangnya. Para istri
memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak
mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para istri memperoleh
seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat
yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar utang-utangmu.” [An Nisa’ 12]
Berbagai hukum di atas dan lainnya menjadi bukti nyata bahwa
status gono gini cacat secara syari’at, wallahu Ta’ala a’alam bisshowab.
Lalu bagaimana solusinya ? nantikan episode selanjutnya di SINI
_______
Ustadz DR. Muhammad Arifin Badri MA, حفظه الله تعالى.
======
Share Ulang:
- Nengkelan, Ciwidey: 28 Ramadhan 1440
- Sumber: https://bbg-alilmu.com/archives/42083